Latar Belakang Masalah
Salah satu wacana intelektual yang cukup mengesankan di
penghujung abad ke-20 ini adalah maraknya perbincangan mengenai dialog antar
agama, bahkan juga dialog antar iman. Gejala ini sebagaimana lazimnya sebuah
wacana tentu saja tidak berdiri sendiri, banyak faktor ikut mendorong
kelahirannya. Salah satunya, kalau bukan yang terpenting, seperti dikutip
Komaruddin Hidayat, ialah apa yang oleh Gilles Keppel disebut sebagai krisis
modernitas (crisys of modernity)[1].
Dengan mengecualikan mereka yang secara apriori menolak perbincangan semacam
itu, banyak kalangan menduga bahwa intensitas perbincangan mengenai Hubungan
Antar Agama akan semakin meningkat di masa-masa yang akan datang.
Secara umum, dialog dapat dipahami sebagai salah satu bentuk interaksi
antara sekurang-kurangnya dua orang. Dalam dialog, orang-orang yang terlibat
saling mengkomunikasikan sebagian dari, tidak hanya apa yang dimilikinya,
tetapi juga apa yang tidak dimilikinya[2].
Dalam kerangka dialog antar umat beragama, dialog dilakukan dengan maksud untuk
lebih saling memahami keberadaan dan ajaran masing-masing agama yang juga
berarti untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman tentang agamanya sendiri[3].
Pentingnya dialog antar agama telah menjadi penekan yang lebih dalam,
terutama ketika manusia merasa terombang-ambingkan oleh keadaan dunia sekarang
ini. Sebuah ironi, ketika agama, sebagai petunjuk yang mengarahkan dan mengajak
umat manusia kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia,
namun hampir tidak ada sebuah agama pun yang tidak ikut bertanggungjawab atas
berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran[4].
Maka tidak berlebihan bila Hans Kung mengatakan “tidak akan pernah ada perdamaian antar bangsa tanpa adanya perdamaian
antar agama dan tidak akan pernah ada perdamaian antar agama tanpa adanya dialog yang lebih
besar dan efektif di antara mereka”[5].
Keefektifan sebuah dialog antar umat beragama sangat ditentukan oleh
konteks, sejarah, dan latar belakang pelaku dialog, karena para penganut agama
secara sadar atau tidak sadar dibentuk oleh konteks sosial, budaya dan latar
belakang intelektual, historis, psikologis dan lain sebagainya, maka penekanan
dan bentuk dialog juga berbeda dari suatu bangsa ke bangsa lain.[6]
Meski demikian, dialog antar umat beragama bukan tanpa halangan dan
hambatan. Sebagaimana diketahui, inisiatif dialog antar umat beragama sebagian
besar dari kalangan Kristen. Dalam hal ini, pengikut-pengikut agama lain
seringkali tidak yakin akan motif-motif dialog antar agama/ dialog antar umat
beragama yang diprakarsai oleh umat Kristen tersebut. Mereka khawatir bahwa
dialog antar umat beragama merupakan usaha terselubung untuk konversi ke dalam
agama Kristen, atau dialog antar umat beragama hanya merupakan tipu muslihat
dari umat Kristen agar dapat memasuki agama-agama bukan Kristen[7].
[1]Gilles
Keppel, The Revenge of God: The
Resurgence of Islam, Christianity and Judaism in the Modern World (Pennsylvania:
The Pennsylvania State University Press, 1993), hlm. 191, dalam Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing
Over, Melintas Batas Agama (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm.
Xii.
[2]Alfaus
S Suhardi OFM, “Dialog Antar Agama: Mengapa Orang Takut”, Rohani, Vol 39, 14 Agustus 1992, hlm. 262.
[3]Ruslani,
Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Agama:
Studi atas pemikiran Mohammad Arkoun (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 2000), hlm. 203.
[4] A
N Wilson, Against Religion, Why We Should
Try To Live Without It, (London Chatto and
Windus, 1992) hlm, 1, dalam Syafaatun Al-Mirzanah, “Pluralisme, Konflik
dan Dialog”, Esensia, Vol. 2, 1 Januari,
2001, hlm. 41.
[5]Paul
Knitter, “Sikap Kristen Terhadap Agama Lain: Tantangan Bagi Komitmen dan
Keterbukaan”, Relief, Vol 1, 2 Mei
2003, hlm. 129.
[6]
Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 58.
[7]Mukti
Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah Dan
Misi,dalam Burhanuddin Daya dan Herman Leonard Beck, “Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda” (Jakarta: INIS, 1992), hlm, 219.