BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan
meluasnya partai-partai berhaluan Islam kesetiap tempat dengan gaya
yang menarik perhatian banyak orang, dan didukung oleh bertambahnya
kesadaran dunia terhadap masalah demokrasi setelah runtuhnya ideologi
komunis, permasalahannya kemudian beralih pada hubungan
antara islam dan demokrasi,
yang ramai dibicarakan dalam berbagai pusat penelitian dan media
masa. Akibatnya muncul pertemuan-pertemuan, yang menghujat corak
nuansa Islam dan kaum muslim.
Para pengkaji dan peneliti barat dengan gencar melakukan penelitian
dan pengkajian tentang masalah tersebut (hubungan antara Islam dan
demokrasi). Mayoritas diantara mereka menyimpulkan adanya
pertentangan tajam antara islam dan demokrasi.
Sebuah artikel
yang dimuat Washington
Post pada
maret 1992, yang bertajuk “Islam dan demokrasi tidak pernah sejalan
“,
dalam artikel tersebut, Amwes Berlmouter, si penulis artikel,
menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Al-jazair tidak hanya
menyangkut masalah demokrasi di dunia ketiga atau negara-negara
Islam, sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian orang. Tetapi,
masalah terpenting yang menyangkut apa yang terjadi di Aljazair
adalah hakekat sikap Islam –yang diibaratkan oleh penulis artikel
ini sebagai-“ menentang dan tidak memperoleh demokrasi”.
Mereka dengan panjang lebar berbicara tentang sistem liberalisme dan
Nasionalis untuk dijadikan sebagai acuan pedoman dalam
tatanan negara.
Tetapi jika ada
yang berbicara tentang sistem Islami, mereka menganggap sebagai
sesuatu “yang tidak ada”. Bahkan kadang mereka menyebut sebagai
sesuatu “yang konservatif”, dan pada saat yang lain mereka
menyebutnya sebagai “sistem yang kejam”.1
Dari berbagai macam permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka
penyusun mencoba mengkaji Demokrasi yang ada relevansinya dengan
ajaran agama Islam. Islam telah didiskreditkan dalam dua hal.
Pertama, ketika ia dibandingkan dengan demokrasi dan kedua, ketika
dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi. Karena
membandingkan antara keduanya merupakan hal yang salah, seperti
halnya menganggapnya saling bertentangan juga salah.
Dari segi
metode, perbandingan antara kedua hal tersebut di atas tidak bisa
dibenarkan, karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung
azas-azas yang mengatur ibadah, akhlaq dan muamalah manusia.
Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme
kerja sama antara anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak
nilai-nilai positif.2
Bagi
kebanyakan
orang Barat, konsep “demokrasi Islam “ merupakan sesuatu
anatema.3
Sebagian
orang tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem
pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerjasama, politik,
pluralisme, lain sebagainya. Tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi
konsep barat yang memperburuk citra kaum muslim. Paling tidak media
informasi di barat menampakkan permusuhan kepada Islam. Dengan
demikian, tidak diakuinya demokrasi versi barat ini tidak dapat
dianggap sebagai penolakan terhadap demokrasi itu sendiri, tapi pada
hakekatnya, penolakan tersebut berdasarkan pada konsep yang
disodorkan.4
Demokrasi
merupakan sebuah idiom yang oleh sebagian orang dipersepsikan sebagai
pilihan sistim politik, menuntut persyaratan bagi terwujudnya sebuah
masyarakat madani (Civil
Society).5
Dalam perspektif
pengelolaan negara bangsa, dimana pluralisme sebagai bagian dari
Sunatullah
(Natural
law),
memerlukan negara dan pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi
hukum dan dipenuhinya prasyarat the
rule of law
6).
Maka, jika kualitas demokrasi baik, kualitas hukum akan baik, dan
jika demokrasi bobrok, hukumnya pun akan jelek. 7
Dengan demikian demokrasi adalah suatu keharusan dan sudah berjalan.
Sejelek-jeleknya demokrasi tetapi masih lebih baik dari sistem
politik yang lain. Ketangguhan demokrasi ada pada aspek rationalitas
yang
dapat dikritik dan diperdebatkan (rational
discourse)
dan adanya kontrol dari rakyat. 8
Perkembangan di
dalam negeri selain dipengaruhi oleh mulai munculnya kesadaran
masyarakat tentang pentingnya demokrasi namun dipengaruhi oleh
gerakan pro-demokrasi di luar negeri. Runtuhnya rezim otoritarium
komunis di negara-negara eropa timur pada awal tahun 1990-an, oleh
gerakan pro demokrasi (dan
civil society)
merupakan faktor eksternal yang mendorong dimulainya babakan baru
menuju masyarakat yang lebih demokratis di Indonesia. 9
Demokratisasi
yang sedang diagendakan oleh masyarakat Indonesia sekarang ini masih
menghadapi banyak tantangan.10
Belum terwujudnya stabilitas politik – yang krusial bagi pemulihan
ekonomi-, serta elit politik dan banyak kalangan masyarakat belum
siap dengan demokrasi keadaban (civilizated
democracy).
Kenyataan ini bisa dilihat dari perkembangan berikut : konflik dan
fragmentasi politik yang semakin meluas di kalangan elit politik ;
parpol-parpol yang kian rentan konflik dan perpecahan ; serta
aksi-aksi demonstrasi yang cenderung tergelincir menjadi anarkisme.11
Di negara-negara
sedang berkembang termasuk Indonesia, perkembangan Demokrasi
tersendat-sendat, bahkan ada yang tidak bisa muncul sama sekali.
Seperti disinyalir oleh Huntington, kawasan ini disebut sebagai
penganut sistem politik
tradisional.
Ada dua corak sistem politik yang dominan pada negara berkembang
yaitu : negara
feodal dan
negara
birokratis.
Di dalam kedua corak sistem politik itu ditandai oleh adanya
pemusatan kekuasan. Karena itu, peluang untuk berkembang suburnya
demokrasi pada negara yang sistem politik semacam itu kecil sekali.
Pandangan pesimisme Huntington mengenai tumbuhnya demokratisasi bila
diterapkan dalam konteks Indonesia bisa dimengerti, karena sistem
politik Indonesia sebalum Era-Reformasi
adalah
Feodal
dan
Birokratis.
Kedua sistem nilai ini ( Feodal
dan
Birokratis
) merupakan faktor penghambat demokratisasi.12
Salah satu
kesulitan muncul sebagai kiblat para akademis ( politik) kurang
berminat untuk mendiskusikan, menulis, atau meneliti secara akademis
persoalan yang berkaitan dengan proses demokratisasi. Kecenderungan
yang tampak saat ini adalah mereka lebih tertarik berbicara sebagai
pengamat ( agak
mirip selebritis )
di berbagai media ( terutama media kaca ). Mereka dengan kemampuan
seadanya dan tanpa didukung pengalaman empiris ( penelitian ) diminta
dan berusaha menanggapai persoalan-persoalan politik praktis bersifat
temporer.
Akibatnya, terasa ada kekosongan pengetahuan tentang arah demokrasi
dan demokratisasi.
Dalam suasana
demikian ini, unsur –unsur masyarakat yang ingin melestarikan
kepincangan sosial yang ada dewasa ini, tentu akan berusaha sekuat
tenaga membendung aspirasi demokratis yang hidup di kalangan mereka
yang telah sadar akan perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini
(Indonesia).13
Di indonesia
sendiri, demokrasi-demokratisasi bagi sebagian orang, dipersepsikan
secara beragam. Sebagian memandang demokrasi sebagai suatu
keniscayaan sejarah. Ada pula yang menolaknya lantaran konsep
demokrasi berbau barat (western
terminology).
Ada pula kelompok intelektual muslim moderat yang memposisikan diri
dengan mencoba mensintesakan kedua kubu pemikiran tersebut. Dalam
waktu bersamaan, ketika demokratisasi itu diperjuangkan, fajar baru
harapan muncul partisipasi publik atau masyarakat secara seimbang
akan dapat diwujudkan. Dan tampaknya, sebuah masyarakat dengan nuansa
emansipasi partisipatoris itulah menjadi obsesi K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur). 14
Argumentasi
penyusun memilih K. H. Abdurrahman Wahid sebagai tokoh yang dikaji,
karena keberaniannya, kekuatan, dan keyakinannya dalam mengemukakan
pemikirannya tanpa ada rasa takut terhadap resiko yang akan dihadapi.
K. H. Abdurrahman Wahid termasuk tokoh agama dan politik di Indonesia
yang pemikiran dan sepak terjangnya sering dipandang kontroversial.
Karena, pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid memang sangat sering
memancing reaksi pro-kontra
dan
mengundang perdebatan, apalagi baik pemikiran ataupun perilakunya tak
jarang yang melawan arus atau menyimpang dari wacana publik yang
lazim terutama bagi umat Islam. Ada yang memuji dan simpati , atau
mencoba netral dan tak mau peduli, atau menyatakan terang-terangan
ketidak senangan dan beroposisi terhadapnya.
Prof. DR. H.
Ahmad Syafi’i Ma’arif pernah mengatakan, bisa jadi
kekontroversialnya muncul karena banyaknya kemampuan yang
dimilikinya, atau mungkin juga ia memang memiliki karakter unik yang
berbeda dari manusia kebanyakan.15
K. H. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur yang
menarik adalah watak liberal yang melekat pada sosok Gus Dur selama
ini ternyata masih ada walaupun ia berposisi sebagai decision
maker
( membuat keputusan), bahkan mungkin orang yang paling penting tidak
hanya bagi satu kelompok, tapi bagi banyak kelompok yang tentunya
jauh lebih beragam, mulai dari tingkat tradisional sampai
internasional dapat beradaptasi dengan baik.
Terlepas dari
persoalan di atas, keunikannya justru merangsang banyak orang untuk
melakukan segala penafsiran tentang orisinalitas pemikiran Gus Dur.
Namun, dari sekian banyaknya tafsiran, penjelasan dan eksplorasi
tentang Gus Dur tidak kemudian bisa dikatakan sebagai kesimpulan
akhir tentang pemikiran Gus Dur.16
Mengenai
penyusun memberikan batasan waktu terhadap kajian pemikiran K. H
.Abdurrahman Wahid , yaitu mulai tahun 1999-2003. karena setelah
habis masa jabatan K. H .Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU,
secara mengejutkan K. H .Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden
Republik Indonesia. Dalam masa cukup singkat kekuasaanya itu, K. H
.Abdurrahman Wahid sesungguhnya memiliki sejarah besar membangun
demokrasi, kebebasan pers dan berbicara, serta perjuangan hak-hak
kaum minoritas. K. H .Abdurrahman Wahid selama berkuasa menjadi
Presiden telah memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan
demokrasi di Indonesia. Paling tidak, selama kurang dua tahun menjadi
Presiden banyak sekali sumbangan K. H .Abdurrahman Wahid bagi bangsa.
Bahkan, proyek desakralisasi istana, supremasi sipil, deformalisasi
Islam, perebutan tafsir konstitusi (konflik dengan parlementer)
menjadi wacana politik yang menakjubkan di masanya.17
Setelah lepas
jabatan menjadi Presiden Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid
masih tetap gigih memperjuangkan demokrasi di negara Indonesia,
walaupun juga kadang melakukan tindakan otoriter. Demokrasi yang
diperjuangkan K.H. Abdurrahman Wahid, bukanlah demokrasi ala barat
maupun timur, melainkan demokrasi yang memang bersumber dari martabat
kemanusiaan, berupa nilai-nilai moralitas, intelektualitas,
religiusitas dan hati nurani yang bersifat fithriah.18
B. Pokok Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, terdapat permasalahan
yang layak dikaji,yaitu :
1. Bagaimana
pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi.
2. Analisis terhadap pemikiran demokrasi K.H. Abdurrahman Wahid tahun
1999-2003.
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan
dan kegunaan dari penyusunan
skripsi ini adalah :
1.Tujuan
- Untuk menjelaskan bagaimana konsep demokrasi menurut
K.H.
Abdurrahman Wahid.
b. Untuk melihat manuver politik
K.H.
Abdurrahman Wahid tahun 1999- 2003.
- Kegunaan
- Kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan pemikiran Islam khususnya yang menyangkut tentang demokrasi.
- Untuk memberikan kontribusi kepada penyusunan lebih lanjut, terutama yang berminat dibidang politik Islam.
D.
Telaah Pustaka
Penyusun
mencoba mengkaji dan menyajikan pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid
utamanya dalam perjuangannya yang gigih dalam menegakkan demokrasi.
Memang sudah cukup banyak buku-buku atau tulisan yang membedah
tentang pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid , diantaranya :
Buku Gus
Dur NU dan masyarakat sipil,
di dalam buku ini berisi tujuh artikel yang ditulis oleh orang dalam
dan luar negeri. Di dalam buku ini ada satu artikel yang menulis
tentang pembahasan K. H. Abdurrahman Wahid yaitu: “Pemahaman K. H.
Abdurrahman Wahid tentang pancasila dan penerapannya dalam era pasca
asas tunggal”, ditulis oleh : Douglas E. Ramage, Ph. D. Tulisan ini
disusun untuk keperluan yang khas :mengkaji pikiran-pikiran dan
perilaku politik pemimpin NU K. H. Abdurrahman Wahid berkenaan dengan
pancasila. Menurut pendapat K. H. Abdurrahman Wahid, pancasila adalah
serangkain prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang
baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan.19
Namun dalam tulisan ini tidak mencakup seluruh keberadaan NU,
terlebih lagi tentang politik Islam di Indonesia, serta tidak ada
tulisan yang membahas tentang demokrasi dalam Islam. Sebagai editor
buku ini adalah Ellyasa K. H. Dharwis.
Selanjutnya buku
Tuhan
tidak perlu dibela Abdurrahman Wahid
di dalam buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang diambil
dari majalah Tempo dasa warsa 1970-an dan 1980-an. Didalam buku ini
terdiri atas tiga bagian . Bagian
pertama,
Refleksi kritis pemikiran Islam, Bagian
kedua,
intensitas kebangsaan dan kebudayaan , dan Bagian
ketiga,
Demokrasi ideologi dan pengalaman politik luar negeri. Disini Gus Dur
menggambarkan bagaimana paradoks-paradoks yang terjadi di sekitar
pemikiran Islam, perdebatan politik, sosial keagamaan dan ideologi
antar kelompok dalam konteks kebangsaan Indonesia. Akan tetapi pada
bab ketiga kurang memaparkan pengalaman demokrasi di dalam negeri
(Indonesia), dan pemikiran-pemikiran demokrasi yang dikembangkan dari
ajaran agama Islam, inilah yang menjadi konsern dan konsistensi yang
tinggi oleh K. H. Abdurrahman Wahid dalam mensikapi, mengarahkan, dan
sekaligus menjadi basis pemikiran kehidupan negara bangsa Indonesia..
Diterbitkan oleh LkiS bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan
Ford foundation.
Selanjutnya buku
PKB
jendela politik Gus Dur
di dalam buku ini membahas bagaimana warga NU membangun suatu partai
yang telah di deklarasikan pada 23 juli 1998 di kediaman Gus Dur
Ciganjur, Jakarta. Dengan di beri nama Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB). PKB diharapkan benar-benar bisa menjadi wadah poilitik warga
NU untuk berperan secara optimal. Karena selama pemerintahan rezim
Soeharto, kekuatan politik warga NU selalu di kebiri dan di
pinggirkan secara sistematik. Maka kehadiran PKB ditingkat
perpolitikan nasional sungguh merupakan kajian yang menarik, apalagi
dikaitkan dengan tokoh sentralnya, Gus Dur, yang pada tutup tahun
1998 menyajikan “akrobat” politik yang benar-benar menakjubkan.
Buku ini disusun oleh Asmawi atas dorongan dan prakarsa Fauzi Rahman,
selaku direktur utama penerbit Titian Ilahi Press.
Buku Islam
Demokrasi atas bawah polemik strategi perjuangan umat model Gus Dur
dan Amien Rais
di dalam buku ini berisi tentang pemikiran kedua tokoh organisasi
besar di Indonesia yaitu K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Amien
Rais, bahwa kedua tokoh tersebut memiliki pemikiran yang berbeda. Di
dalam buku ini berisi kumpulan artikel tentang demokrasi dan politik.
Terdapat dua artikel yang membahas tentang K. H Abdurrahman Wahid,
yaitu :
1. “Gus
Dur dan perbedaan politik umat”
di
tulis oleh Muhammad AS Hikam. Di dalam tulisan ini ada tiga
kepedulian utama pemikiran politik K. H. Abdurrahman Wahid, yaitu :
a. Revitalisasi khasanah Islam tradisional Ahlussunnah wal Jama’ah,
khususnya kurang di pahami dan dikembangkan oleh NU.
b. keterlibatan dalam wacana dan kiprah modernitas.
2. “Islam
pluralisme dan demokratisasi” di tulis oleh K. H. Abdurrahman
Wahid, menulis tentang perkembangan hubungan Islam dan sistem
kekuasaan yang menunjukkan gambaran menarik pada dua puluh lima tahun
pertama di masa orde baru. Selama kurun waktu itu, telah terjadi
perkembangan gerakan Islam yang berlawanan arah akibat ambivalensi
kebijakan-kebijakan pemerintah. Di satu pihak, dapat disaksikan bahwa
sebagai kekuatan politik formal, Islam telah berhasil di gusur dari
panggung politik oleh kebijakan dealiranisasi
atau dekonfessionalisasi
yang dilakukan pemerintah, sedangkan di pihak lain, kekuatan politik
informal Islam berkembang dengan baik.21
Sebagai penyunting buku ini adalah Arief Afandi.
Buku membaca
pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi
di tulis oleh Umaruddin Masdar. Buku ini mengkategorisasikan sebagai
upaya rekonsiliasi
peradaban
Islam barat menyangkut gagasan demokrasi. Penelitian buku ini
berusaha menemukan titik temu dan merunut kompatibilitas Islam dan
demokrasi. Melalui usaha elaboratif metodologi us}u>l
fiqh,
titik temu atau kompatibilitas itu akan dijadikan konteks diskursus
intelektual Sunni vis a vis pemikiran politik Syi’i, dengan
menjadikan pemikiran Amien Rais dan K. H. Abdurrahman Wahid sebagai
obyek sentral penelitian.
Di dalam buku ini tidak membahas keberhasilan pemikiran K. H.
Abdurrahman Wahid dalam membuktikan vitalitas dan telah mampu merubah
kultur Islam tradisional dalam wacana dan kiprah modernitas. Karena
pemikiran dan strategi pemberdayaan demokrasi yang diperjuangkan K.
H. Abdurrahman Wahid terjadi banyak tantangan. Tantangan dan hambatan
baik dari NU sendiri maupun dari kelompok di luarnya, termasuk
negara, senantiasa muncul.
Selanjutnya buku
Demokratisasi
dan prospek hukum Islam di Indonesia studi atas pemikiran Gus Dur,
ditulis oleh Abdul Ghofur, M.Ag, diterbitkan atas kerjasama Walisongo
Press dengan pustaka pelajar. Buku ini di tulis oleh saudara Abdul
Ghofur, yang merupakan hasil kerja kerasnya dalam menyelesaikan Tesis
S.2 di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN) Jakarta. Buku ini
mecoba memotret dan menyajikan pemikiran Gus Dur utamanya dalam
perjuangannya yang gigih melakukan demokratisasi dan substansi hukum
Islam. Di dalam buku ini menulis pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid
tentang Demokrasi, yaitu : pemikiran
ke Islaman dan gagasan Demokratisasi K. H. Abdurrahman Wahid.
Di dalam bab ini terdapat tiga kelompok dari empat tokoh, antara lain
:
1. Greg Barton,
2. Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, 3. AS Hikam. Dari ketiga kelompok
tersebut mengemukakan pendapatnya pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid
seorang intelektual dan agamawan di kalangan tradisional Ahlussunnah
Waljama’ah yang lebih mengedepankan pada pendekatan kontekstual
dari pada tekstual dan mencoba memadukan pemikiran khazanah
pemikiran
Islam tradisional dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat modern.
Di dalam bab ini
K. H. Abdurrahman Wahid tidak sekedar menggunakan produk-produk
pemikiran Islam tradisional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan
metodologi (manhaj),
teori hukum (us}u>l
fiqh),
dan kaidah-kaidah hukum (Qawa>id
Fiqhiyah)
dalam kerangka pembuatan suatu sintesa untuk melahirkan gagasan baru
sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual di masyarakat. Akan
tetapi di dalam buku ini tidak ada dalil Al-Qur’an/Nash sebagai
dasar demokrasi dalam Islam, dan di dalam buku ini tidak mengkaji
tentang analisa demokrasi pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang
meliputi aplikasi demokrasi, transisi demokrasi, Militer dan
demokratisasi.
Dan juga masih banyak lagi tulisan-tulisan yang membahas pemikiran
K. H. Abdurrahman Wahid, baik berupa buku, artikel, dan lain-lain.
Dari berbagai karya tentang K. H. Abdurrahman Wahid, sepanjang
pelacakan data yang dilakukan penyusun, belum ada satu karya yang
secara khusus membahas dan mengungkapkan secara jelas tentang
pemikiran deskriptif K. H. Abdurrahman Wahid mulai tahun, dengan
analisa demokrasi pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi
aplikasi demokrasi, transisi demokrasi, Militer dan demokratisasi.
E. Kerangka Teoritik
Pemerintahan
dalam Islam adalah pemerintahan demokratis berdasarkan musyawarah.
Islam tidak membatasi bagaimana cara bermusyawarah. Inilah sistem
bersifat intern
yang
bisa berubah sesuai dengan situasi
dengan
memandang waktu dan tempat, dan merupakan kebebasan jama’ah dalam
ketentuan dan penerapannya.22
Definisi Demokrasi oleh Lincoln,
yaitu pemerintahan rakyat, melalui rakyat, dan untuk kepentingan
rakyat. Makna, tanpa diragukan lagi, telah tercakup dalam sistem
pemerintahan Islam, kecuali bahwa pengertian istilah masyarakat harus
dipahami secara tertentu dan menyeluruh.23
Sistem
kenegaraan/pemerintahan dalam Islam harus dibedakan antara teori dan
praktek. Teori adalah konsep-konsep yang tertulis dalam Nas}
(Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad S. A. W. ).
Praktek adalah praktek yang dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah
Islam. Nas}
(Al-Qur’an) yang
berbicara tentang prinsip-prinsip dan sistim pemerintahan/kenegaraan.
Diantaranya adalah :
وا
لذ ين استجا بوا لربهم واقاموا ا لصلوة
وا مرهم شورى بينهم ومما رزقنا هم ينفقون24
فاعف عنهم
واستغفرلهم وشاورهم فى الامر25
براء ة من
الله ورسوله الى الذ ين عا هد تم من
المشركين26
Dari ketiga ayat tersebut dapat ditegaskan beberapa prinsip :
- Kedaulatan adalah di tangan rakyat ( umat)
- Bentuk pemerintahan adalah berdasarkan Musyawarah ( Syu>ra)
- Kepala pemerintahan adalah Imam atau khalifah, yaitu pelaksana Syari’ah (ajaran Islam).
- Kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh rakyat (umat).27
Imam Razi berkata saat menafsirkan ayat Al-Qur’an
يايها ا
لذ ين ا منوا ا طيعوا ا لله وا طيعوا ا
لرسول وا ولىا لامرمنكم 28
Perintah Allah S. W. T untuk taat
disini bersifat pasti. Dan siapa yang diperintahkan untuk ditaati
haruslah sosok yang ma's}um,
sehingga perintah Allah itu tidak membawa pada perbuatan yang salah
dan mengikuti kesalahan itu. Kemudian dia mengatakan bahwa sosok yang
maksum itu tidak dapat dicerminkan seorang individu atau sebagian
umat, namun merupakan bentuk kolektif umat itu, yang terwakilkan
dalam diri ahli ijtihad.
Firman Allah Surat An-Nisa’ (4) :
59 dapat dijadikan dalil atas validitas Ijma’ sebagai sumber hukum.
Disimpulkan dari situ bahwa yang dimaksud dengan ulil
amri itu adalah ahlul
halli wal aqdi, dari
ulama’ umat yang mampu berijtihad dan menyimpulkan hukum, jika
mereka bersepakat dalam sesuatu.29
Muhammad Abduh menyamakan Ahl
al-Hall Wa al-‘aqd
dengan ulil Amri
yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ : 59. Ia menafsirkan
Ulil Amri
atau Ahl al-Hall Wa
al-‘aqd sebagai
kumpulan orang dari berbagai profesi dan keahlian yang ada dalam
masyarakat.30
Ahl al-Hall Wa al-‘aqd
lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura.
Syura
merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan secara
eksplisit ditegaskan oleh Al-Qur’an surat Asy-Syura (42) : 38.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai
sekedar salah satu elemen demokrasi dan sesuai pula dengan kenyataan
bahwa Islam menetapkan syu>ra
baru dalam bentuk prinsip umum yang penjabarannya diserahkan kepada
umat pada setiap masa dan tempat, maka semata-mata Syura
tidak dapat menjamin tegaknya kehidupan yang demokratis. Syu>ra
akan berhasil jika memang tersedia situasi dan kondisi yang kondusif,
yakni ketika elemen-elemen demokrasi yang lain seperti kesetaraan,
pertanggungjawaban, keadilan dan kebebasan benar-benar telah tegak
dalam masyarakat. Tanpa tersedianya situasi dan kondisi semacam itu,
mustahil untuk mengharapkan berlangsungnya Syu>ra
dengan demokratis.31
Menurut Hasan al-Turabi : Sebagian
orang mengartikulasikan demokrasi semuanya dan bukan didasarkan pada
hakekat maknanya secara gramatikal-yakni
pemerintahan oleh rakyat-bahkan juga bukan bagaimana demokrasi
diartikan di barat. Sepanjang sejarah perjalanannya di barat, kata
demokrasi dikaitkan erat dengan sekularisme dan hal itu tentu saja
bertentangan dengan sifat gerakan Islam. Dengan politik yang amoral
demokrasi tentu saja menjadi sesuatu yang ditentang. Sama sekali jauh
dari sifat-sifat agama.32
Tujuan demokrasi dalam Islam adalah
menolak diktatorisme yang berkuasa, menolak kekuasaan penguasa yang
sewenang-wenang, yang pada saat sekarang lazim disebut Tiran.
Karena maksud dari demokrasi ialah pemberdayaan rakyat untuk memilih
para penguasa seperti mereka kehendaki, memperhitungkan perilaku
mereka, menolak perintah mereka jika bertentangan dengan
undang-undang negara, yang jika di Istilahkan menurut Islam : Jika
mereka kepada kedurhakaan. Mereka berhak mencopot para penguasa itu
jika menyimpang, tidak mau menerima nasehat dan peringatan.33
Islam adalah agama yang mengajak
kepada keadilan, melawan penindasan, menolak eksploitasi dan
manipulasi serta membebaskan manusia dari praktek-praktek ekonomi dan
politik tidak bermoral. Substansi ditegakkannya nilai dan praktek
demokrasi adalah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan atau
kemaslahatan umum. Dan ini secara nyata tercermin dan dipraktekkan
oleh Nabi dan al-khulafa ar-Rasyidun pada masa awal Islam.34
Demokrasi bisa diambil sebagai
sebuah sistem politik utuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Tapi, hanya sebatas tataran pranata sosial-politik An-sich.
Sebaliknya, menolak dengan tegas ‘demokrasi’
dengan embel-embel ideologi tertentu. Apa yang diajarkan Nabi dalam
praktek negara Madinah menunjukkan adanya kehidupan ‘Demokratis’
berdasarkan aturan wahyu Ilahi.35
Menurut K. H. Abdurrahman Wahid ,
landasan demokrasi adalah keadilan dalam arti terbukanya peluang
kepada semua orang dan berarti juga kemandirian untuk mengatur
hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Intinya demokrasi
menuntut adanya otonomi setiap individu. Akan tetapi demokrasi tidak
mengakui adanya kemutlakan, sebab dasarnya demokrasi merupakan proses
tawar-menawar dan negosiasi secara terus-menerus. Dengan demikian
demokrasi selalu menyisakan hal-hal yang masih bisa dinegosiasikan.
Dalam konteks ini K.H. Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa perjuangan
menegakkan demokrasi tidak bisa dilakukan sekali jadi, tapi butuh
waktu yang panjang dan kesabaran yang tinggi disamping juga
keseriusan.36
Melalui pendekatan sejarah
berkembangnya pemikiran demokrasi K.H. Abdurrahman Wahid pada waktu
terbentuknya forum demokrasi. Forum demokrasi terbentuk setelah
terjadinya peristiwa Tabloid Monitor dan didirikannya ICMI. Pada
bulan oktober 1990 terjadi sesuatu yang merupakan alamat buruk bahwa
telah terjadi peralihan serius dalam kebijakan rezim yang berkuasa
terhadap Islam. Hal ini berkaitan dengan Tabloid pop Monitor.
Tabloid ini mempunyai hubungan dengan harian Kompas
dan the Jakarta post
lewat penopang-penopangnya, yang merupakan orang-orang Cina Katolik.37
Munculnya ICMI dengan dukungan penuh Presiden Soeharto membuat
khawatir K.H. Abdurrahman Wahid dan yang lain-lainnya, seperti Djohan
Effendi, yang merasa bahwa Soeharto berencana menggunakan santri
konservatif untuk mendukungnya dalam usahanya agar terpilih kembali
sebagai Presiden. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merasa prihatin
bahwa dibentuknya perhimpunan kaum elit intelektual Islam ini akan
mendorong tumbuhnya sentimen sektarian dan dengan demikian akan
dimainkan oleh kaum konservatif.
K.H. Abdurrahman Wahid dan sejumlah
teman yang sepaham dengannya merasa prihatin dengan meningkatnya arus
sektarianisme atau aliran. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk
membentuk suatu organisasi untuk membela pluralisme dan demokrasi.
Pada awal 1991, empat puluh intelektual yang berasal dari berbagai
kelompok agama dan masyarakat di Indonesia mendirikan Forum
demokrasi. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih menjadi ketua
dan juru bicara forum ini. Ketenaran dan pengaruh Gus Dur akan
membuat organisasi baru ini mendapatkan kepercayaan publik. Forum
demokrasi didirikan untuk memberikan kekuatan pengimbang terhadap
lembaga-lembaga seperti ICMI yang mendorong tumbuhnya pemikiran
sektarian.38
Elaborasi demokrasi menurut K.H.
Abdurrahman Wahid berangkat dari paradigma kontekstualisasi pemikiran
Fiqh
dan Qawa>id Al-Fiqh.
K.H. Abdurrahman Wahid secara tegas dan siap memperlihatkan
perhatiannya yang tinggi terhadap perubahan dan persoalan-persoalan
masyarakat modern, termasuk masalah demokrasi dan hak asasi manusia.
K.H. Abdurrahman Wahid menerima terhadap gagasan demokrasi modern
dengan sendirinya legitimasi
secara Fiqh.39
Menurut Fachry Ali dan Bachtiar
Effendi, yang mengelompokkan pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sebagai
Neo-Modernisme.
Pola pemikirannya mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan
dalam pergaulan modernisme dan hal ini tidak harus dengan
menghilangkan tradisi Islam yang mapan. Dalil yang mendasari
pemikiran ini adalah :
المحافظة
على القد يم ا لصالح والاخذ بالجد يد
الاصلح40
Mengisi proses perubahan
pasca otoriterisme di Indonesia saat ini, salah satu agenda krusial
yang belum terselenggara adalah melakukan penataan ulang hubungan
sipil militer dalam kerangka demokrasi yakni membangun sebuah sistem
politik yang menempatkan posisi militer dalam kerangka demokrasi,
dengan meminjam Huntington (1957) sebagai militer profesional yang
dikontrol secara obyektif oleh supremasi sipil. Sebagaimana
pengalaman berbagai negara, gelombang demokratisasi ternyata juga
diikuti demilitereisasi. Biasanya, salah satu problem serius
negara-negara demokrasi baru itu adalah membendung kekuasaan dan
pengaruh politik militer, memposisikan militer tunduk pada
pemerintahan sipil demokratis, lalu mejadikan angkatan bersenjata
suatu badan profesional berkomitmen melindungi keamanan negeri.41
Strategi dalam
istilah militer menunjukkan pemanfaatan praktis atas semua sumber
daya yang tersedia yang dimiliki oleh suatu negeri untuk mecapai
tujuannya dengan cara militer. Jika terjadi pertentangan kepentingan,
pertentangan tersebut dapat diselesaikan dengan jalan damai, tetapi
jika pada pihak lain, kemungkinan untuk mencapai pemecahan yang
tersisa adalah tindakan militer tetapi banyak faktor yang ikut
mempengaruhinya secara langsung ataupun tidak langsung.42
Menilai
kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai komandan militer. Nabi Muhammad
SAW memiliki banyak sifat yang membuatnya disukai oleh setiap orang
yang berhubungan dengannya dan yang membuatnya menjadi pujaan para
pengikutnya. Beliau sangat ramah, sopan, rendah hati dan penyayang
dan menarik hati orang-orang sehingga mereka bersedia untuk
mengorbankan segalanya untuknya.43
Nabi Muhammad SAW selalu siap untuk mengadakan perdamaian kapan saja
diperlakukan, karena beliau tidak pernah menginginkan perang dengan
siapapun juga, melainkan harus melakukannya karena dipaksa oleh
musuhnya. Tujuan utamanya melakukan peperangan adalah untuk
menghapuskan agresi dan penindasan dan memulihkan perdamaian di muka
bumi. Qur’an menyebutkan prinsip ini dengan kata-kata berikut :
وا ن جنحوا
للسلم فا جنح لها وتوكل على ا لله ا نه
هوا لسميع ا لعليم.
وا
ن يريد وا ا ن يخدعوك فا ن حسبك ا لله هوا
لذي ا يد ك بنصره و با
لمؤمنين.44
Menurut
Huntington, pemberlakuan prinsip supremasi sipil identik dengan
kontrol yang efektif dari pihak sipil terhadap
militer dengan membuat militer sebagai lembaga yang profesional.45
karenanya, dari sekarang sebenarnya telah dituntut kesediaan bersama
untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang
hidup di negeri Indonesia. Perjuangan itu haruslah di mulai kesediaan
menumbuhkan moralitas baru dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas
yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah.46
F. Metode Penelitian
Untuk
mendapatkan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
maka dalam melacak data, menjelaskan, menyimpulkan obyek pembahasan
dalam skripsi ini penyusun
menempuh metode-metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian
dalam skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, library
research,
karena itu tehnik yang digunakan adalah pengumpulan data secara
literatur yaitu penggalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan
obyek bahasan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini
bersifat deskriptif-analitik,
yaitu dengan memaparkan pemikiran-pemikiran demokrasi dalam Islam
kajian terhadap K. H. Abdurrahman Wahid yang nantinya dilakukan
analisis dengan kerangka teori.
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini,adalah :
Pendekatan normatif (Agama)
Normatif adalah
prinsip-prinsip atau pedoman-pedoman yang menjadi petunjuk manusia
pada umumnya untuk hidup (bermasyarakat).47Pedekatan
ini penyusun gunakan untuk mendekati masalah dalam skripsi dengan
melihat Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kaidah-kaidah menguji
relevansi dan keabsahan Demokrasi dalam Islam serta pemikiran K. H.
Abdurrahman Wahid.
4. Pengumpulan Data
Mengingat jenis
penelitian ini adalah metode dokumentasi, yakni menelaah data primer
dan sekunder. Sedangkan tokoh yang dikaji masih hidup, maka tokoh
tersebut diposisikan sebagai sumber data primer. Namun sumber data
primer berupa tulisan beliau yang sudah dijadikan buku, yaitu karya
buku Tuhan
tidak perlu di bela Abdurrahman Wahid
dan Prisma
pemikiran Gus Dur
Buku ini merupakan kumpulan tulisan K. H Abdurrahman Wahid yang di
edit oleh Muhammad Sholeh Isre dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta.
Data sekundernya adalah buku-buku yang berkaitan dengan topik skripsi
dan sumber data lainnya baik berupa jurnal, majalah, surat kabar dan
lainnya.
5. Analisis Data
Analisis yang
digunakan dengan analisa kualitatif
dengan pemaparan secara deduktif,
yaitu metode yang bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum,
untuk kemudian diperoleh pengertian yang bersifat khusus.
G. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah, maka akan dibagi
menjadi lima bab, yang masing-masing bab saling erat kaitannya.
Bab pertama,
merupakan
pendahuluan yang menjadi landasan ide dasar lahirnya dari skripsi
ini. Dengan membaca bab pertama ini akan dapat diperoleh gambaran apa
sebenarnya yang melatar belakangi perlunya pembahasan mengenai
demokrasi dalam Islam kajian terhadap pemikiran K. H. Abdurrahman
Wahid serta signifikansinya terhadap khazanah keilmuan yang telah
ada. Dalam bab ini di paparkan mulai dari latar belakang masalah
sampai munculnya pokok permasalahan, Tujuan dan Kegunaan penelitian,
telaah pustaka, kerangka teoritik, pendekatan dan metode yang
digunakan dalam penelitian, serta sistematika pembahasan.
Selanjutnya Bab
kedua,
membahas tentang gambaran umum tentang demokrasi dalam sebuah
pemahaman yang meliputi : pengertian Demokrasi, sejarah
demokrasi, beberapa
konsep Demokrasi, serta relevansi demokrasi dengan Islam. Bab II akan
menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud demokrasi dan bagaimana
demokrasi di dalam Islam. Penjelasan ini penyusun anggap perlu sebab
untuk mengetahui apa sesungguhnya demokrasi. Setelah itu, perlu pula
dijelaskan bagaimana hubungan demokrasi dengan ajaran agama Islam.
Bab ketiga,
membahas tentang Biografi K. H. Abdurrahman Wahid meliputi :
Latar belakang keluarga, pendidikan, serta sosial-politik yang
mengitarinya dan pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang berkaitan
dengan demokrasi. Hal ini penyusun anggap penting, karena untuk
mengetahui secara komprehensif gagasan yang dilontarkan dan
diperjuangkan oleh K. H. Abdurrahman Wahid, penyusun terlebih dahulu
harus mengetahui bagaimana situasi dan kondisi lingkungan yang telah
membentuk dirinya. Dan mengetahui apa latar belakang pemikiran dan
gagasan yang dilontarkan tersebut secara global.
Selanjutnya Bab
keempat,
berisi tentang analisis terhadap pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid
tentang demokrasi yang meliputi : Aplikasi demokrasi menurut K. H.
Abdurrahman Wahid, K. H. Abdurrahman Wahid dan transisi demokrasi,.
K. H. Abdurrahman Wahid dan militer dan
demokratisasi.
Bab ini memperlihatkan
manuver politik tentang
demokrasi menurut pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid
tahun 1999-2003.
Bab terakhir
yaitu Bab
kelima,
sebagai bab penutup yang terdiri dari: kesimpulan dan saran-saran,
kemudian diakhiri dengan daftar pustaka, serta lampiran-lampiran.
Dalam uraian kesimpulan tersebut berisi tentang pokok pikiran sebagai
hasil refleksi panjang penyusun.
Didalam kesimpulan akan membandingkan pemikiran demokrasi K. H.
Abdurrahman Wahid dengan pemikiran tokoh Islam yang lain. Apakah
pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid identik dengan salah satu tokoh
Islam yang lain.
BAB II
GAMBARAN
UMUM TENTANG DEMOKRASI
A.Pengertian Demokrasi
Dalam arti harfiahnya, demokrasi (Inggris : Democracy) berasal
dari bahasa Yunani, yani demos artinya rakyat dan kratia
artinya pemerintahan. Dengan demikian demokrasi berarti pemerintahan
(oleh) rakyat.48
Prinsip terpenting demokrasi adalah kewarganegaraan
(citizenship). Ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan
sama dengan orang lain berkenaan dengan pilihan-pilihan bersama, dan
kewajiban pihak yang berwenang melaksanakan pilihan tersebut
untuk bertanggungjawab dan membuka akses terhadap seluruh rakyat.
Sebaliknya, prinsip ini juga membebankan kewajiban pada rakyat, untuk
menghormati keabsahan pilihan-pilihan yang bersama secara sengaja,
dan hak penguasa untuk bertindak dengan kewenangan, untuk mendorong
efektivitas pilihan-pilihan ini, serta untuk melindungi negara dari
ancaman-ancaman atas kelangsungannya.49
Secara faktual demokrasi telah menjadi semacam spirit radikal
yang bercakupan universal bagi individu dan sekelompok individu yang
bernaung dibawah institusi negara untuk terlibat dalam perdebatan dan
pergulatan publik dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan
universal yang terbentuknya tata sosial yang adil, egaliter
dan manusiawi.50
Sementara itu secara terminologis demokrasi sebagai berikut :
a. Menurut Josefh A. Schmeter, demokrasi merupakan
suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik
dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan
cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
b. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk
pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting
secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan
mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
c. Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn karl,
demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana
pemerintah dimintai tanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka di
wilayah publik warga negara, yang bertindak secara tidak langsung
melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah
terpilih.51
Secara teoritis, bahwa demokrasi sejak semula mempunyai dua
pengertian, yaitu : demokrasi dalam arti formil dan demokrasi
dalam arti materiil. Arti demokrasi secara materiil,
ialah bahwa inti dari demokrasi itu justru terletak dalam jaminan
yang diberikan terhadap hak-hak yang berdasar pada pengakuan
kemerdekaan tiap-tiap orang yang menjadi warga negara. Arti demokrasi
secara formil hanya sekedar mengandung pengakuan bahwa faktor
yang menentukan dalam negara ialah kehendak rakyat yang kemudian
menjadi sebagian besar dari rakyat (Volonto general : dari
Rousseau), akan tetapi dengan tidak ada sesuatu pembatasan
untuk menjamin kemerdekaan seseorang.
Pengertian demokrasi materiil yang kian lama memberikan
pengaruh dalam pengertian demokrasi hingga dewasa ini. walaupun
demokrasi dalam arti formil tidak ditinggalkan, namun
demokrasi dalam arti materiil di pandang sesuai dengan tujuan
demokrasi yang sebenar-benarnya.
Dalam peneterapannya, demokrasi itu direalisir dalam dua tahap, yaitu
: menyusun kekuasaan dan pelaksanaan kekuasaan. Pada tahap petama,
demokrasi itu mempunyai sifat langsung dan pada tahap kedua
sifatnya tidak langsung. Yang langsung, ialah adanya pemberian suara
oleh 80 rakyat dalam pemilihan umum, sedangkan yang tidak langsung
dalam penyusunan kekuasaan itu, ialah adanya keharusan tanggungjawab
pemerintah kepada perwakilan rakyat, dan dalam kerjasama diantara
kedua instansi itu mewujudkan dasar-dasar umum kebijaksanaan
pemerintah.52
Demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Definisi yang tepat sulit
dirumuskan karena demokrasi merupakan sebuah entitas dinamis
yang memiliki berbagai macam pengertian sepanjang waktu. Banyak dari
dinamika ini berasal dari perubahan dalam masyarakat dan berbagai
analis mengenai konsekuensi perubahan bagi demokrasi. Dengan
pembangunan masyarakat diberbagai tingkat dan melalui cara yang
berbeda-beda dewasa ini, tidaklah mengherankan bahwa makna demokrasi
masih menjadi bahan perdebatan.
Untuk keperluan analitis, perlu membangun sebuah konsep yang
memberikan identifikasi yang jelas mengenai apakah esensi dari
demokrasi. Inti dari demokrasi politik mempunyai tiga dimensi :
kompetisi, partisipasi, serta kebebasan
sipil dan politik. Ketika mengkaji status demokrasi disuatu negara,
langkah pertama yang harus diambil adalah melihat ketiga elemen
tersebut. Dalam konteks ini perlu diperhatikan salah satu indeks
demokrasi-misalnya, indeks Freedom House. Dalam rangka membuat
penafsiran demokrasi secara komprehensif, juga harus mengkaji suatu
negara secara cermat karena sistem demokrasi sangat bervariasi dalam
hal pola kelembagaan dan dalam dimensi lainnya. Kondisi sosial
ekonomi juga mempengaruhi kualitas demokrasi.53
B. Sejarah Demokrasi
Menurut catatan sejarah, di Yunani kuno pernah ada demokrasi, yang
lebih sering disebut demokrasi langsung. Sebab Yunani waktu itu hanya
sebuah negara kecil atau bahkan barangkali hanya sebuah kota kecil
(city state). Dalam logika sederhana, pelaksanaan demokrasi
dalam satu wilayah yang sekecil itu tentu merupakan sesuatu yang
mudah diterima akal.54
Kisah demokrasi modern dimulai 2500 tahun yang lalu dalam lingkungan
budaya sebuah bangsa kecil yang juga menjadi tempat kelahiran
filsafat sebagai ilmu serta salah satu pusat kreativitas seni
terbesar segala zaman, yakni bangsa Yunani. Tepatnya pada tahun 508
SM, seorang yang bernama Chleisthenes mengadakan beberapa pembaruan
dalam sistem pemerintahan kota Athena. Bentuk pemerintahan baru itu
kemudian dinamakan Demokratia ,” pemerintahan (oleh)
rakyat”,.
Asal-usul demokrasi sebagai sesuatu sistem politik dapat ditelusuri
sampai pada sekitar lima abad sebelum masehi, ketika orang-orang
Yunani membentuk Polis (Negara-Kota) mencoba menjawab
pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan agar
dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama masyarakat.55
Dua puluh tiga abad setelah eksperimen demokrasi di Athena, dunia
menyaksikan berbagai bentuk sistem politik yang tidak ada hubungannya
sama sekali dengan prinsip-prinsip demokrasi. Yang mendominasi
sejarah adalah monarchi, kesultanan dan negara-negara teokratik.
Sementara eksperimen demokrasi dapat dikatakan sudah tenggelam dalam
sejarah. Puncak peradaban di India, Cina, Timur Tengah semasa
kejayaan Islam dan kebangkitan Eropa tidak berhutang budi sedikitpun
pada konsep demokrasi.
Di zaman pertengahan (600-1400M), gagasan demokrasi Yunani boleh
dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi, yang
sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku
bangsa Eropa Barat. Dimana masyarakat abad pertengahan di dirikan
struktur sosial yang feodal, yang kehidupan sosial spiritualnya
dikuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama serta kehidupan
politiknya ditandai oleh adanya perebutan kekuasaan antara para
bangsawan satu sama lain. Akan tetapi dilihat dari sudut perkembangan
demokrasi abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen penting yaitu
Magna Charta (Piagam agung) pada tahun 1215M.
Selanjutnya pada akhir abad ke-15 dan abad ke-16 sebagai awal dari
zaman Renaissance.56)
Di Eropa muncul teori politik yang mulai mempertanyakan segi-segi
manusia dalam hubungan antara penguasa dan rakyat serta kedudukan
agama dalam masalah-masalah publik. Tokoh-tokoh pemikir seperti
Nicollo Mochiavelli (1469-1527) dari Italy dengan ide
sekulerismenya, Jean Bodin dari Prancis dan Thomas Hobbes
(1588-1679) dari Inggris dengan ide negara kontraknya, mulai menguak
dimensi-dimensi moralitas sekular dan hakekat hukum politik.
Pada abad pencerahan (Enlightment) di abad ke-17 dan ke-18
yang juga dikenal sebagai masa “Aufklarung” (1650-1800),
pemikiran-pemikiran demokratik mulai bermunculan lagi diatas
permukaan. John Locke (1632) dengan idenya tentang konstitusi negara
dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
lembaga federal. Ide ini selanjutnya disempurnakan oleh Baron De
Motesduieu (1689-1755) dengan idenya tentang pemisahan kekusaan
menjadi lembaga legislatif, eksekutif dan Yudikatif. Di tambah dengan
ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrol sosial yang
diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
Sebagai kelanjutannya, pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai
demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem
politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan
mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak
(the equal of rights) serta hak pilih untuk semua warga
negara.57
C. Beberapa Konsep Demokrasi
Diantara sekian banyak aliran yang menamakan demokrasi, penyusun
akan menjelaskan tiga macam demokrasi, yaitu dua kelompok aliran
demokrasi yang terkenal di dunia dan satu demokrasi perwakilan di
Indonesia, yakni demokrasi Liberal atau konstitusional, demokrasi
kerakyatan atau Sosialis yang pada hakekatnya mendasarkan dirinya
atas komunisme, dan demokrasi pancasila.
1. Demokrasi Liberal
Demokrasi ini sering juga disebut dengan demokrasi konstitusional,
yaitu demokrasi yang berdasarkan pada kebebasan atau individualistis.
Ciri khas demokrasi ini adalah bahwa pemerintahannya terbatas
kekuasaanya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap
warga negaranya. Cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan
pemerintah tersebut ialah melalui suatu konstitusi. Dimana konstitusi
tersebut menjamin hak-hak warga negaranya dan menyelenggarakan
kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif di
imbangi oleh kekuasaan legislatif (parlemen) dan kekuasaan
Yudikatif (lembaga hukum Yudikatif).58
Perkembangan pemikiran mengenai demokrasi liberal telah dirangkum
oleh C. B. Mac Pherson dalam tiga model :
- Demokrasi Protektif.
- Demokrasi pembangunan.
- Demokrasi ekuilibrium (keseimbangan). 59
Dari ketiga model demokrasi diatas tidak dibahas secara rinci, namun
akan membahas tentang pemikiran pendapat demokrasi liberal, yang
bertujuan untuk mengetahui beberapa isu penting yang muncul dalam
berbagai panggung pemikiran mengenai demokrasi.
Ciri-ciri demokrasi liberal menurut M. Carter dan John Herz adalah
bahwa demokrasi ditandai secara konstitusional pembahasan-pembahasan
terhadap tindakan pemerintah untuk memberi perlindungan bagi individu
dan kelompok dengan menyusun penggantian pemimpin secara berkala,
tertib, damai dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif.
Dalam hal sikap, demokrasi liberal memerlukan toleransi terhadap
pendapat yang berlawanan, keluwesan serta kesediaan untuk
bereksperimen.
Henry B. Mayo menyebutkan bahwa demokrasi adalah dimana kebijakan
umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi
secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik. Disamping itu, menurutnya
demokrasi itu tidak hanya merupakan suatu bentuk negara ataupun
sistem pemerintahan, tetapi merupakam suatu gaya hidup serta tata
masyarakat tertentu yang mengandung unsur-unsur moril sehingga dapat
dikatakan bahwa demokrasi didasarkan oleh beberapa nilai.60
2. Demokrasi komunisme
Istilah komunisme mulai populer dipergunakan setelah revolusi tahun
1830 di Prancis. Revolusi menghendaki pemerintahan parlementer dengan
menghapuskan raja, tetapi hasilnya adalah penghapusan republik dan
naiknya Louis Philippe sebagai raja. Sebagai akibatnya
muncullah perkumpulan-perkumpulan revolusioner rahasia di Paris pada
tahun-tahun tiga puluhan itu, terutama ditahun empat puluhan. Tidak
dapat dikatakan dengan pasti bila sebenarnya istilah komunisme itu
muncul, tetapi istilah ini dipergunakan terhadap
perkumpulan-perkumpulan serta paham-paham yang dianutnya.
Istilah komunisme tadi dari mulanya mengandung dua pengertian.
Pertama, ada hubungannya dengan komune (commune),
satuan dasar bagi wilayah negara yang berpemerintahan sendiri, dengan
negara itu sendiri sebagai federasi dari komune-komune itu. kedua,
dari istilah komunisme, ia menunjukkan milik atau kepunyaan bersama.
Pengertian kedua inilah yang dipergunakan oleh Cabet dan
pengikut-pengikutnya. Pengertian pertama lebih erat hubungannya
dengan serikat-serikat rahasia dan serikat-serikat yang hidup
terbuang, seperti perkumpulan liga komunis (1847) dikalangan
orang-orang Jerman yang hidup dalam buangan diluar negeri (Paris);
Manifesto Komunis merupakan garis pedoman liga itu.61
Tipe dari demokrasi Komunisme ini yakni demokrasi Proletar, Marxis
Komunisme atau demokrasi Sovyet. Tokoh dari aliran ini antara lain :
Robert Awen (1771-1858) dari Inggris, Saint Simon (1760-1825),
Faurier (1772-1837) di Perancis dan yang terpenting adalah Karl Marx
(1825-1883). Masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx adalah
masyarakat komunis yaitu masyarakat yang tidak ada kelas sosial
dimana manusia dibebaskan dari keterikatan kepada milik pribadi dan
tidak ada eksploitasi, penindasan dan pakasaan. Ironisnya untuk
mencapai masyarakat yang bebas dari paksaan itu perlu melalui jalan
paksaan serta kekuataan yaitu perebutan kekuasaan oleh kaum buruh
dari tangan Borjuis (pemilik modal).62
3. Demokrasi pancasila
Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 adalah Demokrasi Pancasila, sebab Undang-Undang Dasar
1945 merupakan penjabaran dan perwujudan dari pancasila sebagai dasar
falsafah negara. Istilah Demokrasi Pancasila secara formal pertama
kali tertuang dalam TAP MPRS. NO. XXXVII/MPRS/1968 yaitu ketetapan
tentang pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila.
Maksud dari pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila, didalamnya
berisi pedoman, tata cara bermusyawarah dan cara pengambilan
keputusan berdasarkan mufakat dan atau berdasar suara terbanyak, jadi
belum menggambarkan pengertian yang utuh, bulat tentang sistem
pemerintahan berdasar Demokrasi Pancasila, atau hakikat Demokrasi
Pancasila itu sendiri.
Demokrasi Pancasila adalah Demokrasi yang bersumber pada falsafah
hidup bangsa Indonesia Pancasila, yang perwujudannya seperti
tercantum dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Jadi yang membedakan Demokrasi di Indonesia dengan Demokrasi
dinegara-negara lain adalah predikat “Pancasila”, yang dijadikan
landasan, dasar dalam mengembangkan kehidupan Demokrasi dalam
kehidupan bangsa dan negara Indonesia.63
Demokrasi sebagai suatu cara hidup yang baik antara lain meliputi
hal-hal sebagai berikut :
Pertama: Segala pendapat atau perbedaan pendapat mengenai
masalah kenegaraan dan lain-lain yang menyangkut kehidupan negara dan
masyarakat diselesaikan lewat lembaga-lembaga negara. Cara hidup ini
akan mengantarkan dan merupakan suatu kebiasaan menyelesaikan
perselisihan melalui lembaga itu sehingga masalah itu dapat
diselesaikan dengan tertib dan teratur.
Kedua, Diskusi. Sebagai suatu negara Demokrasi, dimana rakyat
di ikutsertakan dalam masalah negara, maka pertukaran pikiran yang
bebas demi terselenggaranya kepentingan rakyat, maka diskusi harus
dibuka seluas-luasnya. Diskusi dapat berbentuk polemik didalam media
massa, seprti surat kabar dan lain-lain. Di dalam diskusi atau
musyawarah sebagai landasan kehidupan bangsa dan negara, demokrasi
harus diberi saluran. Dalam hal ini semangat musyawarah, baik dalam
lembaga-lembaga perwakilan maupun dalam wadah-wadah lainnya, seperti
media massa sudah sewajarnya dibina terus-menerus.64
Penyelenggaraan ide tentang Demokrasi Pancasila yang perumusannya
dapat dikembalikan terutama kepada sila ke-4 mempunyai kaitan
langsung kepada sila lainnya, yang merupakan perwujudan pelaksanaan
dan penghayatan pancasila dan hidup bangsa Indonesia.
Demi mencapai tujuan dan memperkembangkan usaha-usaha kearah
kesejahteraan nasional serta memperkukuh ketahanan nasional bagi
seluruh bangsa, maka pancasila dalam segala manifestasinya perlu
diamalkan dan diamankan oleh segala lapisan masyarakat Indonesia,
satu dan lain menghendaki tindak-tanduk manusia Indonesia yang
berdasarkan moral pancasila yang tangguh dan kuat.65)
D. Relevansi Demokrasi Dengan Islam
Perbincangan agama dalam kontek demokrasi, sering kali berhadapan
dengan persoalan yang bersifat empirik. Masalahnya, bukan karena pada
basis empiriknya, agama dan demokrasi terdapat perbedaan. Agama
berasal dari wahyu, sementara demokrasi berasal dari pergumulan
pemikiran filosofis manusia.
Persoalannya kemudian adalah kesulitan mencari bukti-bukti historis,
misalnya dalam kehidupan politik, yang secara eksplisit mampu
menjelaskan adanya hubungan simbiosis-mutualisme antara agama
dan demokrasi. Meskipun antara keduanya dikatakan
mempunyai basis empirik yang berbeda, tapi hal itu bukan merupakan
persoalan yang bersifat mendasar untuk mempertemukan antara agama dan
Demokrasi. Dalam kaitan yang bersifat dialektis, agama memberi
dukungan yang positif terhadap demokrasi, sebaliknya, demokrasi
memberikan peluang bagi proses pendewasaan kehidupan beragama.
Setiap agama pada dasarnya mengandung konsep kemanusiaan sebagai
cermin atas pengakuan secara apresiatif dan konstruktif terhadap
manusia. Misalnya saja agama Islam. Salah satu tema pokok dalam Islam
adalah masalah kemanusiaan, disamping persoalan yang bersifat
teologis dan kosmologis. Dalam Al-Qur’an sebagai
sumber autentik ajaran Islam, terdapat nuktah-nuktah
kemanusiaan yang apresiatif dan konstruktif. Dilihat dari tataran
etis-teologis demikian inilah Islam sesungguhnya merupakan
agama yang mendukung pelaksanaan demokrasi. Dalam Al-Qur’an, tidak
saja terkandung nilai etik demokratis, tapi juga nilai Instrumental
dengan mana nilai-nilai etik demokrasi dapat diaktualisasikan.66
Sebenarnya Islam lebih dulu mencanangkan sendi-sendi bangunan
substansi Demokrasi. Tapi rinciannya diserahkan kepada Ijtihad
orang-orang Muslim, sesuai dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan
dunianya, perkembangan hidupnya menurut pertimbangan tempat dan waktu
serta trend kehidupan manusia.67
Dewasa ini kaum Muslim mulai sadar untuk melakukan gerakan
kebangkitan dalam agama setelah sebelumnya mengalami kelemahan dalam
kurun waktu lama. Perasaan ini muncul ketika mereka menyadari
posisinya dalam skala global dan membandingkan kondisi mereka dewasa
ini dengan kejayaan di masa lalu, dan realitas sosial mereka dengan
idealitas agama. Sejak kesadaran ini tumbuh, kaum Muslimin mengetahui
betul kelemahan kondisi mereka dan berupaya segera bangkit menuju
kondisi yang lebih baik.
Kaum Muslim dihadapkan pada serangan budaya Barat yang mereka ketahui
lewat ekspansi kolonial dan media massa modern. Akibatnya, tampaklah
kelemahan budaya, ekonomi, dan politik dalam menghadapi kekuatan dan
dominasi kolonial. Semula, serangan itu mendorong mereka untuk
melakukan perlawanan dengan kekuatan lemah sehingga menimbulkan
fenomena kesadaran dan Revolusi Islam sejak abad lalu. Kemudian,
mereka mewarisi pasang surut kehancuran. Jawaban mereka atas serangan
itu mengalami kematangan setelah pertengahan abad ini. saat ini,
mereka berusaha menyelamatkan jati diri dan eksistensi mereka dengan
kembali kepada keaslian Islam dan mendorong mereka untuk mengejar
Eropa serta menandinginya dalam bentuk kemajuan peradaban secara
menyeluruh.68)
Diantara kelebihan sistem Demokrasi yang pernah diperjuangkan secara
mati-matian dalam menghadapi para tiran, ialah menuntut kebeberapa
bentuk dan sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya
sistem yang memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan
tangan para tiran, sekalipun sistem ini tidak lepas dari cacat dan
kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tidak lepas dari
kekurangan.69
Prinsip kekuasaan rakyat yang merupakan fondasi demokrasi, tidaklah
bertentangan dengan prinsip kekuasaan Allah yang merupakan fondasi
legislasi Islami. Tapi memang bertentangan dengan prinsip kekuasaan
individu yang merupakan dasar pemerintahan diktator.
Bukanlah suatu keharusan bagi para pendukung Demokrasi untuk menolak
kekuasaan Allah atas manusia. Kebanyakan pendukung Demokrasi tidak
pernah berpikir tentang ini perhatian mereka hanya tertuju untuk
menolak kekuasaan atau pemerintahan diktator yang sewenag-wenang yang
di praktekkan oleh para tiran yang angkuh dan sombong.
Kekuasaan Allah terhadap makhluk adalah suatu yang permanen.
Kekuasaan itu ada dua macam :
- Kekuasaan kauni kodrati, artinya hanya Allah-lah satu-satunya yang berwenang dijagat raya ini. Dia-lah yang mengutus alam semesta dengan Sunnah-nya yang tidak berubah, yang diketahui dan yang tidak diketahui. Hal ini seperti yang ternukil dalam al-Qur’an :
اولم يروا ا نا نأ تى ا لارض
ننقصها من ا طرا فها وا لله يحكم لامعقب
لحكمه وهوسريع ا لحسا ب.70
Dalam ayat ini dipahami bahwa yang
dimaksud dengan hukum Allah adalah ketetapan-Nya yang mengatur jagat
raya, bukan Syari’at atau legislasi.
- kekuasaan syari’ah, yaitu kekuasaan untuk memberikan tugas, memerintah, melarang, membebankan kewajiban dengan paksa dan dengan pilihan. Untuk itu Allah mengutus berbagai Rasul, menurunkan beberapa kitab, membuat berbagai peraturan, menggariskan berbagai tugas, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.71
Demokrasi ditegakkan berdasarkan pendapat mayoritas, dan mayoritas
inilah yang berhak menunjuk pemimpin, menata berbagai persoalan,
mendukung salah satu dari beberapa hal yang berbeda. Dalam sistem
Demokrasi, pemilihan dan pemungutan suara merupakan suatu hal yang
menentukan.
Di dalam Islam tidak bisa mendukung suatu pendapat hanya karena
pendapat itu didukung oleh mayoritas. Tapi Islam melihat kepada
pendapat itu sendiri. Apakah benar atau salah. Bila pendapat itu
benar, maka diterima dan dilaksanakan, walaupun hanya didukung oleh
satu suara, atau tidak yang mendukungnya sama sekali.
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN DEMOKRASI
K. H. ABDURRAHMAN WAHID
A. Biografi K. H. Abdurrahman Wahid
1. Latar belakang keluarga
Abdurrahman
"Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal,
"Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama
yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis
Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di
Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan
diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih
dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan
kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti
"abang" atau "mas".
Gus
Dur atau Abdurrahman wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara
yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus
1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru".72Ayah
Gus Dur, Wahid Hasyim, Di lahirkan di Tebu Ireng, Jombang pada bulan
Juni 1914. Ia adalah putra pertama dan anak kelima dari sepuluh
bersaudara.73
Menurut Gus Dur, pada akhir tahun 1930-an, Wahid
Hasyim dianggap sebagai salah seorang perjaka di Jombang yang paling
diminati. Sebagai seorang rupawan dan cerdas, ia menerima banyak
tawaran perkawinan dari keluarga-keluarga terkemuka selama beberapa
tahun ia menolak semua tawaran ini. Tetapi pada suatu hari pada tahun
1930, Wahid Hasyim, yang ketika itu berusia 29 tahun, menghadiri
upacara perkawinan seorang sanak saudaranya. Disana perhatiannya
tercuri oleh seorang gadis muda berpakaian kerja biasa yang sedang
membawa seember air untuk mencuci piring di dapur, jauh di bilik
suasana pesta di depan. Ia, Sholichah, puteri K. H. Bisri Syansuri.
Keesokan harinya ia menemui K. H. Bisri Syansuri dan melamar
Sholichah. Dengan senang hati K. H. Bisri Syansuri menerima
lamaran itu dan tahun itupun Wahid Hasyim mengawini Sholichah.74
Bahwa Wahid Hasyim adalah orang yang mempunyai rasa cinta terhadap
masyarakatnya, namun demikian ia sering merasa putus asa melihat
cupetnya pikiran yang mengekang masyarakatnya ini. Wahid Hasyim yang
pernah punya jabatan sebagai menteri Agama, ia merasa terganggu oleh
sikap tergantung dan manja oleh sikap kementriannya. Namun demikian,
Wahid Hasyim selalu cenderung tidak mau terganggu oleh apa saja yang
tidak dapat dikembalikannya. Pada tahun 1952, setelah bertahan selama
lima kabinet, Wahid Hasyim kehilangan jabatan ini dalam salah satu
pergantian menteri yang sering terjadi dalam periodenya ini. Sebagai
menteri, ia akhirnya bertanggungjawab untuk mengorganisasi perjalanan
Naik Haji di Indonesia sehingga beberapa ribu calon jamaah Haji tidak
dapat pergi ke Makkah. Kemunduran ini menimbulkan mosi tidak percaya
DPR terhadap Wahid Hasyim dan pada umumnya tak ada gunanya untuk
mencoba meningkatkan reputasinya. Maka Wahid Hasyim pun dengan senang
hati melepaskan jabatannya.
Pada hari sabtu tanggal 18 April 1953, Gus Dur
bepergian menemani Ayahnya untuk suatu pertemuan NU di Sumedang,
yang dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu beberapa jam saja dan
terletak disebelah tenggara Jakarta. Dijalan menuju kota Bandung yang
berliku-liku melalui pegunungan berapi dan menjadi punggung pulau
Jawa. Ketika perjalanan berada antara Cimahi dan Bandung, Wahid
Hasyim dan Gus Dur bersama dengan Argo Sutjipto, seorang penerbit
yang merupakan sahabatnya, terjadi kecelakaan sekitar pukul 01.00
siang tetapi mobil ambulan dari Bandung baru tiba ditempat kejadian
sekitar pukul 04.00 sore. Pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya,
Wahid Hasyim tak lagi dapat bertahan dan meninggal dunia. Beberapa
jam kemudian Argo juga meninggal dunia. Wahid Hasyim, yang merupakan
harapan banyak orang di Indonesia, telah menghembuskan nafas
terakhir, ia berusia 38 tahun. Gus Dur baru berusia 12 tahun.75
Kakek K. H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari pihak ayahnya adalah
K. H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan
pendiri pesantren Tebuireng Jombang. K. H. Hasyim Asy'ari dilahirkan
di Jombang pada bulan Februari 1871 dan wafat di Jombang pada Juli
1947. Ia adalah salah seorang yang mendirikan NU pada tahun 1926 dan
sangat dihormati sebagai seorang pemimpin Islam dalam masyarakat
pedesaan yang tradisional. Ia juga dikenal sebagai seorang guru yang
banyak mamberi inspirasi serta seorang terpelajar. Namun, ia juga
seorang nasionalis yang teguh pendirian. Banyak dari teman-temannya
merupakan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis pada periode
sebelum perang.
Keluarga K. H. Hasyim Asy'ari dengan bangga menyatakan bahwa mereka
keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa di Jawa pada abad XVI dan
terkenal sebagai salah seorang Raja terakhir kerajaan Hindu-Buddha
yang besar di Jawa, kerajaan Majapahit. Lebih penting lagi, tokoh
legendaris Jaka Tingkir, putera Brawijaya VI, dianggap sebagai orang
yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau
Jawa, sedangkan puteranya, pangeran Banawa, dikenang sebagai orang
pertama yang meninggalkan kerajaan untuk mengajar sufisme. Silsilah
ini dianggap sebagai hal yang sangat baik dalam masyarakat
tradisional Jawa.
Setelah belajar di Makkah selama tujuh tahun,
Hasyim Asy'ari kembali ke Jombang dengan tujuan untuk mendirikan
pesantren sendiri. Ia pun memilih desa Tebuireng, yang saat itu tak
begitu jauh dari kota Jombang, tetapi pada akhirnya tertelan oleh
kota ini. K. H. Hasyim Asy'ari tetap memilih Tebuireng, walaupun
teman-temanya menasehatinya untuk tidak memilih desa itu, yang saat
itu penuh dengan rumah pelacuran dan tempat-tempat yang ramai
dikunjungi penduduk setempat yang beroleh cukup uang dari pabrik gula
setempat. Argumentasinya, sebuah pesantren harus memainkan peran
dalam mengubah masyarakat sekelilingnya. pesantren K. H. Hasyim
Asy'ari dibuka pada tahun1899 dan segera terkenal sebagai pusat
belajar. K. H. Hasyim Asy'ari memperkenalkan sejumlah pembaharuan
terhadap pengajaran di Pesantren, suatu hal yang kemudian ditiru
secara luas oleh pesantren-pesantren lainnya.76
Lalu kakek Gus Dur dari pihak Ibu, Kiai Bisri
Syansuri. Kiai Bisri Syansuri dilahirkan pada bulan september 1816 di
daerah pesisir sebelah utara Jawa Tengah, sebuah daerah yang
mempunyai banyak pesantren. Bersama dengan Hasyim Asy'ari, ia
dianggap sebagai salah seorang tokoh kunci bagi didirikannya NU. Pada
tahun 1917, ia memperkenalkan pada dunia pesantren, kelas pertama
bagi santri puteri di Pesantrennya yang baru di dirikan di Desa
Denanyar, yang terletak diluar Jombang. Bisri Syansuri mengambil
sebidang tanah yang luas, dan benar-benar tandus. Setelah beberapa
lama tanah itu berubah menjadi komunitas yang makmur dalam
pengembangan pertanian, pembelajaran, dan keruhanian. Bisri Syansuri
telah membuktikan dirinya bukan sekedar seorang ahli fiqh, atau
Yurisprudensi Islam, dan seorang administratur pendidikan yang
berbakat, melainkan juga seorang ahli pertanian yang cakap.
Pesantrennya di Denanyar terkenal oleh karena pendekatan yang teratur
dan berdisiplin terhadap keilmuan dan kehidupan bersama.77
Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari ulama' NU, yaitu K. H.
Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan K. H.
Bisri Syansuri merupakan tokoh NU, yang pernah menjadi Rais 'aam
PBNU, dan sekaligus dua tokoh tersebut sebagai tokoh bangsa
Indonesia.
2. Latar belakang pendidikan
Pada tahun 1949, ketika clash
dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai
Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke
Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu,
yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang
sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika
ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman
tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak
langsung, Abdurrahman
Wahid alias Gus Dur juga mulai
berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya
yang sering mangkal di rumahnya. 78
Walaupun Ayahnya seorang menteri dan terkenal di
kalangan pemerintahan Jakarta, Gus Dur tidak pernah bersekolah di
sekolah-sekolah elit yang biasanya dimasuki oleh anak-anak pejabat
pemerintah. Ayahnya pernah menawarinya untuk masuk ke sekolah elit,
tetapi Gus Dur lebih menyukai sekolah-sekolah biasa. Katanya,
sekolah-sekolah elit membuatnya tidak betah. Gus Dur memulai
pendidikan sekolah dasarnya di sekolah dasar KRIS di Jakarta pusat.
Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di kelas empat di
sekolah ini tetapi kemudian ia pindah ke sekolah dasar Matraman
Perwari, yang terletak dekat dengan rumah keluarga mereka yang baru
di Matraman, Jakarta Pusat.79
Dalam waktu yang pendek, Gus Dur tidak terlihat sebagai siswa yang
cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah ia menamatkan sekolah
dasar dan mulai sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP), ia terpaksa
mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian. Kegagalan ini jelas
disebabkan oleh seringnya ia menonton pertandingan sepak bola
sehingga ia tak mempunyai cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan
rumah.
Pada tahun 1954, sementara sang Ibu berjuang sendirian untuk
membesarkan enam anak, sedangkan Gus Dur sendiri kurang berhasil
dalam pelajaran sekolahnya, ia dikirim ke Yogyakarta untuk
melanjutkan pelajarannya di SMEP. Ketika di kota ini, ia berdiam di
rumah salah seorang teman Ayahnya, Kia Haji Junaidi. Yang menarik
adalah bahwa Kiai Junaidi adalah salah seorang sejumlah kecil ulama'
yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah pada periode itu. Ia anggota
Majlis Tarjih atau Dewan Penasehat Agama Muhammadiyah.
Hal ini mungkin biasa-biasa saja, tetapi saat itu,
dan bahkan dalam beberapa dasawarasa kemudian, secara relatif hampir
tidak terdapat pertautan antara kaum modernis Muhammadiyah dan kaum
tradisional NU. Sebagaimana NU dulu dan sekarang, merupakan
organisasi Ulama' yang mewakili Islam tradisional di Indonesia,
hampir semua kaum Modernis tergabung dalam Muhammadiyah.80
Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur maka diaturlah agar ia dapat
pergi kepesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali seminggu.
Pesantren ini terletak diluar sedikit Kota Yogyakarta. Disini ia
belajar bahasa Arab dengan Kiai Haji Ali Maksum. Ketika tamat sekolah
menengah ekonomi pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus
Dur mulai mengikuti pelajaran di Pesantren secara penuh. Ia bergabung
dengan pesantren di Tegal Rejo Magelang, yang terletak disebelah
utara Yogyakarta, ia tinggal disini hingga pertengahan 1959. disini
ia belajar pada Kiai Khudhori, yang merupakan salah satu dari pemuka
NU. Pada saat yang sama ia juga belajar paro waktu di Pesantren
Denanyar di Jombang dibawah bimbingan Kakeknya dari pihak Ibu, Kia
Bisri Syansuri.
Pada tahun 1959 ia pindah ke Jombang untuk belajar
secara penuh di Pesantren Tambakberas dibawah bimbingan Kiai Wahab
Chasbullah. Ia belajar disini hingga tahun 1963 dan selama kurun
waktu itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri Syansuri secara
teratur. Selama tahun pertamanya di Tambakberas, ia mendapat dorongan
untuk mulai mengajar. Ia kemudian mengajar di Madrasah modern yang
didirikan dalam komplek pesantren dan juga menjadi kepala sekolahnya.
Selama masa ini ia tetap berkunjung ke Krapyak secara teratur. Disini
ia tinggal di rumah Kiai Ali Maksum. Pada masa inilah sejak akhir
tahun 1950-an hingga 1963 Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi
formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.81
Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo
untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Namun sebagian besar waktunya
di Mesir dihabiskan di ruang perpustakaan, terutama American
University Library, sebuah perpustakaan
terlengkap di kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Bagdhad
mengambil fakultas sastra.82
Tidak terlalu jelas, apakah Abdurrahman Wahid menyelesaikan
pendidikannya dan memperoleh gelar kesarjanaannya di Bagdhad. Karena
sebagain orang menganggapnya selesai dan memperoleh gelar LC. Namun
sebagain yang lain menyatakan "tidak memperoleh gelar" atau
"tidak selesai". Namun yang pasti, usai di Bagdhad,
Abdurrahman Wahid ingin menguyam dunia pendidikan liberal Eropa.
Pada tahun1971, ia menjajaki salah satu di Universitas Eropa untuk
melanjutkan pendidikannya disana. Akan tetapi, harapannya tidak
kesampaian karena kualifikasi- kualifikasi mahasiswa dari Timur
Tengah tidak diakui Universitas-Universitas di Eropa. Selanjutnya,
yang memotivasi Abdurrahman Wahid untuk pergi ke MC Gill University
Kanada untuk mempelajari kajian-kajian ke Islaman secara mendalam.
Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah
terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
Sekembalinya di Indonesia, ia kembali ke
habitatnya semula yakni dunia pesantren. Dari tahun 1972 hingga 1974,
ia di percaya menjadi dosen disamping Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Hasyim Asy'ari Jombang. Kemudian tahun 1974 sampai 1980
oleh pamannya, K. H. Yusuf Hasyim, di beri amanat untuk menjadi
sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Selama periode ini ia
secara teratur mulai terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat
Katib awal Syuriah PBNU sejak tahun 1979.83
3. Latar belakang sosial dan politik
Dengan latar belakang pendidikan, pergaulan dan
perkenalannya dengan dunia keilmuan yang cukup kosmopolit itu,
Abdurrahman Wahid mulai muncul ke permukaan percaturan intelektual
Indonesia dengan pemikran-pemikian briliannya pada tahun 1970-an,
ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial, LSM dan forum-forum
diskusi.84
Menurut sementara sumber, sikap Abdurrahman Wahid itu sempat
ditangkap oleh para aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) di
Jakarta, utamanya yang bergabung di LP3ES (Lembaga Penelitian
Penerangan dan Pendidikan Ekonomi dan Sosial). Salah satu yang
tanggap terhadap fenomena Abdurrahman Wahid pada saat itu adalah
Dawam Raharjo. Oleh sebab itu, kemudian ia berusaha menghadirkan
Abdurrahman Wahid di Jakarta dan menjadikannya sebagai salah seorang
fungsionaris di LP3ES. Mulai saat itulah Abdurrahman Wahid tinggal di
Jakarta dan bekerja di LP3ES dan bergaul luas dengan para aktivis
LSM, baik dari Jakarta maupun dari luar negeri.
LP3ES juga menarik bagi Gus Dur karena lembaga ini menunjukkan minat
yang besar terhadap dunia pesantren dan mencoba untuk
menggabungkannya dengan pengembangan masyarakat. Masih di ingat oleh
Gus Dur betapa ia merasa terdorong oleh rasa hormat dan pengakuan
yang dalam yang di tunjukkan oleh pimpinan lembaga ini terhadap apa
yng dapat di sumbangkan pada organisasi ini.
Kepada LP3ES di berikan oleh Gus Dur pemahaman
mengenai dunia pesantren dan Islam tradisional, dan dari lembaga ini
ia belajar mengenai aspek-aspek praktis dan kritis mengenai
pengembangan masyarakat. Kombinasi ini benar-benar cocok baginya.85
Pada tahun 1977 ia di dekati dan di tawari jabatan Dekan Fakultas
Ushuluddin pada Universitas Hasyim Asy'ari di Jombang. Dengan gembira
ia menerima tawaran ini. Universitas Islam ini diberi nama kakek Gus
Dur dan di dirikan oleh suatu konsorsium pesantren untuk memberikan
pendidikan tingkat Universitas kepada lulusan Pesantren.86
Pada tahun 1979 Gus Dur mulai banyak terlibat dalam kepemimpinan NU,
yaitu di Syuriah NU. Namun kegiatan di dunia pesantren tidak di
tinggalkan, dengan mengasuh pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan.
Sebagai konsekwensi kepindahannya di Jakarta dan kiprahnya di dunia
LSM sejak akhir tahun 1970-an, seperti sudah di singgung, dia mulai
berkenalan dengan tokoh-tokoh maupun kelompok dengan latar belakang
berbeda-beda, dan terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas
sosial. Sejak saat itu juga, ia banyak mengadakan
kontak secara teratur dengan kaum intelektual muda progresif dan
pembaharu seperti Nurcholis Madjid dan Djohan Effendy melalui forum
akademik maupun lingkaran kelompok studi. Kemudian dari tahun
1980-1990 berkhidmat di MUI (Majelis Ulama' Indonesia). Dan,
sementara itu, dia juga memasuki pergaulan yang lebih luas.
Pada tahun 1982-1985 Abdurrahman Wahid masuk
sebagai ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), bergaul akrab dengan para
pendeta bahkan sampai pada aktivitas semacam pelatihan bulanan
kependetaan protestan, menjadi ketua dewan juri Festival Film
Nasional di tahun 70-an dan 80-an, banyak mendapat kritik dari
kalangan Ulama', baik Ulama' NU maupun yang lainnya.87
Demikianlah latar belakang kehidupan Abdurrahman
Wahid diatas perlu diketahui dalam rangka untuk mencoba menyimak dan
melihat backgruond
pemikirannya. Nampaknya dia adalah produk dari kombinasi kualitas
personal yang khas hidupnya yang diserap dari lingkungan keluarga,
pendidikan, sosial dan politik yang dilalui sejak masa kanak-kanak.
Dengan memahami sosialisasi yang dilalui dalam hidupnya itu, maka
dari itu, bahwa dia tidak hanya dibesarkan dan berkenalan dengan satu
dunia keislaman tradisional-meskipun dari segi nasab
dan waktu belajar formal, tradisi ini yang paling dominan-tetapi
sebenarnya lebih dari itu, dia adalah produk pengalaman hidup yang
amat kaya dengan berbagai persentuhan nilai-nilai kultural yang
kemudian secara dialektis mempunyai pemikirannya.
B. Pemikiran Demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid
1. Contoh Pemikirannya
K. H. Abdurrahman Wahid adalah salah seorang intelektual Indonesia
yang menonjol dan sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih dari 15
tahun menjabat ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama' (PBNU),
organisasi kaum tradisionalis, ini sering menghiasi halaman-halaman
koran. Diluar pemerintah dan figur militer hal ini sangat sulit di
bayangkan. Selama tahun-tahun kepemimpinan itu popularitasnya
mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan dengan manuver
politiknya dan juga-yang tidak boleh dilupakan-tingkat pemahaman
terhadap manuvernya. Dalam beberapa tahun terakhir K. H. Abdurrahman
Wahid menjadi semakin kontroversial, ketika dia berusaha melerai
pihak-pihak yang terlibat kekerasan, juga ketika dia berusaha
menyeberangi badai dan gelombang besar pada akhir pemerintahan
Soeharto dan era Indonesia pasca Soeharto. Kendati demikian K. H.
Abdurrahman Wahid tetap dan bahkan semakin populer, sebagai figur
kharismatik dan tokoh yang selalu memberi cinta bahkan pada orang
yang mengkritiknya atau para penentangnya.
Salah satu aspek yang paling bisa di pahami dari K. H. Abdurrahman
Wahid adalah bahwa ia adalah penyeru pluralisme dan toleransi,
pembela kelompok minoritas, khususnya China Indonesia, juga penganut
kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak di untungkan pada masa
pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan terakhir ini. Dengan
kata lain, K. H. Abdurrahman Wahid dipahami sebagai Muslim
non-Chauvinis,
sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa
Indonesia itu beragam. Yang secara luas tidak atau tepatnya kurang
diapresiasi adalah bahwa K. H. Abdurrahman Wahid itu orang yang
bangga sebagai seorang Muslim. Dia sangat mencintai kebudayaan Islam
tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih dari itu,
K. H. Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh spiritual nyata seperti
dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.88
Banyak warga Nahdliyyin sekarang ini yang masih
menganggap Gus Dur itu mempunyai kemampuan Ghoib, bahkan Wali. Ini di
kaitkan dengan kemampuan Gus Dur yang luar biasa dalam memahami dan
menganalisis berbagai masalah yang di sertai dengan sepak terjangnya
yang bagi banyak orang dianggap aneh dan nyeleneh.89
Gus Dur (K. H. Abdurrahman Wahid) adalah sosok yang nyeleneh.
Dalam bahasa Indonesia, nyeleneh
berarti sesuatu yang berhubungan pikiran dan tindakan yang tidak
umum, secara tradisi, budaya, dan sosial kemasyarakatan, bahkan juga
sosial keagamaan.90
Wacana atau pola komunikasi politik yang dilakukan
K. H. Abdurrahman Wahid, sesungguhnya tak jauh berbeda dengan wacana
dan pola komunikasi sufistik. Maka apa yang selama ini pada pribadi
dan karakteristik Gus Dur, tak mesti dan tak harus di bedakan sebagai
suatu nyeleneh
(tidak wajar) maupun nyeleneh
dalam kehidupan perpolitikan serta kebangsaan di Indonesia.
Kenyelenehan
yang khas pada K. H. Abdurrahman Wahid, terutama sekali pada
spontanitas dan kecuekannya. Bagi masyarakat umum, tindakan dan sikap
seperti itu merupakan karakteristik atau citra yang tak wajar.91
Untuk mulai memahami pola komunikasi yang
dilakukan Gus Dur, yang kerap bersifat isyarat dan bernuansa
Sufistik. Pada kasus Gus Dur, masalahnya menjadi unik dan rumit, pada
waktu beliau berada di wilayah publik (pemerintahan) yang sangat
memerlukan atau di perlukan suatu komunikasi yang efektif, akurat
(secara rasional-matematis), verbal, terang dan jelas, sedangkan
beliau-selaku pengendali taktik dan strategi politik, yang menyangkut
umat, negara dan bangsa-di tuntut juga untuk pandai-pandai
menyampaikan pesan, baik yang bersifat verbal maupun non verbal.92
Walaupun dianggap sebagai orang aneh dan nyeleneh
dan juga ada yang beranggapan mempunyai kemampuan ghoib pada diri Gus
Dur, Gus Dur sendiri tak pernah merasa dirinya seorang Wali. Hasyim
Wahid alias Gus Iim, adik Gus Dur, pernah memberi konfirmasi bahwa
kehebatan Gus Dur dalam memahami dan menganalisis berbagai hal
bukanlah karena wali tetapi karena sangat kaya dengan informasi.
Sejak kecil, Gus Dur sudah membaca berbagai jenis buku yang
berat-berat dalam berbagai bahasa, mulai dari soal agama, sejarah,
politik, olah raga, seni, bahkan sampai humor-humor dari berbagai
bangsa.93
K. H. Abdurrahman Wahid adalah putra salah seorang
pendiri NU yang terkemuka dan cucu salah seorang bapak pendiri bangsa
(founding fathers),
berasal dari keluarga NU yang paling utama dan menjadi pewaris
dinasti kedua. Mengetahui latar belakang itu, agaknya tidak aneh bila
K. H. Abdurrahman Wahid membanggakan warisan Islam tradisionalnya.
Dan ketika orang membaca tulisannya, sangat jelas bahwa apapun yang
dikatakan orang mengenai manuver politiknya K. H. Abdurrahman Wahid
menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap teori sosial modern
dan komitmen yang mendalam terhadapnya. Dan juga banyak tulisannya
yang menjelaskan bahwa K. H. Abdurrahman Wahid adalah seorang
demokrat atau lebih tepatnya seorang demokrat liberal. Lebih dari
itu, seperti sudah diketahui banyak orang, K. H. Abdurrahman Wahid di
kenal karena sikapnya yang konsisten membela minoritas dan perjuangan
untuk bisa di terimanya pluralisme sosial dan budaya yang betul-betul
ada dalam masyarakat Indonesia modern.94
Tantangan kehidupan modern, di satu sisi, menuntut
kemampuan intelektual untuk merespon secara positif dan kreatif
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi tanpa harus melepaskan diri
dari substansi dan prinsip-prinsip universal agama. Pluralitas
masyarakat Indonesia, di sisi lain, juga menuntut sikap keberagamaan
yang inklusif dan toleran. Dengan menggunakan paradigma
kontekstualisasi pemikiran klasik, sikap-sikap itu-yaitu respon
positif dan kreatif terhadap perubahan dan sikap keberagamaan yang
inklusif dan toleran-bisa di ekspresikan secara nyata oleh K. H.
Abdurrahman Wahid.95
Bagi K. H. Abdurrahman Wahid, Islam adalah agama
kasih sayang dan toleran sekaligus agama keadilan dan kejujuran.
Artinya Islam adalah kayakinan yang egaliter, keyakinan yang secara
fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan,
kelas, suku, ras, gender atau pengelompokan-pengelompokan lainnya
dalam masyarakat. Bagi Abdurrahman Wahid Islam adalah keimanan yang
mengakui bahwa, dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara.96
Untuk memahami posisi Abdurrahman Wahid sebagai
figur Religius, sangat penting juga mengapresiasikan sebagai seorang
intelektual. Karena hampir tidak mungkin untuk memahami secara
sepenuhnya jika tidak menghargai keyakinan keagamaannya. Tanpa
penghargaan terhadap sisi intelektual K. H. Abdurrahman Wahid tidak
akan pernah sampai pada pemahaman yang memadai mengenai jalan
pemikirannya.97
Corak pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang
liberal dan inklusif secara nyata sangat dipengaruhi oleh
penelitiannya yang panjang terhadap berbagai khasanah pemikiran Islam
tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan
kontekstualisasi, termasuk terhadap pemikiran hukum Islam. Kontribusi
fiqih terhadap gagasan inklusivisme dan pluralisme adalah karena
fiqih merupakan pengembangan gugusan hukum agama yang tidak pernah
berhenti berkembang.98
Sebab, fiqih Islam adalah pemikiran yang berpedoman pada rambu-rambu
di sepanjang jalan menuju Allah. Fiqih Islam bukanlah pemikiran yang
berangkat dari hawa nafsu, melainkan dirumuskan demi mencapai Syariat
tujuan Islam, yakni Syariat Teologis dan Syariat Praktis.99
Fiqih telah menyediakan daerah dalam bentuk teori
hukum (Us}u>l Fiqh)
dan kidah-kaidah hukum (Qawa>id
Al-Fiqhiyyah) yang menampung kebutuhan
masa dan tempat, dalam merumuskan kebutuhan masa dan tempat, harus
merumuskan keputusan hukum agama itu sendiri. Dengan kata lain, toeri
dan kaidah-kaidah hukum itu membuat fiqh menjadi tetap relevan dengan
kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah, untuk masyarakat yang
berbeda dan pada luas geografis yang berbeda pula.100
Pemikiran secara Fiqh
ini, semakin menunjukkan sikap moderat Abdurrahman Wahid, terlebih
dalam menyikapi berbagai kecenderungan. Sosial dan politik yang
berkembang secara dinamis di masyarakat.101Hal
lain diperkuat dinamikanya oleh kenyataan bahwa Abdurrahman Wahid
memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa. Sebagai seorang
santri lulusan dari pesantren, intelektual briliannya jauh melebihi
kapasitas teman-teman sebayanya, walaupun upaya kerja kerasnya tidak
melebihi teman-temannya. Demikian juga, walaupun ia tidak punya akses
pendidikan yang dimiliki teman sebayanya seperti Nurcholis Madjid, ia
juga tidak mengambil program pasca sarjana tetapi pemahamannya
tentang pemikiran Barat bahkan bahasa Barat melebihi kemampuan teman
sebayanya. Akibat tak terhindarkan adalah bahwa Abdurrahman Wahid
telah menjadi raksasa diantara sebayanya dalam hal luasnya wawasan,
kekuasaan pemikiran, pengalaman, pemahaman dan kemampuan intelektual
yang tajam. Dia tidak jarang berbeda dengan Ulama'. Hal ini diperumit
lagi dengan fakta kultur tradisional Ulama' yang sering menyebabkan
frustasi.102
Satu yang sangat penting untuk direnungkan dalam berefleksi tentang
Abdurrahman Wahid dan kontribusinya terhadap kehidupan publik dan
religius di Indonesia adalah bahwa kadang-kadang perlu memisah antara
manusia dan gagasan-gagasannya. Tidak ada satupun pemimpin, bahkan
tidak satupun intelektual yang selamanya konsisten. Sudah menjadi
masalah umum bahwa yang memberikan hal terbaik untuk kehidupan
masyarakat kadang-kadang berjuang atau gagal mewujudkan ide itu
sendiri. Banyak contoh akan hal ini. Oleh karena itu, pengakuan bahwa
kontribusi tokoh intelektual seperti Abdurrahman Wahid harus di
pisahkan dari konsistensi pribadinya dalam mewujudkan setiap aspek
dari gagasan-gagasan ini
Secara lebih khusus lagi, sangat penting bagi yang tertarik dengan K.
H. Abdurrahman Wahid untuk membaca tulisan K. H. Abdurrahman Wahid
karena tidak dapat di sangkal lagi K. H. Abdurrahman Wahid adalah
salah satu diantara intelektual paling signifikan bahkan sekalipun
jika ia tidak diakui demikian dan paling tidak untuk memahami
persoalan-persoalan yang memungkinkan untuk bisa memahami gaya
personal politiknya.103
2.
Pemikiran K. H.
Abdurrahman Wahid Tentang Idealitas Demokrasi
Kata
"demokrasi" memiliki arti yang berbeda-beda bagi
bangsa-bangsa yang berlainan pada masa yang tidak sama. Bagi para
pemikir di negara-negara yang maju (advanced countries) dalam
teknologi, kata itu dianggap bermakna demokrasi liberal. Ada yang
bersifat negara kesatuan, dengan kekuasaan pemerintahan pusat yang
besar, seperti di Perancis maupun yang bersifat federatif, seperti di
Amerika Serikat dan Australia. Tetapi, ada pula yang menggunakan kata
itu dalam arti berbeda, yaitu dengan adanya kekuatan-kekuatan politik
yang tidak bertentangan, melainkan berbeda pandangan saja, seperti di
Israel.
Meski, seringkali kata demokrasi diselewengkan
dengan kata lain, seperti demokrasi rakyat dari kalangan komunis
maupun dari demokrasi Islam dari kaum "garis keras", dan
demikian menjadi kehilangan makna demokratisnya, kata demokrasi tidak
pernah kehilangan arti pendapat berbilang atau bersamaan perlakuan
bagi seluruh warga negara di muka undang-undang serta penegakan
kedaulatan hukum.104
Sebagai sebuah tahapan sejarah, dapat
dimengerti bahwa para pemimpin yang merumuskan UUD ’45 mau
memberikan interpretasi lisan yang sesuai dengan kehendak para
pemimpin Islam. Tanpa melakukan hal itu, tidak akan tercapai
penyelesaian dalam bentuk kehendak bersama. Kalau tidak dapat dicapai
persetujuan, hal ini akan menguntungkan pihak penjajah. Inilah yang
mendasari pemikiran mereka waktu itu. Dan, inilah yang namanya
politik.
Para pemimpin Islam
di-ninabobo-kan oleh penafsiran-penafsiran yang dipaksakan atas para
pemimpin nasionalis. Dengan kata lain, para pemimpin nasionalis
setuju dengan redaksi lisan yang dipaksakan oleh para pemimpin dari
golongan Islam untuk mencapai persetujuan dan menghindari kemacetan.
Berarti, apa yang dicapai itu hanyalah bersifat sementara dan
mengikat bagi yang menyatakannya.
Generasi
kemudian tidak lagi terikat dengan pernyataan mereka. Pak Harto yang
tidak ikut terlibat secara aktif dalam perumusan Pancasila ternyata
berpandangan bahwa Pancasila haruslah menjadi asas bagi
organisasi-organisasi sosial politik. Bahkan, akhirnya menjadi
keharusan bagi semua organisasi. Ini terjadi karena adanya semacam
ketakutan kalau-kalau semuanya akan meninggalkan Pancasila karena hal
ini termasuk jangkauan terjauh yang dapat dicapai. Kondisi mantapnya
Pancasila inilah, yang ingin dicapai melalui upaya menjadikan
Pancasila sebagai asas tunggal.
Apa
yang ditakutkan Pak Harto ini ternyata terjadi saat ini, ditandai
dengan berlangsungnya demonstrasi yang dipimpin oleh Eggy Sujana di
istana beberapa waktu lalu untuk menolak Pancasila sebagai asas
tunggal bagi organisasi-organisasi Islam. Menjadi nyata bagi
pentingnya pembahasan mengenai dasar negara ini karena besarnya
perbedaan paham di antara sebagai warga Indonesia.
Sudah
tentu perkembangan sejarah akan membawa pada berbagai kemungkinan.
Sebagai negara kepulauan, perkembangan tentu akan berbeda dengan
negara-negara di daratan Eropa. Kalau di Eropa pada umumnya banyak
negara mengikuti sistem pemilu proporsional, sementara di sini,
sebagaimana disampaikan oleh Mendagri Syarwan Hamid di hadapan
anggota DPR, akan meniru Jepang dan Filipina, yaitu menggunakan
sistem distrik, suatu sistem yang selama pemerintahan Orde Baru
sangat dihindari. Mungkin juga ini bukan karena bentuk geografis
negara Indonesia, melainkan oleh perkembangan historis dan
situasional. Amerika menggunakan sistem distrik walaupun negaranya
kontinental. Tetapi, Amerika memiliki pengaruh luas ke seluruh dunia,
termasuk Indonesia.
Semua
ini menunjukkan bahwa Indonesia tidaklah berada dalam suasana kosong
ketika melakukan penafsiran-penafsiran atas keadaannya sendiri. Di
satu pihak, ada dorongan untuk menggunakan nilai-nilai Islam yang
abadi guna menegakkan negara tersebut dalam kehidupan modern saat
ini. Kegagalan untuk melakukan hal tersebut dianggap sebagai
kegagalan melakukan perjuangan Islam, seperti yang terjadi di hampir
semua negara Islam sekarang. 105
Karena
sesungguhnya Islam adalah Agama demokrasi. Ada beberapa alasan
mengapa Islam disebut sebagai agama demokrasi :
Pertama,
Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama Islam berlaku bagi
semua orang tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi
hingga rakyat jelata dikenakan hukum yang sama. Kalau tidak demikian,
maka hukum dalam Islam tidak jalan dalam kehidupan.
Kedua,
Islam memiliki asas permusyawaratan. "Wa-Amruhum
syu>ra>
bainahum", artinya perkara-perkara mereka dibicarakan di
antara mereka. Dengan demikian tradisi membahas, tradisi bersama-sama
mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka pada akhirnya diakhiri
dengan kesepakatan.
Ketiga,
Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Karena dunia ini
hakikatnya adalah persiapan untuk kehidupan di akhirat. "Waa>khiratu
khairu waabqa>", akhirat itu lebih baik dan lebih
langgeng. Karena itu kehidupan manusia tarafnya tidak boleh tetap,
harus terus ada peningkatan untuk menghadapi kehidupan yang lebih
baik di akhirat.
Jadi
standar yang baik itu di akhirat, kehidupan di dunia harus diarahkan
kepada yang baik itu. Hal ini sebenarnya adalah prinsip demokrasi,
karena demokrasi pada dasarnya adalah upaya bersama-sama untuk
memperbaiki kehidupan. Karena itulah Islam dikatakan sebagai agama
perbaikan, di>nul
is}lah, atau agama
inovasi.
Jika
dikaitkan dengan keadilan, bahwa demokrasi hanya dapat tegak dengan
keadilan. Kalau Islam menopang demokrasi maka Islam juga harus
menopang keadilan. Ini penting sekali sebagaimana difirmankan Allah,
"Wahai orang-orang yang beriman, hendaknya kalian menegakkan
keadilan”. Ini perintah yang sangat jelas. Yakni perlunya
ditegakkan keadilan dalam segala bentuk, baik keadilan hukum,
keadilan politik, keadilan budaya, keadilan ekonomi, maupun keadilan
sosial. Keadilan sosial ini sangat penting karena salah satu patokan
Islam adalah kaidah fiqih: Langkah dan kebijaksanaan para
pemimpin mengenai rakyat yang mereka pimpin haruslah terkait
sepenuhnya dengan Kesejahteraan rakyat yang mereka pimpin itu.Karena
orientasinya adalah kesejahteraan, maka dipentingkan adanya keadilan.
Dan orientasi kesejahteraan inilah yang membuktikan demokratis atau
tidaknya kehidupan suatu masyarakat.
Dengan
demikian Islam selalu menghendaki demokrasi yang menimpakan
salah satu ciri ata jati diri Islam sebagai agama hukum. Maka Islam
juga harus mengembangkan keadilan sosial di samping keadilan-keadilan
lainnya. Dalam kenyataannya implementasi dan demokrasi dalam
kehidupan sehari-hari tidak semudah itu. Salah satu contoh, misalnya,
masih berkembang diskursus tentang keterwakilan (representativeness).
Ada keluhan di masa lalu orang Kristen terlalu banyak diwakili dalam
pemerintahan. Disebutkan, misalnya, ada Radius Prawiro, J.B.
Sumarlin, L.B. Moerdani, dan lain-lain.
Padahal nama-nama itu tergolong "awam" dalam bidang agama
Kristen. Sementara orang-orang "awam" Islam tidak dianggap
mewakili Islam. Misalnya, Pak Harto, Pak Try Sutrisno, para bupati,
para Danramil, dan lurah-lurah, mereka juga pemimpin Islam.
Yang
menjadi pertanyaan K. H. Abdurrahman Wahid adalah, mengapa kalau
orang awam Kristen dianggap mewakili agama Kristen, orang awam Islam
tidak dianggap mewakili Islam? Harus ada kejelasan, kalau orang awam
Islam tidak dianggap mewakili Islam, maka orang awam Kristen jangan
dianggap mewakili Kristen.
Gampangnya
kalau menterinya tidak ada yang pastor tidak perlu gegeran
menginginkan kiai menjadi menteri. Di sini representativeness
menjadi proporsional bukan dalam jumlah, melainkan dalam jenis
manusia-manusia yang memimpin. Kalau sudah demikian tidak ada
masalah. Golongan Islam diwakili oleh para pemimpin Islam dalam arti
yang terdidik dalam pengetahuan agama Islam dan berpengalaman dalam
mengelola program-program keagamaan Islam. Tidak ada masalah lagi,
karena mereka tidak mempunyai over claim atau klaim yang
berlebihan.106
Banyak
orang bertanya kepada K. H.
Abdurrahman Wahid, mengapa demikian banyak orang menjadi
Katolik. Bukankah dengan demikian, dalam beberapa puluh tahun saja,
seluruh Indonesia akan beragama Katolik? Atau paling tidak, mayoritas
umat yang beragama Islam di Indonesia akan hilang berganti dengan
Katolik dan Protestan. Capaian kemajuan yang luar biasa dari
Kristenisasi ini, sangatlah mengerikan bagi yang meyakininya, dan
sepertinya telah menjadi kenyataan (sejarah) yang harus diyakini.
Tetapi,
yang tidak ikut-ikutan yakin seperti K. H. Abdurrahman Wahid ini,
malah dianggap sebagai pengkhianat Islam. Lalu, apa yang harus
menjadi sikap mereka? Menurut K. H. Abdurrahman
Wahid, hal itu tidak usah diperhatikan secara serius. Dianggap
sebagai pengkhianat atau bukan, sangatlah tergantung pada diri
masing-masing. Bahkan, lebih jauh lagi, persoalan dianggap berkhianat
ataupun tidak, bukanlah termasuk masalah yang prinsipil dan penting.
Dan, jika saja masih dianggap sebagai pengkhianatan —padahal memang
bukan— lebih baik dibiarkan saja. Bukankah, suatu saat nanti, fakta
yang akan berbicara, bukannya kesan? Kalau memang tidak membantu
Kristenisasi, bukankah dianggap apa saja tak jadi soal? Kristenisasi,
sebagai sebuah proses kemasyarakatan berjalan secara alamiah. Dengan
demikian, masalah Kristenisasi akan tetap terjadi kalau hal itu akan
terus berlangsung.
Karenanya,
dari sini, tugas K. H. Abdurrahman Wahid hanyalah ingin mendekatkan
antara kaum Kristen dan muslimin di negeri ini. Bukankah para pendiri
republik (the Founding Fathers) ini, dulunya, selalu bekerja
sama dalam memperjuangkan dan mendirikan negara-bangsa yang tercinta
ini? Juga, K. H. Abdurrahman Wahid tidak pernah mengharuskan untuk
beribadah secara Kristen, sama seperti halnya yang telah dialami oleh
ayah K. H. Abdurrahman Wahid yaitu K. H. Abdul Wahid Hasyim. Maka,
diharapkan yang terjadi adalah perataan pemikiran antara kedua belah
pihak, Seperti halnya, pemikiran Martin Luther King Jr. mengenai
demokrasi. Di samping itu, pemikiran Mahatma Gandhi yang beragama
Hindu atau Sulak Sivaraksa dari Thailand yang beragama Buddha. Dan
juga, tentunya, pemikiran Ali Abd. Roziq, yang hampir semua
buku-bukunya dilarang dibaca di Mesir.
Dengan
kata lain, pencarian pendapat tentang demokrasi K. H. Abdurrahman
Wahid banyak mengambil dari mana pun, selama hal itu merupakan
pencerminan dari teologia yang benar dan ketaatan yang saleh. Soal
nilai kepercayaan masing-masing, K. H. Abdurrahman Wahid tak pernah
mempersoalkannya. Semua itu, diserahkan saja pada para teolog dari
masing-masing agama dan keyakinan. Dan, K. H. Abdurrahman Wahid
merasa, hanya dengan beginilah pengikut semua agama akan mampu
memperjuangkan proses demokratisasi secara bersama-sama.
Apabila
untuk proses demokratisasi saja prinsip-prinsip dipertahankan,
menurut K. H. Abdurrahman Wahid atas berlakunya keadilan,
berlangsungnya hak-hak yang sama di hadapan undang-undang (UU) dan
persamaan kepentingan bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Ini
berarti, kebebasan untuk berbicara haruslah dipertahankan dan
kebebasan berpendapat harus pula dijaga.107
Negeri Indonesia tidak mengalami kenyataan
demokratis ini, melainkan menghadapi dilema lain lagi. Pers sudah
menjadi begitu merdeka, hingga merekapun memuat saja berita fitnah
atau kabar bohong, selama ada kekuatan politik "demokratis"
yang mereka ikuti. Celakanya, partai-partai politik yang menerapkan
kerangka itu, masih kuat sekali melaksanakaan KKN. Mereka
menakut-nakuti penerapan kedaulatan hukum, dan dengan demikian
–mereka menciptakan fitnahan dan kabar bohong tersebut untuk
menutupi KKN yang mereka lakukan. Yang terpenting bagi mereka, asal
KKN yang mereka lindungi terbebas dari penerapan kedaulatan hukum
secara tuntas.
Dengan demikian, mereka menggunakan kekuatan
menjadi demokratis yang "berbilang banyak" adalah pihak
yang menang dalam pemungutan suara. Bahwa tradisi demokrasi adalah
mengutamakan kebenaran, adalah sesuatu yang mereka lupakan. Demokrasi
yang mereka gunakan adalah demokrasi kelembagaan, dan sama sekali
tidak ada hubungan tradisi dengan "tradisi demokrasi". Jika
dikombinasikan dengan lemahnya aparat penegak hukum dan ketakutan
Mahkamah Agung (MA) sekarang ini di negeri
Indonesia, hasilnya adalah
lelucon besar-besaran tentang Indonesia sebagai negara demokratis.
Kini, dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit:
kedaulatan hukum hanya dapat ditegakkan sebagian saja. Terdapat
kekutan hukum yang tidak akan dapat dikenakan kedaulatan hukum itu
karena kuatnya mereka. Begitu juga, ada pihak yang tidak terkena
sangsi Undang-Undang (UU), karena bukti-bukti hukum yang ada tidak
cukup untuk menjamin diseretnya mereka ke meja hijau. Dalam hal ini,
K. H. Abdurrahman Wahid menggunakan
ketentuan teori hukum Islam (Ushul Fiqh, Islamic Legal Theory): ma>
la> yudraku kulluh, la> yutraku kulluh
(apa yang tidak dapat diwujudkan sepenuhnya, tidak ditinggalkan yang
terpenting). Selama penegakan hukum berjalan, dan persamaan perlakuan
di muka Undang-Undang dilaksanakan serta kemerdekaan pers ditegakkan,
selama itu pula tetap demokratis. 108
Tentu saja, dalam rangka
memperjuangkan, menegakkan, dan menebarkan demokrasi, nilai-nilai
Agama sebagai landasan pijak moralitas tak bisa dipisahkan atau di
tinggalkan begitu saja. Tanpa adanya tali kekang nilai Agama,
perjuangan nilai-nilai demokrasi akan gampang terjerumus hingga
menghalalkan segala cara yang justru bertentangan dengan nilai-nilai-
demokrasi itu sendiri. Dalam kaidah Fiqh :"Dar-ul
Mafa>sid awla> min jalbi al-mas}a>lihi…"
menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kebaikan. Dan
apabila berlawanan antara yang mafsadah
dan mas}lahah
itu,, maka yang didahulukan adalah menolak mafsadah-nya.
Demikianlah, tujuan dari
eksperimentasi demokrasi bukanlah kekuasaan. Kekuasaan hanyalah salah
satu alat, sedangkan tujuan tak lain adalah mewujudkan mas}lahah
bagi seluruh rakyat Indonesia tercinta ini.109
BAB IV
ANALISA PEMIKIRAN DEMOKRASI
K. H. ABDURRAHMAN WAHID
A. Aplikasi Demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid
Demokrasi dalam praktek politik adalah demokrasi
sebagaimana dilakoni
oleh para "peserta". Konsep "peserta" di sini
dimaksudkan sebagai keseluruhan permainan politik yang dalam periode
politik tertentu membentuk citra perilaku sistem politik. Karena itu
"peserta" tidak saja mencakup pejabat atupun pemimpin
pemerintahan, tapi juga aktivitas partai, pers, parlemen, militer,
pengusaha, atau individu yang secara politik amat berpengaruh dalam
proses pengambilan keputusan. Konsep "peserta" di sini
hanyalah penyederhanaan atas konsep "struktur politik" dari
analisa perbandingan politik Gabriel A. Almond.
Seperti juga pengalaman banyak negara lain dalam
berdemokrasi, tidak semua praktek demokrasi bisa dilacak akar-akar
pemikiran dan wacana intelektualnya dalam periode ini, tetapi justru
sebagai kritik, atau bahkan mungkin penolakan terhadap ide-ide.110
Menurut Faoucault, para pemikir besar abad pencerahan, sesungguhnya
tidak begitu besar, mereka hanya mengatur supaya tampak besar atas
biaya orang lain. Tidak ada ide yang dapat menjadi besar, tanpa
sejumlah besar ide lain yang memikirkannya pada tempat lain.
Dalam konteks seperti itulah, meski tidak
sepenuhnya persis pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan K. H.
Abdurrahman Wahid atau panggilan akrabnya Gus Dur, menjadi teras
penting dan besar. Nilai penting dan kebesaran pikiran maupun
tindakan Gus Dur, sesungguhnya "disokong" atau
"diuntungkan" oleh rezim Orde Baru-sebuah rezim yang selalu
menjadi sasaran kritik dan perlawanannya. Dalam wacana paradigmatis
seperti itu, dapat di katakan; wacana ideologis yang di kembangkan
rezim Orde Baru adalah tesis,
sedangkan pikiran (kritik) dan tindakan (perlawanan) Gus Dur adalah
anti tesis,
adapun sistesisnya
justru diambil sendiri oleh Gus Dur, tatkala ia memilih masuk
struktur (sebuah wilayah yang pernah di kritiknya) dan menjadi
presiden RI.
Dari gerakan kultural menjadi gerakan struktural,
dalam rangka mengembangkan ide, gagasan dan pikiran-pikirannya yang
"nyeleneh" mulai dari demokrasi, keadilan, keterbukaan,
kejujuran, pemerintahan yang bersih (clean
government), sampai dengan
demiliterisasi, deformalisasi (Islam dan tradisi), pluralisme dan
universalisme.111
Di negeri Indonesia demokrasi belum lagi tegak dengan kokoh masih
lebih berupa hiasan luar berupa kosmetik dari pada sikap yang
melandasi pengaturan hidup yang sesungguhnya. Dalam suasana
sedemikian ini, unsur-unsur masyarakat yang ingin melestarikan
kepincangan sosial yang ada dewasa ini tentu akan berusaha sekuat
tenaga membendung aspirasi demokrasi yang hidup di kalangan mereka
yang telah sadar akan perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini
(Indonesia).
Kalau tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan demokrasi yang
benar di negeri ini, tentu aspirasi-aspirasi itu akan terbendung oleh
kekuatan-kekuatan anti demokrasi itu. Negeri Indonesia bukan tempat
satu-satunya di dunia ini, dimana keadaan di atas masih berlangsung.
Keadaan itu sendiri bahkan merupakan ciri umum kehidupan hampir semua
negara yang sedang berkembang.
Karenanya, dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari diri sendiri
kesediaan bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan
demokrasi yang hidup di negeri ini (Indonesia). Perjuangan itu
haruslah dimulai kesediaan menumbuhkan moralitas yang merasa terlibat
dengan penderitaan rakyat di bawah.112
Tampilnya K. H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden (20 Oktober 1999)
ketika masih menjabat sebagai ketua umum PBNU, memiliki nilai
historis dan kebanggaan tersendiri bagi warga NU. Namun hal tersebut
pada satu sisi tidak hanya merupakan kebanggaan NU, melainkan disisi
lain justru menimbulkan "masalah" bagi NU sendiri. Menjadi
kebanggaan bagi NU, karena tampilnya K. H. Abdurrahman Wahid jelas
akan menaikkan popularitas dan citra NU dalam konstelasi perpolitikan
nasional. Apalagi selama masa Orde Baru warga NU termarginalisasi
dari kekuasaan rezim Soeharto. Sehingga maklum saja jika tampilnya K.
H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden, membuat warga NU harus
mengekspresikan kegembiraannya dengan berbagai hajatan. Dalam
perjalanan selanjutnya, kenaikan K. H. Abdurrahman Wahid ternyata
menjadi "masalah" bagi NU. Karena ia di nilai oleh banyak
kalangan tidak mampu mengemban tugas Presiden. Ini di buktikan dengan
kinerja pemerintahannya yang buruk dan sering kali membuat kebijakan
yang melanggar undang-undang, Tap MPR dan GBHN, serta pernyataan yang
kerap kali kontroversial kenyataan politik ini memicu dan menjadi
alasan dari singgasana Presiden. Hal itu membuat NU, baik secara
institusi maupun personal, merasa perlu tampil untuk membela tokoh
utamanya itu agar tetap aman.
Menyikapi beberapa pernyataan kontroversial K. H.
Abdurrahman Wahid saat menjadi Presiden, dikalangan NU sendiri
terjadi pro-kontra.113Ada
beberapa kebijakan kontroversial sewaktu menjadi Presiden, justru
presiden K. H. Abdurrahman Wahid melakukan pada paruh waktu pertama
kekuasaannya yang telah menjadi pelatuk pemicu kebangkitan emosi dan
kemarahan sebagian masyarakat. Namun, juga pada sisi sebaliknya telah
mengakibatkan dukungan yang penuh semangat dari beberapa elemen
masyarakat terhadap kebijakan presiden K. H. Abdurrahman Wahid.
Beberapa peristiwa yang cukup penting untuk di ungkap kembali dan
kemudian di lakukan analisisi antara lain : penghapusan Departemen
Penerangan, penghapusan Departemen Sosial, ide pencabutan Tap MPRS
XXV/MPRS/1966 tentang komunisme, serta penghapusan Bakorstanas dan
Litsus.114
1. Penghapusan Departemen Penerangan Dan Penghapusan Departemen
Sosial.
Mengenai pembubaran Departemen Penerangan dan
Departemen Sosial, kabar ini merupakan berita tidak sedap bagi
beberapa orang, terutama para pejabat struktural dan karyawan yang
terlibat dalam dua departeman tersebut, apalagi dalam struktur
kabinet itu sendiri justru terdapat penambahan beberapa departemen
baru yang keberadaannya menimbulkan kesan sengaja di buat-buat demi
kompromi. Sebaliknya, pembubaran departemen penerangan bagi kalangan
pekerja pers merupakan suatu berkah. Dengan di hapuskannya institusi
yang menjadi instrumen negara untuk mengendalikan dan mengatur pers
telah memungkinkan berkembangnya pers yang bebas dan merdeka, lepas
dari intervensi-intervensi pemerintah sebagaimana sering di lakukan
di masa sebelumnya.115
Tindakan resminya yang pertama adalah membubarkan
dua departemen. Yang pertama adalah departemen penerangan. Alasannya,
kehadiran departemen ini lebih banyak ruginya dari pada manfaatnya,
baik oleh kalangan pendekatannya yang bersifat stalinis
terhadap pengendalian informasi dan juga oleh kebiasaan yang telah
berurat akar untuk memeras uang dari penerbit media. Yang kedua
adalah di tutupnya Departemen Sosial. Hal ini lebih mengejutkan
masyarakat. Alasan yang diberikan adalah bahwa korupsi dan
praktek-praktek pemerasan telah sedemikian merasuk departemen ini
sehingga lembaga ini tak lagi dapat di reformasi dan kegiatannya
harus di lakukan oleh departemen-departemen lainnya. Penutupan kedua
departemen ini memang kontroversial, apalagi yang berkaitan dengan
Departemen Sosial dan membuatnya kehilangan popularitas dikalangan
tertentu.116
Untuk memahami apa peranan dan fungsi yang
dijalankan Departemen Penerangan di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dengan sejarah kepolitikan Orde Baru. Selama masa kekuasaan Soeharto,
institusi ini merupakan Badan dengan kewenangan yang sangat luas.
Lebih dari sekedar menjadi dinamistor dan fasilitator komunikasi,
Departemen Penerangan di bawah kepemimpinan Ali Moertopo dan
kemudian Harmoko, telah menjadi sarana yang paling efektif untuk
mengendalikan beberapa penerbitan dan pemberitaan dalam media. Ia
dengan bebas bergerak melakukan seleksi, sensor, kontrol, intimidasi,
dan bahkan sampai dengan tindakan paling represif : melakukan
pembredelan. Selama kurun masa orde Baru sudah tidak terhitung lagi
jumlah penutupan dan pembredelan surat kabar yang melibatkan
institusi ini. Departemen penerangan, merujuk kepada konsep
Al-Thusser, telah menjadi aparatus
ideologis dan sekligus aparatus
represif yang bekerja untuk status
quo kekuasaan.
Beberapa koran yang sedikit saja berani nakal dan
kritikal akan dihantui oleh bayang-bayang pembreidelan oleh aparatus
ini, kapan saja dan tanpa perlu proses peradilan. Untuk menyebut
diantara sekian banyak surat kabar yang pernah menjadi korban
represif Departemen penerangan antara lain : Sinar
Harapan, Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, Harian KAMI, Duta
Masjarakat, sampai dengan tiga media
yang di breidel beberapa tahun menjelang akhir kekuasaan Soeharto :
Tabloid Detik, Editor, dan
Majalah Tempo.
Pendek kata, Departemen penerangan telah menjadi hantu yang siap
melumat siapa saja yang tidak di sukainya.
Sudah bukan rahasia umum bahwa Departemen
penerangan selain menjadi kepanjangan tangan yang mentransmisi
ideologi dan kepentingan negara kepada masyarakt secara top
down dan menjurus indoktrinasi, juga
telah menjadi agency
dari partai hegemonik Orde Baru selama masa menjelang pemilihan umum.
Kooptasi negara terhadap Departemen penerangan, telah menjadi arus
informasi dan penerangan kepada masyarakat yang berwajah satu dimensi
saja. Situasi ini tidak relevan untuk berharap banyak lahirnya ruang
publik yang bebas, dalam arus informasi
yang serba ternegara itu (statezed),
Di pertahankannya Departemen penerangan, menurut Gus Dur, hanya akan
membuat rakyat berhadapan dengan pemerintah yang selalu memonopoli
lalu lintas informasi. Baginya, pemerintah tidak perlu ikut campur
dalam mengatur dan apalagi menyaring informasi. Masyarakat sendirilah
yang paling berhak untuk melakukan penyeleksian dan penyaringan atas
informasi. Dengan demikian kedudukan masyarakat benar-benar otonom
untuk urusan penerangan.
Terhapusnya Departemen penerangan merupakan satu paket dengan di
hapuskannya pula Departemen Sosial (Depsos). Kedua nama Departemen
ini tidak nongol ketika Gus Dur mengumumkan kabinet. Sebagaimana
situasi yang mengiringi hilangnya Departemen penerangan (Deppen),
maka ketetapan K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu jadi Presiden untuk
menutup Departemen Sosial juga menimbulkan beberapa protes.
K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu jadi Presiden,
saat bertemu dengan beberapa perwakilan Departemen Sosial, telah
menyatakan bahwa kebijakan untuk tidak mencantumkan Departemen Sosial
dalam kabinetnya dilakukan dengan sengaja. Dan ia mengatakan, sudah
memperkirakan resiko atau ekses apa yang bakal di hadapi pasca
likuidasi departemen ini. Dalam pandangan K. H. Abdurrahman Wahid,
tugas melakukan pelayanan sosial adalah salah
kalau hanya di tumpukan kepada pemerintah, tetapi tugas pemerintah
adalah sekedar menjadi fasilitator. Dengan begitu kerja-kerja sosial
harus dilakukan masyarakat sendiri tanpa harus menggantungkan nasib
kepada kebaikan pemerintah.
Untuk memahami secara lebih baik policy
presiden K. H. Abdurrahman Wahid tentang penghapusan Departemen
penerangan dan Departemen Sosial, -terlepas dari ketidaksiapan secara
teknis yang akhirnya menimbulkan kerumitan-, harus diletakkan dalam
kerangka pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang pengkondisian
relasi negara dan masyarakat (state and
civil society) secara lebih baik.
Keberadaan Departemen penerangan dengan fungsi-fungsi pengawasan dan
pengontrolan atas media massa merupakan faktor penghambatan bagi
berkembangnya pers bebas. Padahal, kebebasan dan kemerdekaan pers
merupakan sine qua non
bagi keberadaan sistem politik yang demokratis. Surat kabar selain
memberikan informasi, edukasi, dan hiburan, juga memiliki peranan
strategis sifatnya dalam konteks menumbuhkan iklim kepolitikan
demokratis, yakni fungsi kritikal terhadap jalannya kekuasaan.
Dengan demikian, dalam pers bebas yang
memungkinkan bagi masyarakat luas menyampaikan gagasan dan
pikirannya, akan menjadikan arena publik tidak lagi di dominasi oleh
arus informasi yang hanya merepresentasikan kepentingan dan ideologi
rezim berkuasa. Dalam dunia informasi dan komunikasi yang bebas,
menjadi lebih memungkinkan bagi masyarakat sipil untuk mengembangkan
wacana secara lebih otonom dan melakukan counter
ideologi terhadap usaha negara dalam
melakukan dominasi dan hegemoni. Pembongkaran berbagai
skandal-skandal dan berbagai manipulasi politik yang telah melibatkan
elit-elit dilingkaran kekuasaan hanya di mungkinkan dengan keberadaan
pers yang otonom dan bebas dari campur tangan negara.
Demikian halnya dengan keberadan Departemen
Sosial. Keberadaan institusi ini telah memposisikan masyarakat
sebagai obyek yang harus di 'sapih' dan negara tampil sebagai subjek
dalam pelayanan sosial. Implikasi yang diakibatkan cukup fatal :
semakin besarnya ketergantungan dan ketidakmandirian masyarakat
dalam memenuhi hajat hidupnya sendiri. Padahal terbentuknya
masyarakat sipil mempermasyarakatkan adanya kemandirian dan
keswadayaan dalam seluruh ruang kehidupan sosial, politik, ekonomi,
dan kebudayaan. Likuidasi Depsos telah memberikan kekuasaan secara
luas kepada masyarakat untuk mengembangkan program-program sosialnya.
Tanpa di bayang-bayangi lagi oleh kehadiran "aparatus kontrol"
yang mengendalikan dan mengatur urusan-urusan pelayanan sosial.
Dengan absennya Departemen Sosial pada akhirnya masyarakat menjadi
lebih sadar bahwa mereka adalah subjek yang mengatur diri sendiri,
tanpa perlu mengemis-ngemis meminta belas kasihan kepada institusi
bernama Departemen Sosial.117
2. pencabutan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 Tentang Komunisme
Tap NO:XXV/MPRS/1966, itu di tetapkan oleh
Soeharto untuk mencari kambing hitam saja. Apakah peristiwa 30
September itu benar rekayasanya orang-orang PKI atau benar
rekayasanya orang-orang militer dengan mengorbankan PKI, karena
peristiwa itu belum jelas. Orang-orang Orde Baru itu memang suka
mencari kambing hitam kemudian mereka membuat suatu keputusan yang
sesuai dengan apa yang ada saat itu mendapat dukungan politik yang
sangat besar, di tunjukkan oleh militer bahwa PKI di balik peristiwa
tersebut telah melakukan kekejaman yang bukan main. Kemudian segala
macam kekejaman yang-katanya-di lubang buaya itu benar semua. Padahal
menurut dokter yang melakukan otopsi terhadap mayat-mayat itu,
kekejaman-seperti yang dikatakan oleh militer-tidak pernah terjadi.
Jadi, itu karangan militer semua. Tapi, kampanye media itu memberikan
bangunan citra dengan melakukan apa yang di sebut dengan caracter
assosination terhadap PKI, kemudian
dikeluarkanlah Tap itu.118
Pada awal April 2000 dengan self
Confident yang tinggi K.H. Abdurrahman
Wahid sewaktu jadi Presiden menyampaikan secara terbuka, yang
kemudian membawa ekses yang luas, yakni usulan mendesak di cabutnya
Tap MPRS XXV/1966 yang berisi tentang pembubaran PKI dan pelarangan
penyebaran Marxisme, Leninisme, dan komunisme. Sebenarnya, ini bagi
Gus Dur sama sekali bukan ide yang baru dan muncul begitu saja
belakangan. Sebelum menjabat sebagai Presiden, K.H. Abdurrahman
Wahid, telah berulang kali mengemukakan hal yang hampir senada. Dalam
kapasitas sebagai ketua umum PBNU, Gus Dur sempat menyampaikan
permohonan ma'af terhadap mereka yang menjadi korban berkaitan dengan
tuduhan keterlibatan sebagai PKI.
Tap MPRS XXV/1966 itu sendiri telah memiliki
kedudukan yang khusus selama pemerintahan Orde Baru. Bagi rezim saat
itu, pembentukan Tap tersebut merupakan sebuah simbol batas pemisah
antara rezim Soekarno yang di sebutnya sebagai "Orde Lama"
dan rezim Soeharto yang menyatakan diri sebagai "Orde Baru".
Singkat kata, Tap MPRS XXV/1966 telah menjadi "roh"
kelahiran dan kehidupan Orde Baru. Selama kurun 30 tahun kekuasaan
Soeharto, tidak ada yang berani untuk mengusik 'Barang Keramat' itu.
Dengan demikian, Tap tentang pelarangan PKI tersebut terus eksis
sampai dengan K.H. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden.
Tap ini tidak hanya sebagai "roh" yang
melegitimasi kekuasaan Soeharto tetapi pada kenyataannya, retorika
"bahaya komunis" telah juga dimanfaatkan oleh rezim sebagai
sarana kendali kekuasaan dan untuk 'political
exclussion' terhadap lawan-lawannya.
Negara telah mengembangkan operasionalisasi keputusan itu dalam
berbagai manifestasinya. Dalam realitas pelaksanaannya, pemberlakuan
Tap tersebut telah menelan korban yang jumlahnya tidak sedikit, tidak
hanya menghantam mereka yang terlibat langsung dengan PKI tetapi juga
orang-orang yang tidak memiliki hubungan apapun dengan gerakan
komunisme. Selain telah meng-exclussif
para bekas aktivis kiri dalam kehidupan kenegaraan selama waktu yang
tidak jelas, tetapi juga melibatkan penghukuman buat saudara dan
keturunan, yang nota bene tidak
bersangkut paut dengan komunisme. Untuk membedakan dengan warga
negara lain yang "pancasilais"
maka state
juga menjalankan kebijakan politic of
stigma dengan cara memberikan kode-kode
tertentu terhadap para pesakitan ini, yakni dengan memberikan tanda
OT (organisasi terlarang) atau ET (Eks Tapol) pada lembaran kartu
tanda penduduk (KTP).119
Pertimbangan presiden K.H. Abdurrahman Wahid yang
mendasari keharusan pencabutan Tap MPRS XXV/1966, meskipun ia
menyadari betul kebijakan itu tidak populer dan menimbulkan banyak
reaksi lebih di karenakan oleh alasan-alasan yang bersifat
kemanusiaan. Menurut K.H. Abdurrahman Wahid, ketetapan yang muncul
lebih di dasari oleh dorongan hawa nafsu segelintir orang,
jelas-jelas bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Ketetapan itu
telah mendiskriminasikan anggota PKI dan keluarganya selama lebih
tiga puluh tahun sebagai warga negara berkaitan dengan hak asasi
manusia.Dengan melalui pencabutan ketetapan maka mereka tidak bisa
lagi di perlukan sebagai orang yang tidak punya hak sama sekali.
Menurut Gus Dur sudah tidak masanya lagi alasan keamanan di jadikan
dasar bagi anak-anak orang Tapol tidak boleh bekerja menjadi PNS,
masuk sekolah, mendapatkan kode ET di dalam kartu penduduknya.120
Ide paling kontroversial dari Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, yang
telah mengakibatkan meletupnya demonstrasi-demonstrasi penentangan
selama kurun setahun masa kekuasaannya, pada akhirnya harus membentur
tembok. Menghadapi gelagat bahwa menguatnya signal-signal negatif
dari hampir seluruh Ormas dan kekuatan politik terhadap gagasan
tersebut telah memaksa Presiden K.H. Abdurrahman Wahid bersikap lebih
moderat. Dalam beberapa kesempatan setelahnya, Gus Dur mengatakan
dirinya hanya sekedar mengusulkan saja, tetapi akhir dari kesemuanya
terletak di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dengan demikian, keseluruhan ending
dari ide humanistik presiden K.H.
Abdurrahman Wahid ini telah dapat di baca. Usulan yang selama dua
bulan meramaikan wacana publik ini kandas. Seluruh fraksi MPR yang
ada di dalam panitia Ad Hoc II Badan Pekerja (PAH II BP) MPR
memutuskan untuk menolak usulan pencabutan Tap MPR tentang pelarangan
PKI dan pelarangan penyebaran ajaran komunisme dan
Marxisme/Leninisme.121
3. Penghapusan Bakorstanas Dan Litsus
Keputusan K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu menjabat Presiden, untuk
mengeluarkan Keppres NO.38/2000 yang berisikan pencabutan atas
Keppres sebelumnya NO.29 tahun 1988 tentang pembentukan Bakorstanas
dan Keppres NO. 16 tahun 1990 tentang Litsus merupakan langkah yang
sangat fundamental dalam mengakhiri praktek otoriter represif.
Meskipun tindakan Presiden K. H. Abdurrahman Wahid ini di rasakan
agak terlambat, Keppres NO.38 tahun 2000 itu sendiri baru dikeluarkan
awal Maret 2000, tetapi kebijakan itu sendiri memiliki arti yang
sangat signifikan. Setidaknya, pemerintah telah memperlihatkan adanya
cara pandang yang berbeda dalam menangani masalah stabilitas politik
dan kemasyarakatan di bandingkan pola pikir sebelumnya.
Selama masa Orde Baru, kedua instrumen ini merupakan ujung tombak
pengendalian dan teror ideologis rezim terhadap lawan-lawan
politiknya. Keberadaan Bakorstanas yang sejatinya merupakan
"reinkarnasi" dari lembaga komando operasi pemulihan
keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) yang memiliki reputasi paling
menakutkan selama periode pertama kekuasaan Soeharto. Ini juga
memperlihatkan bahwa rezim masih memperlakukan pengelolaan negara
dalam kerangka situasi "darurat". Sehingga masih merasa
perlu untuk mengoperasikan mekanisme ekstra konstitusional dan ekstra
judisial yang terbukti represif tersebut.
Selama masa kejayaan Orde Baru, Kopkamtib dan kemudian Bakorstanas,
berperan penting dalam mengidentifikasikan pihak mana dianggap
sebagai musuh dan ancaman bagi negara, termasuk apa dan siapa
"ekstrem kiri" dan "ekstrem kanan". Sialnya lagi,
bagaimana institusi ini beroperasi ditindih dengan pelbagai
kepentingan politik rezim kekuasaan. Selain bagimana dicatat Brian
May, peran Kopkamtib dalam pertengahan 1970-an telah
memperlihatkan sosoknya yang menakutkan bukan hanya bagi masyarakat
sendiri, tetapi ternyata juga bagi kalangan militer yang dianggap
berseberangan. Merunut kepada kelahirannya, berdirinya Kopkamtib
tidak dapat dilepaskan dari situasi krisis dan ketidakpastian yang
berlangsung akibat pemberontakan komunis masa sebelumnya. Karena itu,
ia difungsikan sebagai sarana penormalan.
Penghapusan penelitian khusus (Litsus) atau di kenal juga sebagai
screening, yang selama sepanjang riwayat pemberlakuannya
menjadi momok masyarakat : baik dikalangan PNS maupun politikus,
memiliki nuansa yang sama dengan semangat pembubaran Bakorstanas.
Telah menjadi pengetahuan luas, bahwa sarana Litsus telah menjadi
alat yang digunakan rezim di dalam "menelikung" orang-orang
yang tidak di kehendakinya. Selain pertanyaan yang sering kali
diajukan dalam Litsus, terutama bagi orang-orang berstigma buruk di
mata rezim, seperti mengada-ada, terkesan menjebak dan mencari
kesalahan. "Tidak lolos Litsus" menjadi hantu yang
membuntuti para politikus, sehingga menyebabkan berpikir seribu kali
"nakal" terhadap kekuasaan. Beberapa politikus yang
kritikal terhadap kekuasaan menjadi sasaran tembak yang kemungkinan
besar tersendat dalam tahapan Litsus ini. Sehingga bukan suatu yang
mengherankan bahwa beberapa orang tertentu terganjal untuk jadi
anggota DPR setelah gagal Litsus.
Negara dengan begitu, tidak lagi muncul dalam wajahnya yang angker
dan senantiasa terus mengawasi gerak-gerik masyarakatnya. Negara,
dengan begitu, tidak dapat lagi melakukan semacam bentuk teror
ataupun ancaman-ancaman dan otoriteristik. Sebaliknya dengan
masyarakat sendiri, pembubaran Bakorstanas dan Litsus, telah
merupakan angin segar yang menjadikan mereka tidak merasa was-was
ketika berurusan dengan state. Dapat disimpulkan, Keppres
NO.38 tahun 2000 ini telah mengkondisikan suasana baru yang lebih
prospektif dalam kaitannya dengan demokratisasi dan penguatan
masyarakat sipil di Indonesia.122
4. K. H. Abdurrahman Wahid jatuh dari jabatan Presiden
Kelemahan mendasar K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu
menjabat Presiden adalah dalam urusan teknis-administrasi telah
menjadikan salah satu faktor yang membuat kerja tim pemerintahannya
tidak dapat berjalan dengan baik. Kepemimpinan yang one
man show dan sekaligus beberapa
pemecatan yang tidak jelas ujung pangkalnya, telah menimbulkan
kerepotan tersendiri dalam internal kabinet. Namun tentu saja,
dimensi permasalahan yang membuat Gus Dur harus berhenti di tengah
jalan bersifat sangat kompleks. Bukan sama sekali kebetulan bahwa
momentum kejatuhan Gus Dur ini seiring dengan berlangsungnya
konfrontasi yang keras yang di dalamnya melibatkan beberapa mantan
tokoh aparatus Orde Baru, yang masih memiliki pengaruh cukup kuat.
Meskipun peristiwa kejatuhan Presiden Abdurrahman
Wahid dianggap sebuah tragedi, tetapi ada beberapa hal mendasar yang
selalu mengingatkan kembali kepada masa kekuasaannya. Ia berhenti di
tengah jalan tidak dengan membawa "tangan kosong". Dari
inisiatifnya selama memegang kekuasaan ekskutif telah muncul
kebijakan-kebijakan fundamental yang membentangnya "jalan baru"
bagi terwujudnya kehidupan sosial politik secara lebih beradab.123
Walaupun tidak menjadi Presiden, masih mempunyai jabatan pada Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai Ketua Dewan Syura. Masih konsisten
untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi.
Contohnya,
reposisi Sekjen PKB Saifullah Yusuf, apakah dilakukan seketika (27
September 2003) atau setelah
pemilu 2004. Rapat pleno DPP PKB
ini dihadiri hampir semua pengurus. Mereka terdiri dari Dewan Syuro,
Dewan Tanfidz, Departemen, lembaga, dan badan otonom. Tercatat
peserta pleno yang datang berjumlah 112 orang. Namun hanya 38 orang
yang memiliki hak suara dalam voting. Saifullah Yusuf dan Yahya
Staquf tidak ambil bagian dalam voting. Padahal, keduanya memiliki
suara sebagai anggota Dewan Tanfidz.
Voting yang berlangsung Sabtu (27/9/2003) pukul
00.05 dini hari itu akhirnya diikuti oleh 36 orang yang merupakan
gabungan pengurus Dewan Syura dan Dewan Tanfidz. Peserta voting
diberi dua opsi, yakni reposisi saat itu juga atau setelah Pemilu
2004. Delapan belas suara memilih opsi reposisi dilakukan setelah
pemilu. Tujuh belas suara memilih pergantian jabatan Saiful dilakukan
saat itu juga. Satu suara abstain.124
Saat memberikan penjelasan dalam peresmian
Graha Papilu (Panitia Pemenangan Pemilu) di Surabaya, mantan presiden
tersebut mengaku sangat gembira atas proses pemungutan suara yang
dinilainya demokratis. Dalam pemungutan suara yang dilakukan secara
terbuka, Gus Dur hanya didukung 17 suara. Sedangkan 18 suara lainnya
menentangnya dan menghendaki reposisi Sekjen DPP PKB dilaksanakan
setelah pemilu. Walaupun Gus Dur kalah dalam pemungutan suara tentang
reposisi Saifullah Yusuf sebagai Sekjen DPP PKB, Gus Dur yakin,
berlangsungnya tatanan demokrasi dalam tubuh PKB tersebut akan
memberikan nilai positif. Sebab, masyarakat pemilih akan mencatat
bahwa PKB merupakan partai yang benar-benar demokratis.125
Mungkin masih bisa menaruh kebanggaan dan
harapan kepada mantan Presiden keempat negara Indonesia, yakni K. H.
Abdurrahman Wahid. Umumnya, orang kalau sudah menjadi mantan
Presiden, baik di negerinya sendiri maupun di negerinya-negeri lain,
dia tak lagi memiliki kepedulian yang tinggi atas apa yang tengah di
hadapi bangsanya. Tetapi tidak demikian dengan Gus Dur, sang mantan
Presiden.
Lepas dari jabatan Presiden, Gus Dur justru
terlihat semakin aktif dengan persoalan-persoalan kebangsaan.
Jadinya, seakan-akan ia belum turun dari jabatan itu. Agenda
kunjungannya ke berbagai daerah semakin padat, demikian juga dengan
agenda ilmiah di berbagai perguruan tinggi yang mengundangnya. Dan
satu hal yang tak pernah terlewat dari wacana yang di sampaikan dan
di kembangkan Gus Dur, yakni kritik terhadap negara.
Kritiknya terhadap negara,
selalu bersuara pada pengembangan budaya demokrasi dan supremasi
hukum, termasuk di dalamnya adalah perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia. Dan nilai-nilai inilah memang, yang
sejak lama menjadi misi perjuangan hidupnya, baik sebagai pribadi
maupun sebagai warga bangsa. Bahkan itu pula yang terus ia
perjuangkan tatkala menjadi kepala negara.126
B. K. H. Abdurrahman Wahid dan Transisi Demokrasi
Pasca kejatuhan rezim Soeharto (rezim pemerintahan yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun yang dikenal dengan sebutan rezim Orde Baru) menurut para pakar politik Indonesia di katakan tengah memasuki era transisi menuju demokrasi. Era transisi menuju demokrasi mengandung pengertian bahwa tengah terjadi peralihan dari suatu rezim yang berkuasa dengan sistem dan cara otoriterianisme menuju sutau tatanan kehidupan kenegaraan yang mencerminkan nilai dan prinsip-prinsip demokrasi. Jatuhnya rezim pemerintahan Soeharto, kemudian digantikan oleh wakil Presiden Habibie sebagai Presiden yang berlangsung sangat singkat kemudian digantikan oleh K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih secara konstitusional dan demokratis melalui sistem demokrasi perwakilan dari suatu pemilu yang cukup demokratis merupakan indikasi awal tengah terjadi proses demokratisasi di Indonesia.127
Salah satu aksioma dalam sistem politik demokrasi adalah bahwa demokrasi tidak mungkin di wujudkan tanpa adanya rule of law. Mengapa demikian? Jawabannya tentu tidak sulit. Demokrasi, yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar seperti hak menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, berkumpul dan berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang di patuhi bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan, karena adanya perbedaan-perbedaan dalam hal akses, kemampuan, status dan kelas sosial, gender dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak biasa terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum, sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil.128
Dalam era reformasi seperti sekarang ini timbul suatu pertanyaan K. H. Abdurrahman Wahid; mungkinkah demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan pada periode setelah pemilu yang akan datang (pemilu 2004)? Jawaban atas pertanyaan di atas adalah tidak. Pertanyaan ini tentulah mengejutkan banyak pihak, karena dalam kenyataan telah terjadi perubahan besar dalam panggung politik yang lebih memberikan peluang bagi tegaknya demokrasi seperti berdirinya beberapa partai politik yang hampir semuanya bertujuan menegakkan demokrasi. Partai-partai tersebut juga didukung oleh cendekiawan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, serikat-serikat buruh, dan media massa. Siapa yang berani memberikan jawaban negatif atas pertanyaan di atas akan dimusuhi banyak orang. Hanya kejujuran yang murni sajalah yang dapat mendorong orang berbicara seperti itu secara terbuka dalam media massa.
Menurut K. H. Abdurrahman Wahid, bahwa konstelasi politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya karena masih banyaknya rekayasa dan intrik yang berlaku. Di samping itu, masih ada lembaga-lembaga pemerintahan yang mempertahankan status quo. Demikian pula undang-undang pemilu dan sistem politik yang ada masih memungkinkan terjadinya hal itu. Dan yang lebih penting, tradisi yang belum melahirkan budaya politik yang sehat.
Apakah ini berarti akan kembali pada masa Orde
Baru,
yang berisi kenyataan pahit bahwa pemerintah pusat menguasai
segala-galanya? Dan bukankah ini juga berarti pemerintahan akan
diserahkan kepada satu orang saja? Kalau bersedia melakukan perubahan
dan pembenahan yang serius dan efektif tentulah hal ini tidak akan
terjadi. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan di antaranya adalah
pola hubungan antara pusat dan daerah yang lebih berimbang. Ini
penting dilakukan kalau Indonesia ingin tetap menjadi satu negara
yang utuh (negara kesatuan). 129
Sejak hari pertama Gus Dur
pada waktu menjadi Presiden jelas sudah bahwa salah satu lagi
tantangan utama yang menghadang demokratisasi di Indonesia adalah
bagaimana memecahkan masalah konflik kelompok dan agama. Konflik ini
terbukti pada bulan-bulan berikutnya. Bagaimanapun juga, demikian
menurut para pengkritiknya, Presiden telah menghabiskan seluruh karir
publiknya untuk berkampanye menentang kekerasan sektarian, sebagai
presiden, ia tak mampu menyelesaikan masalah ini? Gus Dur sendiri
sangat terganggu oleh berlanjutnya konflik di Maluku, Kalimantan,
Sulawesi, atau juga di Jawa. Ia merasa prihatin karena ia benar-benar
benci adanya perpecahan. Ia juga merasa frustasi
sebagai
seorang pemimpin politik karena kenyakinannya bahwa konflik, paling
tidak dalam beberapa kasus memang sengaja di ciptakan sebagai bagian
dari suatu kampanye sinis untuk memojokkan pemerintahannya.
Sejumlah manifestasi
sektarianisme memang mengganggu tetapi untunglah tidak berkembang
menjadi pertumpahan darah yang serius. Hal inilah yang terjadi dengan
Front pembela Islam (FPI), yang secara teratur menyerang kafe-kafe
dan bar-bar di Jakarta dan menimbulkan kerugian materiil yang tidak
kecil tetapi jarang menimbulkan korban luka atau tewas.130
Dewasa
ini masa Islam memang berada dalam situasi resah, karena berbagai
faktor. Proses pembangunan bangsa secara keseluruhan masih belum
jelas warna dasarnya, apakah akan menuju kepada tekanan semakin lama
semakin berlebih pada pengembangan hak-hak masyarakat, atas kerugian
hak-hak individual yang semakin berkurang. Perkembangan keadaan juga
masih belum menunjukkan tanda-tanda asas kekeluargaan akan menjadi
“warna dasar” struktur ekonomi bangsa Indonesia, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 33 UUD 1945. keterasingan masyarakat satu dari
yang lain kian hari kian terasa, karena distorsi konsep-konsep yang
digunakan dalam mengatur kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya
diakibatkan meluasnya penyalahgunaan wewenang semua pihak. Semuanya
itu memang sumber kegundahan bagi warga masyarakat selaku individu
maupun sebagai anggota kelompok. Dengan demikian, tawaran alternatif
senantiasa akan memperoleh sambutan, sebagai “obat penawar” bagi
keadaan yang menggundahkan perasaan itu. Namun haruslah di ingat,
bahwa penerimaan seperti itu kepada sebuah tawaran alternatif hanya
akan berumur pendek, selama sebab-sebab kegundahan hati itu masih
ada. Sedangkan bangsa Iran yang secara formal telah menerima “sistem
sosial Islam” sebagai alternatif ideologis bagi semangat kebangsaan
Iran yang dominan sebelumnya, masih juga harus membuktikan bahwa
penerimaan Islam sebagai hakekat negara akan bertahan setelah
Ayatullah Khomaeni meninggal dunia nanti. Apalagi kalau “respon
positif” itu hanya diperoleh dari kelompok-kelompok kecil yang
berserakan.
Selama kelompok-kelompok
“tawaran alternatif” itu belum berhasil membuktikan penerimaan
luas oleh masyarakat Muslim sendiri, sudah selayaknya jika pandangan
bahwa Islam adalah faktor komplementer
bagi
ideologi negara pancasila dianggap sebagai representasi dominan
dikalangan masa Islam. Dengan demikian, pengertian kata “umat”
Islam lalu menjadi umum, meliputi semua kaum muslimin di Indonesia.
Demikian pula, format perjuangannya adalah partisipasi penuh dalam
upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan penuh keadilan di
masa depan. Dan akhirnya tujuan perjuangannya adalah memfungsikan
Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dari masyarakat Indonesia. Kesanalah hendaknya kesadaran
massa Islam diarahkan dan dikembangkan oleh gerakan Islam di negara
Indonesia.131
Persoalan pertama yang bakal
dihadapi duet kepemimpinan Gus Dur-Mega adalah berkaitan dengan
urusan pembentukan kabinet. Banyak spekulasi dan rumor yang beredar
luas mengenai macam-macam versi mengenai komposisi kabinet
pemerintahan baru ini. Realitas kepolitikan pada saat itu membuat
Presiden K. H. Abdurrahman Wahid bersikap sangat hati-hati. Ia
dihadapkan oleh beberapa spektrum yang saling berbeda dan
masing-masing membutuhkan untuk di akomodasi. Satu sisi, Gus Dur
terkait dengan idealitas semangat reformasi politik yang menuntut
dirinya untuk mempertegas sikapnya tidak berkompromi dengan kekuatan
yang dianggap sebagai batu sandungan bagi jalannya reformasi politik
secara keseluruhan. Dalam hal ini tuntutan yang dikehendaki para
reformasi garis keras, terutama yang kerap disuarakan kalangan
aktivis mahasiswa, telah sangat jelas, pembersihan dari tentara dan
orang-orang berbau Orde Baru. Mereka menghendaki Gus Dur segera
mengembalikan tentara kepada peran profesionalnya alias kembali
kebarak. Dengan dicabutnya Dwi Fungsi, maka banyak harapan ditujukan
kepada Presiden K. H. Abdurrahman Wahid untuk tidak mengakomodasi
unsur militer dalam pemerintahan baru.132
Sejak menjabat Presiden RI Oktober 1999, Gus
Dur telah melakukan 'revolusi besar' terhadap bangunan politik luar
negeri dan diplomasi Indonesia. Gus Dur memberikan fokus perhatian
tinggi pada dinamika internasional. Ini terbukti dengan tingginya
frekuensi lawatan sang presiden ke luar negeri.
Lawatan Gus Dur tidaklah semata-mata 'proyek
anjangsana'. Terdapat sinyal substansial dan strategis bagi
peningkatan citra Indonesia di mata dunia dan juga pemulihan ekonomi
nasional. Pertemuan-pertemuan Gus Dur dengan sejumlah kepala negara
menunjukkan bahwa Gus Dur mempunyai level akseptabilitas
tinggi.
Di samping itu Gus Dur pun, secara sadar atau
tidak, telah merombak format hubungan luar negeri Indonesia. Jika
dahulu-terutama di era Orde Baru - Indonesia sangat mengedepankan
pola hubungan multilateral, maka kini aspek bilateral menjadi lebih
dominan. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat jika Indonesia
membutuhkan dukungan dari negara-negara tertentu, terutama dalam
rangka memperjuangkan kepentingan nasional di fora internasional.
Selama masa tiga bulan pertama, kepemimpinan
Gus Dur sudah menebar signifikasi corak diplomasi. Secara bilateral,
dukungan dari kepala negara lain terhadap pemerintahan Gus Dur telah
meningkatkan postur pribadinya sebagai kepala negara. Konsekuensinya
citra Indonesia merambat naik. Tentu saja fenomena tersebut
memberikan imbas positif terhadap dinamika kerja sama ekonomi, paling
tidak dalam hal komitmen pengaliran investasi.
Pada konteks politik internasional, diplomasi
Gus Dur ke negara-negara berpengaruh seperti ke AS dan RRC turut
membantu posisi Indonesia menahan gempuran komunitas internasional.
Padahal Indonesia tengah dihadang ancaman serius international
tribunal, terutama menyangkut
pelanggaran HAM pasca jajak pendapat Timor Timur. Dukungan bilateral
dari RRC - dengan hak vetonya - akan sangat membantu bargaining
position Indonesia dalam melawan
CIET (Commission of Inquiry on East Timor) yang begitu bersemangat
membawa Indonesia ke pengadilan internasional. Sekjen PBB Kofi Annan
pun memberikan sinyal positif bahwa Indonesia, untuk sementara, tidak
akan 'digugat'.
Gus Dur juga tidak semata-mata tunduk pada
kekuatan negara lain. Australia, misalnya, yang pada masa pascajajak
pendapat Timtim mendapat 'kehormatan' memimpin pasukan internasional
dalam operasi perdamaian namun sekaligus menginjak-injak harga diri
bangsa Indonesia, 'ditelantarkan' begitu saja oleh sang Presiden.
Padahal, sebagai negara tetangga, sangat wajar kalau Australia
bertanya-tanya, mengapa Gus Dur tidak kunjung menyapa Australia. Dan
ternyata Gus Dur telah menang satu poin atas Australia, yaitu dengan
datangnya Menlu Alexander Downer ke Jakarta pada akhir Januari untuk
memfasilitasi pertemuan kedua kepala negara. Jadi jelas, Australia
pun 'memerlukan' Gus Dur. 133
Kunjungan ke luar negeri yang memecahkan rekor
kunjungan seorang pemimpin negara menunjukkan kapasitasnya, meskipun
tidak sedikit yang melihat ia lebih outward
looking ketimbang inward
looking, dan belakangan Gus Dur
menegaskan bahwa masalah dalam negeri tetap menjadi prioritas
utamanya. Lebih dari itu, justru banyak pemimpin negara lain
mengharapkan kunjungannya, ia memang disegani. Gus Dur merupakan
seorang pemimpin dianggap memiliki Kharisma.
Pemimpin kharismatik dicirikan bahwa
pengikutnya: (a) mempunyai loyalitas dan komitmen yang tinggi, dan
penuh dedikasi kepada pemimpin, (b) memihak kepada pemimpin dan misi
pemimpin, (c) mengikuti nilai, tujuan dan perilaku, (d) melihat
pemimpin sebagai sumber inspirasi, (e) mendapat rasa harga diri dari
hubungan mereka dengan pemimpin dan misinya, dan (f) mempunyai
derajat kepercayaan yang luar biasa.134
Duta Besar Inggris, Richard Gozney menyatakan
meski kurang dari dua tahun memimpin Indonesia, KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) memberi peran besar dalam demokratisasi di Indonesia.
Karena itu sejarah akan mencatat peran Gus Dur sebagai pendidikan
politik yang paling berharga sehingga anak cucu bangsa Indonesia
tidak boleh melupakan jasa Gus Dur tersebut.
Lebih lanjut Richard Gozney
menjelaskan, salah satu andil besar Gus Dur dalam pendidikan politik
bagi bangsa Indonesia adalah memposisikan peran TNI sebagaimana
diatur dalam konstitusi yang berlaku di Indonesia. Dikatakan Gozney,
jasa lain Gus Dur dalam pendidikan demokrasi adalah memberikan
kebebasan pers. Gus Dur sangat paham, pers yang bebas merupakan salah
satu pilar demokrasi.135
Gus Dur adalah bagian terpenting dalam transisi
demokrasi. Gus Dur cukup keras kepala dalam menegakkan demokrasi dan
perjuangannya dalam penegakan HAM. Ketika naik sebagai Presiden, Gus
Dur seraya berkeinginan untuk memindahkan wajah pemerintahan yang
otoriter menuju pemerintahan demokratis. Kenapa dia sebagai unsur
terpenting dalam transisi demokrasi? Karena dalam transisi demokrasi
di butuhkan seorang demokrasi sejati, hal ini sudah menjadi dalil.
Selanjutnya, disamping dia dibutuhkan sebagai tokoh demokrasi,
pluralis dan pembelaan HAM, dia juga merupakan bagian dari komitmen
terpenting dalam rangka menjalankan agenda-agenda reformasi.
Dengan demikian komitmen
yang harus dilakukan adalah ; pertama,
membentuk konstitusi reformasi yang menggantikan konstitusi lama.
Kedua,
melakukan supremasi sipil dibidang politik, keamanan/teritorial dan
bisnis atau perekonomian sebagai pintu demokrasi. Ketiga,
adanya pengadilan terhadap para pelaku pelanggar HAM sepanjang
pemerintahan Soeharto dan Habibie. Keempat,
pengadilan terhadap pelaku KKN dan menyelenggarakan kebijakan
desentralisasi atau otonomi daerah, yang juga merupakan lokomotif
untuk menuju demokrasi. Kelima,
keberpihakan terhadap kaum pekerja atau buruh. Keenam,
keberpihakan pada para petani karena kebetulan mayoritas warga negara
yang dipimpin oleh Gus Dur sewaktu jadi Presiden, kebanyakan adalah
petani. Dari ketujuh itu Gus Dur memiliki komitmen. Dan yang
terpenting juga dalam transisi demokrasi ini adalah bagimana caranya
membuat, mengurangi atau menghancurkan kekuatan lama-yang anti
demokrasi-yang masih menganggu.
Dalam transisi demokrasi
terdapat tiga syarat. Pertama,
harus ada institusi demokrasi, yaitu ada legislatif, yudikatif,
eksekutif, ada pers dan pemilu. Kedua,
adanya proses demokrasi yaitu fungsi dan peran-peran yang
dilakukannya oleh institusi. Ketiga,
adanya input dalam proses dan dalam lembaga. Inilah yang paling
krusial dalam transisi demokrasi dan selama ini input berasal dari
elemen-elemen kekuasaan Orde Baru dan Militerisme.136
Cara yang paling sederhana untuk menjelaskan
cakupan masalah yang dihadapi Gus Dur-sementara diakui bahwa
manajemennya lemah dan semua gaya kepemimpinannya, dan juga bahwa ia
cenderung untuk melakukan komunikasi yang tidak benar-adalah bahwa
sebagai Presiden Indonesia pertama yang dipilih secara demokratis, ia
menghadapi tugas sulit untuk mengawasi proses berat pergantian rezim.
Menurut sejarah, bagi setiap negeri yang telah mengalami
bertahun-tahun pemerintahan otoriter yang didukung oleh tentara,
peralihan ke demokrasi merupakan kesulitan yang sangat besar.
Kasus-kasus di Pakistan dan Rusia menunjukkan bahwa tidak ada jaminan
untuk mendapatkan cahaya pada ujung lain terowongan kadang-kadang
bahkan orang tidak yakin bahwa memang terowongan ini berujung.
Beberapa aspek mengenai proses pergantian rezim yang tengah di hadapi
Indonesia tampak unik, akan tetapi kebanyakan, pengamat akan dengan
cepat di kenal dimana saja, apakah di Amerika Laten, Eropa Timur,
atau Asia Timur. Perbedaan penting dalam hal Indonesia adalah bahwa
negeri ini memulai transisi ke demokrasi di tengah-tengah krisis
keuangan yang dahsyat. Akan tetapi, tantangan utama yang dihadapi
negeri ini adalah sama dengan apa yang dihadapi oleh masa-masa
peralihan pada umumnya; berurusan dengan kebudayaan dari warisan
kelembagaan dari rezim terdahulu.
Hal paling melemahkan yang
menghambat Gus Dur dan berasal dari rezim yang belum lenyap itu
adalah warisan budaya yang tak kelihatan tetapi merusak tanah tempat
berakarnya demokrasi-setidaknya di kalangan masyarakat elit.
Sedihnya, budaya mencari rente dari rezim Soeharto-walaupun
menyatakan dirinya sebagai rezim pembangun, tetapi sebenarnya tak
lebih dari pada sistem waralaba untuk mencari untung dan kesempatan
saja-masih tetap berlaku.137
Masa kepresidenan Gus Dur
ditandai oleh makin kuatnya posisi DPR diatas eksekutif. Tentu saja,
diperlukan DPR yang vokal dan terus terang agar demokrasi dapat
berfungsi. Akan tetapi suatu DPR tanpa chek
and balances
konstitusional yang cukup, lewat kontrolnya yang efektif terhadap
MPR, akan berubah menjadi hukum itu sendiri. Lembaga ini tidak
mendorong berfungsinya demokrasi. Itulah yang terjadi pada UUD 1945,
yang selama empat dasawarsa memberikan pelayanan yang baik kepada
Presiden-Presiden yang otoriter, tidak dapat menjamin bahwa seorang
Presiden yang demokratik, dalam batas-batas yang masuk akal, bebas
melakukan pekerjaannya.138
Menurut Nurcholish Madjid
atau Cak Nur (Rektor Universitas
ParamadinaMulya),
Gus Dur merupakan
presiden pertama yang secara sadar memperjuangkan pluralisme,
toleransi, antikekerasan, dan menyadari sepenuhnya bahwa ia mewakili
masyarakat secara keseluruhan. Cak Nur mengemukakan, Sidang Umum MPR
1999 merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk melembagakan
oposisi. Namun kenyataannya semua ingin menjadi "priyayi",
masuk kabinet, dan dapat pangkat. Godaan untuk menjabat itu begitu
kuat karena biasanya jabatan sejajar dengan kekayaan. Oleh karena
itu, menurut Cak Nur, perlunya oposisi harus terus ditanamkan dalam
masyarakat sampai masyarakat merasa terhormat untuk menjadi oposisi,
berada di luar pemerintahan, dan tidak mempunyai derajat atau
pangkat.
Oposisi, kata Cak Nur, tidak harus dipahami sebagai menentang. Dalam
konteks politik, oposisi merupakan kekuatan penyeimbang karena
persoalan sosial dan politik tidak boleh dipertaruhkan pada i'tikad
baik pribadi. Oposisi diperlukan untuk mengingatkan bahwa tidak ada
orang yang tidak bisa berbuat salah. Indonesia, lanjut Cak Nur, sudah
berhasil mencapai tahap demokrasi. Tahapan selanjutnya adalah tahap
yang sangat sulit, tahap yang menuntut kedewasaan dan kesanggupan
menerima keragaman. Persoalan yang dihadapi adalah bangsa Indonesia
masih belum terlatih menyelesaikan masalah melalui otot bukan akal.
Padahal demokrasi tidak bisa didukung oleh mob politics.
Menurut Cak Nur, Indonesia merupakan bangsa yang relatif baru dan
dengan pengalaman yang panjang sebagai masyarakat terjajah.
Demokrasi, kata Cak Nur, bukanlah sesuatu yang jatuh dari atas
melainkan kategori dinamis yang tumbuh melalui pengalaman dan
eksperimentasi. Dalam eksperimentasi ini ada masalah mencoba dan
salah (trial and error).
Sekjen KIPP Mulyana W Kusumah mengemukakan
pentingnya membangun oposisi di Indonesia. Pemerintahan Gus Dur, kata
Mulyana, menghadapi berbagai persoalan, seperti ketidakmampuan
mengambil langkah strategis dalam masalah disintegrasi, kekhawatiran
munculnya neokroniisme akibat politik akomodasi dan
neo-otoritarianisme, dan relasi parpol dengan pemerintah yang menutup
peluang oposisi parlementer.
Bertolak dari penilaian itu Mulyana
mengemukakan, penumbuhan oposisi parlementer maupun ekstraparlementer
yang konstruktif menjadi sangat penting. Tiga fungsi yang harus
dijalankan serentak adalah institusionalisasi kontrol politik yang
efektif, konsolidasi demokrasi dengan penguatan partisipasi, dan
prevensi atas kemungkinan dipilihnya jalan keluar inkonstitusional.
"Tanpa oposisi parlementer dan
ekstraparlementer yang efektif mengancam munculnya replikasi rezim
otoritarian gaya baru dan tertutupnya jalan demokrasi yang
emansipatif," kata Mulyana. 139
Harus ada satu ketegasan
bahwa sekarang sedang hendak menuju kesuatu rezim demokrasi dan
karena harus memiliki hak dan kewajiban untuk mempertahankan rezim
demokrasi. Dana SI yang mencapai 20 milyar lebih itu sama sekali
tidak ada hubungannya dengan upaya penegakan demokrasi. Karena sumber
penyakit dalam membangun demokratisasi di Indonesia ini adalah
kekuatan anti demokrasi yang masih terdapat di legislatif untuk
menyerang eksekutif. Jadi, kalau sudah terdapat konstitusi demokrasi,
maka untuk merangkul kekuatan demokrasi dan meninggalkan kekuatan
anti demokrasi itu dilandasi oleh aturan-aturan konstitusi. Dalam
transisi demokrasi yang dibutuhkan adalah adanya kaum moderat yang
menciptakan konstitusi demokrasi untuk memberikan garis tegas dalam
menegakkan demokrasi sendiri.140
Tak seorangpun pernah membayangkan bahwa
peralihan ke demokrasi di Indonesia akan lancar, tetapi pada awalnya
sejumlah kecil reformasi, termasuk Gus Dur, sepenuhnya memahami
besarnya tugas ini. Oleh karena itu, termasuk akal orang yang merasa
kecewa dengan masa kepresidenan Gus Dur, tetapi, mengingat keadaan
dimana Gus Dur yang harus melaksanakan, ia sebenarnya patut menerima
lebih banyak pujian dari pada yang telah diberikan pada umumnya.
Gus Dur mempunyai sejumlah
sifat yang jarang ditemui sekaligus dalam diri seseorang. Ia seorang
idealis dalam hal apa yang ingin dicapainya dan nilai-nilai yang
diagungkannya secara konsisten sepanjang hidupnya. Tetapi ia juga
seorang realis disertai perasaan yang tajam mengenai real politik.
Keyakinannya bahwa "politik adalah seni tentang hal-hal yang
mungkin" cocok bagi masa transisi karena masa ini memang
biasanya berantakan tak dapat dilalui tanpa kompromi terus-menerus.141
C. K. H. Abdurrahman Wahid, Militer dan Demokratisasi
Kehadiran
militer secara institusional serta personal di'kawasan'sipil telah
banyak di persoalkan selama ini. Pertanyaan akan hal itu telah
menjadi kecenderungan umum, dan lazimnya dipahami sebagai bagian dari
satu persoalan besar, yakni demokratisasi. Bisa melihat berbagai
manifestasi doktrin militerisme, antara lain sakralisasi negara yang
mesti dibela sampai mati, serta penciptaan kondisi darurat yang
membenarkan tindakan kekerasan. Etika militerisme bersifat meniadakan
dialog, mematikan alternatif dan mengagungkan agresi. Secara
organisasional, militerisme pada umumnya muncul dalam pola
pengorganisasian yang hierarkhis, sentralistik, dan dikendalikan oleh
komando.
Perwujudan
nilai-nilai militerisme seperti itu dalam perilaku ditandai oleh
kecenderungan pada tindakan penyeragaman, kekerasan, disiplin buta,
dan penerapan hukuman yang bersifat fisik serta menghina.
Ujung-ujungnya, semua ini bisa bernuansa pada pemujaan simbol-simbol
militer sebagai pengakuan atas supremasi militer. Jelaslah bahwa
mileterisme merupakan jalinan yang amat rumit dari prinsip, etika,
organisasi, hingga perilaku yang merambah ke dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat.
Militerisme
sangat berkaitan dengan format kenegaraan yang militeristik,
disamping juga berkaitan dengan terjadinya militerisasi politik. Akan
tetapi, 'Militerisme','militeristik' merujuk pada watak
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang didominasi oleh militer
yang disertai oleh pola yang amat militer, sedangkan 'militerisasi'
merujuk pada tampilnya lembaga dan atau individu militer menguasai
lembaga-lembaga non –militer. Sementara itu, militerisme disini
dimaknai sebagai ekspansi prinsip, cara berfikir, bersikap dan
bertindak dalam logika militer diluar organisasi kemiliteran.
Nilai-nilai militer itu sendiri bukan sesuatu yang mesti dimaknai
buruk, dan dengan demikian persoalannya bukan terletak pada makna
militer itu, melainkan pada penerapan nilai itu diluar ranah (bidang
tata tertib/disiplin) semestinya.
Sejarah
indonesia modern adalah sejarah yang penuh dengan aroma dan gejolak
revolusi, yang didalamnya militer banyak memegang posisi penting.
Sekalipun militer termasuk organ yang 'agak lambat' dipikirkan oleh
para founding fathers,
namun selama tahun-tahun awal kemerdekaan justru kalangan inilah yang
banyak berperan dan berinteraksi langsung dengan rakyat banyak.
Kalangan militer sendiri dengan sangat manis menyebut peran mereka
selama masa revolusi sebagai sumbangsih dari kaum 'pejuang prajurit
dan prajurit pejuang'. Ketika penguasa sipil akhirnya menyerah pada
tentara pendudukan Belanda pada tahun1948, kalangan militer justru
memilih untuk bergerilya di hutan, menjaga eksistensi negara selama
proses diplomasi internasional berjalan.
Memang
fakta sejarah menunjukkan bahwa kekalahan Belanda di Indonesia
tahun1949 lebih banyak ditentukan oleh strategi diplomasi Indonesia
yang berjalan simultan dengan tekanan internasional terhadap Belanda.
Namun rakyat banyak tak melihat semua perjuangan ditingkat
Internasional itu. Yang mereka lihat adalah para tentara yang berbaur
bersama mereka di desa-desa, berjuang hingga akhirnya para pemimpin
sipil dibebaskan dan kemerdekaan bangsa diakui. Selam masa dimana
administrasi sipil mengalami kelumpuhan, praktis para tentaralah yang
menjadi penjaga kelangsungan tata praja. Kesan manis dikalangan
rakyat ini kemudian diimbuhi oleh centang perenangnya para politisi
sipil ditahun 1950-an, yang menghasilkan situasi politik yang amat
awam 'pemulihannya' baru bisa dilakukan oleh penguasa militer Orde
Baru.142
Pengalaman
panjang sejak Soeharto melihat intervensi militer dalam struktur
politik secara membabi buta, telah menyulitkan gerak bandul mengarah
pada supremasi sipil. Bahkan kerusakan kian terasa, seperti, 1)
lahirnya rezim politik yang berwatak otoriter, 2) lemahnya kekuatan
rakyat karena tidak tersedia ruang kontrol dan partisipasi, 3)
hilangnya profesionalisme militer. Ketiga akibat itu mengalami
kelembagaan secara permanen, dimana kenyataan rezimentasi militer
dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi kian bergeser dari
dominasi menjadi hegemoni. Tak pelak lagi jika militerisasi sebagai
penyakit menahun ini akhirnya mentransformasikan diri dalam bentuk
militerisme, yakni sebagai karakter, kultur dan ideologi yang bekerja
efektif dalam ranah
politik Indonesia. Fakta mengenai dominasi militer atas birokrasi,
kendali terhadap parpol dan parlemen, penguasaan pada Ormas, maraknya
premanisme ekonomi, bisnis kekerasan serta membelukarnya institusi
teritorial, bahkan sampai penguasaan pada arena pendidikan tidak bisa
dielakkan sebagai fakta-fakta objek mengenai problem militerisasi dan
militerisme itu. Munculnya tradisi kontemporer sebagai efek langsung
militerisme adalah reproduksi konflik dan kekerasan horisontal, yang
ditandai oleh menjamurnya milisi sipil bergerak dalam setiap sengketa
di masyarakat.
Problemnya
adalah, langkah-langkah membendung bertahan dan bercokolnya rezim
"serdadu" selalu berbenturan dengan kelompok status
quo yang masih eksis dalam struktur politik
Indonesia. Jalan demiliterisasi pernah ditempuh pemerintahan Gus Dur
melalui tindakan nyata dengan mengurangi jabatan-jabatan politik
oleh militer. Mengurangi porsi menteri yang dimonopoli tentara,
jabatan-jabatan eksekutif di daerah seperti Gubernur dan Bupati,
serta institusi-institusi ekonomi strategis yang dikuasai militer,
lalu diberikan kepada sipil. Demikian halnya kebijakan pemisahan
militer dan kepolisian yang dilandasi oleh pembedaan antara peran
pertahanan dan keamanan. Pemisahan kelembagaan keduanya secara tegas
tentu penting dipahami sebagai bagian reformasi hubungan sipil
militer di Indonesia dalam rezim demokratik. Semangatnya adalah, agar
keduanya bisa profesional, serta mengurangi derajat kekacauan peran
mereka, sebagaimana pengalaman masa lalu. Sayangnya langkah itu
berhadapan dengan bongkahan batu sandungan.143
Ketentuan
yang memisahkan tugas pertahanan dan keamanan, pada awalnya, bahkan
untuk sebagian sampai sekarang, telah menimbulkan persoalan kompetisi
dan hubungan kelembagaan yang diwarnai oleh beban psikologis. Sulit
di hindarkan munculnya kesan bahwa sejak keluarnya kedua Tap MPR itu
telah terjadi persaingan yang kurang sehat antara TNI dan Polri.
Sebagai contoh, beberapa masalah dapat di kemukakan disini.
Pertama,
semua TNI dan Polri berada dibawah satu institusi yang bernama
angkatan bersenjata republik Indonesia (ABRI) yang dipimpin oleh
menhankam/pangab (Menteri pertahanan/panglima angkatan bersenjata)
dan Polri berada pada posisi yang paling lemah diantara tiga angkatan
lainnya yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Setelah keluarnya dua Tap MPR tersebut, kedudukan Polri menjadi
sejajar dengan TNI dan seorang Kapolri berkedudukan sejajar dengan
seorang panglima TNI dalam jabatan setingkat menteri.
Kedua,
setelah keluarnya dua Tap MPR tersebut, Polri mandiri penuh, sebagai
aparat negara setingkat departemen, dalam menentukan bidang kebijakan
dan anggaran; sedangkan TNI, meskipun juga mandiri setingkat dengan
departemen, kebijakan pertahanan dan anggarannya masih bergantung
kepada departemen pertahanan. Panglima TNI hanya mempunyai kewenangan
operasional dan komando kemiliteran. Diam-diam, hal ini menimbulkan
kecemburuan dikalangan TNI karena Polri, yang semula berada di bawah
angkatan-angkatan militer, sekarang bukan saja menjadi sejajar secara
struktural tetapi juga menjadi lebih kuat kemandiriannya di banding
dengan TNI. Pernah ada pemikiran agar masalah kebijakan dan anggaran
untuk Polri ini di serahkan kepada salah satu menteri teknis yang
lain, seperti menteri dalam negeri, menteri pertahanan, menteri
kehakiman, atau kejaksaan agung. Namun, gagasan ini tidak
terealisasikan, sampai akhirnya Polri berhasil menggolkan sebuah
undang-undang tentang Polri yang menguatkan kemandirian dalam
kelembagaan dan anggaran.
Ketiga,
adanya tugas berhimpit antara pertahanan dan keamanan dalam apa yang
disebut sebagai grey areas
(wilayah abu-abu) sehingga tidak jelas siapa yang berwenang
menanganinya. Dalam masalah ini, ada kasus-kasus yang terjadi di
dalam negeri (dengan sifat ancaman keamanan) tetapi bercampur dengan
unsur campur tangan luar negeri (denga sifat ancaman pertahanan).
Dalam keadaan seperti ini, ada resiko bahwa kedua aparat ini bisa
saling berebutan karena masing-masing itu menganggap lahannya, atau
sebaliknya saling berpangku tangan karena merasa itu bukan tugasnya.
Kasus pengeboman yang terjadi di beberapa tempat (seperti kasus Bursa
Efek Jakarta) bisa disebut sebagai contoh. Karena terjadi didalam
negeri, kejadian itu dapat dilihat sebagai masalah keamanan, tetapi,
karena tidak jarang sifatnya di duga melibatkan unsur asing yang
mengancam integrasi, hal itu dapat dilihat juga sebagai masalah
pertahanan. Baik saling berebutan maupun saling berpangku tangan sama
jeleknya bagi keadaan pertahanan keamanan (Hankam). Sebab, jika
saling berebutan bisa terjadi konflik, tapi jika saling berpangku
tangan masalahnya bisa tak terurus.
Pemisahan
antara Polri dan TNI seperti itu merupakan bagian dari agenda
reformasi yang sejak lama menginginkan Polri dijadikan aparat sipil.
Tetapi, beban psikologis yang ditinggalkan oleh keterlanjuran
menyatunya Polri dan TNI yang cukup lama sepanjang Orde Baru telah
secara tiba-tiba menimbulkan rivalitas yang memerlukan waktu agak
lama pula untuk di sembuhkan.144
Indonesia,
sampai hari ini masih dalam proses transisi, dalam pengertian mungkin
secara fisik mereka ikut saja, secara pemikiran berbeda. Dalam hal
ini jasa Gus Dur adalah menempatkan sipil dalam menteri pertahanan
dan itu jasa yang harus diakui. Karena kalau tidak ada keberanian
untuk melakukan hal semacam itu, militer sulit dikontrol.
Perkembangannya, ditentara itu dari politik menuju keprofesional,
tapi ini transisi. Mungkin dibawah bisa diatur, artinya
profesionalisme bisa dipertahankan. Tapi, diatas (elite militer)
tidak segampang seperti yang dibawah. Ambil contoh begini, ketika Gus
Dur masih berada dalam tataran pemikiran dekrit, mereka membicarakan
dengan kepala staf dan panglima. Tapi, kemudian yang terjadi adalah
melakukan tindakan reaktif dengan mengumpulkan pangdam kemudian
ramai-ramai menolak dekrit, lalu Kostrad buat apel siaga, padahal hal
itu di gulirkan baru berupa wacana. Kalau mereka memang profesional
mereka sampaikan kepada Presiden dan bilang akan mengundurkan diri
karena menolak dekrit. Tapi, ternyata tidak, karena kepentingan
militer masih sangat besar untuk menuju kesikap yang profesional
masih dalam tahap transisi.145
Pengikisan
sejumlah hak istimewa militer seringkali menciptakan dilema. Disatu
sisi, supremasi sipil memang mengharuskan pengurangan wewenang
militer dan membatasi militer pada misi profesionalnya yang lebih
spesifik, yaitu pertahanan. Disisi lain, agar tercipta stabilitas
politik, maka konflik sipil-militer harus ditekan sekecil mungkin.
Mengurangi wewenang dan kekuasaan militer hampir selalu memunculkan
konflik antara sipil-militer. Apa yang dilakukan Gus Dur selama ini,
dengan sejumlah kebijakannya, tidaklah diterima begitu saja oleh
pihak militer. Beberapa keputusan tersebut telah memunculkan konflik
laten antara Gus Dur dengan militer.146
Konflik
yang semakin mengeras antara Gus Dur dengan parlemen ternyata secara
politis sangat mengganggu posisi TNI dan Polri. Ketika legitimasi Gus
Dur di mata parlemen turun drastis, perlawanan TNI semakin terbuka.
Mobilisasi para pangdam yang dilakukan oleh KSAD untuk menolak
pergantiannya, perlawanan sejumlah perwira Polri terhadap rencana
pencopotan Kapolri, dukungan resmi MPR terhadap penolakan-penolakan
ini, pernyataan resmi Pangab yang menolak dekrit Presiden, dukungan
TNI terhadap rencana percepatan sidang istimewa MPR, dan tindakan
show of force di Monas
oleh Pangkostrad merupakan bukti bahwa pengakuan TNI terhadap Gus Dur
betul-betul terkikis.147
Walaupun
banyak kalangan berpendapat bahwa kejatuhan Gus Dur dari jabatan
Presiden di sebabkan oleh kasus dugaan penyelewengan dana Yanatera
Bulog dan sumbangan dari sultan Brunei. Namun, sebetulnya faktor kuat
di balik kejatuhannya adalah hubungannya dan konfliktual dengan
militer dan penolakan kuat dari parlemen karena kebijakannya yang
banyak merugikan partai politik.148
Dalam
banyak hal usaha Gus Dur untuk "menjinakkan" militer
merupakan salah satu dari suksesnya yang terbesar, tetapi dengan
demikian ia menjadi bermusuhan dengan lebih banyak perwira yang
berkuasa dan merupakan ancaman bagi kepentingan bisnis banyak perwira
lain. Reformasi yang dilakukan Gus Dur dalam tubuh tentara
mendapatkan perlawanan dari unsur-unsur garis keras di dalam tubuh
militer dan Polri. Terlebih lagi, militer sayap ultra
nasionalis menjadi marah oleh karena
pendekatan kemanusiaan yang diambil oleh Gus Dur untuk memecahkan
konflik di Aceh dan Irian Jaya. Tak ayal lagi bagi banyak orang
Megawati yang dikenal sebagai seorang nasionalis yang konservatif
merupakan alternatif yang menarik untuk mengganti Gus Dur.149
Upaya
reformasi disektor pertahanan seharusnya menggariskan basis umum
pertahanan baru yang memang sesuai dengan tantangan dan kapasitas
negara. Persoalan yang juga begitu penting adalah bagaimana
mengembangkan prinsip-prinsip dasar kesatuan tentara yang juga
menggariskan model-model organisasi pertahanan. Ini tidak saja
berlandas pada kebutuhan perubahan atas organisasi yang sudah ada,
akan tetapi mencapai aspek doktriner pertahanan yang akan berpengaruh
langsung atas organisasi itu.150
Selama
lebih dari 30 tahun TNI pernah berkuasa di negeri Indonesia. Wajarlah
kalau sekarang kecurigaan selalu diarahkan kepadanya. Segala macam
hal yang menunjukkan pada melemahnya pemerintahan dan tereduksinya
kebebasan bagi masyarakat sipil (civil society), selalu dianggap
sebagai “upaya TNI” untuk berkuasa kembali. Dalam hal ini, K. H.
Abdurrahman Wahid berpendapat hendaknya berhati-hati dengan tidak
melakukan generalisasi atas TNI sebagai lembaga. Memang ada oknum
yang mengejar ambisi pribadi, seperti memandang peranan TNI dalam
politik sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup bangsa ini. Namun
kenyataannya, peranan seperti itu tidak akan pernah bisa. Karena
struktur serta hirarki TNI sendiri, yang bertopang atas ketundukan
mutlak kepada atasan, tidak memungkinkan TNI untuk berperan
demokratis tanpa kehadiran pihak sipil dalam pengendalian keadaan.
Oleh karena itulah demokratisasi itu sendiri haruslah dilakukan
bangsa ini bersama, termasuk ditopang oleh kemauan TNI sebagai
institusi.
Menurut
seorang purnawirawan perwira tinggi TNI ada beberapa doktrin yang
dikembangkan ABRI (sekarang TNI) yang memerlukan koreksi, karena di
dalamya ada dominasi kaum militer atas pihak sipil. Bahkan kini pun
masih cukup banyak kaum militer yang beranggapan mereka lebih baik
daripada pihak sipil. Ini jelas merupakan pandangan individual,
karena TNI sendiri sebagai institusi telah menerima dihapusnya Fraksi
TNI-Polri dari DPR-RI tahun 2004 dan dari MPR-RI tahun 2009. Karena
mereka harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang tidak
membeda-bedakan golongan manapun, maka dengan sendirinya sebagai
institusi mereka harus tunduk kepada proses demokratisasi. Impian
beberapa perwira tinggi TNI untuk berkuasa sendiri tidak perlu
dikhawatirkan.
Tentu
saja pandangan ini adalah pemikiran ideal yang harus dilihat
bagaimana pelaksanaan dalam kenyataannya. Peledakan bom dari satu
tempat ke tempat lain, menunjukkan adanya keterlibatan langsung atau
tidak langsung beberapa orang Perwira Tinggi TNI secara
perorangan/individual. Salah satu motivasinya adalah mempertahankan
“secara sia-sia” peranan politik TNI dalam lingkungan negara
Indonesia. Mereka mencoba menegakkan militerisme (paham serba
militer) yang oleh banyak kalangan masyarakat sipil dianggap
mencurigakan. Namun masyarakat sipil secara keseluruhan juga
mempunyai banyak perbedaan, ada yang berpandangan ideal seperti K.H.
Abdurrahman Wahid dan ada yang bersikap curiga kepada TNI. Hal itu
merupakan hal wajar yang menghasilkan sikap teliti dan waspada untuk
menjaga keselamatan negara dan bangsa Indonesia.
Walaupun
mengemukakan pandangan yang “tidak mencurigai” peranan politik
TNI ini, namun K. H. Abdurrahman Wahid minta kepada kalangan yang
“mencurigai” TNI untuk tetap berhati-hati terhadap individu yang
ingin menegakkan kembali kekuasaan politik TNI. Sikap tidak
mencurigai digabungkan dengan sikap berhati-hati dan waspada akan
menjamin tegaknya demokrasi di negeri Indonesia. Di sinilah terletak
arti kepemimpinan yang diharapkan di masa-masa yang akan datang,
walaupun pada saat ini justru kepemimpinan itulah yang tidak ada
dikalangan pemerintahan Indonesia.
K.H.
Abdurrahman Wahid berharap adanya rasa saling mencurigai antara
kawan-kawan TNI dengan pihak sipil itu dapat dikurangi. Biarkan
sejarah mengambil kesimpulannya sendiri di masa yang akan datang.
Kerja-kerja kongkrit seperti pemilu yang akan datang sangat
bergantung kepada timbulnya rasa saling mendukung. Meskipun ini tidak
berarti harus lalai dan tidak menerapkan prosedur hukum jika terjadi
kesalahan oleh salah satu pihak, guna menjamin hasil-hasil yang
benar-benar jujur. Hanya dengan kejujuranlah pemerintahan yang
memenuhi tujuan konstitusi, masyarakat adil dan makmur dapat
ditegakkan di negeri ini.151
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis terhadap konsep demokrasi
menurut K. H. Abdurrahman Wahid secara umum dapat disimpulkan. Bahwa
pemikiran demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid identik dengan pemikiran
Fazlur Rahman.
Corak pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang liberal dan inklusif
secara nyata sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang
terhadap berbagai khasanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian
menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi, termasuk terhadap
pemikiran hukum Islam. Kontribusi fiqih terhadap gagasan inklusivisme
dan pluralisme adalah karena fiqih merupakan pengembangan gugusan
hukum agama yang tidak pernah berhenti berkembang. Pemikiran
K. H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi tidak hanya menggunakan
produk-produk pemikiran Islam tradisional, tetapi juga menekankan
pada penggunaan metodologi (manhaj), teori hukum (us}u>l
fiqh), dan kaidah-kaidah hukum (Qawa>id Fiqhiyah) dalam
kerangka pembuatan suatu sintesa untuk melahirkan gagasan baru
sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual di masyarakat.
Dalam pandangan Fazlur Rahman, sesuatu yang lebih ini berkaitan
dengan kembali mempelajari Islam klasik dan mengkombinasikan hal ini
dengan unsur-unsur terbaik modernisme agar supaya dapat dihasilkan
sintesa antara Islam Klasik dengan pemikiran barat modern. Dengan
cara ini, demikian argumennya, kebenaran utama Islam dapat dihargai
kembali serta diterapkan dengan lugas dan kreatif pada masyarakat
modern, dengan demikian akan menghasilkan spiritualitas yang lebih
dalam, lebih halus, juga Islam lebih Welas-asih dan toleran.
Untuk gerakan ini Fazlur Rahman membuat istilah baru : neomodernisme.
K. H. Abdurrahman Wahid mengartikan demokrasi sebagai kondisi dimana
kebebasan pendapat benar-benar dijamin undang-undang, sebab
menurutnya kebebasan berpendapat merupakan salah satu esensi
demokrasi. Setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan
mengekspresikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara
yang bijak dan memperhatikan Al-Akhla>q Al-Kari>mah dan
dalam rangka Amr ma’ruf nahy munkar, tidak ada alasan bagi
penguasa untuk mencegahnya.
Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya
lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi
tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu
masyarakat, arogansi dan kedzaliman akan semakin merajalela.Sehingga
tidak ada lagi pihak yang merasa lebih tinggi dari pada yang lain
yang dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter, dan eksploitatif.
Egaliter (persamaan) penting dalam suatu pemerintahan untuk
memunculkan sifat Tawadhu’ (humbel) dan menghindari hegemoni
penguasa atas rakyat. Karena penguasa tidak di tempatkan pada posisi
sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai
khadim al-ummah (pelayan umat).
B. Saran-saran
- Menguatnya arus besar politik Islam pasca Reformasi, dengan penampilannya yang multi-wajah di harapkan para politisi Islam dapat mengedepankan politik populis. Yaitu politik yang dapat menghargai perbedaan pandangan dan agenda politik masing-masing tanpa harus saling menjatuhkan dan memfitnah. Dan bagi masyarakat sub politik, partisipasi dalam menentukan proses politik merupakan bagian dari penguatan terhadap posisi masyarakat sipil, kendati demikian, koridor demokrasi hendaklah di perhatikan.
- Untuk semua kalangan dalam menggali pemikiran tokoh hendaklah tidak membatasi disiplin ilmu, tokoh dan kelompoknya, sehingga tidak membuka ruang konflik yang membodohkan. Tetapi lebih mengembangkan sikap toleran dan saling memahami sehingga sikap mengklaim diri paling benar dapat terhindarkan.
- Penelitian ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak penelitian tentang pemikiran demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid, karena itu untuk pengkajian lebih jauh tentang hal tersebut hendaknya membaca buku-buku yang membahas tentang pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid.
- Karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penyusun, walaupun telah berusaha dengan semaksimal mungkin, tentunya hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga masih membutuhkan saran, tegur sapa, nasehat, motivasi dan kritik yang membangun/manfaat. Akhirnya Walla>hu a’lamu bi as-s}awa>b wal hamdu lilla>h Al-Rabbil 'Alami>n.
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an
dan Terjemah, 30 juz, Jakarta: Departemen Agama RI. 1989.
B.
Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh
Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet.
III ,Jakarta:Raja Grafindo Persada,1997.
Al-Qardawy, Yusuf, Fiqih Daulah
Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah,
terjemahan dari Min Fiqhid Daulah Fil-Islam
alih bahasa Kathur Suhardi, cet. III, Jakarta:Pustaka
Al-Kautsar,1998.
----, Fiqih Negara Ijtihad Baru
Seputar Demokrasi Multi Partai Keterlibatan Panita di Dewan
Perwakilan Partisipasi Dalam Pemerintahan Sekuler,
terjemahan dari Min Fiqh Ad-Daulah Fil-Islam
Makanatuha, Thabi’atahu, Manqi fuha min Ad-Dimoqratiyah Wa
At-Ta’addiyah Wal-Maar’ah Wa Khairul Muslimin alih
bahasa Kathur Suhardi, cet.
I (Jakarta : Robbani Press, 1997).
Al-Turabi, Hasan, Fiqih
Demokratis Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis,
terjemahan dari Tajdid Al-Fikr Al-Islam
alih bahasa Abdul Haris dan Zaimul Am, cet. I , Bandung:Arasy,2003.
C. Kelompok Buku-buku Lain
Afandi, Arief, Islam Demokrasi
atas Bawah Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien
Rais, cet. III, Yogyakarta: pustaka
pelajar,1997.
Barton, Greg, Biografi Gus Dur
The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,
terjemahan dari Gus Dur: The Authorized
Biography of Abdurrahman Wahid alih bahasa
Lie Hua, cet. I, Yogyakarta:LKiS,2003.
Daman, Rozikin, Pancasila Dasar
Falsafah Negara, cet. I, Jakarta
:Rajawali Press, 1992.
anes Jaya Negara, “Gus Dur Dalam Perspektif
Kepemimpinan,” http://Gus
Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
Darjidarmodiharjo, dkk, Santiaji
Pancasila, cet. X (Surabaya : Usaha Nasional,
1991).
Dharwis, Ellyasa K. H, Gus Dur
NU dan Masyarakat Sipil, cet.I, Yogyakarta:
LKiS, 1994.
Esposito, John L dan vall, John O, Demokrasi
di Negara-Negara Muslim Problem dan Prospek,
cet.I, Bandung: Mizan,1999.
Fadulullah, Mahdi, Titik Temu
Agama & Politik Analisa Pemikiran Sayyid Qutub,
cet. I , Solo: Ramadhani, 1991.
Fealy, Greg dan Barton, Greg, Tradisionalisme
Radikal Persinggungan Nahdhatul Ulama’-Negara,
cet. I, Yogyakarta: LkiS,1997.
Ghofur, Abdul, Demokratisasi dan
Prospek Hukum di Indonesia, cet.I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Haris, Syamsuddin, Demokrasi di
Indonesia Gagasan dan Pengalaman, cet.I,
Jakarta:LP3ES,1995.
Harmain dkk (ed.), A. Malik, Gus
Dur : Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis,
cet. I, Jakarta: Bumi Selamat printing, 2001.
Hidayatullah, Puslit IAIN Syarif,
Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani,
cet. I, Jakarta:IAIN Press, 2000.
Huwaydi,Fahmi, Demokrasi Oposisi
dan Masyarakat Madani, cet. I, Bandung:
Mizan, 1996..
Ida, Laode dan Jauhari, A. Thantowi, Gus
Dur diantara Keberhasilan dan Kenestapaan,
cet. I, Jakarta:Raja Grafindo Persada,1999.
Isre (ed.), Muh. Shaleh, Prisma
Pemikiran Gus Dur, cet.II,
Yogyakarta:LKiS,2000.
----, Tuhan Tidak Perlu di bela
Abdurrahman Wahid,
cet. I, Yogyakarta:LkiS,1999.
Karim, Abdul Gaffar, Melucuti
Serdadu Sipil Mengembangkan Wacana Demiliterisme dan Komunitas Sipil,
cet. I, yogyakarta: Fisipol UGM,2000.
Lubis, M. Solly,Ilmu Negara,
cet. I, Bandung : Alumni, 1975.
Madany, A. Malik,”Syu>ra Sebagai Elemen Penting
Demokrasi”, Asy-Syir’ah,Vol.
36, NO. I.
Mahfud MD., Moh., Setahun Bersama
Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri Disaat sulit,
cet.I, Jakarta:LP3ES,2003.
----,Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,
cet I, Yogyakarta: Gama media, 1999.
Mas’oed, Mohtar, “ Civil society dan Masyarakat
Madani : catatan untuk diskusi”, makalah disampaikan pada seminar
tentang Menata kapasitas Masyarakat Madani menghadapi tantangan
global. Diselenggarakan oleh LABDA di gedung UC UGM. Yogyakarta, 9
April 2002.
Masdar, Umaruddin, Membaca
Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi,
cet. I, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999.
Munir,"Perubahan Untuk Pertahanan atau Politik
Tentara?", makalah disampaikan pada seminar sehari dan
peluncuran buku tentang Demiliterisme, Demokratisasi, dan
Desentralisasi, peringatan sewindu IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta,
12 juni 2002.
Nasution, Khoiruddin ,” Islam dan Demokrasi”,
Asy-Syir’ah, vol.
36, NO. I.
Nawawi, Hadari dan Martini, Mimi, Penelitian
Terapan, Cet. I, Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press,1996.
Noer, Delier, Pemikiran Politik
Di Negeri Barat, cet. III, Bandung : Mizan,
1998.
O’Donnell, Guillermo dan Schmitter, Philippe C.,
Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian
Kemungkinan dan Ketidakpastian, cet. I,
Jakarta ; LP3ES, 1993.
Partanto, Pius A dan Al-Barry, M. Dahlan, kamus
Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola, tt.
Rahman, Afzalur, Nabi Muhammad
SAW Sbagai Sorang Pmimpin Militer diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia oleh Anas Siddik, cet. Ke-I Jakarta: Bumi
aksara,1991.
Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik
Islam, terjemahan dari An-Nazhariyatu
As-siyasatul-Islamiyah alih bahasa Abdul
Hayyie Al-Kattani, cet. I, Jakarta:Gema Insani Pres,2001.
Shoelhi, Mohammad, Demokrasi
Madinah Model Demokrasi Cara Rasullah,cet. I,
Jakarta,Republika,2003.
Sorensen, Georg, Demokrasi dan
Demokratisasi Proses dan Prospek Dalam Sebuah Dunia Yang Sedang
Berubah,terjemahan dari Democracy
and Democratization : Processes and Prospects in a Changing World,
Westview Press alih bahasa I. Made Krisna,
cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.
Sujito, Arie,"Demiliterisasi dan Radikalisasi
Sipil”, Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku
tentang “Demiliterisasi, dan Desentralisasi” Sebagai
pemakalah,Yogyakarta, 12 Juni 2002.
Suwondo, Kutut," Desentralisasi dan Demokrasi
Lokal”, Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku
tentang “Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi”,
sebagai pemakalah, Yogyakarta, 12 juni 2002,hlm.4.
Thoha, Zainal Arifin, Jagadnya
Gus Dur Demokrasi, Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam,
cet.I , Yogyakarta:kutub,2003.
Tobroni dan Arifin, Syamsul,
Islam Pluralisme Budaya dan Politik Refleksi Teologi Untuk aksi Dalam
Keberagamaan Dan Pendidikan, cet. I,
Yogyakarta : Sipress, 1994.
Uhlin, Anders, Oposisi Berserak
Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, terjemahan
dari Indonesia and the “ third wave of
Democratization”: The Indonesia Pro-Democracy Movement in a
Changing World alih bahasa Rofik Suhud, cet.
II, Bandung : Mizan, 1998.
Ulum, Bahrul, "Bodohnya NU"
apa "NU di Bodohi"? Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji
Khittah, Meneropong Paradigma Politik, cet.I,
Yogyakarta:Ar-Ruzz Press,2002.
“Gus Dur Terima Kekalahan "Itulah Demokrasi dan
Membuat Saya Bangga," http://Gus
Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
“Latar
Belakang Keluarga,” http://GusDur,net,
akses 20 Agustus 2003.
“Latar Belakang Pendidikan,” http://GusDur,net,
akses 20 Agustus 2003.
“Reposisi Sekjen PKB setelah pemilu, Gus Dur
:"Keputusan ini harus dihormati," http://Gus
Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
“Richard Gozney: Gus Dur berperan besar dalam
demokratisasi Indonesia,” http://Gusdur.net,
akses 21Oktober 2003.
----, “Agama dan Demokrasi,” http://GusDur,net,
akses 19 September 2003.
----,“Demokrasi Dalam Pengertian Kita,”
http://GusDur,net,
akses 19 September 2003.
----,“Demokrasi, Keadilan, dan Keterwakilan,”
http://GusDur,net,
akses 19 September 2003.
----,“Esai Khusus Abdurrahman Wahid Masih Perlukah
Formalisme Agama?,” http://GusDur,net,
akses 19 September 2003.
----,“Masa Depan Demokrasi di Indonesia,”
http://Gusdur,net,
akses 19 September 2003.
Yasmi Andriansyah, “Gus Dur, Indonesia, Dunia,”
http://Gusdur,net,
akses 21 Oktober 2003.
Zada (ed.), Khamami, Neraca Gus
Dur Di Panggung Kekuasaan, diterbitkan oleh
LAKPESDAM, Cet : I, Jakarta: LAKPESDAM,2002.
Zada, Khamami dan Muzayyad (ed.), Idy, Wacana
Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, cet,I
(Yogyakarta:Sema Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga dengan Pustaka
Pelajar,1999).
TERJEMAHAN
Hlm
|
F. N
|
Terjemahan
|
15
|
23
|
Dan(bagi)
orang-orang yang menerima(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
Sholat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami
berikan kepada mereka
|
15
|
24
|
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun
bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
|
15
|
25
|
(Inilah pernyataan) pemutus perhubungan dari
Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang
musyirikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian
(dengan mereka).
|
16
|
27
|
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul-(Nya), dan Ulil amri diantara kamu.
|
20
|
38
|
Memelihara
tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik
|
22
|
42
|
Dan
jika mereka
condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya
dan bertawkkallah
kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Dan
jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah
Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu
dengan pertolongan-Nya, dan dengan para mu'min.
|
44
|
2
|
Dan apakah mereka (orang-orang), lalu kami
kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari
tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (tidak melihat -Nya),
tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia bahwa
sesungguhnya kami Mendatangi daerah-daerah menurut kehendak -lah
yang maha cepat Hisab-Nya.
|
Terjemahan
“Dan sesungguhnya apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya
kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu kami kurangi
daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya ? Dan
Allah menrtapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat
menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang maha cepat hisab-Nya. (QS.
Ar-Ra’ad:41)
Artinya : Dan(bagi) orang-orang yang menerima(mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan Sholat, sedang urusan mereka diputuskan
dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezeki yang kami berikan kepada mereka.(Asy Syura 38)
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (An-Nahl :90).
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal. (Al-Hujurat :13)
Artinya: Hai
manusia, sesungguhnya Tuhanmu itu Esa; dan sesungguhnya bapakmupun
satu. Setiap kamu adalah keturunan dari Adam, sedangkan Adam itu dari
tanah. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah yang paling bertaqwa diantara kamu. Dan tidak ada kelebihan
diantara seorang Arab atas seorang ajam ( bukan Arab), ataupun bagi
seorang Ajam atas seorang Ajam, atau bagi si kulit merah atas si
kulit putih, selain karena Taqwanya.152(Hadits)
Artinya : sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan Amanah kepada
yang berhak menerimanya, dan ( menyuruh kamu) apabila menertapka
hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan yang adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.
Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. (An-Nisa’ :
58).
,”Hai Nabi,
jika musuhmu condong pada perdamaian, engkau juga harus condong pada
perdamaian dan percayalah pada Tuhan. Sesungguhnya, Dia Maha
mendengar dan Maha mengetahui. Dan jika mereka berniat menipu kamu,
Tuhan cukuplah untuk kamu. Dialah yang menguatkan kamuy dengan
pertolongan-Nya, dan dengan orang beriman”,(8:61-62).153
BIOGRAFI ULAMA’
1. Abduh, Muhammad (1849-1905) adalah Ulama’ pembaharu Mesir yang
dianggap sebagai arsitek modernis Islam. Tahun kelahiran Muhammad
Abduh bertepatan dengan kematian Muhammad ‘Ali petualangan Al-bania
dan pembangunan Mesir modern. Rezim ‘Ali , dalam konteks politik,
menciptakan isu-isu perubahan modern secara intelektual berkaitan
dengan keperintisan Abduh sebagai jurnalis, teolog, ahli hukum,
dan-dalam enam tahum terakhir kehidupannya-sebagi mufti besar
Mesir. Karir awalnya berangkat dari studi-studi ilmu tradisional di
Universitas Al-Azhar, dan komitmen awalnya berdasarkan sufisme
tarekat Syadziliyah, praktik dzikir, dan ta’widz. Studi-studi
Universitasnya mengukuhkan tidak hanya sebagai seorang alim disegani,
tetapi juga menyandarkan dia terhadp belenggu Taqlid
(keterkaitan pada tradisi) yang kemudian menjadi sumber energi
pembaharuannya. Meskipun secara intelektual meninggalkan latar
belakang sufinya, dia tetap menanamkan kualitas kesalehan pada
kehidupan akademisnya untuk pembebasan dari dampak Taqlid yang
merusak.
2. Al-Raziq, ‘Ali Abd (1888-1966) adalah seorang hakim Syari’ah,
intelektual kontroversial, dan penilis Al Islam Wa Ushul
Al-Hukum:Ba’ts Fi Al-Khilafah Wa Al-Hukumah Fi Al-Islam,
diterbitkan di Kairo pada 1925. bukan ‘Abd Al-Raziq menentang
pandangan bahwa Islam sudah menetapkan bentuk otoritas politik
khusus, atau bahwa Islam sudah mengesahkan bentuk pemerintahan
tertentu. Disamping menciptakan krisis konstitusional di Mesir,
gagasan-gagasan ‘Abd Al-Raziq menimbulkan kontroversi hebat
diseluruh dunia Muslim. Majelis tinggi ‘Ulama’ Mesir mengadili
‘Abd Al-Raziq dan memecatnya dari jabatan dan posisinya sebagai
Hakim Syari’at.
3. Rahman, Fazlur (1919-1988) adalah seorang filosof Muslim asal
Pakistan. Selain itu, dia dikenal sebagai pendidik dan pembaharu
Islam liberal yang terkemuka. Fazlur Rahman dilahirkan diwilayah yang
kini dikenal sebagai Pakistan pada 1919. Dia memperoleh gelar Master
dalam bidang bahasa Arab dari Universitas Punjob, Lahore, pada 1942,
dan gelar doktor dalam bidang filsafat Islam dari Universitas Oxford
pada 1949. Dia pernah menjadi pengajar dalam bidang kajian Persia dan
filsafat Islam di Universitas Durham dari 1950 hingga 1958, profesor
madya pada institut of Islamic studis, Universitas MC Gill, selama
1958-1961, profesor tamu dilembaga pusat kajian Islam, Pakistan, pada
1961-1962, kemudian menjadi direktur pada instutut tersebut selama
1962-1968. Dia meninggalkan Pakistan dibawah kecaman atas
pandangan-pandangan reformisnya dan diminta menjadi profesor tamu di
Universitas California, Los Angeles, pada musim semi 1969. Pada
musim gugur, dia pergi ke Universitas Chicago sebagai profesor dalam
bidang pemikiran Islam. pada 1986 dia diangkat menjadi Harold H.
Smift Distinguished service professor di Chicago, sebuah gelar
kehormatan yang dibawa hingga wafatnya pada tahun 1988.
4. Wahid, Abdurrahman adalah seorang pemikir, penulis, dan politisi
Islam Indonesia. Dia merupakan salah satu pemimpin intelektual Muslim
yang paling berpengaruh di Indonesia dewasa ini. Dia juga merupakam
seorang kolumnis terkenal masalah budaya, sosial dan politik yang
mendorong kontribusi Islam pada pluralisme, keadilan sosial, dan
demokrasi. Dia adalah mantan Presiden Republik Indonesia (20 Oktober
1999 hingga 22 Juli 2001) dan mantan Ketua Umum Tanfidziyah NU
(Nahdlatul ‘Ulama’). Sebuah organisasi Ulama’ tradisional
dengan puluhan juta pendukung, sebagian besar adalah penduduk
pedesaan. Secara luas dia dipanggil “Gus Dur”.
5. Huwaydi, Fahmi adalah seorang pemikir dan kolumnis Mesir. Banyak
mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam berbahasa Arab, seperti
Al-Ahram, Al-Arabi dan Al-Majallah bukunya yang
terkenal antara lain Al-Wa’y Al-Islam (krisis kesadaran
umat), muwatinun la dzimiyyun (orang nasionalis bukan
dzimmi) dan buku Al-Islam Wa Al-Dimukratiyyah.
6. Rais, Muhammad Amin, dia masuk kedalam jajaran pemikir Muslim
modern karena latar belakang aktivis berasal dari
Muhammadiyah-organisasi sosial-keagamaan kaum modernis. Dia lahir di
Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944, putra kedua dari enam bersaudara
dari pasangan Suhud Rais dan Sudalmiyah. Ayahnya alumni Mu’allimin
Muhammadiyah. Dan Ibunya pernah menjadi ketua Aisyiyah Surakarta.
Amien sendiri membangun rumah tangga dengan menikahi Kusnariyati Sri
Rahayu dan dikarunia lima anak.
7.
Madjid, Nurchalish adalah seorang cendekiawan Indonesia dan pendukung
toleransi Agama. Di lahirkan di Jawa Timur, Nurchalish merupakan
keturunan salah satu keluarga cendekiawan Islam yang paling terhormat
di Indonesia. Dia di didik di Pesantren dan di Sekolah Modern Gontor,
yang menekankan bahasa Inggris dan subyek-subyek sekular serta
kurikulum Islam tradisional. Dia menerima gelar kesarjanaan dari
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Jakarta pada 1968. Dari 1966
hingga 1971 dia menjabat ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia
belajar di bawah bimbingan Fazlur Rahman di Universitas Chicago, dan
menerima doktor pada 1984 dengan disertasi mengenai pemahaman Ibn
Taimiyah tentang hubungan akal dengan wahyu. Pada awal 1990-an,
Nurchalish memegang jabatan Institut Agama Islam Negeri di Jakarta
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
8. Al-Turabi, Hasan lahir di Kassala, Sudan Timur, pada 1932, dari
keluarga yang memiliki tradisi panjang dalam pengajaran Islam di
Sufisme. Sebagai sosok pemikir, Ulama’ intelektual, sekaligus
politikus terkemuka di negeri Sudan. Dia merupakan arsitek utama
Republik Islam Sudan. Karier politiknya dimulai sejak dia memimpin
Al-Ikhwan Al-Muslimun Sudan (1964) dan menjabat sekretaris
jenderal Islamic Carter Front. Pada 1969, setelah
berlangsungnya upaya kudeta oleh kaum kiri terhadap rezim Numeiri,
untuk pertama kalinya dia mendekam di penjara Sudan hingga 1977.
Akibat perubahan kebijakan Numeiri, Turabi diangkat menjadi Jaksa
Agung dari tahun 1979 hingga 1982 dan menjadi kepala penasehat
masalah-masalah hukum diluar negeri hingga maret 1985. pada 1988,
Front Nasional Islam (NIF) yang dipimpinnya berkoalisi dengan
pemerintahan Sadiq Al-Mahdi dan mengantarkannya menjadi deputi
perdana menteri dan menteri luar negeri. Sejak pemilu 1996, dia
menjabat sebagai ketua parlemen. Pada Februari 2001, dia ditahan atas
tuduhan (yang kurang bukti) berkhianat kepada negara. Mesekipun tidak
pernah menjabat sebagai kepala negara, banyak kalangan percaya bahwa
dia adalah pemimpin Sudan yang sebenarnya sejak berdirinya Republik
Islam Sudan.
1
Fahmi Huwaydi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani,
terjemahan dari Al-Islam Wa Al-Dimuqratiyah alih bahasa
Muhammad Abdul Ghoffar E. M., cet. I (Bandung: Mizan, 1996), hlm.
8-9.
2
Ibid, hlm. 151.
3
John L. Esposito dan John O. vall, Demokrasi di Negara-Negara
Muslim Problem dan Prospek, terjemahan dari Islam and
Democracy alih bahasa Rahmani Astuti, cet.I (Bandung:
Mizan,1999), hlm.15.
4
Fahmi Huwaydi, Demokrasi Oposisi, hlm. 152.
55.
Civil society adalah suatu lingkungan tempat warga negara
mengembangkan diri secara swadaya di luar lingkungan keluarga dan
bebas dari kendali negara. Civil society adalah pra kondisi
bagi munculnya demokrasi. Civil society merupakan jaminan
bahwa kediktatoran tidak akan terjadi. Civil society berfungsi
mendukung demokrasi, bukan hanya untuk kaum elite, tetapi untuk
segenap warga negara. Lihat Mohtar Mas’oed, “ Civil society dan
Masyarakat Madani : catatan untuk diskusi”, makalah disampaikan
pada seminar tentang “Menata kapasitas Masyarakat Madani
menghadapi tantangan global,”sebagai pemakalah, Yogyakarta, 9
April 2002, hlm. 1 dan 5
6)
Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum di Indonesia,
cet.I (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2002), hlm. IX.
7
Moh. Mahfud, MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,
cet I (Yogyakarta: Gama media, 1999), hlm. 48.
Kutut Suwondo”, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal”,
Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang
“Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi” sebagai
pemakalah, Yogyakarta, 12 Juni 2002, hlm. 4.
10Abdul
Gaffar Karim dkk, Melucuti Serdadu Sipil mengembangkan wacana
Demiliterisme dan komunitas Sipil, cet. I (yogyakarta: Fisipol
UGM,2000), hlm.VII.
11
Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, pendidikan Kewarganegaraan
Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, cet. I (Jakarta:IAIN
Press, 2000), hlm.iv.
13
Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal Persinggungan
Nahdhotul Ulama’-Negara, cet. I (yogyakarta: penerbit
LkiS,1997), hlm.189.
15
A. Malik Harmain dkk, Gus Dur : Goro-Goro Dalam Lakon Multi
Krisis, cet. I (Jakarta: Bumi Selamat printing, 2001). hlm.iii
17
Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur Di Panggung Kekuasaan,
cet.I (Jakarta: LAKPESDAM,2002), hlm.vii.
Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur Demokrasi,
Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam, cet.I
(Yogyakarta:kutub,2003), hlm.288.
19.
Douglas E. Ramage,” pemahaman Abdurrahman Wahid tentang pancasila
dan penerapannya dalam era paska asas tunggal”, dalam Ellyasa K.
H. Dharwis (ed.),Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, cet.I
(Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 101.
20
Muhammad AS. Hikam,”Gus Dur dan pemberdayaan politik umat”,
dalam Arief Afandi (ed), Islam Demokrasi Atas Bawah Polemik
Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, cet. III
(Yogyakarta: pustaka pelajar,1997), hlm. 90.
21
Ibid,hlm. 107.
22
Mahdi Fadulullah, Titik Temu Agama & Politik Analisa
Pemikiran Sayyid Qutub, cet. I (Solo: Ramadhani, 1991), hlm.
123.
23
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, terjemahan dari
An-Nazhariyatu As-siyasatul-Islamiyah alih bahasa Abdul
Hayyie Al-Kattani, cet. I (Jakarta:Gema Insani Pres,2001), hlm. 307.
25
Ali-Imran (3) : 159
27
Khoiruddin Nasution,” Islam dan demokrasi”, Asy-Syir’ah,
vol. 36, NO. I (2002), hlm. 46-47.
28
Surat An-Nisa’ (4) : 59
29
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik, hlm. 308.
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran, cet. III (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1997).
Hlm. 68.
A. Malik Madany,”Syu>ra
sebagai elemen penting Demokrasi”, Asy-Syir’ah,Vol. 36,
NO. I (2002), hlm. 77-78.
32
Hasan Al-Turabi, Fiqih Demokratis dari Tradisionalisme Kolektif
Menuju Modernisme Populis, terjemahan dari Tajdid Al-Fikr
Al-Islam alih bahasa Abdul Haris dan Zaimul Am, cet. I
(Bandung:Arasy,2003), hlm. 175-176.
33
Yusuf Al-Qardawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Sunnah, terjemahan dari Min Fiqhid Daulah Fil-Islam alih
bahasa Kathur Suhardi, cet. III (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1998),
hlm. 195.
34Umaruddin
Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi,
cet. I (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999), hlm. 16.
35
Lutfi Lukman,” Demokrasi dalam piagam Madinah”, dalam Mohammad
Shoelhi (ed), Demokrasi Madinah Model Demokrasi Cara
Rasullah,cet. I (Jakarta,Republika,2003), hlm. 30-31.
36
Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm. 5.
37
Greg Barton, Biografi Gus Dur the Authorized Biography of
Abdurrahman Wahid, terjemahan dari Gus Dur : the Authorized
Biography of Abdurrahman Wahid alih bahasa Lie Hua, cet. I
(Yogyakarta:LkiS,2003), hlm. 208.
38
Ibid, hlm.210-212.
Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm. 83.
41
Arie Sujito,"Demiliterisasi dan Radikalisasi Sipil”, Makalah
disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang
Demiliterisasi, dan Desentralisasi peringatan sewindu IRE di gedung
UC UGM. Yogyakarta, 12 Juni 2002, hlm.1.
Afzalur Rahman, Nabi Muhammad SAW Sebagai Seorang
Pemimpin Militer, terjemahan dari Muhammad AS Militery Leader
alih bahasa Anas Siddik, cet. Ke-I(Jakarta: Bumi aksara,1991),
hlm.37.
43
Ibid, hlm. 62.
44
Al-Anfaal (8): 61-62.
45
A. Malik Haramain,” Gus Dur da Reposisi Militer”, dalam Khamami
zada (ed.), Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, cet. I
(Jakarta:Lakpesdam,2002), hlm. 89.
46
Abdurrahman Wahid,”Demokrasi haruslah di perjoangkan”, dalam
Muh. Sholeh Isre (Ed.), Tuhan Tidak Perlu di Bela Abdurrahman
Wahid, cet.I (Yogyakarta:LkiS,1999), hlm.190.
47
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, kamus Ilmiah, hlm.
526-527.
48
Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 15 atau Khoiruddin
Nasution, “Islam dan Demokrasi”, Asy-Syir’ah, NO. I.
VOL. 36 (2002), hlm. 39 atau Demokrasi yaitu kerakyatan,
pemerintahan atas asas kerakyatan, pemerintahan rakyat (dengan
perwakilan). Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus
Ilmiah, hlm. 100.
49
Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju
Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, cet. I
(Jakarta ; LP3ES, 1993), hlm. 8-9.
50
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran..., hlm. 30.
51
Tim penyusun puslit IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan
Kewarganegaraan, hlm. 162.
52
M. Solly lubis, Ilmu Negara, cet. I (Bandung : Alumni, 1975),
hlm. 73-75.
53
Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi Proses dan
Prospek Dalam Sebuah Dunia Yang Sedang Berubah,terjemahan dari
Democracy and Democratization : Processes And Prospects in a
Changing World, Westview Press alih bahasa I. Made Krisna, cet.
I (Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2003), hlm. 38-39.
54
Khoiruddin Nasution, Islam..., hlm. 40.
55
Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 21.
56
Renaissance adalah suatu aliran yang menghidupkan kembali
minat terhadap kesusasteraan dan kebudayaan Yunani kuno yang selama
abad pertengahaan telah disisihkan. Ibid, hlm. 46.
57
Ibid, hlm. 23-24.
58
Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 26-27, dan ciri
pokok wacana liberal yang lain secara poltis adalah bahwa demokrasi
dipandang sebagai kompetisi antar elite politis antar partai. Para
elite yang bersaing itu harus memperebutkan suara dalam pemilihan
umum yang didasarkan pada hak pilih yang universal dan setara.
Karena demokrasi langsung dipandang tidak mungkin dalam masyarakat
modern yang amat besar, menurut model ini, kompetisi elite dan
sebuah sistem perwakilan tidak hanya diperlukan, tetapi juga
diinginkan karena akan mengarah pada stabilitas politik. Lihat
Anders Uhlin, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang
Ketiga di Indonesia, terjemahan dari Indonesia and the “
Third Wave of Democratization”: The Indonesia Pro-Democracy
Movement in a Changing World alih bahasa Rofik Suhud, cet. II
(Bandung : Mizan, 1998), hlm. 140.
59
Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, hlm. 6.
60
Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 27-28.
61
Delier Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, cet.
III (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 195-196.
62
Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 28.
63
Rozikin Daman, Pancasila Dasar Falsafah Negara, cet. I
(Jakarta :Rajawali Press, 1992), hlm.126-127.
64
Darjidarmodiharjo dkk, Santiaji Pancasila, cet. X
(Surabaya : Usaha Nasional, 1991), hlm. 85.
65)
Ibid, hlm. 242.
66
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan
Politik Refleksi Teologi Untuk aksi Dalam Keberagamaan Dan
Pendidikan, cet. I (Yogyakarta : Sipress, 1994), hlm. 30-31.
67
Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Sunnah, terjemahan dari Min Fiqhid-Daulah Fil-Islam alih
bahasa Khatur Suhardi, cet. III (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
1998), hlm.192.
68
Hasan Al-Turabi, Fiqih Demokratis, hlm. 74.
69)
Yusuf Al-Qardhawy, Fiqh Daulah, hlm. 192.
70
Ar-Ra’ad(13): 41.
71Yusuf
Qardhawy, Fiqih Negara Ijtihad Baru Seputar Demokrasi Multi
Partai Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan Partisipasi Dalam
Pemerintahan Sekuler, terjemahan dari Min Fiqh Ad-Daulah
Fil-Islam Makanatuha, Thabi’atahu, Manqi fuha Min Ad-Dimoqratiyah
Wa At-Ta’addiyah Wal-Maar’ah Wa Khairul Muslimin alih bahasa
Khatur Suhardi, cet. I (Jakarta : Robbani Press, 1997), hlm.
178-181.
72
“ Latar belakang keluarga,” http://GusDur,net,
akses 20 Agustus 2003.
73.
Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 30.
74
Ibid, hlm. 32.
75
Ibid, hlm. 40-42.
76
Ibid, hlm. 26-27.
77
Ibid, hlm, 28-29.
78“
Latar belakang pendidikan,” http://GusDur,net,
akses 20 Agustus 2003.
79
Greg Barton, Biografi Gus Dur,hlm.39-40.
80
Ibid, hlm. 46-47.
81
Ibid, hlm. 49-50.
82
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais,
hlm. 119-120.
83
Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm.57-58.
84
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais,
hlm. 120.
85
Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.110-111.
86
Ibid, hlm.118-119.
87
Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur Diantara Keberhasilan
dan Kenestapaan, cet. I (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1999),
hlm.68-69.
88
Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre
(ed.), Prisma Pemikiran Gus Dur, cet.II
(Yogyakarta:LKiS,2000), hlm.xx-xxii.
89
Moh. Mahfud MD., Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri
Disaat Sulit, cet.I (Jakarta:LP3ES,2003), hlm.184.
90
Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.15.
91
Ibid, hlm.79.
92
Ibid, hlm.83-84.
93
Moh. Mahfud MD., Setahun Bersama Gus Dur, hlm.184-185.
94Greg
Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre
(ed.), Prisma Pemikiran, hlm.xxv-xxvi.
95
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais,
hlm.124.
96
Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre
(ed.) , Prisma Pemikiran, hlm.xxx.
97
Ibid, hlm. Xxviii.
98
Umaruddin Masdar, membaca pikiran Gus Dur dan Amin Rias,
hlm.126.
99
Hasan Al-Turabi,Fiqih Demokratis, hlm.30.
100
Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm.82.
101
Ibid, hlm.84.
102
Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre
(ed.), Prisma Pemikiran, hlm.xxxviii-xxxix.
103
Ibid, hlm.xliv.
104
Abdurrahman Wahid, “Demokrasi Dalam Pengertian Kita,”
http://GusDur,net, akses 19
September 2003.
105Abdurrahman
Wahid, “Esai Khusus Abdurrahman Wahid Masih Perlukah Formalisme
Agama?,” http://GusDur,net,
akses 19 September 2003.
106
Abdurrahman Wahid,” Demokrasi, Keadilan, dan Keterwakilan,”
http://GusDur,net, akses 19
September 2003.
107
Abdurrahman Wahid,” Agama dan Demokrasi,”
http://GusDur,net, akses 19
September 2003.
108
Abdurrahman Wahid, “Demokrasi Dalam Pengertian Kita,”
http://GusDur,net, akses 19
September 2003
110
Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia Gagasan dan Pengalaman,
cet.I (Jakarta:LP3ES,1995), hlm.110-111.
111
Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.16-17.
112Abdurrahman
Wahid,” Demokrasi Haruslah di Perjoangkan”, dalam Muh. Shaleh
Isre (ed.), Tuhan Tidak Perlu di Bela, hlm. 189-190.
113
Bahrul Ulum, "Bodohnya NU" apa "NU di Bodohi"?
Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong
Paradigma Poltik, cet.I (Yogyakarta:Ar-Ruzz Press,2002),
hlm.188-189.
114
M. Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami
Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.43.
115
Ibid, hlm.44.
116
Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.360.
117M.
Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami
Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.44-51.
118
Tamrin Amal Tomagola,” Gus Dur dan Tap MPRS XXV/MPRS/1966(Demi
tumbuhnya civil society Gus Dur rela di tekan DPR)”, dalam A.
Malik Haramain dkk (ed.), Gus Dur Goro-Goro, hlm.93-94.
119
M. Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami
Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.56-58.
120
Ibid, hlm.60-61.
121
Ibid, hlm.63.
122
Ibid, hlm.51-56.
123
Ibid, hlm.66-67.
124
“ Reposisi Sekjen PKB Setelah Pemilu, Gus Dur :"Keputusan ini
Harus di Hormati," http://Gus
Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
125
“Gus Dur Terima Kekalahan "Itulah Demokrasi dan Membuat Saya
Bangga", http://Gus
Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
126
Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.301-302.
127
Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewarganegaraan,
hlm.199.
128Muhammad
AS. Hikam.”Politik hukum di Indonesia dalam konteks reformasi dan
demokraso”, dalam Khamami Zada dan Idy Muzayyad (ed.), Wacana
Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, cet,I (Yogyakarta:Sema
Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga dengan Pustaka Pelajar,1999), hlm.3-4.
129
Abdurrahman Wahid, “Masa Depan Demokrasi di Indonesia,”
http://Gusdur,net, akses 19
September 2003.
130
Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.413-414.
131
Abdurrahman Wahid,”Massa Islam Dalam Kehidupan Bernegara dan
Berbangsa”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma pemikiran Gus
Dur, hlm. 215-216.
132M.
Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami
Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.30.
133Yasmi
Andriansyah, “Gus Dur, Indonesia, Dunia,” http://Gusdur,net,
akses 21 Oktober 2003.
Danes Jaya Negara, “Gus Dur Dalam Perspektif
Kepemimpinan,” http://Gus
Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
135
“Richard Gozney: Gus Dur Berperan Besar Dalam Demokratisasi
Indonesia,” http://Gusdur.net,
akses 21Oktober 2003.
136M.
Fadjroel Rachman,”Gus Dur dan Transisi Demokrasi(...Gus Dur bagian
terpenting dalam transisi demokrasi ini)”, dalam A. Malik Harmain
dkk (ed.), Gus Dur: Goro-Goro, hlm. 55-56.
137
Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.468-469.
138
Ibid, hlm. 478.
139
“Nurcholish Madjid: Gus Dur Harus di Pertahankan,”
http://Gusdur.net,
akses 21 Oktober 2003.
M. Fadjroel Rachman,”Gus Dur dan Transisi
Demokrasi(...Gus Dur bagian terpenting dalam transisi demokrasi
ini)”, dalam A. Malik Harmain dkk (ed.), Gus Dur: Goro-Goro,
hlm.60-61.
141
Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.481-482.
142Abdul
Gaffar Karim dkk, Melucuti Serdadu Sipil, hlm.1-4.
143
Arie Sujito ,"Demiliterisasi dan Radikalisasi Sipil",
makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang
demiliterisasi, demokratisasi, dan desentralisasi, peringatan
sewindu IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta, 12 Juni 2002, hlm.1-2.
144
Moh. Mahfud. MD., Setahun Bersama Gus Dur, hlm. 37-38.
145
Mahrus Irsyam,”Gus Dur dan perombakan Militer (Gus Dur berfikir
tentang Demokrasi)”, dalam A. Malik Harmain dkk (ed.), Gus Dur
: Goro-Goro, hlm. 66-67.
146
A. Malik Haramain,” Gus Dur dan Reposisi Militer”, dalam
Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.100.
147
Ibid, hlm. 103.
149
Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.481.
150
Munir ,"Perubahan Untuk Pertahanan atau Politik Tentara?",
makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang
Demiliterisme, Demokratisasi, dan Desentralisasi, peringatan sewindu
IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta, 12 juni 2002, hlm. 3.
Terjemahan Islam membina masyarakat adil makmur, Dr.
Yusuf Abdul Hadi Asy-syat, cet:I (Jakarta: Pustaka Dian dan Antar
kota, 1987), hlm : 340.
153Ibid,hlm.
296.