DESKRIPSI PEMIKIRAN DEMOKRASI K. H. ABDURRAHMAN WAHID


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dengan meluasnya partai-partai berhaluan Islam kesetiap tempat dengan gaya yang menarik perhatian banyak orang, dan didukung oleh bertambahnya kesadaran dunia terhadap masalah demokrasi setelah runtuhnya ideologi komunis, permasalahannya kemudian beralih pada hubungan antara islam dan demokrasi, yang ramai dibicarakan dalam berbagai pusat penelitian dan media masa. Akibatnya muncul pertemuan-pertemuan, yang menghujat corak nuansa Islam dan kaum muslim.
Para pengkaji dan peneliti barat dengan gencar melakukan penelitian dan pengkajian tentang masalah tersebut (hubungan antara Islam dan demokrasi). Mayoritas diantara mereka menyimpulkan adanya pertentangan tajam antara islam dan demokrasi.
Sebuah artikel yang dimuat Washington Post pada maret 1992, yang bertajuk “Islam dan demokrasi tidak pernah sejalan “, dalam artikel tersebut, Amwes Berlmouter, si penulis artikel, menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Al-jazair tidak hanya menyangkut masalah demokrasi di dunia ketiga atau negara-negara Islam, sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian orang. Tetapi, masalah terpenting yang menyangkut apa yang terjadi di Aljazair adalah hakekat sikap Islam –yang diibaratkan oleh penulis artikel ini sebagai-“ menentang dan tidak memperoleh demokrasi”.
Mereka dengan panjang lebar berbicara tentang sistem liberalisme dan Nasionalis untuk dijadikan sebagai acuan pedoman dalam tatanan negara.
Tetapi jika ada yang berbicara tentang sistem Islami, mereka menganggap sebagai sesuatu “yang tidak ada”. Bahkan kadang mereka menyebut sebagai sesuatu “yang konservatif”, dan pada saat yang lain mereka menyebutnya sebagai “sistem yang kejam”.1
Dari berbagai macam permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka penyusun mencoba mengkaji Demokrasi yang ada relevansinya dengan ajaran agama Islam. Islam telah didiskreditkan dalam dua hal. Pertama, ketika ia dibandingkan dengan demokrasi dan kedua, ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi. Karena membandingkan antara keduanya merupakan hal yang salah, seperti halnya menganggapnya saling bertentangan juga salah.
Dari segi metode, perbandingan antara kedua hal tersebut di atas tidak bisa dibenarkan, karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung azas-azas yang mengatur ibadah, akhlaq dan muamalah manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja sama antara anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif.2
Bagi kebanyakan orang Barat, konsep “demokrasi Islam “ merupakan sesuatu anatema.3 Sebagian orang tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerjasama, politik, pluralisme, lain sebagainya. Tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep barat yang memperburuk citra kaum muslim. Paling tidak media informasi di barat menampakkan permusuhan kepada Islam. Dengan demikian, tidak diakuinya demokrasi versi barat ini tidak dapat dianggap sebagai penolakan terhadap demokrasi itu sendiri, tapi pada hakekatnya, penolakan tersebut berdasarkan pada konsep yang disodorkan.4
Demokrasi merupakan sebuah idiom yang oleh sebagian orang dipersepsikan sebagai pilihan sistim politik, menuntut persyaratan bagi terwujudnya sebuah masyarakat madani (Civil Society).5
Dalam perspektif pengelolaan negara bangsa, dimana pluralisme sebagai bagian dari Sunatullah (Natural law), memerlukan negara dan pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan dipenuhinya prasyarat the rule of law 6). Maka, jika kualitas demokrasi baik, kualitas hukum akan baik, dan jika demokrasi bobrok, hukumnya pun akan jelek. 7 Dengan demikian demokrasi adalah suatu keharusan dan sudah berjalan. Sejelek-jeleknya demokrasi tetapi masih lebih baik dari sistem politik yang lain. Ketangguhan demokrasi ada pada aspek rationalitas yang dapat dikritik dan diperdebatkan (rational discourse) dan adanya kontrol dari rakyat. 8
Perkembangan di dalam negeri selain dipengaruhi oleh mulai munculnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya demokrasi namun dipengaruhi oleh gerakan pro-demokrasi di luar negeri. Runtuhnya rezim otoritarium komunis di negara-negara eropa timur pada awal tahun 1990-an, oleh gerakan pro demokrasi (dan civil society) merupakan faktor eksternal yang mendorong dimulainya babakan baru menuju masyarakat yang lebih demokratis di Indonesia. 9
Demokratisasi yang sedang diagendakan oleh masyarakat Indonesia sekarang ini masih menghadapi banyak tantangan.10 Belum terwujudnya stabilitas politik – yang krusial bagi pemulihan ekonomi-, serta elit politik dan banyak kalangan masyarakat belum siap dengan demokrasi keadaban (civilizated democracy). Kenyataan ini bisa dilihat dari perkembangan berikut : konflik dan fragmentasi politik yang semakin meluas di kalangan elit politik ; parpol-parpol yang kian rentan konflik dan perpecahan ; serta aksi-aksi demonstrasi yang cenderung tergelincir menjadi anarkisme.11
Di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, perkembangan Demokrasi tersendat-sendat, bahkan ada yang tidak bisa muncul sama sekali. Seperti disinyalir oleh Huntington, kawasan ini disebut sebagai penganut sistem politik tradisional. Ada dua corak sistem politik yang dominan pada negara berkembang yaitu : negara feodal dan negara birokratis. Di dalam kedua corak sistem politik itu ditandai oleh adanya pemusatan kekuasan. Karena itu, peluang untuk berkembang suburnya demokrasi pada negara yang sistem politik semacam itu kecil sekali. Pandangan pesimisme Huntington mengenai tumbuhnya demokratisasi bila diterapkan dalam konteks Indonesia bisa dimengerti, karena sistem politik Indonesia sebalum Era-Reformasi adalah Feodal dan Birokratis. Kedua sistem nilai ini ( Feodal dan Birokratis ) merupakan faktor penghambat demokratisasi.12
Salah satu kesulitan muncul sebagai kiblat para akademis ( politik) kurang berminat untuk mendiskusikan, menulis, atau meneliti secara akademis persoalan yang berkaitan dengan proses demokratisasi. Kecenderungan yang tampak saat ini adalah mereka lebih tertarik berbicara sebagai pengamat ( agak mirip selebritis ) di berbagai media ( terutama media kaca ). Mereka dengan kemampuan seadanya dan tanpa didukung pengalaman empiris ( penelitian ) diminta dan berusaha menanggapai persoalan-persoalan politik praktis bersifat temporer. Akibatnya, terasa ada kekosongan pengetahuan tentang arah demokrasi dan demokratisasi.
Dalam suasana demikian ini, unsur –unsur masyarakat yang ingin melestarikan kepincangan sosial yang ada dewasa ini, tentu akan berusaha sekuat tenaga membendung aspirasi demokratis yang hidup di kalangan mereka yang telah sadar akan perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini (Indonesia).13
Di indonesia sendiri, demokrasi-demokratisasi bagi sebagian orang, dipersepsikan secara beragam. Sebagian memandang demokrasi sebagai suatu keniscayaan sejarah. Ada pula yang menolaknya lantaran konsep demokrasi berbau barat (western terminology). Ada pula kelompok intelektual muslim moderat yang memposisikan diri dengan mencoba mensintesakan kedua kubu pemikiran tersebut. Dalam waktu bersamaan, ketika demokratisasi itu diperjuangkan, fajar baru harapan muncul partisipasi publik atau masyarakat secara seimbang akan dapat diwujudkan. Dan tampaknya, sebuah masyarakat dengan nuansa emansipasi partisipatoris itulah menjadi obsesi K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 14
Argumentasi penyusun memilih K. H. Abdurrahman Wahid sebagai tokoh yang dikaji, karena keberaniannya, kekuatan, dan keyakinannya dalam mengemukakan pemikirannya tanpa ada rasa takut terhadap resiko yang akan dihadapi. K. H. Abdurrahman Wahid termasuk tokoh agama dan politik di Indonesia yang pemikiran dan sepak terjangnya sering dipandang kontroversial. Karena, pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid memang sangat sering memancing reaksi pro-kontra dan mengundang perdebatan, apalagi baik pemikiran ataupun perilakunya tak jarang yang melawan arus atau menyimpang dari wacana publik yang lazim terutama bagi umat Islam. Ada yang memuji dan simpati , atau mencoba netral dan tak mau peduli, atau menyatakan terang-terangan ketidak senangan dan beroposisi terhadapnya.
Prof. DR. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif pernah mengatakan, bisa jadi kekontroversialnya muncul karena banyaknya kemampuan yang dimilikinya, atau mungkin juga ia memang memiliki karakter unik yang berbeda dari manusia kebanyakan.15 K. H. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur yang menarik adalah watak liberal yang melekat pada sosok Gus Dur selama ini ternyata masih ada walaupun ia berposisi sebagai decision maker ( membuat keputusan), bahkan mungkin orang yang paling penting tidak hanya bagi satu kelompok, tapi bagi banyak kelompok yang tentunya jauh lebih beragam, mulai dari tingkat tradisional sampai internasional dapat beradaptasi dengan baik.
Terlepas dari persoalan di atas, keunikannya justru merangsang banyak orang untuk melakukan segala penafsiran tentang orisinalitas pemikiran Gus Dur. Namun, dari sekian banyaknya tafsiran, penjelasan dan eksplorasi tentang Gus Dur tidak kemudian bisa dikatakan sebagai kesimpulan akhir tentang pemikiran Gus Dur.16
Mengenai penyusun memberikan batasan waktu terhadap kajian pemikiran K. H .Abdurrahman Wahid , yaitu mulai tahun 1999-2003. karena setelah habis masa jabatan K. H .Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU, secara mengejutkan K. H .Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Dalam masa cukup singkat kekuasaanya itu, K. H .Abdurrahman Wahid sesungguhnya memiliki sejarah besar membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara, serta perjuangan hak-hak kaum minoritas. K. H .Abdurrahman Wahid selama berkuasa menjadi Presiden telah memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Paling tidak, selama kurang dua tahun menjadi Presiden banyak sekali sumbangan K. H .Abdurrahman Wahid bagi bangsa. Bahkan, proyek desakralisasi istana, supremasi sipil, deformalisasi Islam, perebutan tafsir konstitusi (konflik dengan parlementer) menjadi wacana politik yang menakjubkan di masanya.17
Setelah lepas jabatan menjadi Presiden Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid masih tetap gigih memperjuangkan demokrasi di negara Indonesia, walaupun juga kadang melakukan tindakan otoriter. Demokrasi yang diperjuangkan K.H. Abdurrahman Wahid, bukanlah demokrasi ala barat maupun timur, melainkan demokrasi yang memang bersumber dari martabat kemanusiaan, berupa nilai-nilai moralitas, intelektualitas, religiusitas dan hati nurani yang bersifat fithriah.18


B. Pokok Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, terdapat permasalahan yang layak dikaji,yaitu :
1. Bagaimana pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi.
2. Analisis terhadap pemikiran demokrasi K.H. Abdurrahman Wahid tahun 1999-2003.
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah :
1.Tujuan
  1. Untuk menjelaskan bagaimana konsep demokrasi menurut
K.H. Abdurrahman Wahid.
b. Untuk melihat manuver politik K.H. Abdurrahman Wahid tahun 1999- 2003.
    1. Kegunaan
      1. Kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan pemikiran Islam khususnya yang menyangkut tentang demokrasi.
      2. Untuk memberikan kontribusi kepada penyusunan lebih lanjut, terutama yang berminat dibidang politik Islam.


D. Telaah Pustaka
Penyusun mencoba mengkaji dan menyajikan pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid utamanya dalam perjuangannya yang gigih dalam menegakkan demokrasi. Memang sudah cukup banyak buku-buku atau tulisan yang membedah tentang pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid , diantaranya :
Buku Gus Dur NU dan masyarakat sipil, di dalam buku ini berisi tujuh artikel yang ditulis oleh orang dalam dan luar negeri. Di dalam buku ini ada satu artikel yang menulis tentang pembahasan K. H. Abdurrahman Wahid yaitu: “Pemahaman K. H. Abdurrahman Wahid tentang pancasila dan penerapannya dalam era pasca asas tunggal”, ditulis oleh : Douglas E. Ramage, Ph. D. Tulisan ini disusun untuk keperluan yang khas :mengkaji pikiran-pikiran dan perilaku politik pemimpin NU K. H. Abdurrahman Wahid berkenaan dengan pancasila. Menurut pendapat K. H. Abdurrahman Wahid, pancasila adalah serangkain prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan.19 Namun dalam tulisan ini tidak mencakup seluruh keberadaan NU, terlebih lagi tentang politik Islam di Indonesia, serta tidak ada tulisan yang membahas tentang demokrasi dalam Islam. Sebagai editor buku ini adalah Ellyasa K. H. Dharwis.
Selanjutnya buku Tuhan tidak perlu dibela Abdurrahman Wahid di dalam buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang diambil dari majalah Tempo dasa warsa 1970-an dan 1980-an. Didalam buku ini terdiri atas tiga bagian . Bagian pertama, Refleksi kritis pemikiran Islam, Bagian kedua, intensitas kebangsaan dan kebudayaan , dan Bagian ketiga, Demokrasi ideologi dan pengalaman politik luar negeri. Disini Gus Dur menggambarkan bagaimana paradoks-paradoks yang terjadi di sekitar pemikiran Islam, perdebatan politik, sosial keagamaan dan ideologi antar kelompok dalam konteks kebangsaan Indonesia. Akan tetapi pada bab ketiga kurang memaparkan pengalaman demokrasi di dalam negeri (Indonesia), dan pemikiran-pemikiran demokrasi yang dikembangkan dari ajaran agama Islam, inilah yang menjadi konsern dan konsistensi yang tinggi oleh K. H. Abdurrahman Wahid dalam mensikapi, mengarahkan, dan sekaligus menjadi basis pemikiran kehidupan negara bangsa Indonesia.. Diterbitkan oleh LkiS bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford foundation.
Selanjutnya buku PKB jendela politik Gus Dur di dalam buku ini membahas bagaimana warga NU membangun suatu partai yang telah di deklarasikan pada 23 juli 1998 di kediaman Gus Dur Ciganjur, Jakarta. Dengan di beri nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB diharapkan benar-benar bisa menjadi wadah poilitik warga NU untuk berperan secara optimal. Karena selama pemerintahan rezim Soeharto, kekuatan politik warga NU selalu di kebiri dan di pinggirkan secara sistematik. Maka kehadiran PKB ditingkat perpolitikan nasional sungguh merupakan kajian yang menarik, apalagi dikaitkan dengan tokoh sentralnya, Gus Dur, yang pada tutup tahun 1998 menyajikan “akrobat” politik yang benar-benar menakjubkan. Buku ini disusun oleh Asmawi atas dorongan dan prakarsa Fauzi Rahman, selaku direktur utama penerbit Titian Ilahi Press.
Buku Islam Demokrasi atas bawah polemik strategi perjuangan umat model Gus Dur dan Amien Rais di dalam buku ini berisi tentang pemikiran kedua tokoh organisasi besar di Indonesia yaitu K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Amien Rais, bahwa kedua tokoh tersebut memiliki pemikiran yang berbeda. Di dalam buku ini berisi kumpulan artikel tentang demokrasi dan politik. Terdapat dua artikel yang membahas tentang K. H Abdurrahman Wahid, yaitu :
1. Gus Dur dan perbedaan politik umatdi tulis oleh Muhammad AS Hikam. Di dalam tulisan ini ada tiga kepedulian utama pemikiran politik K. H. Abdurrahman Wahid, yaitu :
a. Revitalisasi khasanah Islam tradisional Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya kurang di pahami dan dikembangkan oleh NU.
b. keterlibatan dalam wacana dan kiprah modernitas.
c. pencarian jawaban atas persoalan konkrit yang dihadapi umat Islam bangsa Indonesia.20)
2. “Islam pluralisme dan demokratisasi” di tulis oleh K. H. Abdurrahman Wahid, menulis tentang perkembangan hubungan Islam dan sistem kekuasaan yang menunjukkan gambaran menarik pada dua puluh lima tahun pertama di masa orde baru. Selama kurun waktu itu, telah terjadi perkembangan gerakan Islam yang berlawanan arah akibat ambivalensi kebijakan-kebijakan pemerintah. Di satu pihak, dapat disaksikan bahwa sebagai kekuatan politik formal, Islam telah berhasil di gusur dari panggung politik oleh kebijakan dealiranisasi atau dekonfessionalisasi yang dilakukan pemerintah, sedangkan di pihak lain, kekuatan politik informal Islam berkembang dengan baik.21 Sebagai penyunting buku ini adalah Arief Afandi.
Buku membaca pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi di tulis oleh Umaruddin Masdar. Buku ini mengkategorisasikan sebagai upaya rekonsiliasi peradaban Islam barat menyangkut gagasan demokrasi. Penelitian buku ini berusaha menemukan titik temu dan merunut kompatibilitas Islam dan demokrasi. Melalui usaha elaboratif metodologi us}u>l fiqh, titik temu atau kompatibilitas itu akan dijadikan konteks diskursus intelektual Sunni vis a vis pemikiran politik Syi’i, dengan menjadikan pemikiran Amien Rais dan K. H. Abdurrahman Wahid sebagai obyek sentral penelitian.
Di dalam buku ini tidak membahas keberhasilan pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid dalam membuktikan vitalitas dan telah mampu merubah kultur Islam tradisional dalam wacana dan kiprah modernitas. Karena pemikiran dan strategi pemberdayaan demokrasi yang diperjuangkan K. H. Abdurrahman Wahid terjadi banyak tantangan. Tantangan dan hambatan baik dari NU sendiri maupun dari kelompok di luarnya, termasuk negara, senantiasa muncul.
Selanjutnya buku Demokratisasi dan prospek hukum Islam di Indonesia studi atas pemikiran Gus Dur, ditulis oleh Abdul Ghofur, M.Ag, diterbitkan atas kerjasama Walisongo Press dengan pustaka pelajar. Buku ini di tulis oleh saudara Abdul Ghofur, yang merupakan hasil kerja kerasnya dalam menyelesaikan Tesis S.2 di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN) Jakarta. Buku ini mecoba memotret dan menyajikan pemikiran Gus Dur utamanya dalam perjuangannya yang gigih melakukan demokratisasi dan substansi hukum Islam. Di dalam buku ini menulis pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi, yaitu : pemikiran ke Islaman dan gagasan Demokratisasi K. H. Abdurrahman Wahid. Di dalam bab ini terdapat tiga kelompok dari empat tokoh, antara lain :
1. Greg Barton, 2. Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, 3. AS Hikam. Dari ketiga kelompok tersebut mengemukakan pendapatnya pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid seorang intelektual dan agamawan di kalangan tradisional Ahlussunnah Waljama’ah yang lebih mengedepankan pada pendekatan kontekstual dari pada tekstual dan mencoba memadukan pemikiran khazanah pemikiran Islam tradisional dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat modern.
Di dalam bab ini K. H. Abdurrahman Wahid tidak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran Islam tradisional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi (manhaj), teori hukum (us}u>l fiqh), dan kaidah-kaidah hukum (Qawa>id Fiqhiyah) dalam kerangka pembuatan suatu sintesa untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual di masyarakat. Akan tetapi di dalam buku ini tidak ada dalil Al-Qur’an/Nash sebagai dasar demokrasi dalam Islam, dan di dalam buku ini tidak mengkaji tentang analisa demokrasi pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi aplikasi demokrasi, transisi demokrasi, Militer dan demokratisasi.
Dan juga masih banyak lagi tulisan-tulisan yang membahas pemikiran
K. H. Abdurrahman Wahid, baik berupa buku, artikel, dan lain-lain. Dari berbagai karya tentang K. H. Abdurrahman Wahid, sepanjang pelacakan data yang dilakukan penyusun, belum ada satu karya yang secara khusus membahas dan mengungkapkan secara jelas tentang pemikiran deskriptif K. H. Abdurrahman Wahid mulai tahun, dengan analisa demokrasi pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi aplikasi demokrasi, transisi demokrasi, Militer dan demokratisasi.
E. Kerangka Teoritik
Pemerintahan dalam Islam adalah pemerintahan demokratis berdasarkan musyawarah. Islam tidak membatasi bagaimana cara bermusyawarah. Inilah sistem bersifat intern yang bisa berubah sesuai dengan situasi dengan memandang waktu dan tempat, dan merupakan kebebasan jama’ah dalam ketentuan dan penerapannya.22
Definisi Demokrasi oleh Lincoln, yaitu pemerintahan rakyat, melalui rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Makna, tanpa diragukan lagi, telah tercakup dalam sistem pemerintahan Islam, kecuali bahwa pengertian istilah masyarakat harus dipahami secara tertentu dan menyeluruh.23
Sistem kenegaraan/pemerintahan dalam Islam harus dibedakan antara teori dan praktek. Teori adalah konsep-konsep yang tertulis dalam Nas} (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad S. A. W. ). Praktek adalah praktek yang dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah Islam. Nas} (Al-Qur’an) yang berbicara tentang prinsip-prinsip dan sistim pemerintahan/kenegaraan. Diantaranya adalah :
وا لذ ين استجا بوا لربهم واقاموا ا لصلوة وا مرهم شورى بينهم ومما رزقنا هم ينفقون24
فاعف عنهم واستغفرلهم وشاورهم فى الامر25
براء ة من الله ورسوله الى الذ ين عا هد تم من المشركين26
Dari ketiga ayat tersebut dapat ditegaskan beberapa prinsip :
        1. Kedaulatan adalah di tangan rakyat ( umat)
        2. Bentuk pemerintahan adalah berdasarkan Musyawarah ( Syu>ra)
        3. Kepala pemerintahan adalah Imam atau khalifah, yaitu pelaksana Syari’ah (ajaran Islam).
        4. Kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh rakyat (umat).27
Imam Razi berkata saat menafsirkan ayat Al-Qur’an
يايها ا لذ ين ا منوا ا طيعوا ا لله وا طيعوا ا لرسول وا ولىا لامرمنكم 28
Perintah Allah S. W. T untuk taat disini bersifat pasti. Dan siapa yang diperintahkan untuk ditaati haruslah sosok yang ma's}um, sehingga perintah Allah itu tidak membawa pada perbuatan yang salah dan mengikuti kesalahan itu. Kemudian dia mengatakan bahwa sosok yang maksum itu tidak dapat dicerminkan seorang individu atau sebagian umat, namun merupakan bentuk kolektif umat itu, yang terwakilkan dalam diri ahli ijtihad.
Firman Allah Surat An-Nisa’ (4) : 59 dapat dijadikan dalil atas validitas Ijma’ sebagai sumber hukum. Disimpulkan dari situ bahwa yang dimaksud dengan ulil amri itu adalah ahlul halli wal aqdi, dari ulama’ umat yang mampu berijtihad dan menyimpulkan hukum, jika mereka bersepakat dalam sesuatu.29
Muhammad Abduh menyamakan Ahl al-Hall Wa al-‘aqd dengan ulil Amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ : 59. Ia menafsirkan Ulil Amri atau Ahl al-Hall Wa al-‘aqd sebagai kumpulan orang dari berbagai profesi dan keahlian yang ada dalam masyarakat.30 Ahl al-Hall Wa al-‘aqd lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura. Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan secara eksplisit ditegaskan oleh Al-Qur’an surat Asy-Syura (42) : 38.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai sekedar salah satu elemen demokrasi dan sesuai pula dengan kenyataan bahwa Islam menetapkan syu>ra baru dalam bentuk prinsip umum yang penjabarannya diserahkan kepada umat pada setiap masa dan tempat, maka semata-mata Syura tidak dapat menjamin tegaknya kehidupan yang demokratis. Syu>ra akan berhasil jika memang tersedia situasi dan kondisi yang kondusif, yakni ketika elemen-elemen demokrasi yang lain seperti kesetaraan, pertanggungjawaban, keadilan dan kebebasan benar-benar telah tegak dalam masyarakat. Tanpa tersedianya situasi dan kondisi semacam itu, mustahil untuk mengharapkan berlangsungnya Syu>ra dengan demokratis.31
Menurut Hasan al-Turabi : Sebagian orang mengartikulasikan demokrasi semuanya dan bukan didasarkan pada hakekat maknanya secara gramatikal-yakni pemerintahan oleh rakyat-bahkan juga bukan bagaimana demokrasi diartikan di barat. Sepanjang sejarah perjalanannya di barat, kata demokrasi dikaitkan erat dengan sekularisme dan hal itu tentu saja bertentangan dengan sifat gerakan Islam. Dengan politik yang amoral demokrasi tentu saja menjadi sesuatu yang ditentang. Sama sekali jauh dari sifat-sifat agama.32
Tujuan demokrasi dalam Islam adalah menolak diktatorisme yang berkuasa, menolak kekuasaan penguasa yang sewenang-wenang, yang pada saat sekarang lazim disebut Tiran. Karena maksud dari demokrasi ialah pemberdayaan rakyat untuk memilih para penguasa seperti mereka kehendaki, memperhitungkan perilaku mereka, menolak perintah mereka jika bertentangan dengan undang-undang negara, yang jika di Istilahkan menurut Islam : Jika mereka kepada kedurhakaan. Mereka berhak mencopot para penguasa itu jika menyimpang, tidak mau menerima nasehat dan peringatan.33
Islam adalah agama yang mengajak kepada keadilan, melawan penindasan, menolak eksploitasi dan manipulasi serta membebaskan manusia dari praktek-praktek ekonomi dan politik tidak bermoral. Substansi ditegakkannya nilai dan praktek demokrasi adalah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum. Dan ini secara nyata tercermin dan dipraktekkan oleh Nabi dan al-khulafa ar-Rasyidun pada masa awal Islam.34
Demokrasi bisa diambil sebagai sebuah sistem politik utuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tapi, hanya sebatas tataran pranata sosial-politik An-sich. Sebaliknya, menolak dengan tegas demokrasi’ dengan embel-embel ideologi tertentu. Apa yang diajarkan Nabi dalam praktek negara Madinah menunjukkan adanya kehidupan Demokratis’ berdasarkan aturan wahyu Ilahi.35
Menurut K. H. Abdurrahman Wahid , landasan demokrasi adalah keadilan dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang dan berarti juga kemandirian untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Intinya demokrasi menuntut adanya otonomi setiap individu. Akan tetapi demokrasi tidak mengakui adanya kemutlakan, sebab dasarnya demokrasi merupakan proses tawar-menawar dan negosiasi secara terus-menerus. Dengan demikian demokrasi selalu menyisakan hal-hal yang masih bisa dinegosiasikan. Dalam konteks ini K.H. Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa perjuangan menegakkan demokrasi tidak bisa dilakukan sekali jadi, tapi butuh waktu yang panjang dan kesabaran yang tinggi disamping juga keseriusan.36
Melalui pendekatan sejarah berkembangnya pemikiran demokrasi K.H. Abdurrahman Wahid pada waktu terbentuknya forum demokrasi. Forum demokrasi terbentuk setelah terjadinya peristiwa Tabloid Monitor dan didirikannya ICMI. Pada bulan oktober 1990 terjadi sesuatu yang merupakan alamat buruk bahwa telah terjadi peralihan serius dalam kebijakan rezim yang berkuasa terhadap Islam. Hal ini berkaitan dengan Tabloid pop Monitor. Tabloid ini mempunyai hubungan dengan harian Kompas dan the Jakarta post lewat penopang-penopangnya, yang merupakan orang-orang Cina Katolik.37
Munculnya ICMI dengan dukungan penuh Presiden Soeharto membuat khawatir K.H. Abdurrahman Wahid dan yang lain-lainnya, seperti Djohan Effendi, yang merasa bahwa Soeharto berencana menggunakan santri konservatif untuk mendukungnya dalam usahanya agar terpilih kembali sebagai Presiden. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merasa prihatin bahwa dibentuknya perhimpunan kaum elit intelektual Islam ini akan mendorong tumbuhnya sentimen sektarian dan dengan demikian akan dimainkan oleh kaum konservatif.
K.H. Abdurrahman Wahid dan sejumlah teman yang sepaham dengannya merasa prihatin dengan meningkatnya arus sektarianisme atau aliran. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membentuk suatu organisasi untuk membela pluralisme dan demokrasi. Pada awal 1991, empat puluh intelektual yang berasal dari berbagai kelompok agama dan masyarakat di Indonesia mendirikan Forum demokrasi. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih menjadi ketua dan juru bicara forum ini. Ketenaran dan pengaruh Gus Dur akan membuat organisasi baru ini mendapatkan kepercayaan publik. Forum demokrasi didirikan untuk memberikan kekuatan pengimbang terhadap lembaga-lembaga seperti ICMI yang mendorong tumbuhnya pemikiran sektarian.38
Elaborasi demokrasi menurut K.H. Abdurrahman Wahid berangkat dari paradigma kontekstualisasi pemikiran Fiqh dan Qawa>id Al-Fiqh. K.H. Abdurrahman Wahid secara tegas dan siap memperlihatkan perhatiannya yang tinggi terhadap perubahan dan persoalan-persoalan masyarakat modern, termasuk masalah demokrasi dan hak asasi manusia. K.H. Abdurrahman Wahid menerima terhadap gagasan demokrasi modern dengan sendirinya legitimasi secara Fiqh.39
Menurut Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, yang mengelompokkan pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Neo-Modernisme. Pola pemikirannya mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergaulan modernisme dan hal ini tidak harus dengan menghilangkan tradisi Islam yang mapan. Dalil yang mendasari pemikiran ini adalah :
المحافظة على القد يم ا لصالح والاخذ بالجد يد الاصلح40
Mengisi proses perubahan pasca otoriterisme di Indonesia saat ini, salah satu agenda krusial yang belum terselenggara adalah melakukan penataan ulang hubungan sipil militer dalam kerangka demokrasi yakni membangun sebuah sistem politik yang menempatkan posisi militer dalam kerangka demokrasi, dengan meminjam Huntington (1957) sebagai militer profesional yang dikontrol secara obyektif oleh supremasi sipil. Sebagaimana pengalaman berbagai negara, gelombang demokratisasi ternyata juga diikuti demilitereisasi. Biasanya, salah satu problem serius negara-negara demokrasi baru itu adalah membendung kekuasaan dan pengaruh politik militer, memposisikan militer tunduk pada pemerintahan sipil demokratis, lalu mejadikan angkatan bersenjata suatu badan profesional berkomitmen melindungi keamanan negeri.41
Strategi dalam istilah militer menunjukkan pemanfaatan praktis atas semua sumber daya yang tersedia yang dimiliki oleh suatu negeri untuk mecapai tujuannya dengan cara militer. Jika terjadi pertentangan kepentingan, pertentangan tersebut dapat diselesaikan dengan jalan damai, tetapi jika pada pihak lain, kemungkinan untuk mencapai pemecahan yang tersisa adalah tindakan militer tetapi banyak faktor yang ikut mempengaruhinya secara langsung ataupun tidak langsung.42
Menilai kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai komandan militer. Nabi Muhammad SAW memiliki banyak sifat yang membuatnya disukai oleh setiap orang yang berhubungan dengannya dan yang membuatnya menjadi pujaan para pengikutnya. Beliau sangat ramah, sopan, rendah hati dan penyayang dan menarik hati orang-orang sehingga mereka bersedia untuk mengorbankan segalanya untuknya.43
Nabi Muhammad SAW selalu siap untuk mengadakan perdamaian kapan saja diperlakukan, karena beliau tidak pernah menginginkan perang dengan siapapun juga, melainkan harus melakukannya karena dipaksa oleh musuhnya. Tujuan utamanya melakukan peperangan adalah untuk menghapuskan agresi dan penindasan dan memulihkan perdamaian di muka bumi. Qur’an menyebutkan prinsip ini dengan kata-kata berikut :
وا ن جنحوا للسلم فا جنح لها وتوكل على ا لله ا نه هوا لسميع ا لعليم. وا ن يريد وا ا ن يخدعوك فا ن حسبك ا لله هوا لذي ا يد ك بنصره و با لمؤمنين.44

Menurut Huntington, pemberlakuan prinsip supremasi sipil identik dengan kontrol yang efektif dari pihak sipil terhadap militer dengan membuat militer sebagai lembaga yang profesional.45 karenanya, dari sekarang sebenarnya telah dituntut kesediaan bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri Indonesia. Perjuangan itu haruslah di mulai kesediaan menumbuhkan moralitas baru dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah.46
F. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dalam melacak data, menjelaskan, menyimpulkan obyek pembahasan dalam skripsi ini penyusun menempuh metode-metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, library research, karena itu tehnik yang digunakan adalah pengumpulan data secara literatur yaitu penggalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan obyek bahasan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu dengan memaparkan pemikiran-pemikiran demokrasi dalam Islam kajian terhadap K. H. Abdurrahman Wahid yang nantinya dilakukan analisis dengan kerangka teori.
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini,adalah :
Pendekatan normatif (Agama)
Normatif adalah prinsip-prinsip atau pedoman-pedoman yang menjadi petunjuk manusia pada umumnya untuk hidup (bermasyarakat).47Pedekatan ini penyusun gunakan untuk mendekati masalah dalam skripsi dengan melihat Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kaidah-kaidah menguji relevansi dan keabsahan Demokrasi dalam Islam serta pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid.
4. Pengumpulan Data
Mengingat jenis penelitian ini adalah metode dokumentasi, yakni menelaah data primer dan sekunder. Sedangkan tokoh yang dikaji masih hidup, maka tokoh tersebut diposisikan sebagai sumber data primer. Namun sumber data primer berupa tulisan beliau yang sudah dijadikan buku, yaitu karya buku Tuhan tidak perlu di bela Abdurrahman Wahid dan Prisma pemikiran Gus Dur Buku ini merupakan kumpulan tulisan K. H Abdurrahman Wahid yang di edit oleh Muhammad Sholeh Isre dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta. Data sekundernya adalah buku-buku yang berkaitan dengan topik skripsi dan sumber data lainnya baik berupa jurnal, majalah, surat kabar dan lainnya.
5. Analisis Data
Analisis yang digunakan dengan analisa kualitatif dengan pemaparan secara deduktif, yaitu metode yang bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum, untuk kemudian diperoleh pengertian yang bersifat khusus.
G. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah, maka akan dibagi menjadi lima bab, yang masing-masing bab saling erat kaitannya.
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menjadi landasan ide dasar lahirnya dari skripsi ini. Dengan membaca bab pertama ini akan dapat diperoleh gambaran apa sebenarnya yang melatar belakangi perlunya pembahasan mengenai demokrasi dalam Islam kajian terhadap pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid serta signifikansinya terhadap khazanah keilmuan yang telah ada. Dalam bab ini di paparkan mulai dari latar belakang masalah sampai munculnya pokok permasalahan, Tujuan dan Kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian, serta sistematika pembahasan.
Selanjutnya Bab kedua, membahas tentang gambaran umum tentang demokrasi dalam sebuah pemahaman yang meliputi : pengertian Demokrasi, sejarah demokrasi, beberapa konsep Demokrasi, serta relevansi demokrasi dengan Islam. Bab II akan menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud demokrasi dan bagaimana demokrasi di dalam Islam. Penjelasan ini penyusun anggap perlu sebab untuk mengetahui apa sesungguhnya demokrasi. Setelah itu, perlu pula dijelaskan bagaimana hubungan demokrasi dengan ajaran agama Islam.
Bab ketiga, membahas tentang Biografi K. H. Abdurrahman Wahid meliputi :
Latar belakang keluarga, pendidikan, serta sosial-politik yang mengitarinya dan pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang berkaitan dengan demokrasi. Hal ini penyusun anggap penting, karena untuk mengetahui secara komprehensif gagasan yang dilontarkan dan diperjuangkan oleh K. H. Abdurrahman Wahid, penyusun terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana situasi dan kondisi lingkungan yang telah membentuk dirinya. Dan mengetahui apa latar belakang pemikiran dan gagasan yang dilontarkan tersebut secara global.
Selanjutnya Bab keempat, berisi tentang analisis terhadap pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi yang meliputi : Aplikasi demokrasi menurut K. H. Abdurrahman Wahid, K. H. Abdurrahman Wahid dan transisi demokrasi,. K. H. Abdurrahman Wahid dan militer dan demokratisasi. Bab ini memperlihatkan manuver politik tentang demokrasi menurut pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tahun 1999-2003.
Bab terakhir yaitu Bab kelima, sebagai bab penutup yang terdiri dari: kesimpulan dan saran-saran, kemudian diakhiri dengan daftar pustaka, serta lampiran-lampiran. Dalam uraian kesimpulan tersebut berisi tentang pokok pikiran sebagai hasil refleksi panjang penyusun. Didalam kesimpulan akan membandingkan pemikiran demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid dengan pemikiran tokoh Islam yang lain. Apakah pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid identik dengan salah satu tokoh Islam yang lain.



















BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG DEMOKRASI

A.Pengertian Demokrasi

Dalam arti harfiahnya, demokrasi (Inggris : Democracy) berasal dari bahasa Yunani, yani demos artinya rakyat dan kratia artinya pemerintahan. Dengan demikian demokrasi berarti pemerintahan (oleh) rakyat.48 Prinsip terpenting demokrasi adalah kewarganegaraan (citizenship). Ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan sama dengan orang lain berkenaan dengan pilihan-pilihan bersama, dan kewajiban pihak yang berwenang melaksanakan pilihan tersebut untuk bertanggungjawab dan membuka akses terhadap seluruh rakyat. Sebaliknya, prinsip ini juga membebankan kewajiban pada rakyat, untuk menghormati keabsahan pilihan-pilihan yang bersama secara sengaja, dan hak penguasa untuk bertindak dengan kewenangan, untuk mendorong efektivitas pilihan-pilihan ini, serta untuk melindungi negara dari ancaman-ancaman atas kelangsungannya.49 Secara faktual demokrasi telah menjadi semacam spirit radikal yang bercakupan universal bagi individu dan sekelompok individu yang bernaung dibawah institusi negara untuk terlibat dalam perdebatan dan pergulatan publik dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan universal yang terbentuknya tata sosial yang adil, egaliter dan manusiawi.50

Sementara itu secara terminologis demokrasi sebagai berikut :
a. Menurut Josefh A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
b. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
c. Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn karl, demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.51
Secara teoritis, bahwa demokrasi sejak semula mempunyai dua pengertian, yaitu : demokrasi dalam arti formil dan demokrasi dalam arti materiil. Arti demokrasi secara materiil, ialah bahwa inti dari demokrasi itu justru terletak dalam jaminan yang diberikan terhadap hak-hak yang berdasar pada pengakuan kemerdekaan tiap-tiap orang yang menjadi warga negara. Arti demokrasi secara formil hanya sekedar mengandung pengakuan bahwa faktor yang menentukan dalam negara ialah kehendak rakyat yang kemudian menjadi sebagian besar dari rakyat (Volonto general : dari Rousseau), akan tetapi dengan tidak ada sesuatu pembatasan untuk menjamin kemerdekaan seseorang.
Pengertian demokrasi materiil yang kian lama memberikan pengaruh dalam pengertian demokrasi hingga dewasa ini. walaupun demokrasi dalam arti formil tidak ditinggalkan, namun demokrasi dalam arti materiil di pandang sesuai dengan tujuan demokrasi yang sebenar-benarnya.
Dalam peneterapannya, demokrasi itu direalisir dalam dua tahap, yaitu : menyusun kekuasaan dan pelaksanaan kekuasaan. Pada tahap petama, demokrasi itu mempunyai sifat langsung dan pada tahap kedua sifatnya tidak langsung. Yang langsung, ialah adanya pemberian suara oleh 80 rakyat dalam pemilihan umum, sedangkan yang tidak langsung dalam penyusunan kekuasaan itu, ialah adanya keharusan tanggungjawab pemerintah kepada perwakilan rakyat, dan dalam kerjasama diantara kedua instansi itu mewujudkan dasar-dasar umum kebijaksanaan pemerintah.52
Demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Definisi yang tepat sulit dirumuskan karena demokrasi merupakan sebuah entitas dinamis yang memiliki berbagai macam pengertian sepanjang waktu. Banyak dari dinamika ini berasal dari perubahan dalam masyarakat dan berbagai analis mengenai konsekuensi perubahan bagi demokrasi. Dengan pembangunan masyarakat diberbagai tingkat dan melalui cara yang berbeda-beda dewasa ini, tidaklah mengherankan bahwa makna demokrasi masih menjadi bahan perdebatan.
Untuk keperluan analitis, perlu membangun sebuah konsep yang memberikan identifikasi yang jelas mengenai apakah esensi dari demokrasi. Inti dari demokrasi politik mempunyai tiga dimensi : kompetisi, partisipasi, serta kebebasan sipil dan politik. Ketika mengkaji status demokrasi disuatu negara, langkah pertama yang harus diambil adalah melihat ketiga elemen tersebut. Dalam konteks ini perlu diperhatikan salah satu indeks demokrasi-misalnya, indeks Freedom House. Dalam rangka membuat penafsiran demokrasi secara komprehensif, juga harus mengkaji suatu negara secara cermat karena sistem demokrasi sangat bervariasi dalam hal pola kelembagaan dan dalam dimensi lainnya. Kondisi sosial ekonomi juga mempengaruhi kualitas demokrasi.53

B. Sejarah Demokrasi

Menurut catatan sejarah, di Yunani kuno pernah ada demokrasi, yang lebih sering disebut demokrasi langsung. Sebab Yunani waktu itu hanya sebuah negara kecil atau bahkan barangkali hanya sebuah kota kecil (city state). Dalam logika sederhana, pelaksanaan demokrasi dalam satu wilayah yang sekecil itu tentu merupakan sesuatu yang mudah diterima akal.54
Kisah demokrasi modern dimulai 2500 tahun yang lalu dalam lingkungan budaya sebuah bangsa kecil yang juga menjadi tempat kelahiran filsafat sebagai ilmu serta salah satu pusat kreativitas seni terbesar segala zaman, yakni bangsa Yunani. Tepatnya pada tahun 508 SM, seorang yang bernama Chleisthenes mengadakan beberapa pembaruan dalam sistem pemerintahan kota Athena. Bentuk pemerintahan baru itu kemudian dinamakan Demokratia ,” pemerintahan (oleh) rakyat”,.
Asal-usul demokrasi sebagai sesuatu sistem politik dapat ditelusuri sampai pada sekitar lima abad sebelum masehi, ketika orang-orang Yunani membentuk Polis (Negara-Kota) mencoba menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan agar dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama masyarakat.55
Dua puluh tiga abad setelah eksperimen demokrasi di Athena, dunia menyaksikan berbagai bentuk sistem politik yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan prinsip-prinsip demokrasi. Yang mendominasi sejarah adalah monarchi, kesultanan dan negara-negara teokratik. Sementara eksperimen demokrasi dapat dikatakan sudah tenggelam dalam sejarah. Puncak peradaban di India, Cina, Timur Tengah semasa kejayaan Islam dan kebangkitan Eropa tidak berhutang budi sedikitpun pada konsep demokrasi.
Di zaman pertengahan (600-1400M), gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat. Dimana masyarakat abad pertengahan di dirikan struktur sosial yang feodal, yang kehidupan sosial spiritualnya dikuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama serta kehidupan politiknya ditandai oleh adanya perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Akan tetapi dilihat dari sudut perkembangan demokrasi abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen penting yaitu Magna Charta (Piagam agung) pada tahun 1215M.
Selanjutnya pada akhir abad ke-15 dan abad ke-16 sebagai awal dari zaman Renaissance.56) Di Eropa muncul teori politik yang mulai mempertanyakan segi-segi manusia dalam hubungan antara penguasa dan rakyat serta kedudukan agama dalam masalah-masalah publik. Tokoh-tokoh pemikir seperti Nicollo Mochiavelli (1469-1527) dari Italy dengan ide sekulerismenya, Jean Bodin dari Prancis dan Thomas Hobbes (1588-1679) dari Inggris dengan ide negara kontraknya, mulai menguak dimensi-dimensi moralitas sekular dan hakekat hukum politik.
Pada abad pencerahan (Enlightment) di abad ke-17 dan ke-18 yang juga dikenal sebagai masa “Aufklarung” (1650-1800), pemikiran-pemikiran demokratik mulai bermunculan lagi diatas permukaan. John Locke (1632) dengan idenya tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga federal. Ide ini selanjutnya disempurnakan oleh Baron De Motesduieu (1689-1755) dengan idenya tentang pemisahan kekusaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif dan Yudikatif. Di tambah dengan ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrol sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
Sebagai kelanjutannya, pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (the equal of rights) serta hak pilih untuk semua warga negara.57

C. Beberapa Konsep Demokrasi

Diantara sekian banyak aliran yang menamakan demokrasi, penyusun akan menjelaskan tiga macam demokrasi, yaitu dua kelompok aliran demokrasi yang terkenal di dunia dan satu demokrasi perwakilan di Indonesia, yakni demokrasi Liberal atau konstitusional, demokrasi kerakyatan atau Sosialis yang pada hakekatnya mendasarkan dirinya atas komunisme, dan demokrasi pancasila.
1. Demokrasi Liberal
Demokrasi ini sering juga disebut dengan demokrasi konstitusional, yaitu demokrasi yang berdasarkan pada kebebasan atau individualistis. Ciri khas demokrasi ini adalah bahwa pemerintahannya terbatas kekuasaanya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah tersebut ialah melalui suatu konstitusi. Dimana konstitusi tersebut menjamin hak-hak warga negaranya dan menyelenggarakan kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif di imbangi oleh kekuasaan legislatif (parlemen) dan kekuasaan Yudikatif (lembaga hukum Yudikatif).58

Perkembangan pemikiran mengenai demokrasi liberal telah dirangkum oleh C. B. Mac Pherson dalam tiga model :
  1. Demokrasi Protektif.
  2. Demokrasi pembangunan.
  3. Demokrasi ekuilibrium (keseimbangan). 59
Dari ketiga model demokrasi diatas tidak dibahas secara rinci, namun akan membahas tentang pemikiran pendapat demokrasi liberal, yang bertujuan untuk mengetahui beberapa isu penting yang muncul dalam berbagai panggung pemikiran mengenai demokrasi.
Ciri-ciri demokrasi liberal menurut M. Carter dan John Herz adalah bahwa demokrasi ditandai secara konstitusional pembahasan-pembahasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberi perlindungan bagi individu dan kelompok dengan menyusun penggantian pemimpin secara berkala, tertib, damai dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif. Dalam hal sikap, demokrasi liberal memerlukan toleransi terhadap pendapat yang berlawanan, keluwesan serta kesediaan untuk bereksperimen.
Henry B. Mayo menyebutkan bahwa demokrasi adalah dimana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Disamping itu, menurutnya demokrasi itu tidak hanya merupakan suatu bentuk negara ataupun sistem pemerintahan, tetapi merupakam suatu gaya hidup serta tata masyarakat tertentu yang mengandung unsur-unsur moril sehingga dapat dikatakan bahwa demokrasi didasarkan oleh beberapa nilai.60
2. Demokrasi komunisme
Istilah komunisme mulai populer dipergunakan setelah revolusi tahun 1830 di Prancis. Revolusi menghendaki pemerintahan parlementer dengan menghapuskan raja, tetapi hasilnya adalah penghapusan republik dan naiknya Louis Philippe sebagai raja. Sebagai akibatnya muncullah perkumpulan-perkumpulan revolusioner rahasia di Paris pada tahun-tahun tiga puluhan itu, terutama ditahun empat puluhan. Tidak dapat dikatakan dengan pasti bila sebenarnya istilah komunisme itu muncul, tetapi istilah ini dipergunakan terhadap perkumpulan-perkumpulan serta paham-paham yang dianutnya.
Istilah komunisme tadi dari mulanya mengandung dua pengertian. Pertama, ada hubungannya dengan komune (commune), satuan dasar bagi wilayah negara yang berpemerintahan sendiri, dengan negara itu sendiri sebagai federasi dari komune-komune itu. kedua, dari istilah komunisme, ia menunjukkan milik atau kepunyaan bersama. Pengertian kedua inilah yang dipergunakan oleh Cabet dan pengikut-pengikutnya. Pengertian pertama lebih erat hubungannya dengan serikat-serikat rahasia dan serikat-serikat yang hidup terbuang, seperti perkumpulan liga komunis (1847) dikalangan orang-orang Jerman yang hidup dalam buangan diluar negeri (Paris); Manifesto Komunis merupakan garis pedoman liga itu.61
Tipe dari demokrasi Komunisme ini yakni demokrasi Proletar, Marxis Komunisme atau demokrasi Sovyet. Tokoh dari aliran ini antara lain : Robert Awen (1771-1858) dari Inggris, Saint Simon (1760-1825), Faurier (1772-1837) di Perancis dan yang terpenting adalah Karl Marx (1825-1883). Masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx adalah masyarakat komunis yaitu masyarakat yang tidak ada kelas sosial dimana manusia dibebaskan dari keterikatan kepada milik pribadi dan tidak ada eksploitasi, penindasan dan pakasaan. Ironisnya untuk mencapai masyarakat yang bebas dari paksaan itu perlu melalui jalan paksaan serta kekuataan yaitu perebutan kekuasaan oleh kaum buruh dari tangan Borjuis (pemilik modal).62
3. Demokrasi pancasila
Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Demokrasi Pancasila, sebab Undang-Undang Dasar 1945 merupakan penjabaran dan perwujudan dari pancasila sebagai dasar falsafah negara. Istilah Demokrasi Pancasila secara formal pertama kali tertuang dalam TAP MPRS. NO. XXXVII/MPRS/1968 yaitu ketetapan tentang pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila.
Maksud dari pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila, didalamnya berisi pedoman, tata cara bermusyawarah dan cara pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dan atau berdasar suara terbanyak, jadi belum menggambarkan pengertian yang utuh, bulat tentang sistem pemerintahan berdasar Demokrasi Pancasila, atau hakikat Demokrasi Pancasila itu sendiri.
Demokrasi Pancasila adalah Demokrasi yang bersumber pada falsafah hidup bangsa Indonesia Pancasila, yang perwujudannya seperti tercantum dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Jadi yang membedakan Demokrasi di Indonesia dengan Demokrasi dinegara-negara lain adalah predikat “Pancasila”, yang dijadikan landasan, dasar dalam mengembangkan kehidupan Demokrasi dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.63
Demokrasi sebagai suatu cara hidup yang baik antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut :
Pertama: Segala pendapat atau perbedaan pendapat mengenai masalah kenegaraan dan lain-lain yang menyangkut kehidupan negara dan masyarakat diselesaikan lewat lembaga-lembaga negara. Cara hidup ini akan mengantarkan dan merupakan suatu kebiasaan menyelesaikan perselisihan melalui lembaga itu sehingga masalah itu dapat diselesaikan dengan tertib dan teratur.
Kedua, Diskusi. Sebagai suatu negara Demokrasi, dimana rakyat di ikutsertakan dalam masalah negara, maka pertukaran pikiran yang bebas demi terselenggaranya kepentingan rakyat, maka diskusi harus dibuka seluas-luasnya. Diskusi dapat berbentuk polemik didalam media massa, seprti surat kabar dan lain-lain. Di dalam diskusi atau musyawarah sebagai landasan kehidupan bangsa dan negara, demokrasi harus diberi saluran. Dalam hal ini semangat musyawarah, baik dalam lembaga-lembaga perwakilan maupun dalam wadah-wadah lainnya, seperti media massa sudah sewajarnya dibina terus-menerus.64
Penyelenggaraan ide tentang Demokrasi Pancasila yang perumusannya dapat dikembalikan terutama kepada sila ke-4 mempunyai kaitan langsung kepada sila lainnya, yang merupakan perwujudan pelaksanaan dan penghayatan pancasila dan hidup bangsa Indonesia.
Demi mencapai tujuan dan memperkembangkan usaha-usaha kearah kesejahteraan nasional serta memperkukuh ketahanan nasional bagi seluruh bangsa, maka pancasila dalam segala manifestasinya perlu diamalkan dan diamankan oleh segala lapisan masyarakat Indonesia, satu dan lain menghendaki tindak-tanduk manusia Indonesia yang berdasarkan moral pancasila yang tangguh dan kuat.65)

D. Relevansi Demokrasi Dengan Islam

Perbincangan agama dalam kontek demokrasi, sering kali berhadapan dengan persoalan yang bersifat empirik. Masalahnya, bukan karena pada basis empiriknya, agama dan demokrasi terdapat perbedaan. Agama berasal dari wahyu, sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran filosofis manusia.
Persoalannya kemudian adalah kesulitan mencari bukti-bukti historis, misalnya dalam kehidupan politik, yang secara eksplisit mampu menjelaskan adanya hubungan simbiosis-mutualisme antara agama dan demokrasi. Meskipun antara keduanya dikatakan mempunyai basis empirik yang berbeda, tapi hal itu bukan merupakan persoalan yang bersifat mendasar untuk mempertemukan antara agama dan Demokrasi. Dalam kaitan yang bersifat dialektis, agama memberi dukungan yang positif terhadap demokrasi, sebaliknya, demokrasi memberikan peluang bagi proses pendewasaan kehidupan beragama.
Setiap agama pada dasarnya mengandung konsep kemanusiaan sebagai cermin atas pengakuan secara apresiatif dan konstruktif terhadap manusia. Misalnya saja agama Islam. Salah satu tema pokok dalam Islam adalah masalah kemanusiaan, disamping persoalan yang bersifat teologis dan kosmologis. Dalam Al-Qur’an sebagai sumber autentik ajaran Islam, terdapat nuktah-nuktah kemanusiaan yang apresiatif dan konstruktif. Dilihat dari tataran etis-teologis demikian inilah Islam sesungguhnya merupakan agama yang mendukung pelaksanaan demokrasi. Dalam Al-Qur’an, tidak saja terkandung nilai etik demokratis, tapi juga nilai Instrumental dengan mana nilai-nilai etik demokrasi dapat diaktualisasikan.66
Sebenarnya Islam lebih dulu mencanangkan sendi-sendi bangunan substansi Demokrasi. Tapi rinciannya diserahkan kepada Ijtihad orang-orang Muslim, sesuai dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunianya, perkembangan hidupnya menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia.67
Dewasa ini kaum Muslim mulai sadar untuk melakukan gerakan kebangkitan dalam agama setelah sebelumnya mengalami kelemahan dalam kurun waktu lama. Perasaan ini muncul ketika mereka menyadari posisinya dalam skala global dan membandingkan kondisi mereka dewasa ini dengan kejayaan di masa lalu, dan realitas sosial mereka dengan idealitas agama. Sejak kesadaran ini tumbuh, kaum Muslimin mengetahui betul kelemahan kondisi mereka dan berupaya segera bangkit menuju kondisi yang lebih baik.
Kaum Muslim dihadapkan pada serangan budaya Barat yang mereka ketahui lewat ekspansi kolonial dan media massa modern. Akibatnya, tampaklah kelemahan budaya, ekonomi, dan politik dalam menghadapi kekuatan dan dominasi kolonial. Semula, serangan itu mendorong mereka untuk melakukan perlawanan dengan kekuatan lemah sehingga menimbulkan fenomena kesadaran dan Revolusi Islam sejak abad lalu. Kemudian, mereka mewarisi pasang surut kehancuran. Jawaban mereka atas serangan itu mengalami kematangan setelah pertengahan abad ini. saat ini, mereka berusaha menyelamatkan jati diri dan eksistensi mereka dengan kembali kepada keaslian Islam dan mendorong mereka untuk mengejar Eropa serta menandinginya dalam bentuk kemajuan peradaban secara menyeluruh.68)
Diantara kelebihan sistem Demokrasi yang pernah diperjuangkan secara mati-matian dalam menghadapi para tiran, ialah menuntut kebeberapa bentuk dan sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran, sekalipun sistem ini tidak lepas dari cacat dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tidak lepas dari kekurangan.69
Prinsip kekuasaan rakyat yang merupakan fondasi demokrasi, tidaklah bertentangan dengan prinsip kekuasaan Allah yang merupakan fondasi legislasi Islami. Tapi memang bertentangan dengan prinsip kekuasaan individu yang merupakan dasar pemerintahan diktator.
Bukanlah suatu keharusan bagi para pendukung Demokrasi untuk menolak kekuasaan Allah atas manusia. Kebanyakan pendukung Demokrasi tidak pernah berpikir tentang ini perhatian mereka hanya tertuju untuk menolak kekuasaan atau pemerintahan diktator yang sewenag-wenang yang di praktekkan oleh para tiran yang angkuh dan sombong.
Kekuasaan Allah terhadap makhluk adalah suatu yang permanen. Kekuasaan itu ada dua macam :
  1. Kekuasaan kauni kodrati, artinya hanya Allah-lah satu-satunya yang berwenang dijagat raya ini. Dia-lah yang mengutus alam semesta dengan Sunnah-nya yang tidak berubah, yang diketahui dan yang tidak diketahui. Hal ini seperti yang ternukil dalam al-Qur’an :
اولم يروا ا نا نأ تى ا لارض ننقصها من ا طرا فها وا لله يحكم لامعقب لحكمه وهوسريع ا لحسا ب.70
Dalam ayat ini dipahami bahwa yang dimaksud dengan hukum Allah adalah ketetapan-Nya yang mengatur jagat raya, bukan Syari’at atau legislasi.
  1. kekuasaan syari’ah, yaitu kekuasaan untuk memberikan tugas, memerintah, melarang, membebankan kewajiban dengan paksa dan dengan pilihan. Untuk itu Allah mengutus berbagai Rasul, menurunkan beberapa kitab, membuat berbagai peraturan, menggariskan berbagai tugas, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.71
Demokrasi ditegakkan berdasarkan pendapat mayoritas, dan mayoritas inilah yang berhak menunjuk pemimpin, menata berbagai persoalan, mendukung salah satu dari beberapa hal yang berbeda. Dalam sistem Demokrasi, pemilihan dan pemungutan suara merupakan suatu hal yang menentukan.
Di dalam Islam tidak bisa mendukung suatu pendapat hanya karena pendapat itu didukung oleh mayoritas. Tapi Islam melihat kepada pendapat itu sendiri. Apakah benar atau salah. Bila pendapat itu benar, maka diterima dan dilaksanakan, walaupun hanya didukung oleh satu suara, atau tidak yang mendukungnya sama sekali.


BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN DEMOKRASI
K. H. ABDURRAHMAN WAHID

A. Biografi K. H. Abdurrahman Wahid

1. Latar belakang keluarga
Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti "abang" atau "mas".
Gus Dur atau Abdurrahman wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru".72Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, Di lahirkan di Tebu Ireng, Jombang pada bulan Juni 1914. Ia adalah putra pertama dan anak kelima dari sepuluh bersaudara.73
Menurut Gus Dur, pada akhir tahun 1930-an, Wahid Hasyim dianggap sebagai salah seorang perjaka di Jombang yang paling diminati. Sebagai seorang rupawan dan cerdas, ia menerima banyak tawaran perkawinan dari keluarga-keluarga terkemuka selama beberapa tahun ia menolak semua tawaran ini. Tetapi pada suatu hari pada tahun 1930, Wahid Hasyim, yang ketika itu berusia 29 tahun, menghadiri upacara perkawinan seorang sanak saudaranya. Disana perhatiannya tercuri oleh seorang gadis muda berpakaian kerja biasa yang sedang membawa seember air untuk mencuci piring di dapur, jauh di bilik suasana pesta di depan. Ia, Sholichah, puteri K. H. Bisri Syansuri. Keesokan harinya ia menemui K. H. Bisri Syansuri dan melamar Sholichah. Dengan senang hati K. H. Bisri Syansuri menerima lamaran itu dan tahun itupun Wahid Hasyim mengawini Sholichah.74
Bahwa Wahid Hasyim adalah orang yang mempunyai rasa cinta terhadap masyarakatnya, namun demikian ia sering merasa putus asa melihat cupetnya pikiran yang mengekang masyarakatnya ini. Wahid Hasyim yang pernah punya jabatan sebagai menteri Agama, ia merasa terganggu oleh sikap tergantung dan manja oleh sikap kementriannya. Namun demikian, Wahid Hasyim selalu cenderung tidak mau terganggu oleh apa saja yang tidak dapat dikembalikannya. Pada tahun 1952, setelah bertahan selama lima kabinet, Wahid Hasyim kehilangan jabatan ini dalam salah satu pergantian menteri yang sering terjadi dalam periodenya ini. Sebagai menteri, ia akhirnya bertanggungjawab untuk mengorganisasi perjalanan Naik Haji di Indonesia sehingga beberapa ribu calon jamaah Haji tidak dapat pergi ke Makkah. Kemunduran ini menimbulkan mosi tidak percaya DPR terhadap Wahid Hasyim dan pada umumnya tak ada gunanya untuk mencoba meningkatkan reputasinya. Maka Wahid Hasyim pun dengan senang hati melepaskan jabatannya.
Pada hari sabtu tanggal 18 April 1953, Gus Dur bepergian menemani Ayahnya untuk suatu pertemuan NU di Sumedang, yang dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu beberapa jam saja dan terletak disebelah tenggara Jakarta. Dijalan menuju kota Bandung yang berliku-liku melalui pegunungan berapi dan menjadi punggung pulau Jawa. Ketika perjalanan berada antara Cimahi dan Bandung, Wahid Hasyim dan Gus Dur bersama dengan Argo Sutjipto, seorang penerbit yang merupakan sahabatnya, terjadi kecelakaan sekitar pukul 01.00 siang tetapi mobil ambulan dari Bandung baru tiba ditempat kejadian sekitar pukul 04.00 sore. Pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya, Wahid Hasyim tak lagi dapat bertahan dan meninggal dunia. Beberapa jam kemudian Argo juga meninggal dunia. Wahid Hasyim, yang merupakan harapan banyak orang di Indonesia, telah menghembuskan nafas terakhir, ia berusia 38 tahun. Gus Dur baru berusia 12 tahun.75
Kakek K. H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari pihak ayahnya adalah K. H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan pendiri pesantren Tebuireng Jombang. K. H. Hasyim Asy'ari dilahirkan di Jombang pada bulan Februari 1871 dan wafat di Jombang pada Juli 1947. Ia adalah salah seorang yang mendirikan NU pada tahun 1926 dan sangat dihormati sebagai seorang pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan yang tradisional. Ia juga dikenal sebagai seorang guru yang banyak mamberi inspirasi serta seorang terpelajar. Namun, ia juga seorang nasionalis yang teguh pendirian. Banyak dari teman-temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis pada periode sebelum perang.
Keluarga K. H. Hasyim Asy'ari dengan bangga menyatakan bahwa mereka keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa di Jawa pada abad XVI dan terkenal sebagai salah seorang Raja terakhir kerajaan Hindu-Buddha yang besar di Jawa, kerajaan Majapahit. Lebih penting lagi, tokoh legendaris Jaka Tingkir, putera Brawijaya VI, dianggap sebagai orang yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa, sedangkan puteranya, pangeran Banawa, dikenang sebagai orang pertama yang meninggalkan kerajaan untuk mengajar sufisme. Silsilah ini dianggap sebagai hal yang sangat baik dalam masyarakat tradisional Jawa.
Setelah belajar di Makkah selama tujuh tahun, Hasyim Asy'ari kembali ke Jombang dengan tujuan untuk mendirikan pesantren sendiri. Ia pun memilih desa Tebuireng, yang saat itu tak begitu jauh dari kota Jombang, tetapi pada akhirnya tertelan oleh kota ini. K. H. Hasyim Asy'ari tetap memilih Tebuireng, walaupun teman-temanya menasehatinya untuk tidak memilih desa itu, yang saat itu penuh dengan rumah pelacuran dan tempat-tempat yang ramai dikunjungi penduduk setempat yang beroleh cukup uang dari pabrik gula setempat. Argumentasinya, sebuah pesantren harus memainkan peran dalam mengubah masyarakat sekelilingnya. pesantren K. H. Hasyim Asy'ari dibuka pada tahun1899 dan segera terkenal sebagai pusat belajar. K. H. Hasyim Asy'ari memperkenalkan sejumlah pembaharuan terhadap pengajaran di Pesantren, suatu hal yang kemudian ditiru secara luas oleh pesantren-pesantren lainnya.76
Lalu kakek Gus Dur dari pihak Ibu, Kiai Bisri Syansuri. Kiai Bisri Syansuri dilahirkan pada bulan september 1816 di daerah pesisir sebelah utara Jawa Tengah, sebuah daerah yang mempunyai banyak pesantren. Bersama dengan Hasyim Asy'ari, ia dianggap sebagai salah seorang tokoh kunci bagi didirikannya NU. Pada tahun 1917, ia memperkenalkan pada dunia pesantren, kelas pertama bagi santri puteri di Pesantrennya yang baru di dirikan di Desa Denanyar, yang terletak diluar Jombang. Bisri Syansuri mengambil sebidang tanah yang luas, dan benar-benar tandus. Setelah beberapa lama tanah itu berubah menjadi komunitas yang makmur dalam pengembangan pertanian, pembelajaran, dan keruhanian. Bisri Syansuri telah membuktikan dirinya bukan sekedar seorang ahli fiqh, atau Yurisprudensi Islam, dan seorang administratur pendidikan yang berbakat, melainkan juga seorang ahli pertanian yang cakap. Pesantrennya di Denanyar terkenal oleh karena pendekatan yang teratur dan berdisiplin terhadap keilmuan dan kehidupan bersama.77 Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari ulama' NU, yaitu K. H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan K. H. Bisri Syansuri merupakan tokoh NU, yang pernah menjadi Rais 'aam PBNU, dan sekaligus dua tokoh tersebut sebagai tokoh bangsa Indonesia.


2. Latar belakang pendidikan
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya. 78
Walaupun Ayahnya seorang menteri dan terkenal di kalangan pemerintahan Jakarta, Gus Dur tidak pernah bersekolah di sekolah-sekolah elit yang biasanya dimasuki oleh anak-anak pejabat pemerintah. Ayahnya pernah menawarinya untuk masuk ke sekolah elit, tetapi Gus Dur lebih menyukai sekolah-sekolah biasa. Katanya, sekolah-sekolah elit membuatnya tidak betah. Gus Dur memulai pendidikan sekolah dasarnya di sekolah dasar KRIS di Jakarta pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di kelas empat di sekolah ini tetapi kemudian ia pindah ke sekolah dasar Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan rumah keluarga mereka yang baru di Matraman, Jakarta Pusat.79
Dalam waktu yang pendek, Gus Dur tidak terlihat sebagai siswa yang cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah ia menamatkan sekolah dasar dan mulai sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP), ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian. Kegagalan ini jelas disebabkan oleh seringnya ia menonton pertandingan sepak bola sehingga ia tak mempunyai cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Pada tahun 1954, sementara sang Ibu berjuang sendirian untuk membesarkan enam anak, sedangkan Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya, ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan pelajarannya di SMEP. Ketika di kota ini, ia berdiam di rumah salah seorang teman Ayahnya, Kia Haji Junaidi. Yang menarik adalah bahwa Kiai Junaidi adalah salah seorang sejumlah kecil ulama' yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah pada periode itu. Ia anggota Majlis Tarjih atau Dewan Penasehat Agama Muhammadiyah.
Hal ini mungkin biasa-biasa saja, tetapi saat itu, dan bahkan dalam beberapa dasawarasa kemudian, secara relatif hampir tidak terdapat pertautan antara kaum modernis Muhammadiyah dan kaum tradisional NU. Sebagaimana NU dulu dan sekarang, merupakan organisasi Ulama' yang mewakili Islam tradisional di Indonesia, hampir semua kaum Modernis tergabung dalam Muhammadiyah.80
Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur maka diaturlah agar ia dapat pergi kepesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali seminggu. Pesantren ini terletak diluar sedikit Kota Yogyakarta. Disini ia belajar bahasa Arab dengan Kiai Haji Ali Maksum. Ketika tamat sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran di Pesantren secara penuh. Ia bergabung dengan pesantren di Tegal Rejo Magelang, yang terletak disebelah utara Yogyakarta, ia tinggal disini hingga pertengahan 1959. disini ia belajar pada Kiai Khudhori, yang merupakan salah satu dari pemuka NU. Pada saat yang sama ia juga belajar paro waktu di Pesantren Denanyar di Jombang dibawah bimbingan Kakeknya dari pihak Ibu, Kia Bisri Syansuri.
Pada tahun 1959 ia pindah ke Jombang untuk belajar secara penuh di Pesantren Tambakberas dibawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah. Ia belajar disini hingga tahun 1963 dan selama kurun waktu itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri Syansuri secara teratur. Selama tahun pertamanya di Tambakberas, ia mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Ia kemudian mengajar di Madrasah modern yang didirikan dalam komplek pesantren dan juga menjadi kepala sekolahnya. Selama masa ini ia tetap berkunjung ke Krapyak secara teratur. Disini ia tinggal di rumah Kiai Ali Maksum. Pada masa inilah sejak akhir tahun 1950-an hingga 1963 Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.81
Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Namun sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di ruang perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Bagdhad mengambil fakultas sastra.82 Tidak terlalu jelas, apakah Abdurrahman Wahid menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar kesarjanaannya di Bagdhad. Karena sebagain orang menganggapnya selesai dan memperoleh gelar LC. Namun sebagain yang lain menyatakan "tidak memperoleh gelar" atau "tidak selesai". Namun yang pasti, usai di Bagdhad, Abdurrahman Wahid ingin menguyam dunia pendidikan liberal Eropa.
Pada tahun1971, ia menjajaki salah satu di Universitas Eropa untuk melanjutkan pendidikannya disana. Akan tetapi, harapannya tidak kesampaian karena kualifikasi- kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui Universitas-Universitas di Eropa. Selanjutnya, yang memotivasi Abdurrahman Wahid untuk pergi ke MC Gill University Kanada untuk mempelajari kajian-kajian ke Islaman secara mendalam. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
Sekembalinya di Indonesia, ia kembali ke habitatnya semula yakni dunia pesantren. Dari tahun 1972 hingga 1974, ia di percaya menjadi dosen disamping Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari Jombang. Kemudian tahun 1974 sampai 1980 oleh pamannya, K. H. Yusuf Hasyim, di beri amanat untuk menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Selama periode ini ia secara teratur mulai terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat Katib awal Syuriah PBNU sejak tahun 1979.83
3. Latar belakang sosial dan politik
Dengan latar belakang pendidikan, pergaulan dan perkenalannya dengan dunia keilmuan yang cukup kosmopolit itu, Abdurrahman Wahid mulai muncul ke permukaan percaturan intelektual Indonesia dengan pemikran-pemikian briliannya pada tahun 1970-an, ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial, LSM dan forum-forum diskusi.84
Menurut sementara sumber, sikap Abdurrahman Wahid itu sempat ditangkap oleh para aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) di Jakarta, utamanya yang bergabung di LP3ES (Lembaga Penelitian Penerangan dan Pendidikan Ekonomi dan Sosial). Salah satu yang tanggap terhadap fenomena Abdurrahman Wahid pada saat itu adalah Dawam Raharjo. Oleh sebab itu, kemudian ia berusaha menghadirkan Abdurrahman Wahid di Jakarta dan menjadikannya sebagai salah seorang fungsionaris di LP3ES. Mulai saat itulah Abdurrahman Wahid tinggal di Jakarta dan bekerja di LP3ES dan bergaul luas dengan para aktivis LSM, baik dari Jakarta maupun dari luar negeri.
LP3ES juga menarik bagi Gus Dur karena lembaga ini menunjukkan minat yang besar terhadap dunia pesantren dan mencoba untuk menggabungkannya dengan pengembangan masyarakat. Masih di ingat oleh Gus Dur betapa ia merasa terdorong oleh rasa hormat dan pengakuan yang dalam yang di tunjukkan oleh pimpinan lembaga ini terhadap apa yng dapat di sumbangkan pada organisasi ini.
Kepada LP3ES di berikan oleh Gus Dur pemahaman mengenai dunia pesantren dan Islam tradisional, dan dari lembaga ini ia belajar mengenai aspek-aspek praktis dan kritis mengenai pengembangan masyarakat. Kombinasi ini benar-benar cocok baginya.85 Pada tahun 1977 ia di dekati dan di tawari jabatan Dekan Fakultas Ushuluddin pada Universitas Hasyim Asy'ari di Jombang. Dengan gembira ia menerima tawaran ini. Universitas Islam ini diberi nama kakek Gus Dur dan di dirikan oleh suatu konsorsium pesantren untuk memberikan pendidikan tingkat Universitas kepada lulusan Pesantren.86
Pada tahun 1979 Gus Dur mulai banyak terlibat dalam kepemimpinan NU, yaitu di Syuriah NU. Namun kegiatan di dunia pesantren tidak di tinggalkan, dengan mengasuh pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan.
Sebagai konsekwensi kepindahannya di Jakarta dan kiprahnya di dunia LSM sejak akhir tahun 1970-an, seperti sudah di singgung, dia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh maupun kelompok dengan latar belakang berbeda-beda, dan terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas sosial. Sejak saat itu juga, ia banyak mengadakan kontak secara teratur dengan kaum intelektual muda progresif dan pembaharu seperti Nurcholis Madjid dan Djohan Effendy melalui forum akademik maupun lingkaran kelompok studi. Kemudian dari tahun 1980-1990 berkhidmat di MUI (Majelis Ulama' Indonesia). Dan, sementara itu, dia juga memasuki pergaulan yang lebih luas.
Pada tahun 1982-1985 Abdurrahman Wahid masuk sebagai ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), bergaul akrab dengan para pendeta bahkan sampai pada aktivitas semacam pelatihan bulanan kependetaan protestan, menjadi ketua dewan juri Festival Film Nasional di tahun 70-an dan 80-an, banyak mendapat kritik dari kalangan Ulama', baik Ulama' NU maupun yang lainnya.87
Demikianlah latar belakang kehidupan Abdurrahman Wahid diatas perlu diketahui dalam rangka untuk mencoba menyimak dan melihat backgruond pemikirannya. Nampaknya dia adalah produk dari kombinasi kualitas personal yang khas hidupnya yang diserap dari lingkungan keluarga, pendidikan, sosial dan politik yang dilalui sejak masa kanak-kanak. Dengan memahami sosialisasi yang dilalui dalam hidupnya itu, maka dari itu, bahwa dia tidak hanya dibesarkan dan berkenalan dengan satu dunia keislaman tradisional-meskipun dari segi nasab dan waktu belajar formal, tradisi ini yang paling dominan-tetapi sebenarnya lebih dari itu, dia adalah produk pengalaman hidup yang amat kaya dengan berbagai persentuhan nilai-nilai kultural yang kemudian secara dialektis mempunyai pemikirannya.

B. Pemikiran Demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid

1. Contoh Pemikirannya
K. H. Abdurrahman Wahid adalah salah seorang intelektual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih dari 15 tahun menjabat ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama' (PBNU), organisasi kaum tradisionalis, ini sering menghiasi halaman-halaman koran. Diluar pemerintah dan figur militer hal ini sangat sulit di bayangkan. Selama tahun-tahun kepemimpinan itu popularitasnya mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan dengan manuver politiknya dan juga-yang tidak boleh dilupakan-tingkat pemahaman terhadap manuvernya. Dalam beberapa tahun terakhir K. H. Abdurrahman Wahid menjadi semakin kontroversial, ketika dia berusaha melerai pihak-pihak yang terlibat kekerasan, juga ketika dia berusaha menyeberangi badai dan gelombang besar pada akhir pemerintahan Soeharto dan era Indonesia pasca Soeharto. Kendati demikian K. H. Abdurrahman Wahid tetap dan bahkan semakin populer, sebagai figur kharismatik dan tokoh yang selalu memberi cinta bahkan pada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya.
Salah satu aspek yang paling bisa di pahami dari K. H. Abdurrahman Wahid adalah bahwa ia adalah penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China Indonesia, juga penganut kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak di untungkan pada masa pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan terakhir ini. Dengan kata lain, K. H. Abdurrahman Wahid dipahami sebagai Muslim non-Chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Yang secara luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa K. H. Abdurrahman Wahid itu orang yang bangga sebagai seorang Muslim. Dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih dari itu, K. H. Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.88
Banyak warga Nahdliyyin sekarang ini yang masih menganggap Gus Dur itu mempunyai kemampuan Ghoib, bahkan Wali. Ini di kaitkan dengan kemampuan Gus Dur yang luar biasa dalam memahami dan menganalisis berbagai masalah yang di sertai dengan sepak terjangnya yang bagi banyak orang dianggap aneh dan nyeleneh.89 Gus Dur (K. H. Abdurrahman Wahid) adalah sosok yang nyeleneh. Dalam bahasa Indonesia, nyeleneh berarti sesuatu yang berhubungan pikiran dan tindakan yang tidak umum, secara tradisi, budaya, dan sosial kemasyarakatan, bahkan juga sosial keagamaan.90
Wacana atau pola komunikasi politik yang dilakukan K. H. Abdurrahman Wahid, sesungguhnya tak jauh berbeda dengan wacana dan pola komunikasi sufistik. Maka apa yang selama ini pada pribadi dan karakteristik Gus Dur, tak mesti dan tak harus di bedakan sebagai suatu nyeleneh (tidak wajar) maupun nyeleneh dalam kehidupan perpolitikan serta kebangsaan di Indonesia. Kenyelenehan yang khas pada K. H. Abdurrahman Wahid, terutama sekali pada spontanitas dan kecuekannya. Bagi masyarakat umum, tindakan dan sikap seperti itu merupakan karakteristik atau citra yang tak wajar.91
Untuk mulai memahami pola komunikasi yang dilakukan Gus Dur, yang kerap bersifat isyarat dan bernuansa Sufistik. Pada kasus Gus Dur, masalahnya menjadi unik dan rumit, pada waktu beliau berada di wilayah publik (pemerintahan) yang sangat memerlukan atau di perlukan suatu komunikasi yang efektif, akurat (secara rasional-matematis), verbal, terang dan jelas, sedangkan beliau-selaku pengendali taktik dan strategi politik, yang menyangkut umat, negara dan bangsa-di tuntut juga untuk pandai-pandai menyampaikan pesan, baik yang bersifat verbal maupun non verbal.92
Walaupun dianggap sebagai orang aneh dan nyeleneh dan juga ada yang beranggapan mempunyai kemampuan ghoib pada diri Gus Dur, Gus Dur sendiri tak pernah merasa dirinya seorang Wali. Hasyim Wahid alias Gus Iim, adik Gus Dur, pernah memberi konfirmasi bahwa kehebatan Gus Dur dalam memahami dan menganalisis berbagai hal bukanlah karena wali tetapi karena sangat kaya dengan informasi. Sejak kecil, Gus Dur sudah membaca berbagai jenis buku yang berat-berat dalam berbagai bahasa, mulai dari soal agama, sejarah, politik, olah raga, seni, bahkan sampai humor-humor dari berbagai bangsa.93
K. H. Abdurrahman Wahid adalah putra salah seorang pendiri NU yang terkemuka dan cucu salah seorang bapak pendiri bangsa (founding fathers), berasal dari keluarga NU yang paling utama dan menjadi pewaris dinasti kedua. Mengetahui latar belakang itu, agaknya tidak aneh bila K. H. Abdurrahman Wahid membanggakan warisan Islam tradisionalnya. Dan ketika orang membaca tulisannya, sangat jelas bahwa apapun yang dikatakan orang mengenai manuver politiknya K. H. Abdurrahman Wahid menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap teori sosial modern dan komitmen yang mendalam terhadapnya. Dan juga banyak tulisannya yang menjelaskan bahwa K. H. Abdurrahman Wahid adalah seorang demokrat atau lebih tepatnya seorang demokrat liberal. Lebih dari itu, seperti sudah diketahui banyak orang, K. H. Abdurrahman Wahid di kenal karena sikapnya yang konsisten membela minoritas dan perjuangan untuk bisa di terimanya pluralisme sosial dan budaya yang betul-betul ada dalam masyarakat Indonesia modern.94
Tantangan kehidupan modern, di satu sisi, menuntut kemampuan intelektual untuk merespon secara positif dan kreatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi tanpa harus melepaskan diri dari substansi dan prinsip-prinsip universal agama. Pluralitas masyarakat Indonesia, di sisi lain, juga menuntut sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran. Dengan menggunakan paradigma kontekstualisasi pemikiran klasik, sikap-sikap itu-yaitu respon positif dan kreatif terhadap perubahan dan sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran-bisa di ekspresikan secara nyata oleh K. H. Abdurrahman Wahid.95
Bagi K. H. Abdurrahman Wahid, Islam adalah agama kasih sayang dan toleran sekaligus agama keadilan dan kejujuran. Artinya Islam adalah kayakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan, kelas, suku, ras, gender atau pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Abdurrahman Wahid Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa, dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara.96
Untuk memahami posisi Abdurrahman Wahid sebagai figur Religius, sangat penting juga mengapresiasikan sebagai seorang intelektual. Karena hampir tidak mungkin untuk memahami secara sepenuhnya jika tidak menghargai keyakinan keagamaannya. Tanpa penghargaan terhadap sisi intelektual K. H. Abdurrahman Wahid tidak akan pernah sampai pada pemahaman yang memadai mengenai jalan pemikirannya.97
Corak pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang liberal dan inklusif secara nyata sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap berbagai khasanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi, termasuk terhadap pemikiran hukum Islam. Kontribusi fiqih terhadap gagasan inklusivisme dan pluralisme adalah karena fiqih merupakan pengembangan gugusan hukum agama yang tidak pernah berhenti berkembang.98 Sebab, fiqih Islam adalah pemikiran yang berpedoman pada rambu-rambu di sepanjang jalan menuju Allah. Fiqih Islam bukanlah pemikiran yang berangkat dari hawa nafsu, melainkan dirumuskan demi mencapai Syariat tujuan Islam, yakni Syariat Teologis dan Syariat Praktis.99
Fiqih telah menyediakan daerah dalam bentuk teori hukum (Us}u>l Fiqh) dan kidah-kaidah hukum (Qawa>id Al-Fiqhiyyah) yang menampung kebutuhan masa dan tempat, dalam merumuskan kebutuhan masa dan tempat, harus merumuskan keputusan hukum agama itu sendiri. Dengan kata lain, toeri dan kaidah-kaidah hukum itu membuat fiqh menjadi tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah, untuk masyarakat yang berbeda dan pada luas geografis yang berbeda pula.100
Pemikiran secara Fiqh ini, semakin menunjukkan sikap moderat Abdurrahman Wahid, terlebih dalam menyikapi berbagai kecenderungan. Sosial dan politik yang berkembang secara dinamis di masyarakat.101Hal lain diperkuat dinamikanya oleh kenyataan bahwa Abdurrahman Wahid memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa. Sebagai seorang santri lulusan dari pesantren, intelektual briliannya jauh melebihi kapasitas teman-teman sebayanya, walaupun upaya kerja kerasnya tidak melebihi teman-temannya. Demikian juga, walaupun ia tidak punya akses pendidikan yang dimiliki teman sebayanya seperti Nurcholis Madjid, ia juga tidak mengambil program pasca sarjana tetapi pemahamannya tentang pemikiran Barat bahkan bahasa Barat melebihi kemampuan teman sebayanya. Akibat tak terhindarkan adalah bahwa Abdurrahman Wahid telah menjadi raksasa diantara sebayanya dalam hal luasnya wawasan, kekuasaan pemikiran, pengalaman, pemahaman dan kemampuan intelektual yang tajam. Dia tidak jarang berbeda dengan Ulama'. Hal ini diperumit lagi dengan fakta kultur tradisional Ulama' yang sering menyebabkan frustasi.102
Satu yang sangat penting untuk direnungkan dalam berefleksi tentang Abdurrahman Wahid dan kontribusinya terhadap kehidupan publik dan religius di Indonesia adalah bahwa kadang-kadang perlu memisah antara manusia dan gagasan-gagasannya. Tidak ada satupun pemimpin, bahkan tidak satupun intelektual yang selamanya konsisten. Sudah menjadi masalah umum bahwa yang memberikan hal terbaik untuk kehidupan masyarakat kadang-kadang berjuang atau gagal mewujudkan ide itu sendiri. Banyak contoh akan hal ini. Oleh karena itu, pengakuan bahwa kontribusi tokoh intelektual seperti Abdurrahman Wahid harus di pisahkan dari konsistensi pribadinya dalam mewujudkan setiap aspek dari gagasan-gagasan ini
Secara lebih khusus lagi, sangat penting bagi yang tertarik dengan K. H. Abdurrahman Wahid untuk membaca tulisan K. H. Abdurrahman Wahid karena tidak dapat di sangkal lagi K. H. Abdurrahman Wahid adalah salah satu diantara intelektual paling signifikan bahkan sekalipun jika ia tidak diakui demikian dan paling tidak untuk memahami persoalan-persoalan yang memungkinkan untuk bisa memahami gaya personal politiknya.103

2. Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Tentang Idealitas Demokrasi
Kata "demokrasi" memiliki arti yang berbeda-beda bagi bangsa-bangsa yang berlainan pada masa yang tidak sama. Bagi para pemikir di negara-negara yang maju (advanced countries) dalam teknologi, kata itu dianggap bermakna demokrasi liberal. Ada yang bersifat negara kesatuan, dengan kekuasaan pemerintahan pusat yang besar, seperti di Perancis maupun yang bersifat federatif, seperti di Amerika Serikat dan Australia. Tetapi, ada pula yang menggunakan kata itu dalam arti berbeda, yaitu dengan adanya kekuatan-kekuatan politik yang tidak bertentangan, melainkan berbeda pandangan saja, seperti di Israel.
Meski, seringkali kata demokrasi diselewengkan dengan kata lain, seperti demokrasi rakyat dari kalangan komunis maupun dari demokrasi Islam dari kaum "garis keras", dan demikian menjadi kehilangan makna demokratisnya, kata demokrasi tidak pernah kehilangan arti pendapat berbilang atau bersamaan perlakuan bagi seluruh warga negara di muka undang-undang serta penegakan kedaulatan hukum.104
Sebagai sebuah tahapan sejarah, dapat dimengerti bahwa para pemimpin yang merumuskan UUD ’45 mau memberikan interpretasi lisan yang sesuai dengan kehendak para pemimpin Islam. Tanpa melakukan hal itu, tidak akan tercapai penyelesaian dalam bentuk kehendak bersama. Kalau tidak dapat dicapai persetujuan, hal ini akan menguntungkan pihak penjajah. Inilah yang mendasari pemikiran mereka waktu itu. Dan, inilah yang namanya politik. Para pemimpin Islam di-ninabobo-kan oleh penafsiran-penafsiran yang dipaksakan atas para pemimpin nasionalis. Dengan kata lain, para pemimpin nasionalis setuju dengan redaksi lisan yang dipaksakan oleh para pemimpin dari golongan Islam untuk mencapai persetujuan dan menghindari kemacetan. Berarti, apa yang dicapai itu hanyalah bersifat sementara dan mengikat bagi yang menyatakannya.
Generasi kemudian tidak lagi terikat dengan pernyataan mereka. Pak Harto yang tidak ikut terlibat secara aktif dalam perumusan Pancasila ternyata berpandangan bahwa Pancasila haruslah menjadi asas bagi organisasi-organisasi sosial politik. Bahkan, akhirnya menjadi keharusan bagi semua organisasi. Ini terjadi karena adanya semacam ketakutan kalau-kalau semuanya akan meninggalkan Pancasila karena hal ini termasuk jangkauan terjauh yang dapat dicapai. Kondisi mantapnya Pancasila inilah, yang ingin dicapai melalui upaya menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.
Apa yang ditakutkan Pak Harto ini ternyata terjadi saat ini, ditandai dengan berlangsungnya demonstrasi yang dipimpin oleh Eggy Sujana di istana beberapa waktu lalu untuk menolak Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi-organisasi Islam. Menjadi nyata bagi pentingnya pembahasan mengenai dasar negara ini karena besarnya perbedaan paham di antara sebagai warga Indonesia.
Sudah tentu perkembangan sejarah akan membawa pada berbagai kemungkinan. Sebagai negara kepulauan, perkembangan tentu akan berbeda dengan negara-negara di daratan Eropa. Kalau di Eropa pada umumnya banyak negara mengikuti sistem pemilu proporsional, sementara di sini, sebagaimana disampaikan oleh Mendagri Syarwan Hamid di hadapan anggota DPR, akan meniru Jepang dan Filipina, yaitu menggunakan sistem distrik, suatu sistem yang selama pemerintahan Orde Baru sangat dihindari. Mungkin juga ini bukan karena bentuk geografis negara Indonesia, melainkan oleh perkembangan historis dan situasional. Amerika menggunakan sistem distrik walaupun negaranya kontinental. Tetapi, Amerika memiliki pengaruh luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Semua ini menunjukkan bahwa Indonesia tidaklah berada dalam suasana kosong ketika melakukan penafsiran-penafsiran atas keadaannya sendiri. Di satu pihak, ada dorongan untuk menggunakan nilai-nilai Islam yang abadi guna menegakkan negara tersebut dalam kehidupan modern saat ini. Kegagalan untuk melakukan hal tersebut dianggap sebagai kegagalan melakukan perjuangan Islam, seperti yang terjadi di hampir semua negara Islam sekarang. 105
Karena sesungguhnya Islam adalah Agama demokrasi. Ada beberapa alasan mengapa Islam disebut sebagai agama demokrasi :
Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat jelata dikenakan hukum yang sama. Kalau tidak demikian, maka hukum dalam Islam tidak jalan dalam kehidupan.
Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan. "Wa-Amruhum syu>ra> bainahum", artinya perkara-perkara mereka dibicarakan di antara mereka. Dengan demikian tradisi membahas, tradisi bersama-sama mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan.
Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Karena dunia ini hakikatnya adalah persiapan untuk kehidupan di akhirat. "Waa>khiratu khairu waabqa>", akhirat itu lebih baik dan lebih langgeng. Karena itu kehidupan manusia tarafnya tidak boleh tetap, harus terus ada peningkatan untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik di akhirat.
Jadi standar yang baik itu di akhirat, kehidupan di dunia harus diarahkan kepada yang baik itu. Hal ini sebenarnya adalah prinsip demokrasi, karena demokrasi pada dasarnya adalah upaya bersama-sama untuk memperbaiki kehidupan. Karena itulah Islam dikatakan sebagai agama perbaikan, di>nul is}lah, atau agama inovasi.
Jika dikaitkan dengan keadilan, bahwa demokrasi hanya dapat tegak dengan keadilan. Kalau Islam menopang demokrasi maka Islam juga harus menopang keadilan. Ini penting sekali sebagaimana difirmankan Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, hendaknya kalian menegakkan keadilan”. Ini perintah yang sangat jelas. Yakni perlunya ditegakkan keadilan dalam segala bentuk, baik keadilan hukum, keadilan politik, keadilan budaya, keadilan ekonomi, maupun keadilan sosial. Keadilan sosial ini sangat penting karena salah satu patokan Islam adalah kaidah fiqih: Langkah dan kebijaksanaan para pemimpin mengenai rakyat yang mereka pimpin haruslah terkait sepenuhnya dengan Kesejahteraan rakyat yang mereka pimpin itu.Karena orientasinya adalah kesejahteraan, maka dipentingkan adanya keadilan. Dan orientasi kesejahteraan inilah yang membuktikan demokratis atau tidaknya kehidupan suatu masyarakat.
Dengan demikian Islam selalu menghendaki demokrasi yang menimpakan salah satu ciri ata jati diri Islam sebagai agama hukum. Maka Islam juga harus mengembangkan keadilan sosial di samping keadilan-keadilan lainnya. Dalam kenyataannya implementasi dan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari tidak semudah itu. Salah satu contoh, misalnya, masih berkembang diskursus tentang keterwakilan (representativeness). Ada keluhan di masa lalu orang Kristen terlalu banyak diwakili dalam pemerintahan. Disebutkan, misalnya, ada Radius Prawiro, J.B. Sumarlin, L.B. Moerdani, dan lain-lain. Padahal nama-nama itu tergolong "awam" dalam bidang agama Kristen. Sementara orang-orang "awam" Islam tidak dianggap mewakili Islam. Misalnya, Pak Harto, Pak Try Sutrisno, para bupati, para Danramil, dan lurah-lurah, mereka juga pemimpin Islam.
Yang menjadi pertanyaan K. H. Abdurrahman Wahid adalah, mengapa kalau orang awam Kristen dianggap mewakili agama Kristen, orang awam Islam tidak dianggap mewakili Islam? Harus ada kejelasan, kalau orang awam Islam tidak dianggap mewakili Islam, maka orang awam Kristen jangan dianggap mewakili Kristen.
Gampangnya kalau menterinya tidak ada yang pastor tidak perlu gegeran menginginkan kiai menjadi menteri. Di sini representativeness menjadi proporsional bukan dalam jumlah, melainkan dalam jenis manusia-manusia yang memimpin. Kalau sudah demikian tidak ada masalah. Golongan Islam diwakili oleh para pemimpin Islam dalam arti yang terdidik dalam pengetahuan agama Islam dan berpengalaman dalam mengelola program-program keagamaan Islam. Tidak ada masalah lagi, karena mereka tidak mempunyai over claim atau klaim yang berlebihan.106
Banyak orang bertanya kepada K. H. Abdurrahman Wahid, mengapa demikian banyak orang menjadi Katolik. Bukankah dengan demikian, dalam beberapa puluh tahun saja, seluruh Indonesia akan beragama Katolik? Atau paling tidak, mayoritas umat yang beragama Islam di Indonesia akan hilang berganti dengan Katolik dan Protestan. Capaian kemajuan yang luar biasa dari Kristenisasi ini, sangatlah mengerikan bagi yang meyakininya, dan sepertinya telah menjadi kenyataan (sejarah) yang harus diyakini.
Tetapi, yang tidak ikut-ikutan yakin seperti K. H. Abdurrahman Wahid ini, malah dianggap sebagai pengkhianat Islam. Lalu, apa yang harus menjadi sikap mereka? Menurut K. H. Abdurrahman Wahid, hal itu tidak usah diperhatikan secara serius. Dianggap sebagai pengkhianat atau bukan, sangatlah tergantung pada diri masing-masing. Bahkan, lebih jauh lagi, persoalan dianggap berkhianat ataupun tidak, bukanlah termasuk masalah yang prinsipil dan penting. Dan, jika saja masih dianggap sebagai pengkhianatan —padahal memang bukan— lebih baik dibiarkan saja. Bukankah, suatu saat nanti, fakta yang akan berbicara, bukannya kesan? Kalau memang tidak membantu Kristenisasi, bukankah dianggap apa saja tak jadi soal? Kristenisasi, sebagai sebuah proses kemasyarakatan berjalan secara alamiah. Dengan demikian, masalah Kristenisasi akan tetap terjadi kalau hal itu akan terus berlangsung.
Karenanya, dari sini, tugas K. H. Abdurrahman Wahid hanyalah ingin mendekatkan antara kaum Kristen dan muslimin di negeri ini. Bukankah para pendiri republik (the Founding Fathers) ini, dulunya, selalu bekerja sama dalam memperjuangkan dan mendirikan negara-bangsa yang tercinta ini? Juga, K. H. Abdurrahman Wahid tidak pernah mengharuskan untuk beribadah secara Kristen, sama seperti halnya yang telah dialami oleh ayah K. H. Abdurrahman Wahid yaitu K. H. Abdul Wahid Hasyim. Maka, diharapkan yang terjadi adalah perataan pemikiran antara kedua belah pihak, Seperti halnya, pemikiran Martin Luther King Jr. mengenai demokrasi. Di samping itu, pemikiran Mahatma Gandhi yang beragama Hindu atau Sulak Sivaraksa dari Thailand yang beragama Buddha. Dan juga, tentunya, pemikiran Ali Abd. Roziq, yang hampir semua buku-bukunya dilarang dibaca di Mesir.
Dengan kata lain, pencarian pendapat tentang demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid banyak mengambil dari mana pun, selama hal itu merupakan pencerminan dari teologia yang benar dan ketaatan yang saleh. Soal nilai kepercayaan masing-masing, K. H. Abdurrahman Wahid tak pernah mempersoalkannya. Semua itu, diserahkan saja pada para teolog dari masing-masing agama dan keyakinan. Dan, K. H. Abdurrahman Wahid merasa, hanya dengan beginilah pengikut semua agama akan mampu memperjuangkan proses demokratisasi secara bersama-sama.
Apabila untuk proses demokratisasi saja prinsip-prinsip dipertahankan, menurut K. H. Abdurrahman Wahid atas berlakunya keadilan, berlangsungnya hak-hak yang sama di hadapan undang-undang (UU) dan persamaan kepentingan bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Ini berarti, kebebasan untuk berbicara haruslah dipertahankan dan kebebasan berpendapat harus pula dijaga.107
Negeri Indonesia tidak mengalami kenyataan demokratis ini, melainkan menghadapi dilema lain lagi. Pers sudah menjadi begitu merdeka, hingga merekapun memuat saja berita fitnah atau kabar bohong, selama ada kekuatan politik "demokratis" yang mereka ikuti. Celakanya, partai-partai politik yang menerapkan kerangka itu, masih kuat sekali melaksanakaan KKN. Mereka menakut-nakuti penerapan kedaulatan hukum, dan dengan demikian –mereka menciptakan fitnahan dan kabar bohong tersebut untuk menutupi KKN yang mereka lakukan. Yang terpenting bagi mereka, asal KKN yang mereka lindungi terbebas dari penerapan kedaulatan hukum secara tuntas.
Dengan demikian, mereka menggunakan kekuatan menjadi demokratis yang "berbilang banyak" adalah pihak yang menang dalam pemungutan suara. Bahwa tradisi demokrasi adalah mengutamakan kebenaran, adalah sesuatu yang mereka lupakan. Demokrasi yang mereka gunakan adalah demokrasi kelembagaan, dan sama sekali tidak ada hubungan tradisi dengan "tradisi demokrasi". Jika dikombinasikan dengan lemahnya aparat penegak hukum dan ketakutan Mahkamah Agung (MA) sekarang ini di negeri Indonesia, hasilnya adalah lelucon besar-besaran tentang Indonesia sebagai negara demokratis.
Kini, dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit: kedaulatan hukum hanya dapat ditegakkan sebagian saja. Terdapat kekutan hukum yang tidak akan dapat dikenakan kedaulatan hukum itu karena kuatnya mereka. Begitu juga, ada pihak yang tidak terkena sangsi Undang-Undang (UU), karena bukti-bukti hukum yang ada tidak cukup untuk menjamin diseretnya mereka ke meja hijau. Dalam hal ini, K. H. Abdurrahman Wahid menggunakan ketentuan teori hukum Islam (Ushul Fiqh, Islamic Legal Theory): ma> la> yudraku kulluh, la> yutraku kulluh (apa yang tidak dapat diwujudkan sepenuhnya, tidak ditinggalkan yang terpenting). Selama penegakan hukum berjalan, dan persamaan perlakuan di muka Undang-Undang dilaksanakan serta kemerdekaan pers ditegakkan, selama itu pula tetap demokratis. 108
Tentu saja, dalam rangka memperjuangkan, menegakkan, dan menebarkan demokrasi, nilai-nilai Agama sebagai landasan pijak moralitas tak bisa dipisahkan atau di tinggalkan begitu saja. Tanpa adanya tali kekang nilai Agama, perjuangan nilai-nilai demokrasi akan gampang terjerumus hingga menghalalkan segala cara yang justru bertentangan dengan nilai-nilai- demokrasi itu sendiri. Dalam kaidah Fiqh :"Dar-ul Mafa>sid awla> min jalbi al-mas}a>lihi…" menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kebaikan. Dan apabila berlawanan antara yang mafsadah dan mas}lahah itu,, maka yang didahulukan adalah menolak mafsadah-nya.
Demikianlah, tujuan dari eksperimentasi demokrasi bukanlah kekuasaan. Kekuasaan hanyalah salah satu alat, sedangkan tujuan tak lain adalah mewujudkan mas}lahah bagi seluruh rakyat Indonesia tercinta ini.109










BAB IV
ANALISA PEMIKIRAN DEMOKRASI
K. H. ABDURRAHMAN WAHID

A. Aplikasi Demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid

Demokrasi dalam praktek politik adalah demokrasi sebagaimana dilakoni oleh para "peserta". Konsep "peserta" di sini dimaksudkan sebagai keseluruhan permainan politik yang dalam periode politik tertentu membentuk citra perilaku sistem politik. Karena itu "peserta" tidak saja mencakup pejabat atupun pemimpin pemerintahan, tapi juga aktivitas partai, pers, parlemen, militer, pengusaha, atau individu yang secara politik amat berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Konsep "peserta" di sini hanyalah penyederhanaan atas konsep "struktur politik" dari analisa perbandingan politik Gabriel A. Almond.
Seperti juga pengalaman banyak negara lain dalam berdemokrasi, tidak semua praktek demokrasi bisa dilacak akar-akar pemikiran dan wacana intelektualnya dalam periode ini, tetapi justru sebagai kritik, atau bahkan mungkin penolakan terhadap ide-ide.110
Menurut Faoucault, para pemikir besar abad pencerahan, sesungguhnya tidak begitu besar, mereka hanya mengatur supaya tampak besar atas biaya orang lain. Tidak ada ide yang dapat menjadi besar, tanpa sejumlah besar ide lain yang memikirkannya pada tempat lain.
Dalam konteks seperti itulah, meski tidak sepenuhnya persis pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan K. H. Abdurrahman Wahid atau panggilan akrabnya Gus Dur, menjadi teras penting dan besar. Nilai penting dan kebesaran pikiran maupun tindakan Gus Dur, sesungguhnya "disokong" atau "diuntungkan" oleh rezim Orde Baru-sebuah rezim yang selalu menjadi sasaran kritik dan perlawanannya. Dalam wacana paradigmatis seperti itu, dapat di katakan; wacana ideologis yang di kembangkan rezim Orde Baru adalah tesis, sedangkan pikiran (kritik) dan tindakan (perlawanan) Gus Dur adalah anti tesis, adapun sistesisnya justru diambil sendiri oleh Gus Dur, tatkala ia memilih masuk struktur (sebuah wilayah yang pernah di kritiknya) dan menjadi presiden RI.
Dari gerakan kultural menjadi gerakan struktural, dalam rangka mengembangkan ide, gagasan dan pikiran-pikirannya yang "nyeleneh" mulai dari demokrasi, keadilan, keterbukaan, kejujuran, pemerintahan yang bersih (clean government), sampai dengan demiliterisasi, deformalisasi (Islam dan tradisi), pluralisme dan universalisme.111
Di negeri Indonesia demokrasi belum lagi tegak dengan kokoh masih lebih berupa hiasan luar berupa kosmetik dari pada sikap yang melandasi pengaturan hidup yang sesungguhnya. Dalam suasana sedemikian ini, unsur-unsur masyarakat yang ingin melestarikan kepincangan sosial yang ada dewasa ini tentu akan berusaha sekuat tenaga membendung aspirasi demokrasi yang hidup di kalangan mereka yang telah sadar akan perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini (Indonesia).
Kalau tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan demokrasi yang benar di negeri ini, tentu aspirasi-aspirasi itu akan terbendung oleh kekuatan-kekuatan anti demokrasi itu. Negeri Indonesia bukan tempat satu-satunya di dunia ini, dimana keadaan di atas masih berlangsung. Keadaan itu sendiri bahkan merupakan ciri umum kehidupan hampir semua negara yang sedang berkembang.
Karenanya, dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari diri sendiri kesediaan bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri ini (Indonesia). Perjuangan itu haruslah dimulai kesediaan menumbuhkan moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah.112
Tampilnya K. H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden (20 Oktober 1999) ketika masih menjabat sebagai ketua umum PBNU, memiliki nilai historis dan kebanggaan tersendiri bagi warga NU. Namun hal tersebut pada satu sisi tidak hanya merupakan kebanggaan NU, melainkan disisi lain justru menimbulkan "masalah" bagi NU sendiri. Menjadi kebanggaan bagi NU, karena tampilnya K. H. Abdurrahman Wahid jelas akan menaikkan popularitas dan citra NU dalam konstelasi perpolitikan nasional. Apalagi selama masa Orde Baru warga NU termarginalisasi dari kekuasaan rezim Soeharto. Sehingga maklum saja jika tampilnya K. H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden, membuat warga NU harus mengekspresikan kegembiraannya dengan berbagai hajatan. Dalam perjalanan selanjutnya, kenaikan K. H. Abdurrahman Wahid ternyata menjadi "masalah" bagi NU. Karena ia di nilai oleh banyak kalangan tidak mampu mengemban tugas Presiden. Ini di buktikan dengan kinerja pemerintahannya yang buruk dan sering kali membuat kebijakan yang melanggar undang-undang, Tap MPR dan GBHN, serta pernyataan yang kerap kali kontroversial kenyataan politik ini memicu dan menjadi alasan dari singgasana Presiden. Hal itu membuat NU, baik secara institusi maupun personal, merasa perlu tampil untuk membela tokoh utamanya itu agar tetap aman.
Menyikapi beberapa pernyataan kontroversial K. H. Abdurrahman Wahid saat menjadi Presiden, dikalangan NU sendiri terjadi pro-kontra.113Ada beberapa kebijakan kontroversial sewaktu menjadi Presiden, justru presiden K. H. Abdurrahman Wahid melakukan pada paruh waktu pertama kekuasaannya yang telah menjadi pelatuk pemicu kebangkitan emosi dan kemarahan sebagian masyarakat. Namun, juga pada sisi sebaliknya telah mengakibatkan dukungan yang penuh semangat dari beberapa elemen masyarakat terhadap kebijakan presiden K. H. Abdurrahman Wahid. Beberapa peristiwa yang cukup penting untuk di ungkap kembali dan kemudian di lakukan analisisi antara lain : penghapusan Departemen Penerangan, penghapusan Departemen Sosial, ide pencabutan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tentang komunisme, serta penghapusan Bakorstanas dan Litsus.114
1. Penghapusan Departemen Penerangan Dan Penghapusan Departemen Sosial.
Mengenai pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, kabar ini merupakan berita tidak sedap bagi beberapa orang, terutama para pejabat struktural dan karyawan yang terlibat dalam dua departeman tersebut, apalagi dalam struktur kabinet itu sendiri justru terdapat penambahan beberapa departemen baru yang keberadaannya menimbulkan kesan sengaja di buat-buat demi kompromi. Sebaliknya, pembubaran departemen penerangan bagi kalangan pekerja pers merupakan suatu berkah. Dengan di hapuskannya institusi yang menjadi instrumen negara untuk mengendalikan dan mengatur pers telah memungkinkan berkembangnya pers yang bebas dan merdeka, lepas dari intervensi-intervensi pemerintah sebagaimana sering di lakukan di masa sebelumnya.115
Tindakan resminya yang pertama adalah membubarkan dua departemen. Yang pertama adalah departemen penerangan. Alasannya, kehadiran departemen ini lebih banyak ruginya dari pada manfaatnya, baik oleh kalangan pendekatannya yang bersifat stalinis terhadap pengendalian informasi dan juga oleh kebiasaan yang telah berurat akar untuk memeras uang dari penerbit media. Yang kedua adalah di tutupnya Departemen Sosial. Hal ini lebih mengejutkan masyarakat. Alasan yang diberikan adalah bahwa korupsi dan praktek-praktek pemerasan telah sedemikian merasuk departemen ini sehingga lembaga ini tak lagi dapat di reformasi dan kegiatannya harus di lakukan oleh departemen-departemen lainnya. Penutupan kedua departemen ini memang kontroversial, apalagi yang berkaitan dengan Departemen Sosial dan membuatnya kehilangan popularitas dikalangan tertentu.116
Untuk memahami apa peranan dan fungsi yang dijalankan Departemen Penerangan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kepolitikan Orde Baru. Selama masa kekuasaan Soeharto, institusi ini merupakan Badan dengan kewenangan yang sangat luas. Lebih dari sekedar menjadi dinamistor dan fasilitator komunikasi, Departemen Penerangan di bawah kepemimpinan Ali Moertopo dan kemudian Harmoko, telah menjadi sarana yang paling efektif untuk mengendalikan beberapa penerbitan dan pemberitaan dalam media. Ia dengan bebas bergerak melakukan seleksi, sensor, kontrol, intimidasi, dan bahkan sampai dengan tindakan paling represif : melakukan pembredelan. Selama kurun masa orde Baru sudah tidak terhitung lagi jumlah penutupan dan pembredelan surat kabar yang melibatkan institusi ini. Departemen penerangan, merujuk kepada konsep Al-Thusser, telah menjadi aparatus ideologis dan sekligus aparatus represif yang bekerja untuk status quo kekuasaan.
Beberapa koran yang sedikit saja berani nakal dan kritikal akan dihantui oleh bayang-bayang pembreidelan oleh aparatus ini, kapan saja dan tanpa perlu proses peradilan. Untuk menyebut diantara sekian banyak surat kabar yang pernah menjadi korban represif Departemen penerangan antara lain : Sinar Harapan, Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, Harian KAMI, Duta Masjarakat, sampai dengan tiga media yang di breidel beberapa tahun menjelang akhir kekuasaan Soeharto : Tabloid Detik, Editor, dan Majalah Tempo. Pendek kata, Departemen penerangan telah menjadi hantu yang siap melumat siapa saja yang tidak di sukainya.
Sudah bukan rahasia umum bahwa Departemen penerangan selain menjadi kepanjangan tangan yang mentransmisi ideologi dan kepentingan negara kepada masyarakt secara top down dan menjurus indoktrinasi, juga telah menjadi agency dari partai hegemonik Orde Baru selama masa menjelang pemilihan umum. Kooptasi negara terhadap Departemen penerangan, telah menjadi arus informasi dan penerangan kepada masyarakat yang berwajah satu dimensi saja. Situasi ini tidak relevan untuk berharap banyak lahirnya ruang publik yang bebas, dalam arus informasi yang serba ternegara itu (statezed),
Di pertahankannya Departemen penerangan, menurut Gus Dur, hanya akan membuat rakyat berhadapan dengan pemerintah yang selalu memonopoli lalu lintas informasi. Baginya, pemerintah tidak perlu ikut campur dalam mengatur dan apalagi menyaring informasi. Masyarakat sendirilah yang paling berhak untuk melakukan penyeleksian dan penyaringan atas informasi. Dengan demikian kedudukan masyarakat benar-benar otonom untuk urusan penerangan.
Terhapusnya Departemen penerangan merupakan satu paket dengan di hapuskannya pula Departemen Sosial (Depsos). Kedua nama Departemen ini tidak nongol ketika Gus Dur mengumumkan kabinet. Sebagaimana situasi yang mengiringi hilangnya Departemen penerangan (Deppen), maka ketetapan K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu jadi Presiden untuk menutup Departemen Sosial juga menimbulkan beberapa protes.
K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu jadi Presiden, saat bertemu dengan beberapa perwakilan Departemen Sosial, telah menyatakan bahwa kebijakan untuk tidak mencantumkan Departemen Sosial dalam kabinetnya dilakukan dengan sengaja. Dan ia mengatakan, sudah memperkirakan resiko atau ekses apa yang bakal di hadapi pasca likuidasi departemen ini. Dalam pandangan K. H. Abdurrahman Wahid, tugas melakukan pelayanan sosial adalah salah kalau hanya di tumpukan kepada pemerintah, tetapi tugas pemerintah adalah sekedar menjadi fasilitator. Dengan begitu kerja-kerja sosial harus dilakukan masyarakat sendiri tanpa harus menggantungkan nasib kepada kebaikan pemerintah.
Untuk memahami secara lebih baik policy presiden K. H. Abdurrahman Wahid tentang penghapusan Departemen penerangan dan Departemen Sosial, -terlepas dari ketidaksiapan secara teknis yang akhirnya menimbulkan kerumitan-, harus diletakkan dalam kerangka pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang pengkondisian relasi negara dan masyarakat (state and civil society) secara lebih baik. Keberadaan Departemen penerangan dengan fungsi-fungsi pengawasan dan pengontrolan atas media massa merupakan faktor penghambatan bagi berkembangnya pers bebas. Padahal, kebebasan dan kemerdekaan pers merupakan sine qua non bagi keberadaan sistem politik yang demokratis. Surat kabar selain memberikan informasi, edukasi, dan hiburan, juga memiliki peranan strategis sifatnya dalam konteks menumbuhkan iklim kepolitikan demokratis, yakni fungsi kritikal terhadap jalannya kekuasaan.
Dengan demikian, dalam pers bebas yang memungkinkan bagi masyarakat luas menyampaikan gagasan dan pikirannya, akan menjadikan arena publik tidak lagi di dominasi oleh arus informasi yang hanya merepresentasikan kepentingan dan ideologi rezim berkuasa. Dalam dunia informasi dan komunikasi yang bebas, menjadi lebih memungkinkan bagi masyarakat sipil untuk mengembangkan wacana secara lebih otonom dan melakukan counter ideologi terhadap usaha negara dalam melakukan dominasi dan hegemoni. Pembongkaran berbagai skandal-skandal dan berbagai manipulasi politik yang telah melibatkan elit-elit dilingkaran kekuasaan hanya di mungkinkan dengan keberadaan pers yang otonom dan bebas dari campur tangan negara.
Demikian halnya dengan keberadan Departemen Sosial. Keberadaan institusi ini telah memposisikan masyarakat sebagai obyek yang harus di 'sapih' dan negara tampil sebagai subjek dalam pelayanan sosial. Implikasi yang diakibatkan cukup fatal : semakin besarnya ketergantungan dan ketidakmandirian masyarakat dalam memenuhi hajat hidupnya sendiri. Padahal terbentuknya masyarakat sipil mempermasyarakatkan adanya kemandirian dan keswadayaan dalam seluruh ruang kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Likuidasi Depsos telah memberikan kekuasaan secara luas kepada masyarakat untuk mengembangkan program-program sosialnya. Tanpa di bayang-bayangi lagi oleh kehadiran "aparatus kontrol" yang mengendalikan dan mengatur urusan-urusan pelayanan sosial. Dengan absennya Departemen Sosial pada akhirnya masyarakat menjadi lebih sadar bahwa mereka adalah subjek yang mengatur diri sendiri, tanpa perlu mengemis-ngemis meminta belas kasihan kepada institusi bernama Departemen Sosial.117
2. pencabutan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 Tentang Komunisme
Tap NO:XXV/MPRS/1966, itu di tetapkan oleh Soeharto untuk mencari kambing hitam saja. Apakah peristiwa 30 September itu benar rekayasanya orang-orang PKI atau benar rekayasanya orang-orang militer dengan mengorbankan PKI, karena peristiwa itu belum jelas. Orang-orang Orde Baru itu memang suka mencari kambing hitam kemudian mereka membuat suatu keputusan yang sesuai dengan apa yang ada saat itu mendapat dukungan politik yang sangat besar, di tunjukkan oleh militer bahwa PKI di balik peristiwa tersebut telah melakukan kekejaman yang bukan main. Kemudian segala macam kekejaman yang-katanya-di lubang buaya itu benar semua. Padahal menurut dokter yang melakukan otopsi terhadap mayat-mayat itu, kekejaman-seperti yang dikatakan oleh militer-tidak pernah terjadi. Jadi, itu karangan militer semua. Tapi, kampanye media itu memberikan bangunan citra dengan melakukan apa yang di sebut dengan caracter assosination terhadap PKI, kemudian dikeluarkanlah Tap itu.118
Pada awal April 2000 dengan self Confident yang tinggi K.H. Abdurrahman Wahid sewaktu jadi Presiden menyampaikan secara terbuka, yang kemudian membawa ekses yang luas, yakni usulan mendesak di cabutnya Tap MPRS XXV/1966 yang berisi tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran Marxisme, Leninisme, dan komunisme. Sebenarnya, ini bagi Gus Dur sama sekali bukan ide yang baru dan muncul begitu saja belakangan. Sebelum menjabat sebagai Presiden, K.H. Abdurrahman Wahid, telah berulang kali mengemukakan hal yang hampir senada. Dalam kapasitas sebagai ketua umum PBNU, Gus Dur sempat menyampaikan permohonan ma'af terhadap mereka yang menjadi korban berkaitan dengan tuduhan keterlibatan sebagai PKI.
Tap MPRS XXV/1966 itu sendiri telah memiliki kedudukan yang khusus selama pemerintahan Orde Baru. Bagi rezim saat itu, pembentukan Tap tersebut merupakan sebuah simbol batas pemisah antara rezim Soekarno yang di sebutnya sebagai "Orde Lama" dan rezim Soeharto yang menyatakan diri sebagai "Orde Baru". Singkat kata, Tap MPRS XXV/1966 telah menjadi "roh" kelahiran dan kehidupan Orde Baru. Selama kurun 30 tahun kekuasaan Soeharto, tidak ada yang berani untuk mengusik 'Barang Keramat' itu. Dengan demikian, Tap tentang pelarangan PKI tersebut terus eksis sampai dengan K.H. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden.
Tap ini tidak hanya sebagai "roh" yang melegitimasi kekuasaan Soeharto tetapi pada kenyataannya, retorika "bahaya komunis" telah juga dimanfaatkan oleh rezim sebagai sarana kendali kekuasaan dan untuk 'political exclussion' terhadap lawan-lawannya. Negara telah mengembangkan operasionalisasi keputusan itu dalam berbagai manifestasinya. Dalam realitas pelaksanaannya, pemberlakuan Tap tersebut telah menelan korban yang jumlahnya tidak sedikit, tidak hanya menghantam mereka yang terlibat langsung dengan PKI tetapi juga orang-orang yang tidak memiliki hubungan apapun dengan gerakan komunisme. Selain telah meng-exclussif para bekas aktivis kiri dalam kehidupan kenegaraan selama waktu yang tidak jelas, tetapi juga melibatkan penghukuman buat saudara dan keturunan, yang nota bene tidak bersangkut paut dengan komunisme. Untuk membedakan dengan warga negara lain yang "pancasilais" maka state juga menjalankan kebijakan politic of stigma dengan cara memberikan kode-kode tertentu terhadap para pesakitan ini, yakni dengan memberikan tanda OT (organisasi terlarang) atau ET (Eks Tapol) pada lembaran kartu tanda penduduk (KTP).119
Pertimbangan presiden K.H. Abdurrahman Wahid yang mendasari keharusan pencabutan Tap MPRS XXV/1966, meskipun ia menyadari betul kebijakan itu tidak populer dan menimbulkan banyak reaksi lebih di karenakan oleh alasan-alasan yang bersifat kemanusiaan. Menurut K.H. Abdurrahman Wahid, ketetapan yang muncul lebih di dasari oleh dorongan hawa nafsu segelintir orang, jelas-jelas bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Ketetapan itu telah mendiskriminasikan anggota PKI dan keluarganya selama lebih tiga puluh tahun sebagai warga negara berkaitan dengan hak asasi manusia.Dengan melalui pencabutan ketetapan maka mereka tidak bisa lagi di perlukan sebagai orang yang tidak punya hak sama sekali. Menurut Gus Dur sudah tidak masanya lagi alasan keamanan di jadikan dasar bagi anak-anak orang Tapol tidak boleh bekerja menjadi PNS, masuk sekolah, mendapatkan kode ET di dalam kartu penduduknya.120
Ide paling kontroversial dari Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, yang telah mengakibatkan meletupnya demonstrasi-demonstrasi penentangan selama kurun setahun masa kekuasaannya, pada akhirnya harus membentur tembok. Menghadapi gelagat bahwa menguatnya signal-signal negatif dari hampir seluruh Ormas dan kekuatan politik terhadap gagasan tersebut telah memaksa Presiden K.H. Abdurrahman Wahid bersikap lebih moderat. Dalam beberapa kesempatan setelahnya, Gus Dur mengatakan dirinya hanya sekedar mengusulkan saja, tetapi akhir dari kesemuanya terletak di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dengan demikian, keseluruhan ending dari ide humanistik presiden K.H. Abdurrahman Wahid ini telah dapat di baca. Usulan yang selama dua bulan meramaikan wacana publik ini kandas. Seluruh fraksi MPR yang ada di dalam panitia Ad Hoc II Badan Pekerja (PAH II BP) MPR memutuskan untuk menolak usulan pencabutan Tap MPR tentang pelarangan PKI dan pelarangan penyebaran ajaran komunisme dan Marxisme/Leninisme.121


3. Penghapusan Bakorstanas Dan Litsus
Keputusan K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu menjabat Presiden, untuk mengeluarkan Keppres NO.38/2000 yang berisikan pencabutan atas Keppres sebelumnya NO.29 tahun 1988 tentang pembentukan Bakorstanas dan Keppres NO. 16 tahun 1990 tentang Litsus merupakan langkah yang sangat fundamental dalam mengakhiri praktek otoriter represif. Meskipun tindakan Presiden K. H. Abdurrahman Wahid ini di rasakan agak terlambat, Keppres NO.38 tahun 2000 itu sendiri baru dikeluarkan awal Maret 2000, tetapi kebijakan itu sendiri memiliki arti yang sangat signifikan. Setidaknya, pemerintah telah memperlihatkan adanya cara pandang yang berbeda dalam menangani masalah stabilitas politik dan kemasyarakatan di bandingkan pola pikir sebelumnya.
Selama masa Orde Baru, kedua instrumen ini merupakan ujung tombak pengendalian dan teror ideologis rezim terhadap lawan-lawan politiknya. Keberadaan Bakorstanas yang sejatinya merupakan "reinkarnasi" dari lembaga komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) yang memiliki reputasi paling menakutkan selama periode pertama kekuasaan Soeharto. Ini juga memperlihatkan bahwa rezim masih memperlakukan pengelolaan negara dalam kerangka situasi "darurat". Sehingga masih merasa perlu untuk mengoperasikan mekanisme ekstra konstitusional dan ekstra judisial yang terbukti represif tersebut.
Selama masa kejayaan Orde Baru, Kopkamtib dan kemudian Bakorstanas, berperan penting dalam mengidentifikasikan pihak mana dianggap sebagai musuh dan ancaman bagi negara, termasuk apa dan siapa "ekstrem kiri" dan "ekstrem kanan". Sialnya lagi, bagaimana institusi ini beroperasi ditindih dengan pelbagai kepentingan politik rezim kekuasaan. Selain bagimana dicatat Brian May, peran Kopkamtib dalam pertengahan 1970-an telah memperlihatkan sosoknya yang menakutkan bukan hanya bagi masyarakat sendiri, tetapi ternyata juga bagi kalangan militer yang dianggap berseberangan. Merunut kepada kelahirannya, berdirinya Kopkamtib tidak dapat dilepaskan dari situasi krisis dan ketidakpastian yang berlangsung akibat pemberontakan komunis masa sebelumnya. Karena itu, ia difungsikan sebagai sarana penormalan.
Penghapusan penelitian khusus (Litsus) atau di kenal juga sebagai screening, yang selama sepanjang riwayat pemberlakuannya menjadi momok masyarakat : baik dikalangan PNS maupun politikus, memiliki nuansa yang sama dengan semangat pembubaran Bakorstanas. Telah menjadi pengetahuan luas, bahwa sarana Litsus telah menjadi alat yang digunakan rezim di dalam "menelikung" orang-orang yang tidak di kehendakinya. Selain pertanyaan yang sering kali diajukan dalam Litsus, terutama bagi orang-orang berstigma buruk di mata rezim, seperti mengada-ada, terkesan menjebak dan mencari kesalahan. "Tidak lolos Litsus" menjadi hantu yang membuntuti para politikus, sehingga menyebabkan berpikir seribu kali "nakal" terhadap kekuasaan. Beberapa politikus yang kritikal terhadap kekuasaan menjadi sasaran tembak yang kemungkinan besar tersendat dalam tahapan Litsus ini. Sehingga bukan suatu yang mengherankan bahwa beberapa orang tertentu terganjal untuk jadi anggota DPR setelah gagal Litsus.
Negara dengan begitu, tidak lagi muncul dalam wajahnya yang angker dan senantiasa terus mengawasi gerak-gerik masyarakatnya. Negara, dengan begitu, tidak dapat lagi melakukan semacam bentuk teror ataupun ancaman-ancaman dan otoriteristik. Sebaliknya dengan masyarakat sendiri, pembubaran Bakorstanas dan Litsus, telah merupakan angin segar yang menjadikan mereka tidak merasa was-was ketika berurusan dengan state. Dapat disimpulkan, Keppres NO.38 tahun 2000 ini telah mengkondisikan suasana baru yang lebih prospektif dalam kaitannya dengan demokratisasi dan penguatan masyarakat sipil di Indonesia.122


4. K. H. Abdurrahman Wahid jatuh dari jabatan Presiden
Kelemahan mendasar K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu menjabat Presiden adalah dalam urusan teknis-administrasi telah menjadikan salah satu faktor yang membuat kerja tim pemerintahannya tidak dapat berjalan dengan baik. Kepemimpinan yang one man show dan sekaligus beberapa pemecatan yang tidak jelas ujung pangkalnya, telah menimbulkan kerepotan tersendiri dalam internal kabinet. Namun tentu saja, dimensi permasalahan yang membuat Gus Dur harus berhenti di tengah jalan bersifat sangat kompleks. Bukan sama sekali kebetulan bahwa momentum kejatuhan Gus Dur ini seiring dengan berlangsungnya konfrontasi yang keras yang di dalamnya melibatkan beberapa mantan tokoh aparatus Orde Baru, yang masih memiliki pengaruh cukup kuat.
Meskipun peristiwa kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid dianggap sebuah tragedi, tetapi ada beberapa hal mendasar yang selalu mengingatkan kembali kepada masa kekuasaannya. Ia berhenti di tengah jalan tidak dengan membawa "tangan kosong". Dari inisiatifnya selama memegang kekuasaan ekskutif telah muncul kebijakan-kebijakan fundamental yang membentangnya "jalan baru" bagi terwujudnya kehidupan sosial politik secara lebih beradab.123 Walaupun tidak menjadi Presiden, masih mempunyai jabatan pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai Ketua Dewan Syura. Masih konsisten untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi.
Contohnya, reposisi Sekjen PKB Saifullah Yusuf, apakah dilakukan seketika (27 September 2003) atau setelah pemilu 2004. Rapat pleno DPP PKB ini dihadiri hampir semua pengurus. Mereka terdiri dari Dewan Syuro, Dewan Tanfidz, Departemen, lembaga, dan badan otonom. Tercatat peserta pleno yang datang berjumlah 112 orang. Namun hanya 38 orang yang memiliki hak suara dalam voting. Saifullah Yusuf dan Yahya Staquf tidak ambil bagian dalam voting. Padahal, keduanya memiliki suara sebagai anggota Dewan Tanfidz.
Voting yang berlangsung Sabtu (27/9/2003) pukul 00.05 dini hari itu akhirnya diikuti oleh 36 orang yang merupakan gabungan pengurus Dewan Syura dan Dewan Tanfidz. Peserta voting diberi dua opsi, yakni reposisi saat itu juga atau setelah Pemilu 2004. Delapan belas suara memilih opsi reposisi dilakukan setelah pemilu. Tujuh belas suara memilih pergantian jabatan Saiful dilakukan saat itu juga. Satu suara abstain.124
Saat memberikan penjelasan dalam peresmian Graha Papilu (Panitia Pemenangan Pemilu) di Surabaya, mantan presiden tersebut mengaku sangat gembira atas proses pemungutan suara yang dinilainya demokratis. Dalam pemungutan suara yang dilakukan secara terbuka, Gus Dur hanya didukung 17 suara. Sedangkan 18 suara lainnya menentangnya dan menghendaki reposisi Sekjen DPP PKB dilaksanakan setelah pemilu. Walaupun Gus Dur kalah dalam pemungutan suara tentang reposisi Saifullah Yusuf sebagai Sekjen DPP PKB, Gus Dur yakin, berlangsungnya tatanan demokrasi dalam tubuh PKB tersebut akan memberikan nilai positif. Sebab, masyarakat pemilih akan mencatat bahwa PKB merupakan partai yang benar-benar demokratis.125
Mungkin masih bisa menaruh kebanggaan dan harapan kepada mantan Presiden keempat negara Indonesia, yakni K. H. Abdurrahman Wahid. Umumnya, orang kalau sudah menjadi mantan Presiden, baik di negerinya sendiri maupun di negerinya-negeri lain, dia tak lagi memiliki kepedulian yang tinggi atas apa yang tengah di hadapi bangsanya. Tetapi tidak demikian dengan Gus Dur, sang mantan Presiden.
Lepas dari jabatan Presiden, Gus Dur justru terlihat semakin aktif dengan persoalan-persoalan kebangsaan. Jadinya, seakan-akan ia belum turun dari jabatan itu. Agenda kunjungannya ke berbagai daerah semakin padat, demikian juga dengan agenda ilmiah di berbagai perguruan tinggi yang mengundangnya. Dan satu hal yang tak pernah terlewat dari wacana yang di sampaikan dan di kembangkan Gus Dur, yakni kritik terhadap negara.
Kritiknya terhadap negara, selalu bersuara pada pengembangan budaya demokrasi dan supremasi hukum, termasuk di dalamnya adalah perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Dan nilai-nilai inilah memang, yang sejak lama menjadi misi perjuangan hidupnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga bangsa. Bahkan itu pula yang terus ia perjuangkan tatkala menjadi kepala negara.126

B. K. H. Abdurrahman Wahid dan Transisi Demokrasi

Pasca kejatuhan rezim Soeharto (rezim pemerintahan yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun yang dikenal dengan sebutan rezim Orde Baru) menurut para pakar politik Indonesia di katakan tengah memasuki era transisi menuju demokrasi. Era transisi menuju demokrasi mengandung pengertian bahwa tengah terjadi peralihan dari suatu rezim yang berkuasa dengan sistem dan cara otoriterianisme menuju sutau tatanan kehidupan kenegaraan yang mencerminkan nilai dan prinsip-prinsip demokrasi. Jatuhnya rezim pemerintahan Soeharto, kemudian digantikan oleh wakil Presiden Habibie sebagai Presiden yang berlangsung sangat singkat kemudian digantikan oleh K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih secara konstitusional dan demokratis melalui sistem demokrasi perwakilan dari suatu pemilu yang cukup demokratis merupakan indikasi awal tengah terjadi proses demokratisasi di Indonesia.127

Salah satu aksioma dalam sistem politik demokrasi adalah bahwa demokrasi tidak mungkin di wujudkan tanpa adanya rule of law. Mengapa demikian? Jawabannya tentu tidak sulit. Demokrasi, yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar seperti hak menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, berkumpul dan berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang di patuhi bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan, karena adanya perbedaan-perbedaan dalam hal akses, kemampuan, status dan kelas sosial, gender dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak biasa terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum, sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil.128

Dalam era reformasi seperti sekarang ini timbul suatu pertanyaan K. H. Abdurrahman Wahid; mungkinkah demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan pada periode setelah pemilu yang akan datang (pemilu 2004)? Jawaban atas pertanyaan di atas adalah tidak. Pertanyaan ini tentulah mengejutkan banyak pihak, karena dalam kenyataan telah terjadi perubahan besar dalam panggung politik yang lebih memberikan peluang bagi tegaknya demokrasi seperti berdirinya beberapa partai politik yang hampir semuanya bertujuan menegakkan demokrasi. Partai-partai tersebut juga didukung oleh cendekiawan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, serikat-serikat buruh, dan media massa. Siapa yang berani memberikan jawaban negatif atas pertanyaan di atas akan dimusuhi banyak orang. Hanya kejujuran yang murni sajalah yang dapat mendorong orang berbicara seperti itu secara terbuka dalam media massa.

Menurut K. H. Abdurrahman Wahid, bahwa konstelasi politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya karena masih banyaknya rekayasa dan intrik yang berlaku. Di samping itu, masih ada lembaga-lembaga pemerintahan yang mempertahankan status quo. Demikian pula undang-undang pemilu dan sistem politik yang ada masih memungkinkan terjadinya hal itu. Dan yang lebih penting, tradisi yang belum melahirkan budaya politik yang sehat.

Apakah ini berarti akan kembali pada masa Orde Baru, yang berisi kenyataan pahit bahwa pemerintah pusat menguasai segala-galanya? Dan bukankah ini juga berarti pemerintahan akan diserahkan kepada satu orang saja? Kalau bersedia melakukan perubahan dan pembenahan yang serius dan efektif tentulah hal ini tidak akan terjadi. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan di antaranya adalah pola hubungan antara pusat dan daerah yang lebih berimbang. Ini penting dilakukan kalau Indonesia ingin tetap menjadi satu negara yang utuh (negara kesatuan). 129
Sejak hari pertama Gus Dur pada waktu menjadi Presiden jelas sudah bahwa salah satu lagi tantangan utama yang menghadang demokratisasi di Indonesia adalah bagaimana memecahkan masalah konflik kelompok dan agama. Konflik ini terbukti pada bulan-bulan berikutnya. Bagaimanapun juga, demikian menurut para pengkritiknya, Presiden telah menghabiskan seluruh karir publiknya untuk berkampanye menentang kekerasan sektarian, sebagai presiden, ia tak mampu menyelesaikan masalah ini? Gus Dur sendiri sangat terganggu oleh berlanjutnya konflik di Maluku, Kalimantan, Sulawesi, atau juga di Jawa. Ia merasa prihatin karena ia benar-benar benci adanya perpecahan. Ia juga merasa frustasi sebagai seorang pemimpin politik karena kenyakinannya bahwa konflik, paling tidak dalam beberapa kasus memang sengaja di ciptakan sebagai bagian dari suatu kampanye sinis untuk memojokkan pemerintahannya.
Sejumlah manifestasi sektarianisme memang mengganggu tetapi untunglah tidak berkembang menjadi pertumpahan darah yang serius. Hal inilah yang terjadi dengan Front pembela Islam (FPI), yang secara teratur menyerang kafe-kafe dan bar-bar di Jakarta dan menimbulkan kerugian materiil yang tidak kecil tetapi jarang menimbulkan korban luka atau tewas.130
Dewasa ini masa Islam memang berada dalam situasi resah, karena berbagai faktor. Proses pembangunan bangsa secara keseluruhan masih belum jelas warna dasarnya, apakah akan menuju kepada tekanan semakin lama semakin berlebih pada pengembangan hak-hak masyarakat, atas kerugian hak-hak individual yang semakin berkurang. Perkembangan keadaan juga masih belum menunjukkan tanda-tanda asas kekeluargaan akan menjadi “warna dasar” struktur ekonomi bangsa Indonesia, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 33 UUD 1945. keterasingan masyarakat satu dari yang lain kian hari kian terasa, karena distorsi konsep-konsep yang digunakan dalam mengatur kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya diakibatkan meluasnya penyalahgunaan wewenang semua pihak. Semuanya itu memang sumber kegundahan bagi warga masyarakat selaku individu maupun sebagai anggota kelompok. Dengan demikian, tawaran alternatif senantiasa akan memperoleh sambutan, sebagai “obat penawar” bagi keadaan yang menggundahkan perasaan itu. Namun haruslah di ingat, bahwa penerimaan seperti itu kepada sebuah tawaran alternatif hanya akan berumur pendek, selama sebab-sebab kegundahan hati itu masih ada. Sedangkan bangsa Iran yang secara formal telah menerima “sistem sosial Islam” sebagai alternatif ideologis bagi semangat kebangsaan Iran yang dominan sebelumnya, masih juga harus membuktikan bahwa penerimaan Islam sebagai hakekat negara akan bertahan setelah Ayatullah Khomaeni meninggal dunia nanti. Apalagi kalau “respon positif” itu hanya diperoleh dari kelompok-kelompok kecil yang berserakan.
Selama kelompok-kelompok “tawaran alternatif” itu belum berhasil membuktikan penerimaan luas oleh masyarakat Muslim sendiri, sudah selayaknya jika pandangan bahwa Islam adalah faktor komplementer bagi ideologi negara pancasila dianggap sebagai representasi dominan dikalangan masa Islam. Dengan demikian, pengertian kata “umat” Islam lalu menjadi umum, meliputi semua kaum muslimin di Indonesia. Demikian pula, format perjuangannya adalah partisipasi penuh dalam upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan penuh keadilan di masa depan. Dan akhirnya tujuan perjuangannya adalah memfungsikan Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari masyarakat Indonesia. Kesanalah hendaknya kesadaran massa Islam diarahkan dan dikembangkan oleh gerakan Islam di negara Indonesia.131
Persoalan pertama yang bakal dihadapi duet kepemimpinan Gus Dur-Mega adalah berkaitan dengan urusan pembentukan kabinet. Banyak spekulasi dan rumor yang beredar luas mengenai macam-macam versi mengenai komposisi kabinet pemerintahan baru ini. Realitas kepolitikan pada saat itu membuat Presiden K. H. Abdurrahman Wahid bersikap sangat hati-hati. Ia dihadapkan oleh beberapa spektrum yang saling berbeda dan masing-masing membutuhkan untuk di akomodasi. Satu sisi, Gus Dur terkait dengan idealitas semangat reformasi politik yang menuntut dirinya untuk mempertegas sikapnya tidak berkompromi dengan kekuatan yang dianggap sebagai batu sandungan bagi jalannya reformasi politik secara keseluruhan. Dalam hal ini tuntutan yang dikehendaki para reformasi garis keras, terutama yang kerap disuarakan kalangan aktivis mahasiswa, telah sangat jelas, pembersihan dari tentara dan orang-orang berbau Orde Baru. Mereka menghendaki Gus Dur segera mengembalikan tentara kepada peran profesionalnya alias kembali kebarak. Dengan dicabutnya Dwi Fungsi, maka banyak harapan ditujukan kepada Presiden K. H. Abdurrahman Wahid untuk tidak mengakomodasi unsur militer dalam pemerintahan baru.132
Sejak menjabat Presiden RI Oktober 1999, Gus Dur telah melakukan 'revolusi besar' terhadap bangunan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Gus Dur memberikan fokus perhatian tinggi pada dinamika internasional. Ini terbukti dengan tingginya frekuensi lawatan sang presiden ke luar negeri.
Lawatan Gus Dur tidaklah semata-mata 'proyek anjangsana'. Terdapat sinyal substansial dan strategis bagi peningkatan citra Indonesia di mata dunia dan juga pemulihan ekonomi nasional. Pertemuan-pertemuan Gus Dur dengan sejumlah kepala negara menunjukkan bahwa Gus Dur mempunyai level akseptabilitas tinggi.
Di samping itu Gus Dur pun, secara sadar atau tidak, telah merombak format hubungan luar negeri Indonesia. Jika dahulu-terutama di era Orde Baru - Indonesia sangat mengedepankan pola hubungan multilateral, maka kini aspek bilateral menjadi lebih dominan. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat jika Indonesia membutuhkan dukungan dari negara-negara tertentu, terutama dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional di fora internasional.
Selama masa tiga bulan pertama, kepemimpinan Gus Dur sudah menebar signifikasi corak diplomasi. Secara bilateral, dukungan dari kepala negara lain terhadap pemerintahan Gus Dur telah meningkatkan postur pribadinya sebagai kepala negara. Konsekuensinya citra Indonesia merambat naik. Tentu saja fenomena tersebut memberikan imbas positif terhadap dinamika kerja sama ekonomi, paling tidak dalam hal komitmen pengaliran investasi.
Pada konteks politik internasional, diplomasi Gus Dur ke negara-negara berpengaruh seperti ke AS dan RRC turut membantu posisi Indonesia menahan gempuran komunitas internasional. Padahal Indonesia tengah dihadang ancaman serius international tribunal, terutama menyangkut pelanggaran HAM pasca jajak pendapat Timor Timur. Dukungan bilateral dari RRC - dengan hak vetonya - akan sangat membantu bargaining position Indonesia dalam melawan CIET (Commission of Inquiry on East Timor) yang begitu bersemangat membawa Indonesia ke pengadilan internasional. Sekjen PBB Kofi Annan pun memberikan sinyal positif bahwa Indonesia, untuk sementara, tidak akan 'digugat'.
Gus Dur juga tidak semata-mata tunduk pada kekuatan negara lain. Australia, misalnya, yang pada masa pascajajak pendapat Timtim mendapat 'kehormatan' memimpin pasukan internasional dalam operasi perdamaian namun sekaligus menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia, 'ditelantarkan' begitu saja oleh sang Presiden. Padahal, sebagai negara tetangga, sangat wajar kalau Australia bertanya-tanya, mengapa Gus Dur tidak kunjung menyapa Australia. Dan ternyata Gus Dur telah menang satu poin atas Australia, yaitu dengan datangnya Menlu Alexander Downer ke Jakarta pada akhir Januari untuk memfasilitasi pertemuan kedua kepala negara. Jadi jelas, Australia pun 'memerlukan' Gus Dur. 133
Kunjungan ke luar negeri yang memecahkan rekor kunjungan seorang pemimpin negara menunjukkan kapasitasnya, meskipun tidak sedikit yang melihat ia lebih outward looking ketimbang inward looking, dan belakangan Gus Dur menegaskan bahwa masalah dalam negeri tetap menjadi prioritas utamanya. Lebih dari itu, justru banyak pemimpin negara lain mengharapkan kunjungannya, ia memang disegani. Gus Dur merupakan seorang pemimpin dianggap memiliki Kharisma.
Pemimpin kharismatik dicirikan bahwa pengikutnya: (a) mempunyai loyalitas dan komitmen yang tinggi, dan penuh dedikasi kepada pemimpin, (b) memihak kepada pemimpin dan misi pemimpin, (c) mengikuti nilai, tujuan dan perilaku, (d) melihat pemimpin sebagai sumber inspirasi, (e) mendapat rasa harga diri dari hubungan mereka dengan pemimpin dan misinya, dan (f) mempunyai derajat kepercayaan yang luar biasa.134
Duta Besar Inggris, Richard Gozney menyatakan meski kurang dari dua tahun memimpin Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberi peran besar dalam demokratisasi di Indonesia. Karena itu sejarah akan mencatat peran Gus Dur sebagai pendidikan politik yang paling berharga sehingga anak cucu bangsa Indonesia tidak boleh melupakan jasa Gus Dur tersebut. Lebih lanjut Richard Gozney menjelaskan, salah satu andil besar Gus Dur dalam pendidikan politik bagi bangsa Indonesia adalah memposisikan peran TNI sebagaimana diatur dalam konstitusi yang berlaku di Indonesia. Dikatakan Gozney, jasa lain Gus Dur dalam pendidikan demokrasi adalah memberikan kebebasan pers. Gus Dur sangat paham, pers yang bebas merupakan salah satu pilar demokrasi.135
Gus Dur adalah bagian terpenting dalam transisi demokrasi. Gus Dur cukup keras kepala dalam menegakkan demokrasi dan perjuangannya dalam penegakan HAM. Ketika naik sebagai Presiden, Gus Dur seraya berkeinginan untuk memindahkan wajah pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan demokratis. Kenapa dia sebagai unsur terpenting dalam transisi demokrasi? Karena dalam transisi demokrasi di butuhkan seorang demokrasi sejati, hal ini sudah menjadi dalil. Selanjutnya, disamping dia dibutuhkan sebagai tokoh demokrasi, pluralis dan pembelaan HAM, dia juga merupakan bagian dari komitmen terpenting dalam rangka menjalankan agenda-agenda reformasi.
Dengan demikian komitmen yang harus dilakukan adalah ; pertama, membentuk konstitusi reformasi yang menggantikan konstitusi lama. Kedua, melakukan supremasi sipil dibidang politik, keamanan/teritorial dan bisnis atau perekonomian sebagai pintu demokrasi. Ketiga, adanya pengadilan terhadap para pelaku pelanggar HAM sepanjang pemerintahan Soeharto dan Habibie. Keempat, pengadilan terhadap pelaku KKN dan menyelenggarakan kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah, yang juga merupakan lokomotif untuk menuju demokrasi. Kelima, keberpihakan terhadap kaum pekerja atau buruh. Keenam, keberpihakan pada para petani karena kebetulan mayoritas warga negara yang dipimpin oleh Gus Dur sewaktu jadi Presiden, kebanyakan adalah petani. Dari ketujuh itu Gus Dur memiliki komitmen. Dan yang terpenting juga dalam transisi demokrasi ini adalah bagimana caranya membuat, mengurangi atau menghancurkan kekuatan lama-yang anti demokrasi-yang masih menganggu.
Dalam transisi demokrasi terdapat tiga syarat. Pertama, harus ada institusi demokrasi, yaitu ada legislatif, yudikatif, eksekutif, ada pers dan pemilu. Kedua, adanya proses demokrasi yaitu fungsi dan peran-peran yang dilakukannya oleh institusi. Ketiga, adanya input dalam proses dan dalam lembaga. Inilah yang paling krusial dalam transisi demokrasi dan selama ini input berasal dari elemen-elemen kekuasaan Orde Baru dan Militerisme.136
Cara yang paling sederhana untuk menjelaskan cakupan masalah yang dihadapi Gus Dur-sementara diakui bahwa manajemennya lemah dan semua gaya kepemimpinannya, dan juga bahwa ia cenderung untuk melakukan komunikasi yang tidak benar-adalah bahwa sebagai Presiden Indonesia pertama yang dipilih secara demokratis, ia menghadapi tugas sulit untuk mengawasi proses berat pergantian rezim. Menurut sejarah, bagi setiap negeri yang telah mengalami bertahun-tahun pemerintahan otoriter yang didukung oleh tentara, peralihan ke demokrasi merupakan kesulitan yang sangat besar. Kasus-kasus di Pakistan dan Rusia menunjukkan bahwa tidak ada jaminan untuk mendapatkan cahaya pada ujung lain terowongan kadang-kadang bahkan orang tidak yakin bahwa memang terowongan ini berujung. Beberapa aspek mengenai proses pergantian rezim yang tengah di hadapi Indonesia tampak unik, akan tetapi kebanyakan, pengamat akan dengan cepat di kenal dimana saja, apakah di Amerika Laten, Eropa Timur, atau Asia Timur. Perbedaan penting dalam hal Indonesia adalah bahwa negeri ini memulai transisi ke demokrasi di tengah-tengah krisis keuangan yang dahsyat. Akan tetapi, tantangan utama yang dihadapi negeri ini adalah sama dengan apa yang dihadapi oleh masa-masa peralihan pada umumnya; berurusan dengan kebudayaan dari warisan kelembagaan dari rezim terdahulu.
Hal paling melemahkan yang menghambat Gus Dur dan berasal dari rezim yang belum lenyap itu adalah warisan budaya yang tak kelihatan tetapi merusak tanah tempat berakarnya demokrasi-setidaknya di kalangan masyarakat elit. Sedihnya, budaya mencari rente dari rezim Soeharto-walaupun menyatakan dirinya sebagai rezim pembangun, tetapi sebenarnya tak lebih dari pada sistem waralaba untuk mencari untung dan kesempatan saja-masih tetap berlaku.137
Masa kepresidenan Gus Dur ditandai oleh makin kuatnya posisi DPR diatas eksekutif. Tentu saja, diperlukan DPR yang vokal dan terus terang agar demokrasi dapat berfungsi. Akan tetapi suatu DPR tanpa chek and balances konstitusional yang cukup, lewat kontrolnya yang efektif terhadap MPR, akan berubah menjadi hukum itu sendiri. Lembaga ini tidak mendorong berfungsinya demokrasi. Itulah yang terjadi pada UUD 1945, yang selama empat dasawarsa memberikan pelayanan yang baik kepada Presiden-Presiden yang otoriter, tidak dapat menjamin bahwa seorang Presiden yang demokratik, dalam batas-batas yang masuk akal, bebas melakukan pekerjaannya.138
Menurut Nurcholish Madjid atau Cak Nur (Rektor Universitas ParamadinaMulya), Gus Dur merupakan presiden pertama yang secara sadar memperjuangkan pluralisme, toleransi, antikekerasan, dan menyadari sepenuhnya bahwa ia mewakili masyarakat secara keseluruhan. Cak Nur mengemukakan, Sidang Umum MPR 1999 merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk melembagakan oposisi. Namun kenyataannya semua ingin menjadi "priyayi", masuk kabinet, dan dapat pangkat. Godaan untuk menjabat itu begitu kuat karena biasanya jabatan sejajar dengan kekayaan. Oleh karena itu, menurut Cak Nur, perlunya oposisi harus terus ditanamkan dalam masyarakat sampai masyarakat merasa terhormat untuk menjadi oposisi, berada di luar pemerintahan, dan tidak mempunyai derajat atau pangkat.
Oposisi, kata Cak Nur, tidak harus dipahami sebagai menentang. Dalam konteks politik, oposisi merupakan kekuatan penyeimbang karena persoalan sosial dan politik tidak boleh dipertaruhkan pada i'tikad baik pribadi. Oposisi diperlukan untuk mengingatkan bahwa tidak ada orang yang tidak bisa berbuat salah. Indonesia, lanjut Cak Nur, sudah berhasil mencapai tahap demokrasi. Tahapan selanjutnya adalah tahap yang sangat sulit, tahap yang menuntut kedewasaan dan kesanggupan menerima keragaman. Persoalan yang dihadapi adalah bangsa Indonesia masih belum terlatih menyelesaikan masalah melalui otot bukan akal. Padahal demokrasi tidak bisa didukung oleh mob politics.
Menurut Cak Nur, Indonesia merupakan bangsa yang relatif baru dan dengan pengalaman yang panjang sebagai masyarakat terjajah. Demokrasi, kata Cak Nur, bukanlah sesuatu yang jatuh dari atas melainkan kategori dinamis yang tumbuh melalui pengalaman dan eksperimentasi. Dalam eksperimentasi ini ada masalah mencoba dan salah (trial and error).
Sekjen KIPP Mulyana W Kusumah mengemukakan pentingnya membangun oposisi di Indonesia. Pemerintahan Gus Dur, kata Mulyana, menghadapi berbagai persoalan, seperti ketidakmampuan mengambil langkah strategis dalam masalah disintegrasi, kekhawatiran munculnya neokroniisme akibat politik akomodasi dan neo-otoritarianisme, dan relasi parpol dengan pemerintah yang menutup peluang oposisi parlementer.
Bertolak dari penilaian itu Mulyana mengemukakan, penumbuhan oposisi parlementer maupun ekstraparlementer yang konstruktif menjadi sangat penting. Tiga fungsi yang harus dijalankan serentak adalah institusionalisasi kontrol politik yang efektif, konsolidasi demokrasi dengan penguatan partisipasi, dan prevensi atas kemungkinan dipilihnya jalan keluar inkonstitusional.
"Tanpa oposisi parlementer dan ekstraparlementer yang efektif mengancam munculnya replikasi rezim otoritarian gaya baru dan tertutupnya jalan demokrasi yang emansipatif," kata Mulyana. 139
Harus ada satu ketegasan bahwa sekarang sedang hendak menuju kesuatu rezim demokrasi dan karena harus memiliki hak dan kewajiban untuk mempertahankan rezim demokrasi. Dana SI yang mencapai 20 milyar lebih itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan upaya penegakan demokrasi. Karena sumber penyakit dalam membangun demokratisasi di Indonesia ini adalah kekuatan anti demokrasi yang masih terdapat di legislatif untuk menyerang eksekutif. Jadi, kalau sudah terdapat konstitusi demokrasi, maka untuk merangkul kekuatan demokrasi dan meninggalkan kekuatan anti demokrasi itu dilandasi oleh aturan-aturan konstitusi. Dalam transisi demokrasi yang dibutuhkan adalah adanya kaum moderat yang menciptakan konstitusi demokrasi untuk memberikan garis tegas dalam menegakkan demokrasi sendiri.140
Tak seorangpun pernah membayangkan bahwa peralihan ke demokrasi di Indonesia akan lancar, tetapi pada awalnya sejumlah kecil reformasi, termasuk Gus Dur, sepenuhnya memahami besarnya tugas ini. Oleh karena itu, termasuk akal orang yang merasa kecewa dengan masa kepresidenan Gus Dur, tetapi, mengingat keadaan dimana Gus Dur yang harus melaksanakan, ia sebenarnya patut menerima lebih banyak pujian dari pada yang telah diberikan pada umumnya.
Gus Dur mempunyai sejumlah sifat yang jarang ditemui sekaligus dalam diri seseorang. Ia seorang idealis dalam hal apa yang ingin dicapainya dan nilai-nilai yang diagungkannya secara konsisten sepanjang hidupnya. Tetapi ia juga seorang realis disertai perasaan yang tajam mengenai real politik. Keyakinannya bahwa "politik adalah seni tentang hal-hal yang mungkin" cocok bagi masa transisi karena masa ini memang biasanya berantakan tak dapat dilalui tanpa kompromi terus-menerus.141

C. K. H. Abdurrahman Wahid, Militer dan Demokratisasi

Kehadiran militer secara institusional serta personal di'kawasan'sipil telah banyak di persoalkan selama ini. Pertanyaan akan hal itu telah menjadi kecenderungan umum, dan lazimnya dipahami sebagai bagian dari satu persoalan besar, yakni demokratisasi. Bisa melihat berbagai manifestasi doktrin militerisme, antara lain sakralisasi negara yang mesti dibela sampai mati, serta penciptaan kondisi darurat yang membenarkan tindakan kekerasan. Etika militerisme bersifat meniadakan dialog, mematikan alternatif dan mengagungkan agresi. Secara organisasional, militerisme pada umumnya muncul dalam pola pengorganisasian yang hierarkhis, sentralistik, dan dikendalikan oleh komando.
Perwujudan nilai-nilai militerisme seperti itu dalam perilaku ditandai oleh kecenderungan pada tindakan penyeragaman, kekerasan, disiplin buta, dan penerapan hukuman yang bersifat fisik serta menghina. Ujung-ujungnya, semua ini bisa bernuansa pada pemujaan simbol-simbol militer sebagai pengakuan atas supremasi militer. Jelaslah bahwa mileterisme merupakan jalinan yang amat rumit dari prinsip, etika, organisasi, hingga perilaku yang merambah ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Militerisme sangat berkaitan dengan format kenegaraan yang militeristik, disamping juga berkaitan dengan terjadinya militerisasi politik. Akan tetapi, 'Militerisme','militeristik' merujuk pada watak penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang didominasi oleh militer yang disertai oleh pola yang amat militer, sedangkan 'militerisasi' merujuk pada tampilnya lembaga dan atau individu militer menguasai lembaga-lembaga non –militer. Sementara itu, militerisme disini dimaknai sebagai ekspansi prinsip, cara berfikir, bersikap dan bertindak dalam logika militer diluar organisasi kemiliteran. Nilai-nilai militer itu sendiri bukan sesuatu yang mesti dimaknai buruk, dan dengan demikian persoalannya bukan terletak pada makna militer itu, melainkan pada penerapan nilai itu diluar ranah (bidang tata tertib/disiplin) semestinya.
Sejarah indonesia modern adalah sejarah yang penuh dengan aroma dan gejolak revolusi, yang didalamnya militer banyak memegang posisi penting. Sekalipun militer termasuk organ yang 'agak lambat' dipikirkan oleh para founding fathers, namun selama tahun-tahun awal kemerdekaan justru kalangan inilah yang banyak berperan dan berinteraksi langsung dengan rakyat banyak. Kalangan militer sendiri dengan sangat manis menyebut peran mereka selama masa revolusi sebagai sumbangsih dari kaum 'pejuang prajurit dan prajurit pejuang'. Ketika penguasa sipil akhirnya menyerah pada tentara pendudukan Belanda pada tahun1948, kalangan militer justru memilih untuk bergerilya di hutan, menjaga eksistensi negara selama proses diplomasi internasional berjalan.
Memang fakta sejarah menunjukkan bahwa kekalahan Belanda di Indonesia tahun1949 lebih banyak ditentukan oleh strategi diplomasi Indonesia yang berjalan simultan dengan tekanan internasional terhadap Belanda. Namun rakyat banyak tak melihat semua perjuangan ditingkat Internasional itu. Yang mereka lihat adalah para tentara yang berbaur bersama mereka di desa-desa, berjuang hingga akhirnya para pemimpin sipil dibebaskan dan kemerdekaan bangsa diakui. Selam masa dimana administrasi sipil mengalami kelumpuhan, praktis para tentaralah yang menjadi penjaga kelangsungan tata praja. Kesan manis dikalangan rakyat ini kemudian diimbuhi oleh centang perenangnya para politisi sipil ditahun 1950-an, yang menghasilkan situasi politik yang amat awam 'pemulihannya' baru bisa dilakukan oleh penguasa militer Orde Baru.142
Pengalaman panjang sejak Soeharto melihat intervensi militer dalam struktur politik secara membabi buta, telah menyulitkan gerak bandul mengarah pada supremasi sipil. Bahkan kerusakan kian terasa, seperti, 1) lahirnya rezim politik yang berwatak otoriter, 2) lemahnya kekuatan rakyat karena tidak tersedia ruang kontrol dan partisipasi, 3) hilangnya profesionalisme militer. Ketiga akibat itu mengalami kelembagaan secara permanen, dimana kenyataan rezimentasi militer dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi kian bergeser dari dominasi menjadi hegemoni. Tak pelak lagi jika militerisasi sebagai penyakit menahun ini akhirnya mentransformasikan diri dalam bentuk militerisme, yakni sebagai karakter, kultur dan ideologi yang bekerja efektif dalam ranah politik Indonesia. Fakta mengenai dominasi militer atas birokrasi, kendali terhadap parpol dan parlemen, penguasaan pada Ormas, maraknya premanisme ekonomi, bisnis kekerasan serta membelukarnya institusi teritorial, bahkan sampai penguasaan pada arena pendidikan tidak bisa dielakkan sebagai fakta-fakta objek mengenai problem militerisasi dan militerisme itu. Munculnya tradisi kontemporer sebagai efek langsung militerisme adalah reproduksi konflik dan kekerasan horisontal, yang ditandai oleh menjamurnya milisi sipil bergerak dalam setiap sengketa di masyarakat.
Problemnya adalah, langkah-langkah membendung bertahan dan bercokolnya rezim "serdadu" selalu berbenturan dengan kelompok status quo yang masih eksis dalam struktur politik Indonesia. Jalan demiliterisasi pernah ditempuh pemerintahan Gus Dur melalui tindakan nyata dengan mengurangi jabatan-jabatan politik oleh militer. Mengurangi porsi menteri yang dimonopoli tentara, jabatan-jabatan eksekutif di daerah seperti Gubernur dan Bupati, serta institusi-institusi ekonomi strategis yang dikuasai militer, lalu diberikan kepada sipil. Demikian halnya kebijakan pemisahan militer dan kepolisian yang dilandasi oleh pembedaan antara peran pertahanan dan keamanan. Pemisahan kelembagaan keduanya secara tegas tentu penting dipahami sebagai bagian reformasi hubungan sipil militer di Indonesia dalam rezim demokratik. Semangatnya adalah, agar keduanya bisa profesional, serta mengurangi derajat kekacauan peran mereka, sebagaimana pengalaman masa lalu. Sayangnya langkah itu berhadapan dengan bongkahan batu sandungan.143
Ketentuan yang memisahkan tugas pertahanan dan keamanan, pada awalnya, bahkan untuk sebagian sampai sekarang, telah menimbulkan persoalan kompetisi dan hubungan kelembagaan yang diwarnai oleh beban psikologis. Sulit di hindarkan munculnya kesan bahwa sejak keluarnya kedua Tap MPR itu telah terjadi persaingan yang kurang sehat antara TNI dan Polri. Sebagai contoh, beberapa masalah dapat di kemukakan disini.
Pertama, semua TNI dan Polri berada dibawah satu institusi yang bernama angkatan bersenjata republik Indonesia (ABRI) yang dipimpin oleh menhankam/pangab (Menteri pertahanan/panglima angkatan bersenjata) dan Polri berada pada posisi yang paling lemah diantara tiga angkatan lainnya yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Setelah keluarnya dua Tap MPR tersebut, kedudukan Polri menjadi sejajar dengan TNI dan seorang Kapolri berkedudukan sejajar dengan seorang panglima TNI dalam jabatan setingkat menteri.
Kedua, setelah keluarnya dua Tap MPR tersebut, Polri mandiri penuh, sebagai aparat negara setingkat departemen, dalam menentukan bidang kebijakan dan anggaran; sedangkan TNI, meskipun juga mandiri setingkat dengan departemen, kebijakan pertahanan dan anggarannya masih bergantung kepada departemen pertahanan. Panglima TNI hanya mempunyai kewenangan operasional dan komando kemiliteran. Diam-diam, hal ini menimbulkan kecemburuan dikalangan TNI karena Polri, yang semula berada di bawah angkatan-angkatan militer, sekarang bukan saja menjadi sejajar secara struktural tetapi juga menjadi lebih kuat kemandiriannya di banding dengan TNI. Pernah ada pemikiran agar masalah kebijakan dan anggaran untuk Polri ini di serahkan kepada salah satu menteri teknis yang lain, seperti menteri dalam negeri, menteri pertahanan, menteri kehakiman, atau kejaksaan agung. Namun, gagasan ini tidak terealisasikan, sampai akhirnya Polri berhasil menggolkan sebuah undang-undang tentang Polri yang menguatkan kemandirian dalam kelembagaan dan anggaran.
Ketiga, adanya tugas berhimpit antara pertahanan dan keamanan dalam apa yang disebut sebagai grey areas (wilayah abu-abu) sehingga tidak jelas siapa yang berwenang menanganinya. Dalam masalah ini, ada kasus-kasus yang terjadi di dalam negeri (dengan sifat ancaman keamanan) tetapi bercampur dengan unsur campur tangan luar negeri (denga sifat ancaman pertahanan). Dalam keadaan seperti ini, ada resiko bahwa kedua aparat ini bisa saling berebutan karena masing-masing itu menganggap lahannya, atau sebaliknya saling berpangku tangan karena merasa itu bukan tugasnya. Kasus pengeboman yang terjadi di beberapa tempat (seperti kasus Bursa Efek Jakarta) bisa disebut sebagai contoh. Karena terjadi didalam negeri, kejadian itu dapat dilihat sebagai masalah keamanan, tetapi, karena tidak jarang sifatnya di duga melibatkan unsur asing yang mengancam integrasi, hal itu dapat dilihat juga sebagai masalah pertahanan. Baik saling berebutan maupun saling berpangku tangan sama jeleknya bagi keadaan pertahanan keamanan (Hankam). Sebab, jika saling berebutan bisa terjadi konflik, tapi jika saling berpangku tangan masalahnya bisa tak terurus.
Pemisahan antara Polri dan TNI seperti itu merupakan bagian dari agenda reformasi yang sejak lama menginginkan Polri dijadikan aparat sipil. Tetapi, beban psikologis yang ditinggalkan oleh keterlanjuran menyatunya Polri dan TNI yang cukup lama sepanjang Orde Baru telah secara tiba-tiba menimbulkan rivalitas yang memerlukan waktu agak lama pula untuk di sembuhkan.144
Indonesia, sampai hari ini masih dalam proses transisi, dalam pengertian mungkin secara fisik mereka ikut saja, secara pemikiran berbeda. Dalam hal ini jasa Gus Dur adalah menempatkan sipil dalam menteri pertahanan dan itu jasa yang harus diakui. Karena kalau tidak ada keberanian untuk melakukan hal semacam itu, militer sulit dikontrol. Perkembangannya, ditentara itu dari politik menuju keprofesional, tapi ini transisi. Mungkin dibawah bisa diatur, artinya profesionalisme bisa dipertahankan. Tapi, diatas (elite militer) tidak segampang seperti yang dibawah. Ambil contoh begini, ketika Gus Dur masih berada dalam tataran pemikiran dekrit, mereka membicarakan dengan kepala staf dan panglima. Tapi, kemudian yang terjadi adalah melakukan tindakan reaktif dengan mengumpulkan pangdam kemudian ramai-ramai menolak dekrit, lalu Kostrad buat apel siaga, padahal hal itu di gulirkan baru berupa wacana. Kalau mereka memang profesional mereka sampaikan kepada Presiden dan bilang akan mengundurkan diri karena menolak dekrit. Tapi, ternyata tidak, karena kepentingan militer masih sangat besar untuk menuju kesikap yang profesional masih dalam tahap transisi.145
Pengikisan sejumlah hak istimewa militer seringkali menciptakan dilema. Disatu sisi, supremasi sipil memang mengharuskan pengurangan wewenang militer dan membatasi militer pada misi profesionalnya yang lebih spesifik, yaitu pertahanan. Disisi lain, agar tercipta stabilitas politik, maka konflik sipil-militer harus ditekan sekecil mungkin. Mengurangi wewenang dan kekuasaan militer hampir selalu memunculkan konflik antara sipil-militer. Apa yang dilakukan Gus Dur selama ini, dengan sejumlah kebijakannya, tidaklah diterima begitu saja oleh pihak militer. Beberapa keputusan tersebut telah memunculkan konflik laten antara Gus Dur dengan militer.146
Konflik yang semakin mengeras antara Gus Dur dengan parlemen ternyata secara politis sangat mengganggu posisi TNI dan Polri. Ketika legitimasi Gus Dur di mata parlemen turun drastis, perlawanan TNI semakin terbuka. Mobilisasi para pangdam yang dilakukan oleh KSAD untuk menolak pergantiannya, perlawanan sejumlah perwira Polri terhadap rencana pencopotan Kapolri, dukungan resmi MPR terhadap penolakan-penolakan ini, pernyataan resmi Pangab yang menolak dekrit Presiden, dukungan TNI terhadap rencana percepatan sidang istimewa MPR, dan tindakan show of force di Monas oleh Pangkostrad merupakan bukti bahwa pengakuan TNI terhadap Gus Dur betul-betul terkikis.147
Walaupun banyak kalangan berpendapat bahwa kejatuhan Gus Dur dari jabatan Presiden di sebabkan oleh kasus dugaan penyelewengan dana Yanatera Bulog dan sumbangan dari sultan Brunei. Namun, sebetulnya faktor kuat di balik kejatuhannya adalah hubungannya dan konfliktual dengan militer dan penolakan kuat dari parlemen karena kebijakannya yang banyak merugikan partai politik.148
Dalam banyak hal usaha Gus Dur untuk "menjinakkan" militer merupakan salah satu dari suksesnya yang terbesar, tetapi dengan demikian ia menjadi bermusuhan dengan lebih banyak perwira yang berkuasa dan merupakan ancaman bagi kepentingan bisnis banyak perwira lain. Reformasi yang dilakukan Gus Dur dalam tubuh tentara mendapatkan perlawanan dari unsur-unsur garis keras di dalam tubuh militer dan Polri. Terlebih lagi, militer sayap ultra nasionalis menjadi marah oleh karena pendekatan kemanusiaan yang diambil oleh Gus Dur untuk memecahkan konflik di Aceh dan Irian Jaya. Tak ayal lagi bagi banyak orang Megawati yang dikenal sebagai seorang nasionalis yang konservatif merupakan alternatif yang menarik untuk mengganti Gus Dur.149
Upaya reformasi disektor pertahanan seharusnya menggariskan basis umum pertahanan baru yang memang sesuai dengan tantangan dan kapasitas negara. Persoalan yang juga begitu penting adalah bagaimana mengembangkan prinsip-prinsip dasar kesatuan tentara yang juga menggariskan model-model organisasi pertahanan. Ini tidak saja berlandas pada kebutuhan perubahan atas organisasi yang sudah ada, akan tetapi mencapai aspek doktriner pertahanan yang akan berpengaruh langsung atas organisasi itu.150
Selama lebih dari 30 tahun TNI pernah berkuasa di negeri Indonesia. Wajarlah kalau sekarang kecurigaan selalu diarahkan kepadanya. Segala macam hal yang menunjukkan pada melemahnya pemerintahan dan tereduksinya kebebasan bagi masyarakat sipil (civil society), selalu dianggap sebagai “upaya TNI” untuk berkuasa kembali. Dalam hal ini, K. H. Abdurrahman Wahid berpendapat hendaknya berhati-hati dengan tidak melakukan generalisasi atas TNI sebagai lembaga. Memang ada oknum yang mengejar ambisi pribadi, seperti memandang peranan TNI dalam politik sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup bangsa ini. Namun kenyataannya, peranan seperti itu tidak akan pernah bisa. Karena struktur serta hirarki TNI sendiri, yang bertopang atas ketundukan mutlak kepada atasan, tidak memungkinkan TNI untuk berperan demokratis tanpa kehadiran pihak sipil dalam pengendalian keadaan. Oleh karena itulah demokratisasi itu sendiri haruslah dilakukan bangsa ini bersama, termasuk ditopang oleh kemauan TNI sebagai institusi.
Menurut seorang purnawirawan perwira tinggi TNI ada beberapa doktrin yang dikembangkan ABRI (sekarang TNI) yang memerlukan koreksi, karena di dalamya ada dominasi kaum militer atas pihak sipil. Bahkan kini pun masih cukup banyak kaum militer yang beranggapan mereka lebih baik daripada pihak sipil. Ini jelas merupakan pandangan individual, karena TNI sendiri sebagai institusi telah menerima dihapusnya Fraksi TNI-Polri dari DPR-RI tahun 2004 dan dari MPR-RI tahun 2009. Karena mereka harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang tidak membeda-bedakan golongan manapun, maka dengan sendirinya sebagai institusi mereka harus tunduk kepada proses demokratisasi. Impian beberapa perwira tinggi TNI untuk berkuasa sendiri tidak perlu dikhawatirkan.
Tentu saja pandangan ini adalah pemikiran ideal yang harus dilihat bagaimana pelaksanaan dalam kenyataannya. Peledakan bom dari satu tempat ke tempat lain, menunjukkan adanya keterlibatan langsung atau tidak langsung beberapa orang Perwira Tinggi TNI secara perorangan/individual. Salah satu motivasinya adalah mempertahankan “secara sia-sia” peranan politik TNI dalam lingkungan negara Indonesia. Mereka mencoba menegakkan militerisme (paham serba militer) yang oleh banyak kalangan masyarakat sipil dianggap mencurigakan. Namun masyarakat sipil secara keseluruhan juga mempunyai banyak perbedaan, ada yang berpandangan ideal seperti K.H. Abdurrahman Wahid dan ada yang bersikap curiga kepada TNI. Hal itu merupakan hal wajar yang menghasilkan sikap teliti dan waspada untuk menjaga keselamatan negara dan bangsa Indonesia.
Walaupun mengemukakan pandangan yang “tidak mencurigai” peranan politik TNI ini, namun K. H. Abdurrahman Wahid minta kepada kalangan yang “mencurigai” TNI untuk tetap berhati-hati terhadap individu yang ingin menegakkan kembali kekuasaan politik TNI. Sikap tidak mencurigai digabungkan dengan sikap berhati-hati dan waspada akan menjamin tegaknya demokrasi di negeri Indonesia. Di sinilah terletak arti kepemimpinan yang diharapkan di masa-masa yang akan datang, walaupun pada saat ini justru kepemimpinan itulah yang tidak ada dikalangan pemerintahan Indonesia.
K.H. Abdurrahman Wahid berharap adanya rasa saling mencurigai antara kawan-kawan TNI dengan pihak sipil itu dapat dikurangi. Biarkan sejarah mengambil kesimpulannya sendiri di masa yang akan datang. Kerja-kerja kongkrit seperti pemilu yang akan datang sangat bergantung kepada timbulnya rasa saling mendukung. Meskipun ini tidak berarti harus lalai dan tidak menerapkan prosedur hukum jika terjadi kesalahan oleh salah satu pihak, guna menjamin hasil-hasil yang benar-benar jujur. Hanya dengan kejujuranlah pemerintahan yang memenuhi tujuan konstitusi, masyarakat adil dan makmur dapat ditegakkan di negeri ini.151












BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis terhadap konsep demokrasi menurut K. H. Abdurrahman Wahid secara umum dapat disimpulkan. Bahwa pemikiran demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid identik dengan pemikiran Fazlur Rahman.
Corak pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang liberal dan inklusif secara nyata sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap berbagai khasanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi, termasuk terhadap pemikiran hukum Islam. Kontribusi fiqih terhadap gagasan inklusivisme dan pluralisme adalah karena fiqih merupakan pengembangan gugusan hukum agama yang tidak pernah berhenti berkembang. Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi tidak hanya menggunakan produk-produk pemikiran Islam tradisional, tetapi juga menekankan pada penggunaan metodologi (manhaj), teori hukum (us}u>l fiqh), dan kaidah-kaidah hukum (Qawa>id Fiqhiyah) dalam kerangka pembuatan suatu sintesa untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual di masyarakat.
Dalam pandangan Fazlur Rahman, sesuatu yang lebih ini berkaitan dengan kembali mempelajari Islam klasik dan mengkombinasikan hal ini dengan unsur-unsur terbaik modernisme agar supaya dapat dihasilkan sintesa antara Islam Klasik dengan pemikiran barat modern. Dengan cara ini, demikian argumennya, kebenaran utama Islam dapat dihargai kembali serta diterapkan dengan lugas dan kreatif pada masyarakat modern, dengan demikian akan menghasilkan spiritualitas yang lebih dalam, lebih halus, juga Islam lebih Welas-asih dan toleran. Untuk gerakan ini Fazlur Rahman membuat istilah baru : neomodernisme.
K. H. Abdurrahman Wahid mengartikan demokrasi sebagai kondisi dimana kebebasan pendapat benar-benar dijamin undang-undang, sebab menurutnya kebebasan berpendapat merupakan salah satu esensi demokrasi. Setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan mengekspresikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan Al-Akhla>q Al-Kari>mah dan dalam rangka Amr ma’ruf nahy munkar, tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya.
Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, arogansi dan kedzaliman akan semakin merajalela.Sehingga tidak ada lagi pihak yang merasa lebih tinggi dari pada yang lain yang dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter, dan eksploitatif. Egaliter (persamaan) penting dalam suatu pemerintahan untuk memunculkan sifat Tawadhu’ (humbel) dan menghindari hegemoni penguasa atas rakyat. Karena penguasa tidak di tempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat).

B. Saran-saran

  1. Menguatnya arus besar politik Islam pasca Reformasi, dengan penampilannya yang multi-wajah di harapkan para politisi Islam dapat mengedepankan politik populis. Yaitu politik yang dapat menghargai perbedaan pandangan dan agenda politik masing-masing tanpa harus saling menjatuhkan dan memfitnah. Dan bagi masyarakat sub politik, partisipasi dalam menentukan proses politik merupakan bagian dari penguatan terhadap posisi masyarakat sipil, kendati demikian, koridor demokrasi hendaklah di perhatikan.
  2. Untuk semua kalangan dalam menggali pemikiran tokoh hendaklah tidak membatasi disiplin ilmu, tokoh dan kelompoknya, sehingga tidak membuka ruang konflik yang membodohkan. Tetapi lebih mengembangkan sikap toleran dan saling memahami sehingga sikap mengklaim diri paling benar dapat terhindarkan.
  3. Penelitian ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak penelitian tentang pemikiran demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid, karena itu untuk pengkajian lebih jauh tentang hal tersebut hendaknya membaca buku-buku yang membahas tentang pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid.
  4. Karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penyusun, walaupun telah berusaha dengan semaksimal mungkin, tentunya hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga masih membutuhkan saran, tegur sapa, nasehat, motivasi dan kritik yang membangun/manfaat. Akhirnya Walla>hu a’lamu bi as-s}awa>b wal hamdu lilla>h Al-Rabbil 'Alami>n.
DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an


Al-Qur’an dan Terjemah, 30 juz, Jakarta: Departemen Agama RI. 1989.

B. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh

Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet. III ,Jakarta:Raja Grafindo Persada,1997.

Al-Qardawy, Yusuf, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, terjemahan dari Min Fiqhid Daulah Fil-Islam alih bahasa Kathur Suhardi, cet. III, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1998.

----, Fiqih Negara Ijtihad Baru Seputar Demokrasi Multi Partai Keterlibatan Panita di Dewan Perwakilan Partisipasi Dalam Pemerintahan Sekuler, terjemahan dari Min Fiqh Ad-Daulah Fil-Islam Makanatuha, Thabi’atahu, Manqi fuha min Ad-Dimoqratiyah Wa At-Ta’addiyah Wal-Maar’ah Wa Khairul Muslimin alih bahasa Kathur Suhardi, cet. I (Jakarta : Robbani Press, 1997).

Al-Turabi, Hasan, Fiqih Demokratis Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, terjemahan dari Tajdid Al-Fikr Al-Islam alih bahasa Abdul Haris dan Zaimul Am, cet. I , Bandung:Arasy,2003.
C. Kelompok Buku-buku Lain

Afandi, Arief, Islam Demokrasi atas Bawah Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, cet. III, Yogyakarta: pustaka pelajar,1997.

Barton, Greg, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, terjemahan dari Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid alih bahasa Lie Hua, cet. I, Yogyakarta:LKiS,2003.

Daman, Rozikin, Pancasila Dasar Falsafah Negara, cet. I, Jakarta :Rajawali Press, 1992.

anes Jaya Negara, “Gus Dur Dalam Perspektif Kepemimpinan,” http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.

Darjidarmodiharjo, dkk, Santiaji Pancasila, cet. X (Surabaya : Usaha Nasional, 1991).

Dharwis, Ellyasa K. H, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, cet.I, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Esposito, John L dan vall, John O, Demokrasi di Negara-Negara Muslim Problem dan Prospek, cet.I, Bandung: Mizan,1999.

Fadulullah, Mahdi, Titik Temu Agama & Politik Analisa Pemikiran Sayyid Qutub, cet. I , Solo: Ramadhani, 1991.

Fealy, Greg dan Barton, Greg, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdhatul Ulama’-Negara, cet. I, Yogyakarta: LkiS,1997.

Ghofur, Abdul, Demokratisasi dan Prospek Hukum di Indonesia, cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Haris, Syamsuddin, Demokrasi di Indonesia Gagasan dan Pengalaman, cet.I, Jakarta:LP3ES,1995.

Harmain dkk (ed.), A. Malik, Gus Dur : Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis, cet. I, Jakarta: Bumi Selamat printing, 2001.

Hidayatullah, Puslit IAIN Syarif, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, cet. I, Jakarta:IAIN Press, 2000.

Huwaydi,Fahmi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, cet. I, Bandung: Mizan, 1996..

Ida, Laode dan Jauhari, A. Thantowi, Gus Dur diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, cet. I, Jakarta:Raja Grafindo Persada,1999.

Isre (ed.), Muh. Shaleh, Prisma Pemikiran Gus Dur, cet.II, Yogyakarta:LKiS,2000.

----, Tuhan Tidak Perlu di bela Abdurrahman Wahid, cet. I, Yogyakarta:LkiS,1999.

Karim, Abdul Gaffar, Melucuti Serdadu Sipil Mengembangkan Wacana Demiliterisme dan Komunitas Sipil, cet. I, yogyakarta: Fisipol UGM,2000.

Lubis, M. Solly,Ilmu Negara, cet. I, Bandung : Alumni, 1975.

Madany, A. Malik,”Syu>ra Sebagai Elemen Penting Demokrasi”, Asy-Syir’ah,Vol. 36, NO. I.

Mahfud MD., Moh., Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri Disaat sulit, cet.I, Jakarta:LP3ES,2003.

----,Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, cet I, Yogyakarta: Gama media, 1999.
Mas’oed, Mohtar, “ Civil society dan Masyarakat Madani : catatan untuk diskusi”, makalah disampaikan pada seminar tentang Menata kapasitas Masyarakat Madani menghadapi tantangan global. Diselenggarakan oleh LABDA di gedung UC UGM. Yogyakarta, 9 April 2002.

Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi, cet. I, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999.

Munir,"Perubahan Untuk Pertahanan atau Politik Tentara?", makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang Demiliterisme, Demokratisasi, dan Desentralisasi, peringatan sewindu IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta, 12 juni 2002.

Nasution, Khoiruddin ,” Islam dan Demokrasi”, Asy-Syir’ah, vol. 36, NO. I.

Nawawi, Hadari dan Martini, Mimi, Penelitian Terapan, Cet. I, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press,1996.

Noer, Delier, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, cet. III, Bandung : Mizan, 1998.

O’Donnell, Guillermo dan Schmitter, Philippe C., Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, cet. I, Jakarta ; LP3ES, 1993.

Partanto, Pius A dan Al-Barry, M. Dahlan, kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola, tt.

Rahman, Afzalur, Nabi Muhammad SAW Sbagai Sorang Pmimpin Militer diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Anas Siddik, cet. Ke-I Jakarta: Bumi aksara,1991.

Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik Islam, terjemahan dari An-Nazhariyatu As-siyasatul-Islamiyah alih bahasa Abdul Hayyie Al-Kattani, cet. I, Jakarta:Gema Insani Pres,2001.

Shoelhi, Mohammad, Demokrasi Madinah Model Demokrasi Cara Rasullah,cet. I, Jakarta,Republika,2003.

Sorensen, Georg, Demokrasi dan Demokratisasi Proses dan Prospek Dalam Sebuah Dunia Yang Sedang Berubah,terjemahan dari Democracy and Democratization : Processes and Prospects in a Changing World, Westview Press alih bahasa I. Made Krisna, cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.

Sujito, Arie,"Demiliterisasi dan Radikalisasi Sipil”, Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang “Demiliterisasi, dan Desentralisasi” Sebagai pemakalah,Yogyakarta, 12 Juni 2002.

Suwondo, Kutut," Desentralisasi dan Demokrasi Lokal”, Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang “Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi”, sebagai pemakalah, Yogyakarta, 12 juni 2002,hlm.4.

Thoha, Zainal Arifin, Jagadnya Gus Dur Demokrasi, Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam, cet.I , Yogyakarta:kutub,2003.

Tobroni dan Arifin, Syamsul, Islam Pluralisme Budaya dan Politik Refleksi Teologi Untuk aksi Dalam Keberagamaan Dan Pendidikan, cet. I, Yogyakarta : Sipress, 1994.

Uhlin, Anders, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, terjemahan dari Indonesia and the “ third wave of Democratization”: The Indonesia Pro-Democracy Movement in a Changing World alih bahasa Rofik Suhud, cet. II, Bandung : Mizan, 1998.

Ulum, Bahrul, "Bodohnya NU" apa "NU di Bodohi"? Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik, cet.I, Yogyakarta:Ar-Ruzz Press,2002.

Gus Dur Terima Kekalahan "Itulah Demokrasi dan Membuat Saya Bangga," http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.

Latar Belakang Keluarga,” http://GusDur,net, akses 20 Agustus 2003.

Latar Belakang Pendidikan,” http://GusDur,net, akses 20 Agustus 2003.

Nurcholish Madjid: Gus Dur Harus dipertahankan,” http://Gusdur.net, akses 21 Oktober 2003.

Reposisi Sekjen PKB setelah pemilu, Gus Dur :"Keputusan ini harus dihormati," http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.

Richard Gozney: Gus Dur berperan besar dalam demokratisasi Indonesia,” http://Gusdur.net, akses 21Oktober 2003.

Wahid, Abdurrahman, “TNI dan Demokratisasi,” http://Gusdur.net, akses 19 September 2003.

----, “Agama dan Demokrasi,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.

----,“Demokrasi Dalam Pengertian Kita,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.

----,“Demokrasi, Keadilan, dan Keterwakilan, http://GusDur,net, akses 19 September 2003.

----,“Esai Khusus Abdurrahman Wahid Masih Perlukah Formalisme Agama?,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.

----,“Masa Depan Demokrasi di Indonesia,” http://Gusdur,net, akses 19 September 2003.

Yasmi Andriansyah, “Gus Dur, Indonesia, Dunia,” http://Gusdur,net, akses 21 Oktober 2003.

Zada (ed.), Khamami, Neraca Gus Dur Di Panggung Kekuasaan, diterbitkan oleh LAKPESDAM, Cet : I, Jakarta: LAKPESDAM,2002.

Zada, Khamami dan Muzayyad (ed.), Idy, Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, cet,I (Yogyakarta:Sema Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga dengan Pustaka Pelajar,1999).
TERJEMAHAN





Hlm


F. N


Terjemahan

15

23

Dan(bagi) orang-orang yang menerima(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan Sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka

15

24

Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.

15

25

(Inilah pernyataan) pemutus perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyirikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).

16

27

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan Ulil amri diantara kamu.

20

38

Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik

22

42


Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawkkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya, dan dengan para mu'min.

44

2

Dan apakah mereka (orang-orang), lalu kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (tidak melihat -Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia bahwa sesungguhnya kami Mendatangi daerah-daerah menurut kehendak -lah yang maha cepat Hisab-Nya.







Terjemahan
“Dan sesungguhnya apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya ? Dan Allah menrtapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang maha cepat hisab-Nya. (QS. Ar-Ra’ad:41)

Artinya : Dan(bagi) orang-orang yang menerima(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan Sholat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka.(Asy Syura 38)

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (An-Nahl :90).

Artinya : Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. (Al-Hujurat :13)
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Tuhanmu itu Esa; dan sesungguhnya bapakmupun satu. Setiap kamu adalah keturunan dari Adam, sedangkan Adam itu dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa diantara kamu. Dan tidak ada kelebihan diantara seorang Arab atas seorang ajam ( bukan Arab), ataupun bagi seorang Ajam atas seorang Ajam, atau bagi si kulit merah atas si kulit putih, selain karena Taqwanya.152(Hadits)
Artinya : sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan Amanah kepada yang berhak menerimanya, dan ( menyuruh kamu) apabila menertapka hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan yang adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. (An-Nisa’ : 58).
,”Hai Nabi, jika musuhmu condong pada perdamaian, engkau juga harus condong pada perdamaian dan percayalah pada Tuhan. Sesungguhnya, Dia Maha mendengar dan Maha mengetahui. Dan jika mereka berniat menipu kamu, Tuhan cukuplah untuk kamu. Dialah yang menguatkan kamuy dengan pertolongan-Nya, dan dengan orang beriman”,(8:61-62).153



BIOGRAFI ULAMA’
1. Abduh, Muhammad (1849-1905) adalah Ulama’ pembaharu Mesir yang dianggap sebagai arsitek modernis Islam. Tahun kelahiran Muhammad Abduh bertepatan dengan kematian Muhammad ‘Ali petualangan Al-bania dan pembangunan Mesir modern. Rezim ‘Ali , dalam konteks politik, menciptakan isu-isu perubahan modern secara intelektual berkaitan dengan keperintisan Abduh sebagai jurnalis, teolog, ahli hukum, dan-dalam enam tahum terakhir kehidupannya-sebagi mufti besar Mesir. Karir awalnya berangkat dari studi-studi ilmu tradisional di Universitas Al-Azhar, dan komitmen awalnya berdasarkan sufisme tarekat Syadziliyah, praktik dzikir, dan ta’widz. Studi-studi Universitasnya mengukuhkan tidak hanya sebagai seorang alim disegani, tetapi juga menyandarkan dia terhadp belenggu Taqlid (keterkaitan pada tradisi) yang kemudian menjadi sumber energi pembaharuannya. Meskipun secara intelektual meninggalkan latar belakang sufinya, dia tetap menanamkan kualitas kesalehan pada kehidupan akademisnya untuk pembebasan dari dampak Taqlid yang merusak.

2. Al-Raziq, ‘Ali Abd (1888-1966) adalah seorang hakim Syari’ah, intelektual kontroversial, dan penilis Al Islam Wa Ushul Al-Hukum:Ba’ts Fi Al-Khilafah Wa Al-Hukumah Fi Al-Islam, diterbitkan di Kairo pada 1925. bukan ‘Abd Al-Raziq menentang pandangan bahwa Islam sudah menetapkan bentuk otoritas politik khusus, atau bahwa Islam sudah mengesahkan bentuk pemerintahan tertentu. Disamping menciptakan krisis konstitusional di Mesir, gagasan-gagasan ‘Abd Al-Raziq menimbulkan kontroversi hebat diseluruh dunia Muslim. Majelis tinggi ‘Ulama’ Mesir mengadili ‘Abd Al-Raziq dan memecatnya dari jabatan dan posisinya sebagai Hakim Syari’at.

3. Rahman, Fazlur (1919-1988) adalah seorang filosof Muslim asal Pakistan. Selain itu, dia dikenal sebagai pendidik dan pembaharu Islam liberal yang terkemuka. Fazlur Rahman dilahirkan diwilayah yang kini dikenal sebagai Pakistan pada 1919. Dia memperoleh gelar Master dalam bidang bahasa Arab dari Universitas Punjob, Lahore, pada 1942, dan gelar doktor dalam bidang filsafat Islam dari Universitas Oxford pada 1949. Dia pernah menjadi pengajar dalam bidang kajian Persia dan filsafat Islam di Universitas Durham dari 1950 hingga 1958, profesor madya pada institut of Islamic studis, Universitas MC Gill, selama 1958-1961, profesor tamu dilembaga pusat kajian Islam, Pakistan, pada 1961-1962, kemudian menjadi direktur pada instutut tersebut selama 1962-1968. Dia meninggalkan Pakistan dibawah kecaman atas pandangan-pandangan reformisnya dan diminta menjadi profesor tamu di Universitas California, Los Angeles, pada musim semi 1969. Pada musim gugur, dia pergi ke Universitas Chicago sebagai profesor dalam bidang pemikiran Islam. pada 1986 dia diangkat menjadi Harold H. Smift Distinguished service professor di Chicago, sebuah gelar kehormatan yang dibawa hingga wafatnya pada tahun 1988.
4. Wahid, Abdurrahman adalah seorang pemikir, penulis, dan politisi Islam Indonesia. Dia merupakan salah satu pemimpin intelektual Muslim yang paling berpengaruh di Indonesia dewasa ini. Dia juga merupakam seorang kolumnis terkenal masalah budaya, sosial dan politik yang mendorong kontribusi Islam pada pluralisme, keadilan sosial, dan demokrasi. Dia adalah mantan Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999 hingga 22 Juli 2001) dan mantan Ketua Umum Tanfidziyah NU (Nahdlatul ‘Ulama’). Sebuah organisasi Ulama’ tradisional dengan puluhan juta pendukung, sebagian besar adalah penduduk pedesaan. Secara luas dia dipanggil “Gus Dur”.

5. Huwaydi, Fahmi adalah seorang pemikir dan kolumnis Mesir. Banyak mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam berbahasa Arab, seperti Al-Ahram, Al-Arabi dan Al-Majallah bukunya yang terkenal antara lain Al-Wa’y Al-Islam (krisis kesadaran umat), muwatinun la dzimiyyun (orang nasionalis bukan dzimmi) dan buku Al-Islam Wa Al-Dimukratiyyah.

6. Rais, Muhammad Amin, dia masuk kedalam jajaran pemikir Muslim modern karena latar belakang aktivis berasal dari Muhammadiyah-organisasi sosial-keagamaan kaum modernis. Dia lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944, putra kedua dari enam bersaudara dari pasangan Suhud Rais dan Sudalmiyah. Ayahnya alumni Mu’allimin Muhammadiyah. Dan Ibunya pernah menjadi ketua Aisyiyah Surakarta. Amien sendiri membangun rumah tangga dengan menikahi Kusnariyati Sri Rahayu dan dikarunia lima anak.


7. Madjid, Nurchalish adalah seorang cendekiawan Indonesia dan pendukung toleransi Agama. Di lahirkan di Jawa Timur, Nurchalish merupakan keturunan salah satu keluarga cendekiawan Islam yang paling terhormat di Indonesia. Dia di didik di Pesantren dan di Sekolah Modern Gontor, yang menekankan bahasa Inggris dan subyek-subyek sekular serta kurikulum Islam tradisional. Dia menerima gelar kesarjanaan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Jakarta pada 1968. Dari 1966 hingga 1971 dia menjabat ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia belajar di bawah bimbingan Fazlur Rahman di Universitas Chicago, dan menerima doktor pada 1984 dengan disertasi mengenai pemahaman Ibn Taimiyah tentang hubungan akal dengan wahyu. Pada awal 1990-an, Nurchalish memegang jabatan Institut Agama Islam Negeri di Jakarta dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

8. Al-Turabi, Hasan lahir di Kassala, Sudan Timur, pada 1932, dari keluarga yang memiliki tradisi panjang dalam pengajaran Islam di Sufisme. Sebagai sosok pemikir, Ulama’ intelektual, sekaligus politikus terkemuka di negeri Sudan. Dia merupakan arsitek utama Republik Islam Sudan. Karier politiknya dimulai sejak dia memimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun Sudan (1964) dan menjabat sekretaris jenderal Islamic Carter Front. Pada 1969, setelah berlangsungnya upaya kudeta oleh kaum kiri terhadap rezim Numeiri, untuk pertama kalinya dia mendekam di penjara Sudan hingga 1977. Akibat perubahan kebijakan Numeiri, Turabi diangkat menjadi Jaksa Agung dari tahun 1979 hingga 1982 dan menjadi kepala penasehat masalah-masalah hukum diluar negeri hingga maret 1985. pada 1988, Front Nasional Islam (NIF) yang dipimpinnya berkoalisi dengan pemerintahan Sadiq Al-Mahdi dan mengantarkannya menjadi deputi perdana menteri dan menteri luar negeri. Sejak pemilu 1996, dia menjabat sebagai ketua parlemen. Pada Februari 2001, dia ditahan atas tuduhan (yang kurang bukti) berkhianat kepada negara. Mesekipun tidak pernah menjabat sebagai kepala negara, banyak kalangan percaya bahwa dia adalah pemimpin Sudan yang sebenarnya sejak berdirinya Republik Islam Sudan.

1 Fahmi Huwaydi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, terjemahan dari Al-Islam Wa Al-Dimuqratiyah alih bahasa Muhammad Abdul Ghoffar E. M., cet. I (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 8-9.

2 Ibid, hlm. 151.

3 John L. Esposito dan John O. vall, Demokrasi di Negara-Negara Muslim Problem dan Prospek, terjemahan dari Islam and Democracy alih bahasa Rahmani Astuti, cet.I (Bandung: Mizan,1999), hlm.15.

4 Fahmi Huwaydi, Demokrasi Oposisi, hlm. 152.

55. Civil society adalah suatu lingkungan tempat warga negara mengembangkan diri secara swadaya di luar lingkungan keluarga dan bebas dari kendali negara. Civil society adalah pra kondisi bagi munculnya demokrasi. Civil society merupakan jaminan bahwa kediktatoran tidak akan terjadi. Civil society berfungsi mendukung demokrasi, bukan hanya untuk kaum elite, tetapi untuk segenap warga negara. Lihat Mohtar Mas’oed, “ Civil society dan Masyarakat Madani : catatan untuk diskusi”, makalah disampaikan pada seminar tentang “Menata kapasitas Masyarakat Madani menghadapi tantangan global,”sebagai pemakalah, Yogyakarta, 9 April 2002, hlm. 1 dan 5

6) Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum di Indonesia, cet.I (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2002), hlm. IX.

7 Moh. Mahfud, MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, cet I (Yogyakarta: Gama media, 1999), hlm. 48.
8
Kutut Suwondo”, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal”, Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang “Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi” sebagai pemakalah, Yogyakarta, 12 Juni 2002, hlm. 4.
9
Ibid, hlm. 1.

10Abdul Gaffar Karim dkk, Melucuti Serdadu Sipil mengembangkan wacana Demiliterisme dan komunitas Sipil, cet. I (yogyakarta: Fisipol UGM,2000), hlm.VII.

11 Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, cet. I (Jakarta:IAIN Press, 2000), hlm.iv.
12
Ibid, hlm.198.

13 Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdhotul Ulama’-Negara, cet. I (yogyakarta: penerbit LkiS,1997), hlm.189.
14
Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. XII.

15 A. Malik Harmain dkk, Gus Dur : Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis, cet. I (Jakarta: Bumi Selamat printing, 2001). hlm.iii
16
Ibid,, hlm. iii.

17 Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur Di Panggung Kekuasaan, cet.I (Jakarta: LAKPESDAM,2002), hlm.vii.
18
Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur Demokrasi, Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam, cet.I (Yogyakarta:kutub,2003), hlm.288.

19. Douglas E. Ramage,” pemahaman Abdurrahman Wahid tentang pancasila dan penerapannya dalam era paska asas tunggal”, dalam Ellyasa K. H. Dharwis (ed.),Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, cet.I (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 101.

20 Muhammad AS. Hikam,”Gus Dur dan pemberdayaan politik umat”, dalam Arief Afandi (ed), Islam Demokrasi Atas Bawah Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, cet. III (Yogyakarta: pustaka pelajar,1997), hlm. 90.

21 Ibid,hlm. 107.

22 Mahdi Fadulullah, Titik Temu Agama & Politik Analisa Pemikiran Sayyid Qutub, cet. I (Solo: Ramadhani, 1991), hlm. 123.

23 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, terjemahan dari An-Nazhariyatu As-siyasatul-Islamiyah alih bahasa Abdul Hayyie Al-Kattani, cet. I (Jakarta:Gema Insani Pres,2001), hlm. 307.

24 Al-Syuraa (42) : 38

25 Ali-Imran (3) : 159
26
Bara’ah/Taubah (9) : 1

27 Khoiruddin Nasution,” Islam dan demokrasi”, Asy-Syir’ah, vol. 36, NO. I (2002), hlm. 46-47.
28 Surat An-Nisa’ (4) : 59

29 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik, hlm. 308.
30
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet. III (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1997). Hlm. 68.
31
A. Malik Madany,”Syu>ra sebagai elemen penting Demokrasi”, Asy-Syir’ah,Vol. 36, NO. I (2002), hlm. 77-78.

32 Hasan Al-Turabi, Fiqih Demokratis dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, terjemahan dari Tajdid Al-Fikr Al-Islam alih bahasa Abdul Haris dan Zaimul Am, cet. I (Bandung:Arasy,2003), hlm. 175-176.
33 Yusuf Al-Qardawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, terjemahan dari Min Fiqhid Daulah Fil-Islam alih bahasa Kathur Suhardi, cet. III (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1998), hlm. 195.

34Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi, cet. I (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999), hlm. 16.

35 Lutfi Lukman,” Demokrasi dalam piagam Madinah”, dalam Mohammad Shoelhi (ed), Demokrasi Madinah Model Demokrasi Cara Rasullah,cet. I (Jakarta,Republika,2003), hlm. 30-31.
36 Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm. 5.

37 Greg Barton, Biografi Gus Dur the Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, terjemahan dari Gus Dur : the Authorized Biography of Abdurrahman Wahid alih bahasa Lie Hua, cet. I (Yogyakarta:LkiS,2003), hlm. 208.

38 Ibid, hlm.210-212.
39
Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm. 83.
40
Ibid, hlm, 80.

41 Arie Sujito,"Demiliterisasi dan Radikalisasi Sipil”, Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang Demiliterisasi, dan Desentralisasi peringatan sewindu IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta, 12 Juni 2002, hlm.1.
42
Afzalur Rahman, Nabi Muhammad SAW Sebagai Seorang Pemimpin Militer, terjemahan dari Muhammad AS Militery Leader alih bahasa Anas Siddik, cet. Ke-I(Jakarta: Bumi aksara,1991), hlm.37.

43 Ibid, hlm. 62.

44 Al-Anfaal (8): 61-62.

45 A. Malik Haramain,” Gus Dur da Reposisi Militer”, dalam Khamami zada (ed.), Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, cet. I (Jakarta:Lakpesdam,2002), hlm. 89.

46 Abdurrahman Wahid,”Demokrasi haruslah di perjoangkan”, dalam Muh. Sholeh Isre (Ed.), Tuhan Tidak Perlu di Bela Abdurrahman Wahid, cet.I (Yogyakarta:LkiS,1999), hlm.190.

47 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, kamus Ilmiah, hlm. 526-527.

48 Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 15 atau Khoiruddin Nasution, “Islam dan Demokrasi”, Asy-Syir’ah, NO. I. VOL. 36 (2002), hlm. 39 atau Demokrasi yaitu kerakyatan, pemerintahan atas asas kerakyatan, pemerintahan rakyat (dengan perwakilan). Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah, hlm. 100.

49 Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, cet. I (Jakarta ; LP3ES, 1993), hlm. 8-9.

50 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran..., hlm. 30.

51 Tim penyusun puslit IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewarganegaraan, hlm. 162.

52 M. Solly lubis, Ilmu Negara, cet. I (Bandung : Alumni, 1975), hlm. 73-75.

53 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi Proses dan Prospek Dalam Sebuah Dunia Yang Sedang Berubah,terjemahan dari Democracy and Democratization : Processes And Prospects in a Changing World, Westview Press alih bahasa I. Made Krisna, cet. I (Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2003), hlm. 38-39.

54 Khoiruddin Nasution, Islam..., hlm. 40.

55 Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 21.

56 Renaissance adalah suatu aliran yang menghidupkan kembali minat terhadap kesusasteraan dan kebudayaan Yunani kuno yang selama abad pertengahaan telah disisihkan. Ibid, hlm. 46.

57 Ibid, hlm. 23-24.

58 Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 26-27, dan ciri pokok wacana liberal yang lain secara poltis adalah bahwa demokrasi dipandang sebagai kompetisi antar elite politis antar partai. Para elite yang bersaing itu harus memperebutkan suara dalam pemilihan umum yang didasarkan pada hak pilih yang universal dan setara. Karena demokrasi langsung dipandang tidak mungkin dalam masyarakat modern yang amat besar, menurut model ini, kompetisi elite dan sebuah sistem perwakilan tidak hanya diperlukan, tetapi juga diinginkan karena akan mengarah pada stabilitas politik. Lihat Anders Uhlin, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, terjemahan dari Indonesia and the “ Third Wave of Democratization”: The Indonesia Pro-Democracy Movement in a Changing World alih bahasa Rofik Suhud, cet. II (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 140.

59 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, hlm. 6.

60 Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 27-28.

61 Delier Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, cet. III (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 195-196.

62 Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 28.

63 Rozikin Daman, Pancasila Dasar Falsafah Negara, cet. I (Jakarta :Rajawali Press, 1992), hlm.126-127.

64 Darjidarmodiharjo dkk, Santiaji Pancasila, cet. X (Surabaya : Usaha Nasional, 1991), hlm. 85.
65) Ibid, hlm. 242.

66 Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik Refleksi Teologi Untuk aksi Dalam Keberagamaan Dan Pendidikan, cet. I (Yogyakarta : Sipress, 1994), hlm. 30-31.

67 Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, terjemahan dari Min Fiqhid-Daulah Fil-Islam alih bahasa Khatur Suhardi, cet. III (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm.192.

68 Hasan Al-Turabi, Fiqih Demokratis, hlm. 74.

69) Yusuf Al-Qardhawy, Fiqh Daulah, hlm. 192.

70 Ar-Ra’ad(13): 41.

71Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara Ijtihad Baru Seputar Demokrasi Multi Partai Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan Partisipasi Dalam Pemerintahan Sekuler, terjemahan dari Min Fiqh Ad-Daulah Fil-Islam Makanatuha, Thabi’atahu, Manqi fuha Min Ad-Dimoqratiyah Wa At-Ta’addiyah Wal-Maar’ah Wa Khairul Muslimin alih bahasa Khatur Suhardi, cet. I (Jakarta : Robbani Press, 1997), hlm. 178-181.

72 “ Latar belakang keluarga,” http://GusDur,net, akses 20 Agustus 2003.

73. Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 30.

74 Ibid, hlm. 32.

75 Ibid, hlm. 40-42.

76 Ibid, hlm. 26-27.

77 Ibid, hlm, 28-29.
78“ Latar belakang pendidikan,” http://GusDur,net, akses 20 Agustus 2003.

79 Greg Barton, Biografi Gus Dur,hlm.39-40.

80 Ibid, hlm. 46-47.

81 Ibid, hlm. 49-50.

82 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais, hlm. 119-120.

83 Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm.57-58.

84 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais, hlm. 120.

85 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.110-111.

86 Ibid, hlm.118-119.

87 Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, cet. I (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1999), hlm.68-69.
88 Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma Pemikiran Gus Dur, cet.II (Yogyakarta:LKiS,2000), hlm.xx-xxii.

89 Moh. Mahfud MD., Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri Disaat Sulit, cet.I (Jakarta:LP3ES,2003), hlm.184.

90 Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.15.

91 Ibid, hlm.79.

92 Ibid, hlm.83-84.

93 Moh. Mahfud MD., Setahun Bersama Gus Dur, hlm.184-185.

94Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma Pemikiran, hlm.xxv-xxvi.

95 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais, hlm.124.

96 Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.) , Prisma Pemikiran, hlm.xxx.

97 Ibid, hlm. Xxviii.

98 Umaruddin Masdar, membaca pikiran Gus Dur dan Amin Rias, hlm.126.

99 Hasan Al-Turabi,Fiqih Demokratis, hlm.30.

100 Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm.82.

101 Ibid, hlm.84.

102 Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma Pemikiran, hlm.xxxviii-xxxix.

103 Ibid, hlm.xliv.

104 Abdurrahman Wahid, “Demokrasi Dalam Pengertian Kita,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.

105Abdurrahman Wahid, “Esai Khusus Abdurrahman Wahid Masih Perlukah Formalisme Agama?,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.

106 Abdurrahman Wahid,” Demokrasi, Keadilan, dan Keterwakilan,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.

107 Abdurrahman Wahid, Agama dan Demokrasi,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.

108 Abdurrahman Wahid, “Demokrasi Dalam Pengertian Kita,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003
109
Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.291-291.

110 Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia Gagasan dan Pengalaman, cet.I (Jakarta:LP3ES,1995), hlm.110-111.

111 Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.16-17.

112Abdurrahman Wahid,” Demokrasi Haruslah di Perjoangkan”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Tuhan Tidak Perlu di Bela, hlm. 189-190.

113 Bahrul Ulum, "Bodohnya NU" apa "NU di Bodohi"? Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Poltik, cet.I (Yogyakarta:Ar-Ruzz Press,2002), hlm.188-189.

114 M. Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.43.

115 Ibid, hlm.44.

116 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.360.

117M. Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.44-51.

118 Tamrin Amal Tomagola,” Gus Dur dan Tap MPRS XXV/MPRS/1966(Demi tumbuhnya civil society Gus Dur rela di tekan DPR)”, dalam A. Malik Haramain dkk (ed.), Gus Dur Goro-Goro, hlm.93-94.

119 M. Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.56-58.

120 Ibid, hlm.60-61.

121 Ibid, hlm.63.

122 Ibid, hlm.51-56.

123 Ibid, hlm.66-67.

124 “ Reposisi Sekjen PKB Setelah Pemilu, Gus Dur :"Keputusan ini Harus di Hormati," http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.

125 “Gus Dur Terima Kekalahan "Itulah Demokrasi dan Membuat Saya Bangga", http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.

126 Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.301-302.

127 Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewarganegaraan, hlm.199.

128Muhammad AS. Hikam.”Politik hukum di Indonesia dalam konteks reformasi dan demokraso”, dalam Khamami Zada dan Idy Muzayyad (ed.), Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, cet,I (Yogyakarta:Sema Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga dengan Pustaka Pelajar,1999), hlm.3-4.

129 Abdurrahman Wahid, “Masa Depan Demokrasi di Indonesia,” http://Gusdur,net, akses 19 September 2003.

130 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.413-414.

131 Abdurrahman Wahid,”Massa Islam Dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma pemikiran Gus Dur, hlm. 215-216.

132M. Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.30.

133Yasmi Andriansyah, “Gus Dur, Indonesia, Dunia,” http://Gusdur,net, akses 21 Oktober 2003.
134
Danes Jaya Negara, “Gus Dur Dalam Perspektif Kepemimpinan,” http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.

135 “Richard Gozney: Gus Dur Berperan Besar Dalam Demokratisasi Indonesia,” http://Gusdur.net, akses 21Oktober 2003.

136M. Fadjroel Rachman,”Gus Dur dan Transisi Demokrasi(...Gus Dur bagian terpenting dalam transisi demokrasi ini)”, dalam A. Malik Harmain dkk (ed.), Gus Dur: Goro-Goro, hlm. 55-56.

137 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.468-469.

138 Ibid, hlm. 478.

139 “Nurcholish Madjid: Gus Dur Harus di Pertahankan,” http://Gusdur.net, akses 21 Oktober 2003.
140
M. Fadjroel Rachman,”Gus Dur dan Transisi Demokrasi(...Gus Dur bagian terpenting dalam transisi demokrasi ini)”, dalam A. Malik Harmain dkk (ed.), Gus Dur: Goro-Goro, hlm.60-61.
141 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.481-482.

142Abdul Gaffar Karim dkk, Melucuti Serdadu Sipil, hlm.1-4.

143 Arie Sujito ,"Demiliterisasi dan Radikalisasi Sipil", makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang demiliterisasi, demokratisasi, dan desentralisasi, peringatan sewindu IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta, 12 Juni 2002, hlm.1-2.

144 Moh. Mahfud. MD., Setahun Bersama Gus Dur, hlm. 37-38.
145 Mahrus Irsyam,”Gus Dur dan perombakan Militer (Gus Dur berfikir tentang Demokrasi)”, dalam A. Malik Harmain dkk (ed.), Gus Dur : Goro-Goro, hlm. 66-67.

146 A. Malik Haramain,” Gus Dur dan Reposisi Militer”, dalam Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.100.

147 Ibid, hlm. 103.
148
Ibid, hlm.105.

149 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.481.

150 Munir ,"Perubahan Untuk Pertahanan atau Politik Tentara?", makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang Demiliterisme, Demokratisasi, dan Desentralisasi, peringatan sewindu IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta, 12 juni 2002, hlm. 3.

151 Abdurrahman Wahid, “TNI dan Demokratisasi,” http://Gusdur.net, akses 19 September 2003.

152
Terjemahan Islam membina masyarakat adil makmur, Dr. Yusuf Abdul Hadi Asy-syat, cet:I (Jakarta: Pustaka Dian dan Antar kota, 1987), hlm : 340.

153Ibid,hlm. 296.