BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar
terhadap filsafat ilmu. Dinamika perkembangan ilmu yang begitu pesat
dan cepat serta pengaruhnya yang cukup signifikan terhadap kehidupan
masyarakat, menuntut intensitas pemikiran kita untuk mempelajari
berbagai metode cabang ilmu secara terpadu dan berkesinambungan.
Hakikat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan berdaya guna
memberikan dorongan bagi kita dalam menjelaskan, meramalkan dan
mengontrol gejala-gejala alam.
Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan
berpikir merupakan obor peradaban telah memungkinkan manusia
menemukan jati dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna.
Berbagai peralatan serta merta dikembangkan manusia untuk
meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan
yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang
menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini.
Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi
kehidupan sehari-hari, dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan
sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya.
Meskipun tampak betapa banyak dan beraneka
ragamnya buah pemikiran itu, namun pada hakikatnya upaya manusia
dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok,
yakni: Apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah
cara kita memperoleh pengetahuan? dan Apakah nilai pengetahuan
tersebut bagi kita?1
Hal ini juga sesuai dengan dimensi utama filsafat ilmu itu sendiri
sebagai sebuah proses penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan
ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Sebab filsafat ilmu itu
sendiri bersinggungan pula dengan bagian-bagian filsafat sistematik
lainnya, seperti filsafat pengetahuan (hakikat serta otentisitas
pengetahuan), ontologi (ciri-ciri serta susunan kenyataan) dan
filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).2
Pertanyaan itu kelihatannya sederhana namun mencakup permasalahan
yang sangat azasi. Lahirnya sejumlah karya pemikiran besar pun
sebenarnya merupakan wujud nyata dari keseriusan kaum intelektual
dalam rangka merumuskan format penafsiran baru yang lebih bermutu
atas ketiga pertanyaan tersebut di atas. Pemikiran-pemikiran besar
dalam sejarah kebudayaan manusia dapat dicirikan dan dibedakan dari
cara mereka menjawab dan menyikapi pertanyaan-pertanyaan itu yang
merupakan titik tolak dalam pengembangan pemikiran selanjutnya. Ilmu
merupakan salah satu bentuk manifestasi dari pengetahuan manusia yang
pada abad modern ini telah merasuki setiap sudut kehidupan manusia.
Salah satu pandangan kontemporer tentang ilmu yang paling menantang
dan provokatif adalah pandangan yang dikemukakan dan dibela secara
gemilang oleh Paul Karl Feyerabend. Ia mengajukan pandangan yang
sangat menantang dan baru dalam filsafat ilmu. Baginya, tidak ada
penilaian mengenai watak dan status ilmu akan lengkap tanpa suatu
usaha untuk memahaminya secara integral dan holistik. Untuk bisa
menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti
apakah hakikat ilmu itu sebenarnya secara mendalam, sehingga hal
tersebut bukan saja akan meningkatkan apresiasi kita terhadap ilmu
itu sendiri, namun juga membuka mata kita terhadap berbagai
kekurangan yang dikandungnya.
Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber
kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya.
Demikian juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari
ilmu, dan tidak mau melihat kenyataan bahwa ilmu telah mampu
membentuk peradaban seperti apa yang kita saksikan sekarang ini,
kepicikan seperti itu kemungkinan besar disebabkan karena mereka
kurang mengenal hakikat ilmu yang sebenarnya.
Menghadapi dua pola pendapat yang ekstrem ini
seyogianya kita harus bersikap lapang dan bijak dengan menyadari
bahwa meskipun ilmu memang memberikan gambaran konseptual tentang
hakikat kebenaran, namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya
sumber kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat berbagai model
kebenaran lain yang memperkaya khazanah kehidupan kita. Kehidupan
terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran saja.
Adalah ketinggi hatian yang tidak mempunyai dasar sama sekali, jika
kita beranggapan bahwa ilmulah alpha
dan omega dari
segala kebenaran yang ada.
Dalam konteks pemikiran inilah, Paul Karl Feyerabend
ingin melihat mengapa pada abad modern ini ilmu pengetahuan diberi
penghargaan tinggi dalam masyarakat dibandingkan bidang-bidang
lainnya. Seolah-olah kini ilmu pengetahuan bersifat "anarkis".3
Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu yang secara
tipikal menilai ilmu adalah superior atas bentuk-bentuk pengetahuan
lain tanpa melakukan penyelidikan yang layak mengenai bentuk-bentuk
pengetahuan lain.4
Ia mengemukakan bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar
tanpa argumentasi, bahwa ilmu (fisika) membentuk paradigma
rasionalitas.
Secara kritis Feyerabend menulis tentang Imre Lakatos yang
dianggapnya sebagai rekan anarkis karena metodologinya tidak
menyediakan hukum-hukum untuk memilih teori atau program: "Setelah
menyelesaikan rekonstruksinya tentang ilmu modern, ia (Lakatos)
mengalihkannya ke bidang-bidang lain seolah-olah telah mapan bahwa
ilmu modern lebih unggul daripada sihir-sihir atau ilmu Aristotelian,
dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada
secuil pun argumentasi yang dikemukakannya. 'Rekonstruksi rasional'
menganggap 'kearifan ilmiah' sudah benar, tetapi tidak dibuktikan
bahwa ia lebih baik daripada 'kearifan' para ahli sihir dan
tukang-tukang sulap. Feyerabend menggambarkan hal tersebut dengan
pernyataan berikut:
Having finished his ‘reconstruction’ of modern
science, he turns it against other fields as if it had already been
established that modern science is superior to magic, or to
Aristotelian science, and that it has no illusory results. However,
there is not a shared of an argument of this kind. ‘Rational
reconstructions’ take ‘basic scientific wisdom’ for granted,
they do not show that it is better than the ‘basic wisdom’ of
witches and warlocks. 5
Feyerabend tidak bersedia menerima keharusan superioritas ilmu atas
bentuk-bentuk pengetahuan lain, karena hal semacam itu hanya akan
membenarkan tentang adanya suatu fenomena “penjajahan intelektual”
secara terselubung. Dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak
bisa saling diukur, ia juga menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu
argumen menentukan yang menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk
pengetahuan lain.
Apabila ilmu hendak diperbandingkan dengan
bentuk-bentuk pengetahuan lain, maka diperlukan penyelidikan terhadap
watak, tujuan dan metode dari ilmu itu serta bentuk-bentuk
pengetahuan lainnya. Hal ini harus dilakukan dengan meneliti
"catatan-catatan sejarah, buku-buku pelajaran, tulisan-tulisan
orisinal, pembicaraan serta surat-surat pribadi, dan sebagainya".
Ia mengatakan, “…that is, we shall have
study historical records—texbooks, original papers, records of
meetings and private conversations, letters, and like”.6
Ia pun tidak bisa sekedar asumsi tanpa penelitian lebih jauh, bahwa
suatu bentuk pengetahuan yang sedang diteliti itu harus sesuai dengan
hukum-hukum logika, sebagaimana yang biasanya dipahami oleh para
filsuf dan rasionalis kontemporer.
Feyerabend meyakini bahwa tidak ada metodologi ilmu yang ada selama
ini yang bisa bertahan dari perubahan. Secara meyakinkan Feyerabend
mengemukakan bahwa metodologi-metodologi ilmu gagal menyediakan
hukum-hukum yang memadai untuk membimbing aktivitas para ilmuwan.
Menurut Feyerabend, mengingat kompleksitas sejarah, maka tidak masuk
akal untuk mengharapkan ilmu dapat diterangkan hanya atas dasar
beberapa hukum metodologi yang terlalu simplistik (sederhana) dan
superfisial (dangkal).
Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodologi yang menolak
pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa
rasionalitas adalah agung, bersifat universal, terlepas dari
subyektivitas, konteks dan historisitas. Baik rasionalisme maupun
empirisme mendukung rasionalitas yang menurutnya universal dengan
cara yang berbeda.
Seperti halnya Kuhn yang berasumsi bahwa tidak ada
suatu teori apa pun yang bertahan dalam sejarah, Feyerabend
menyangkal adanya rasionalitas yang universal dan historis.
Maksudnya, kebenaran universal yang tidak terikat dengan ruang dan
waktu, yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik
daripada yang lainnya.7
Kesamaan Feyerabend dengan Kuhn terletak pada tesis keduanya yang
menyatakan bahwa ilmu-ilmu atau teori-teori tidak bisa saling diukur
dengan standar yang sama. Feyerabend beranggapan bahwa makna dan
interpretasi tentang keterangan observasi tergantung pada konteks
teoretis. Dengan begitu, ia ingin menentang pandangan yang memisahkan
teori dan observasi.
Konsekuensi logisnya adalah, tidak mungkinlah
merumuskan keterangan observasi yang sama dalam suatu konteks yang
berbeda. Perbedaan dua teori atau lebih cukup mendasar, sehingga
tidak mungkin saling membandingkan teori-teori rival secara logis.8
Dalam sebuah kutipan yang agak panjang, Feyerabend mengatakan:
The idea that science can, and should, be run according
to fixed and universal rules, is both unrealistic and pernicious. It
is unrealistic, for it takes too simple a view of the talents of man
and of the circumstances which encourage, or cause, their
development. And it is pernicious, for the attempt to enforce the
rules is bound to increase our professional qualifications at the
expense of our humanity. In addition, the idea is detrimental to
science, for it neglects the complex physical and historical
conditions which influence scientific change. It makes our science
less adaptable and more dogmatic…All methodologies have their
limitations, and the only rule that survives is ‘anything goes’.
9
[Ide bahwa ilmu dapat dan harus berjalan sesuai dengan
hukum-hukum universal yang mapan, adalah tidak realistis dan juga
merusak. Ia tidak realistis, karena terlalu menyederhanakan bakat
manusia dan keadaan lingkungan yang mendorong atau menyebabkan
perkembangan. Dan ia merusak, karena usaha untuk memberlakukan
hukum-hukum itu cenderung meningkatkan kualifikasi profesional kita
yang mengorbankan rasa kemanusiaan. Selain itu, ide itu pun merugikan
ilmu, karena ia mengabaikan kondisi fisik dan historis yang kompleks
yang mempengaruhi perubahan ilmiah. Ia menyebabkan ilmu semakin
kurang bisa dikelola dan semakin dogmatik…Semua metodologi
mempunyai keterbatasannya dan satu-satunya 'hukum' yang survive
adalah 'apa saja boleh'].
Kasus Feyerabend yang menentang metode, memukul
metodologi-metodologi yang dianggap telah memberikan hukum-hukum
untuk membimbing para ilmuwan ini ternyata ditunjang dengan alasan
yang kuat. Menurutnya: “the methodology of
research programmes provides standards that aid the scientist in
evaluating the historical situation in which he makes his decisions;
it does not contain rules that tell him what to do”.10
Maksudnya, "Metodologi dan program-program riset menyediakan
standar-standar yang membantu ilmuwan menilai situasi historis untuk
mengambil keputusan-keputusannya; ia tidak berisi hukum-hukum yang
mendikte apa yang harus diperbuat ilmuwan”. Maka tidaklah
bijaksana, bahwa para ilmuwan dalam melakukan pemilihan-pemilihan dan
keputusan-keputusan terikat oleh hukum-hukum yang diatur atau
terkandung di dalam metodologi-metodologi ilmu.
Feyerabend membela apa yang ia sebut sebagai "sikap
kemanusiawian" yang memandang bahwa manusia individual harus
bebas dan memiliki kebebasan sebagaimana yang diperjuangkan John
Stuart Mill. Feyerabend menyetujui usaha meningkatkan kebebasan
menuju ke kehidupan yang penuh dan produktif.
Ia mendukung Mill dalam membela "pembinaan
individualitas yang secara pribadi mampu berproduksi sendiri, atau
dapat memproduksi manusia-manusia yang maju". Feyerabend
menyatakan bahwa, It is in conflict ‘with
cultivation of individuality which alone produces, or can produce,
well-developed human beings’.11
Dari sudut pandang kemanusiawian ini, pemikiran anarkis Feyerabend
tentang ilmu mendapatkan dasar pembenarannya, karena di dalam ilmu ia
memang diarahkan guna meningkatkan kebebasan individu dengan memacu
penyingkiran segala macam kungkungan metodologis.
Dalam konteks yang lebih luas, ia senantiasa mendorong semangat
kebebasan bagi para individu untuk memilih antara ilmu dan
bentuk-bentuk pengetahuan lain. Jadi jelas sekali, bahwa Feyerabend
menolak sikap otoriter dalam bentuk apapun juga.
Feyerabend hendak mendobrak anggapan bahwa ada keteraturan dalam
perkembangan ilmu yang hendak diwujudkan dalam hukum dan sistem.
Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa
diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem maupun
hukum yang berlaku. Ia harus bebas karena memang kegiatan ilmiah atau
ilmu pengetahuan merupakan suatu upaya yang anarkistik. Pendapat
Feyerabend ini juga harus dilihat sehubungan dengan analisisnya
tentang masyarakat.
Dalam perspektif Paul Karl Feyerabend, perkembangan ilmu di dalam
masyarakat kita tidak lagi konsisten dengan sikap kemanusiawian. Di
kalangan masyarakat kita dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki
posisi yang sama dengan posisi agama seperti halnya pada masa Abad
Pertengahan. Ilmu pengetahuan memiliki kuasa mutlak. Dengan kata
lain, ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan manusia,
namun justru menguasai dan memperbudak manusia.
Apa yang perlu kita lakukan dalam masalah ini, tulis
Feyerabend, adalah "membebaskan masyarakat dari kungkungan ilmu
yang membatu secara ideologis, persis seperti nenek moyang kita
membebaskan kita dari kungkungan 'agama satu-satunya' yang benar".
Ia menyatakan, “let us free society from
the strangling hold of an ideologically petrified science just as our
ancestors freed us from the strangling hold of the One True
Religion!”. 12
Hal ini perlu ditempuh karena menurut citra Feyerabend, setiap
individu dilahirkan ke dalam suatu masyarakat yang sudah eksis lebih
dulu, dan dalam pengertian itu, masyarakat itu bukanlah pilihannya
yang bebas. Kebebasan yang dimiliki seorang individu akan tergantung
pada posisi yang ia duduki di dalam struktur sosial tersebut, dan
oleh karena itu, suatu analisa tentang struktur sosial bersangkutan
merupakan prasyarat untuk mengerti tentang kebebasan sang individu.
Setidaknya ia menyadari hal semacam ini dan dalam satu
bagian tentang kebebasan riset, Feyerabend menulis: “The
scientist is still restricted by the properties of his instruments,
the amount of money available, the intelligence of his assistants,
the attitude of his colleagues, his playmets—he or she—is
restricted by innumerable physical, physiological, sociological,
historical contraints”.13
Artinya bahwa, "Ilmuwan masih dibatasi oleh sifat-sifat dari
instrumen-instrumennya, jumlah uang yang bisa diperolehnya, kecakapan
para asistennya, sikap rekan-rekannya, teman-teman mainnya—lelaki
atau perempuan—ia dibatasi oleh banyak sekali kekangan fisik,
psikologis, sosiologis dan historis".
Seluruh pembicaraan dan perdebatan tentang pemikiran
Paul Karl Feyerabend tersebut di atas tersimpul dalam sebuah
mainstream yang
padat makna, anarkisme ilmu pengetahuan, sebagai suatu kritik yang
diajukan dan ditujukan untuk semakin dapat menemukan wajah ilmu
pengetahuan yang sebenarnya. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend
mengkritik ilmu dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain.
Yang pertama, dengan memegang semboyan anti-metode
(Against Method),
Feyerabend ingin melawan batang tubuh beserta metode ilmu pengetahuan
yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan
universal serta tahan sepanjang masa, dan juga dapat membawahi semua
fakta dan penelitian.
Kemudian, atas nama kebebasan yang sama, Feyerabend
mempunyai sikap anti-ilmu pengetahuan (Against
Science) sebagai kritik terhadap praktek
ilmiah, kekuasaan, fungsi dan kedudukan ilmu pengetahuan dalam
masyarakat yang kerapkali melampaui maksud utamanya. Dengan posisi
seperti ini, ia hendak melawan ilmu pengetahuan yang oleh para
ilmuwan dianggap lebih unggul daripada bidang-bidang atau
bentuk-bentuk pengetahuan lain semisal sihir, magi, voodoo,
mitos, dan sebagainya.
Feyerabend menyimpulkan bahwa, sains maupun
rasionalitas bukanlah ukuran unggul yang universal. Keduanya adalah
tradisi partikular yang tidak menyadari latar historisnya sendiri.
Ilmu pengetahuan sebagaimana tinjauan historis Feyerabend, lebih
merupakan suatu perkembangan dari berjuta-juta alternatif, satu
dengan yang lain tidak selalu terdapat konsistensi atau kesepadanan.14
Maksud dari semua itu sebenarnya adalah, Feyerabend ingin mengatakan
bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong
belaka yang dipropagandakan oleh para ilmuwan. Ia memilih istilah
realisme ilmiah yang dalam salah satu bentuknya berupa
aktivitas-aktivitas kita mengumpulkan pengetahuan sebagai jalan
terbaik untuk memahami dunia.
Dalam pengertian ini berarti ilmu pengetahuan tidak hanya sanggup
menghasilkan prediksi-prediksi saja, melainkan juga berpotensi untuk
menggali hakikat realitas yang menjadi cita-cita dari pengembangan
ilmu pengetahuan itu sendiri. Realisme ini akan bisa terwujud pada
saat teori-teori, sistem pemikiran, dan kerangka-kerangka pandang
diterapkan dalam bentuknya yang paling kuat, bukan sekedar sebagai
skema-skema bagi setiap proses kejadian yang kodratnya ditentukan
oleh pertimbangan-pertimbangan eksternal, tetapi sekaligus juga
bertindak sebagai penentu orientasi keilmuan yang telah dirancangnya.
Pada akhir kegelisahan intelektualnya, Feyerabend menawarkan terma
anarkisme sebagai obat mujarab dalam menyembuhkan epistemologi dari
sakitnya. Sebagai obat bukan berarti ilmu pengetahuan harus menjadi
anarkis, namun baik epistemologi maupun filsafat ilmu pengetahuan
harus menerima anarkisme agar dengan demikian kita akan kembali
kepada bentuk-bentuk rasionalitas yang lebih jelas dan bebas, kurang
lebih seperti yang diproyeksikan dan diidealisasikan oleh Feyerabend.
Adanya klaim bahwa anarkisme ilmu pengetahuan sebagai
bentuk kesewenang-wenangan epistemologis Feyerabend perlu kiranya
dimengerti dalam porsi pemahaman yang tepat dan seimbang. Sebab pada
kenyataannya istilah ekstrem itu dimaksudkan untuk memberikan kritik
eksternal terhadap metode dan praktek ilmu pengetahuan yang acapkali
mengaburkan karakter dan tujuan dasar utamanya. Tetapi hal itu
mungkin bisa dipahami karena memang seorang anarkis di bidang ilmu
pengetahuan oleh Feyerabend diistilahkan—mengutip pendapat Hans
Richter—sebagai dadais
yang anti terhadap segala bentuk kemapanan.
Maka berkaitan dengan persoalan itu pula, skripsi ini diangkat guna
menelaah lebih jauh mengenai beberapa pokok pemikiran Feyerabend
beserta aspek penting lain yang terdapat di dalamnya. Secara khusus,
dalam tulisan ini penulis ingin melacak dan mengurai sejauhmana
konsistensi dari seluruh sistem pemikiran Feyerabend dalam alur
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai tawaran metodis
yang disodorkannya.
Sebagai sebuah kajian serius tentang tokoh filsafat ilmu pengetahuan
baru, Feyerabend melontarkan gagasan kritis-progresif yang sayangnya
sampai saat ini masih relatif kurang bisa dibaca, dipelajari dan
diakses lebih jauh oleh para peminat filsafat pada khususnya serta
kalangan dunia akademis pada umumnya.
Mungkin hal inilah yang kemudian menjadi latar dari pemilihan tokoh
dan pembahasan topik Paul Karl Feyerabend, yang dalam rekaan awal
penulis, beberapa pandangan ilmu pengetahuannya tidak lebih hanya
sekedar reaksi keilmuan mengenai presuposisi-presuposisi akan adanya
berbagai deviasi (penyimpangan) nilai-nilai etis-praktis ilmu
pengetahuan yang diterapkan oleh para ilmuwan kala itu saja.
Namun setelah melalui proses studi yang runut dan seksama, ternyata
penulis menemukan beberapa endapan gagasan vital dan relatif belum
banyak diperbincangkan muatan-muatan filosofisnya, yang selain
disinyalir menjadi tonggak kebangkitan era filsafat ilmu pengetahuan
baru pasca dominasi aliran Positivisme Logis, juga telah dianggap
berhasil memecahkan kebuntuan monometodologi ilmu pengetahuan untuk
direinterpretasikan dan direformulasikan secara paradigmatik dan
anarkistik, tanpa terikat oleh hukum-hukum positivistik-logis yang
berkembang sebelum masa Feyerabend.
Pondasi ilmu pengetahuan Feyerabend yang berusaha mendobrak
keangkuhan format dan prosedur-prosedur sains modern ini telah
menggugah kesadaran kolektif kita untuk merefleksikan ulang tentang
asumsi-asumsi ilmiah sebagai simbol kemajuan peradaban modern, yang
telah beralih fungsi menjadi semacam arogansi intelektual, atau
terkesan hanya menjadi menara gading, dan pada akhirnya berujung pada
retorika serta ideologi tertutup yang penuh kedangkalan makna dan
kepentingan-kepentingan tertentu.
Maka dengan pluri-metodologi dan pandangan
konstruktivis-kontekstualis seperti yang dinyatakan oleh Feyerabend,
kita jadi mafhum bahwa semua klaim pengetahuan (fakta, kebenaran,
validitas) hanya dapat dimengerti dan diperdebatkan dalam konteks dan
dalam paradigma atau komunitas tertentu pula. Tidak satupun yang
diterima sebagai fakta, teori, atau kesimpulan yang selesai atau
final, sebab penerimaan atas pluri-metodologi Feyerabend ini memang
mengandaikan adanya berbagai standar kebenaran.
Dengan mengacu pada realitas historis seperti itu,
penulis pun berketetapan hati untuk menempatkan segi-segi fundamental
filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend tersebut sebagai starting
point dan landasan pemikiran dalam menggali
dan mengolah ide-ide dasar ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend
secara lebih jelas dan obyektif. Harapannya, paling tidak urgensi
topik dalam penulisan karya ilmiah ini bisa menambah koleksi seri
tokoh filsafat ilmu di masa mendatang.
- Rumusan Masalah
Dari deskripsi umum di atas, ada beberapa kata kunci yang perlu
kiranya dicermati dari pola pemikiran yang dibangun oleh tokoh utama
dalam fokus kajian skripsi ini, yakni Paul Karl Feyerabend. Banyak
jalinan ide penting Feyerabend yang saling berhubungan dalam
membentuk konsep-konsep penting lainnya sehingga semakin memperkokoh
landasan teoretis yang dituangkan semasa hidupnya.
Oleh karena itu, agar alur pembahasan ini tepat sasaran, terarah dan
sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka tentu
saja ruang lingkup masalah yang akan dijadikan sumber acuan nantinya
terbatas dan terumus dalam masalah-masalah berikut, yaitu:
- Bagaimana prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend dalam filsafat ilmu pengetahuannya?
- Bagaimana corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend?
- Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah:
- Mengetahui prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara utuh dan mendalam.
- Mengetahui corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan yang digunakan oleh Paul Karl Feyerabend secara jelas dan memadai.
- Metodologi Penelitian
Menurut sumber bacaan yang ada, metodologi penelitian
merupakan serangkaian metode yang saling melengkapi dalam melakukan
penelitian.15
Sifat dari penelitian ini sendiri adalah kajian kepustakaan (Library
Research) yang memuat data-data dan
bahan-bahan yang mendukung dan melengkapi terhadap isi pembahasan ini
baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, artikel, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam proses pengumpulan data-data
tersebut, penulis berusaha untuk menghimpun data primer maupun
sekunder yang sekiranya ada kaitannya dengan pokok pembicaraan dalam
skripsi ini. Data primer itu berupa buku masterpiece
Paul Karl Feyerabend sendiri yang berjudul Against
Method, sedangkan data sekunder adalah
berupa karya-karya Feyerabend lainnya yang dilengkapi pula dengan
tulisan atau karya ilmiah para ahli yang secara khusus mengkaji dan
membahas tentang pemikiran Paul Karl Feyerabend.
Disamping itu, penelitian ini juga merupakan penelitian
historis-faktual mengenai seorang tokoh16,
dalam hal ini Paul Karl Feyerabend. Dalam kaitan ini, penulis
berusaha menyelami pikiran, karya dan latar belakang historis yang
melingkupi sejarah kehidupan dan keilmuannya.
Untuk mempermudah prosedur pengolahan data itu, maka
dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode khusus, yaitu:
(1) Deskriptif.
Dengan metode ini, peneliti menguraikan dan membahas secara
sistematis dan terperinci seluruh konsepsi pemikiran tokoh yang
bersangkutan.17
Dalam konteks ini, penulis akan menggambarkan dan menguraikan
sepenuhnya dengan memakai analisis filosofis tentang konstruksi
filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dan beberapa gagasan penting
lainnya secara lebih lengkap dan jelas. (2) Interpretatif.
Dalam hal ini, peneliti berusaha menyelami karya tokoh untuk
menangkap kandungan arti dan nuansa yang dimaksudkan secara
spesifik.18
(3) Analisis. Dengan
cara ini, penulis akan merinci istilah-istilah atau pendapat-pendapat
tokoh (Feyerabend) ke dalam bagian-bagian khusus tertentu sehingga
dapat dilakukan pemeriksaan atas arti yang dikandungnya, dengan
maksud untuk memperoleh kejelasan tentang arti yang
sebenar-benarnya.19
Dengan begitu, diharapkan nantinya akan bisa diperoleh suatu
pemahaman yang benar pula tentang ciri, sifat, latar belakang dan
ide-ide dasar Feyerabend itu sendiri.
- Tinjauan Pustaka
Diantara para filsuf sezamannya, Feyerabend dinilai
paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrem, yang terutama
didasarkan pada karya monumentalnya, Against
Method. W.H. Newton-Smith20
menilai bahwa tidak ada kritik terhadap ilmu pengetahuan setegar dan
selantang kritik Feyerabend. Kritik yang disampaikan melalui buku itu
telah menggambarkan panggung filsafat pada tahun 70-an21
yang banyak mengundang polemik dan perdebatan sengit.
Sudah ada beberapa literatur yang mengupas jejak-jejak
pemikiran Feyerabend, baik dalam versi Bahasa Indonesia maupun asing.
Misalnya tulisan Prasetya T.W. yang berjudul “Anarkisme dalam Ilmu
Pengetahuan Paul Karl Feyerabend”, yang dimuat dalam antologi buku
Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja
Ilmu-ilmu.22
Secara lengkap dan padat, di dalamnya diuraikan seluk-beluk
kemunculan Feyerabend dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan serta
sejarah awal perjalanannya menjadi seorang anarkis. Dalam buku itu
juga, dijelaskan tentang definisi dari anti-metode dan anti-ilmu
pengetahuan yang menjadi kritik utama dalam pemikiran Feyerabend.
Selain itu pula, buku yang secara representatif dalam
menampilkan dan menanggapi urgensi pemikiran Feyerabend juga
diungkapkan oleh A.F. Chalmers dalam sub-topik bahasan, “Teori
Anarkistis Feyerabend Tentang Pengetahuan”, yang termaktub dalam
bukunya Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu
Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya.23
Buku ini secara teliti dan akurat memberikan ringkasan tentang
segi-segi kunci pandangan Feyerabend yang meliputi seluruh konstruksi
epistemologinya dengan disertai kritik-kritik yang cukup
argumentatif-korektif.
Buku lain yang membicarakan sisi-sisi pemikiran
Feyerabend adalah The Rationality of Science,
karya W.H. Newton Smith24,
yang berintikan tema-tema aktual dan liberal Feyerabend secara
menyeluruh, mulai dari konsep anti-metode yang merupakan topik utama
pemikirannya sampai gagasan-gagasan vital lainnya, seperti pandangan
Feyerabend tentang prosedur kontra-induksi, ketidaksepadanan, dan
seterusnya yang dibahas secara tuntas dan mendalam.
Satu lagi buku rujukan yang berkaitan dengan fenomena
pemikiran Feyerabend adalah apa yang ditulis oleh Akhyar Yusuf Lubis
dalam bukunya, Paul Feyerabend: Penggagas
Anti-Metode.25
Seri pengantar tokoh filsafat ini memberikan garis-garis besar haluan
sebagai gambaran awal yang sistematis tentang sosok filsuf Paul Karl
Feyerabend yang kerapkali mendera sains dengan kritik-kritik
kerasnya. Ia tidak menawarkan metodologi apapun sebagai ganti induksi
yang selama ini dijadikan panduan utama cara kerja ilmiah. Dengan
lantangnya, Feyerabend justru memproklamirkan anarkisme epistemologis
yang berhasil membuka sumbat penyatuan metode yang selama ini
diberhalakan oleh sains.
Dari sekian literatur tersebut di atas, ada perbedaan yang cukup
signifikan dengan maksud penelitian ini, yaitu bahwa artikel yang
ditulis oleh Prasetya T.W. hanya sebatas mengenalkan sejarah awal dan
garis-garis besar haluan filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dalam
pergulatannya dengan aliran Positivisme Logis. Sedangkan buku A.F.
Chalmers dan W.H. Newton-Smith sekedar rangkuman dari beberapa
substansi pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan
saja yang pembahasannya terkesan ambivalen tanpa disertai jalinan
sketsa ilmu pengetahuan Feyerabend dengan pemikiran tokoh-tokoh lain
serta minimnya aspek historisitas mengenai kemunculan dan
keterlibatan Feyerabend dalam wacana filsafat ilmu pengetahuan secara
terperinci.
Demikian juga dengan buku Akhyar Yusuf Lubis sebagai buku pengantar
dalam memahami traktat-traktat berat filsafat ilmu pengetahuan
Feyerabend yang secara khusus hanya ‘memandu’ pembaca untuk
mengenal ciri, sifat dan latar belakang pemikiran filsafat Feyerabend
yang disisipi juga penjelasan tentang titik persinggungannya dengan
model metodologi ilmu pengetahuan yang berkembang sebelumnya, semisal
metodologi Galilean dan metodologi Positivisme Logis.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis secara spesifik berusaha
menyelidiki pokok-pokok masalah yang menjadi sasaran kritik utama
Feyerabend serta letak-letak perbedaan fundamental yang terdapat
dalam corak pemikiran filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dengan
para filsuf ilmu pengetahuan lainnya, tanpa terperangkap ke dalam
pemihakan-pemihakan subyektif yang terkesan berlebihan dan
kontraproduktif.
Selain daripada itu, penulis juga akan mengkaji
sejauhmana konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari dasar-dasar
pemahaman epistemologi Feyerabend dalam mindset
sosio-kultural masyarakat yang akhir-akhir ini secara tidak kritis
cenderung hanya terpaku pada satu bentuk kebenaran monologis yang
bersumber dari konsepsi keilmuan tertentu.
- Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mudah dan urutnya penulisan ini, maka
pembahasan dalam skripsi ini akan dikelompokkan menjadi beberapa bab
dan sub-bab, yaitu:
Diawali dengan Bab I,
yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika
pembahasan.
Kemudian Bab II,
berisi tentang biografi singkat Paul Karl Feyerabend yang terdiri
dari riwayat hidup, karya serta tokoh-tokoh yang membentuk watak dan
mempengaruhi karakteristik pemikirannya.
Selanjutnya Bab III,
menyarikan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl
Feyerabend yang berkisar tentang persoalan apa saja boleh (anything
goes), ilmu yang tidak bisa saling diukur
dengan standar yang sama, ilmu tidak harus mengungguli bidang-bidang
pengetahuan lain, dan kebebasan individu.
Disusul dengan Bab IV,
yang merupakan intisari pembahasan yang mengetengahkan tentang
penafsiran Paul Karl Feyerabend terhadap makna anarkisme sebagai
kritik atas ilmu pengetahuan itu sendiri berupa anti-metode (Against
Method), dan anti-ilmu pengetahuan (Against
Science).
Terakhir Bab V,
adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis
berdasarkan seluruh hasil pembahasan yang dilakukan dan ditekuni
selama dalam proses awal sampai akhir penyusunan skripsi ini.
BAB II
BIOGRAFI PAUL KARL FEYERABEND (1924-1994)
- Riwayat Hidup dan Karyanya
Paul Karl Feyerabend lahir pada tahun 1924 di
Wina, Austria. Tahun 1945 ia belajar seni suara teater, dan sejarah
teater di Institute for Production of
Theater, the Methodological Reform the German Theater
di Weimar. Sepanjang hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Ia
belajar Astronomi, Matematika, Sejarah, Filsafat. Menurut
pengakuannya, kalau ia mengingat masa itu, ia menggambarkan dirinya
sebagai seorang rasionalis. Maksudnya, ia percaya akan keutamaan dan
keunggulan ilmu pengetahuan yang memiliki hukum-hukum universal yang
berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.
Keyakinan rasionalitasnya pada masa itu tampak
dari kiprahnya dalam Himpunan Penyelamatan Fisika Teoretis (A
Club for Salvation of Theoretical Phsysics).26
Keanggotaannya dalam kelompok tersebut tentu melibatkan dirinya
dengan eksperimen-eksperimen ilmu alam dan sejarah perkembangan ilmu
fisika itu sendiri. Dari sinilah ia melihat hubungan yang
sesungguhnya antara eksperimen dengan teori yang ternyata relasi itu
tidak sesederhana apa yang dibayangkan dan dijelaskan dalam buku-buku
pelajaran selama ini.
Terjadinya perubahan pemikiran dalam Paul Karl
Feyerabend itu setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
karena adanya perkembangan baru dalam ilmu fisika, terutama fisika
kuantum. Ia melihat bahwa fisika kuantum telah menolak beberapa
patokan dasar fisika yang ketika itu dianggap modern (Newtonian) yang
di atasnya prinsip-prisnip positivisme ditegakkan. Yang Kedua,
sambutan para fisikawan/filsuf terhadap teori mekanika kuantum yang
dianggap sebagai dukungan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Gagasan
Popper, Thomas S. Kuhn, dan terutama Imre Lakatos, sangat
mempengaruhi pemikiran filsafatnya.27
Pada permulaan tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat
dari Karl Raimund Popper di London. Waktu itu ia masih tetap
berpegang teguh pada keyakinan rasionalitasnya, bahkan ia berpendapat
bahwa perkenalannya dengan Popper semakin memperteguh keyakinannya
itu.
Ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang fisika dari
Wina University dan kemudian mengajar di California University. Ia
telah menyatakan diri sebagai seorang “anarkis” yang menentang
penyelidikan terhadap aturan-aturan penggantian teori dan pembangunan
kembali pemikiran rasional dari kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan.
Sikap Feyerabend tentang “apa saja boleh” dan bahwa sasaran dari
kreativitas dalam ilmu pengetahuan itu adalah sebagai bentuk
pengembangbiakan teori-teori.28
Pada tahun 1953, ia menjadi pengajar di Bristol.
Tahun-tahun berikutnya mengajar Estetika, Sejarah Ilmu Pengetahuan
dan Filsafat di Austria, Jerman, Inggris, Selandia Baru dan Amerika
Serikat. Pada tahun-tahun itu pula ia mulai mengalami pertobatan
pemikiran. Tidak bisa tidak pertobatannya itu merupakan akibat dari
perkenalannya dengan Imre Lakatos, yang meniupkan pemikiran-pemikiran
anarkis terhadapnya.29
Kelak, Feyerabend menyebutkan bahwa Lakatos
dianggap sebagai sahabat anarkisnya. Lagi pula seperti yang ia akui,
Lakatoslah yang mendorongnya untuk menuliskan gagasan-gagasannya.
Seperti yang pernah dikatakan Lakatos padanya, ‘Paul,
‘he said, ‘you have such strange ideas, why don’t you write
them down?30
Dalam pertobatannya itu ia melihat bahwa dalam sejarah mekanika
kuantum, bermacam-macam patokan telah dilanggar, dan anehnya patokan
itu dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Dalam pertobatannya itu, Feyerabend mengajukan
pertanyaan: apakah manusia tidak mengejar ilusi-ilusi kalau mencari
hukum universal guna mencapai hasil dalam ilmu pengetahuan?
Tahun 1958 ia menjadi guru besar Universitas
California di Berkeley, tempat ia mengajar sampai akhir hayatnya.
Tahun 1964-1965 proses pertobatannya dipercepat karena percakapannya
dengan Carl Freither von Weizsäcker di Hamburg mengenai dasar-dasar
mekanika kuantum. Pertobatannya itu juga dipercepat oleh keraguannya
terhadap bangunan sistem pendidikan intelektualistis di tempat ia
bekerja sebagai pengajar.31
Puncak pemikiran anarkisnya tertuang dalam Against
Method yang terbit pada tahun 1970,
suatu karangan panjang yang pada tahun 1975 diolah lagi menjadi
sebuah buku dengan judul yang sama pula. Terbitnya buku itu ternyata
mampu menyedot dan menyulut antusiasme publik dengan adanya berbagai
kontroversi, diskusi dan kritik yang cukup beragam corak dan
pemaknaannya dari para tokoh filsafat dan kaum ilmuwan secara luas.
Maka sebagai jawaban atas kritik terhadap pemikirannya itu, ia pun
kemudian menerbitkan lagi beberapa buku yang memuat penjelasan serta
argumentasi atau perluasan gagasan yang sudah diulas dalam buku yang
dikritik sebelumnya. Namun begitu, munculnya tanggapan dari berbagai
pihak itu seolah-olah justru semakin memperkokoh pemikiran
anarkisnya.
Mungkin Feyerabend merupakan salah satu filsuf
yang sangat provokatif pada abad ke-20. Ia giat melakukan perlawanan
terhadap setiap gagasan ilmu yang memiliki metodologi tersendiri
untuk membatasinya dengan yang bukan ilmu dan ilmu palsu. Walaupun
mulai dulu sampai sekarang banyak usaha-usahanya yang disia-siakan,
tetapi usaha itu bisa dijadikan sebagai dasar persiapan yang masih
layak dan berharga bagi bentuk-bentuk perlawanan lain.32
Dalam analisis Don Cupitt, sebagai seorang filsuf
sains dari California yang sangat Californian sekali, Feyerabend
berargumen bahwa apa yang ia sebut dengan “teori pengetahuan
anarkistik” merupakan pemaknaan ulang terhadap pengetahuan
saintifik. Baik filsuf maupun yang lainnya berhak menetapkan dan
menggambarkan apa saja yang diperbolehkan sebagai metode saintifik,
baik yang termasuk kategori sains asli ataupun yang bukan sains
sekalipun. Sebab beberapa usaha untuk menjalankan aturan-aturan yang
ada sebelumnya hanya mengundang pertentangan seperti yang nampak
jelas pada kasus konflik agama dan (menurut Feyerabend) juga berlaku
pada kasus sains. Sudah banyak contoh sejarah yang mengesampingkan
hal-hal semacam itu sebagai intuisi tandingan teori-teori saintifik,
seperti transmutasi spesies, relativitas umum dan teori kuantum.33
- Paul Karl Feyerabend dalam Wacana Filsafat Ilmu Pengetahuan
Dalam menempatkan konteks pemikiran Feyerabend,
penulis membatasi diri mulai dari tahun 1920-an sampai Feyerabend
muncul di panggung filsafat. Semenjak tahun 1920, panggung filsafat
ilmu pengetahuan dikuasai oleh aliran Positivisme Logis. Kelompok ini
berusaha memperbaharui positivisme abad ke-19 yang telah dirintis
oleh tokoh positivisme klasik August Comte (1798-1857) dan para
pengikutnya yang dinilai diwarnai pemikiran yang bersifat dogmatis
dan indoktrinasi ideologi yang mengarah kepada absolutisme.34
Filsafat Comte adalah anti-metafisis. Ia hanya
menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah.
Positivisme klasik hanya mengakui tentang gejala-gejala
(fenomen-fenomen), sehingga tidak ada gunanya mencari hakikat
kenyataan yang tidak mempunyai arti faktual sama sekali. Sebab bagi
Comte, hanya ada satu hal yang penting, yaitu savoir
pour prévoir, “mengetahui supaya
siap untuk bertindak”, “mengetahui agar manusia dapat
memperkirakan apa yang akan terjadi”. Oleh karena itu, manusia
harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara
fenomena-fenomena fisik-faktual tersebut sehingga ia dapat
memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Hubungan-hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan
konsep-konsep atau hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh
akal pikiran manusia. Tetapi lawan dari filsafat positivisme ini
bukanlah suatu filsafat negatif, melainkan filsafat spekulatif atau
obyek metafisik.35
Positivisme klasik merumuskan hukum-hukum positif
itu sebagai berikut: “Setiap perkembangan pemikiran rohani dan ilmu
pengetahuan manusia secara berturut-turut melewati tiga tahap
(stadia)
yang berbeda, yakni tahap teologis yang berdasarkan fantasi, tahap
metafisis yang abstrak dan tahap positif-ilmiah”. Tahap teologis,
merupakan tahap dimana manusia percaya akan kemungkinan adanya
kekuatan adikodrati yang mutlak.
Dalam tahap teologis ini terdapat tiga tahap lagi:
animisme, politeisme dan monoteisme. Berdasarkan kepercayaan
animistis ini, manusia beranggapan bahwa benda-benda itu merupakan
sesuatu yang bergerak. Banyak benda disebut suci dan sakti yang biasa
diidentikkan dengan dewa-dewa, seperti dewa api, dewa lautan, dewa
angin, dewa panen, dan sebagainya, diatur dalam suatu sistem sehingga
menjadi paham politeisme dengan berbagai macam spesialisasinya.
Selanjutnya, semua gejala tersebut dikembalikan pada satu sumber
kekuatan tunggal, yakni satu keilahian yang pada akhirnya melahirkan
pemikiran tentang monoteisme.36
Kemudian dalam tahap metafisis, alam pikiran
manusia secara simbolis beralih kepada kekuatan-kekuatan kosmis yang
abstrak. Pada tahap positif-ilmiah, manusia mulai sadar dan
mengetahui bahwa upaya teologis dan metafisis itu tidak ada gunanya.
Dari sini kemudian manusia berusaha mencari hukum-hukum alam dengan
memakai kemampuan akal budi yang dimilikinya.37
Di lain pihak, kaum Positivisme Logis itu sendiri menolak filsafat
yang tidak menghiraukan kenyataan dan susunan serta hasil ilmu
pengetahuan empiris. Mereka menganggap bahwa satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang telah diatur dan
dirumuskan dalam kaidah-kaidah ilmu alam dan diperoleh dari
pengamatan inderawi serta dapat diperiksa secara empiris.
Aliran Positivisme Logis membagi pengetahuan hanya
terbatas kepada ilmu matematika (ilmu pasti) dan ilmu-ilmu lain yang
diperoleh dari gejala-gejala yang dapat diamati oleh indera.
Pengetahuan semacam ini yang disebutnya sebagai pengetahuan positif,
artinya dapat dinyatakan atau dibuktikan (verifiable-positive
knowledge). Seperti halnya dengan Bacon
yang mendeskripsikan semua pengetahuan atas dasar pengalaman dan
pengamatan inderawi, kalangan Positivisme Logis menolak persoalan
sebab-sebab terakhir (final causes)
yang menjadi pokok perdebatan filsafat klasik, terutama mengenai
sebab pertama (first cause),
sehingga mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan pun sama sekali
mereka tolak.38
Kiranya pandangan Positivisme Logis ini mempunyai dasar-dasar
persamaan ontologis dengan aliran Naturalisme yang juga menentang
segala bentuk pikiran yang menyatakan adanya suatu dunia yang
bersifat adialami atau transendental.39
Bagi aliran ini, persoalan-persoalan ilmiah harus
dipecahkan secara lebih tepat dan sistematis dengan menggunakan
teknik-teknik logika matematika, sebab mereka menganggap bahwa ilmu
formal (matematika, logika) bukan sebagai pengetahuan yang
berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Ilmu
pengetahuan sendiri dirumuskan dan diuraikan sebagai kalkulasi
aksiomatis, yang memberikan perangkat-perangkat hukum pada
interpretasi terhadap observasi yang terbatas.40
Positivisme Logis bertitik tolak dari data empiris
dan tetap setia pada sifatnya yang empiristis dengan menganggap
hukum-hukum logis sebagai hubungan antara istilah-istilah, hasil
pengamatan dan fakta yang dinyatakan dengan memakai ungkapan dasar
dalam suatu ilmu yang bercorak empiris atau—dalam pengertian Rudolf
Carnap—“kalimat protokol”. Ilmu formal sama sekali tidak
menyinggung tentang bukti dan data empirik (kenyataan), tetapi hanya
menampilkan jalinan hubungan antara lambang-lambang logiko-matematis
yang membuka kemungkinan pemakaian data observasi yang telah
diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).41
Sebagai sebuah aliran epistemologi, Positivisme
Logis menganggap logika dan matematika mencakup sebuah sintaksis dan
semantik umum sehingga struktur-struktur matematis dan logis untuk
menjelaskan himpunan, transformasi maupun aspek-aspek terkecil dari
logika hanya merupakan struktur-struktur linguistik.42
Positivisme sebagai sebuah pandangan filsafat mengemukakan bahwa
segala sesuatu yang terjadi berdasarkan hukum-hukum dapat dibuktikan
dengan teknik observasi, eksperimen dan verifikasi.43
Menurut Positivisme Logis, hanya apa yang nampak
jelas dan berguna saja yang secara prinsipil bisa diverifikasi
melalui observasi dan eksperimentasi. Persoalan tentang nilai sebuah
teori atau makna suatu penjelasan dianggapnya tidak berarti apa-apa
karena tidak memberikan jawaban yang pasti dan terukur.44
Prinsip verifikasi sebagai sentral dalam doktrin
Positivisme Logis menegaskan bahwa suatu ungkapan baru akan mempunyai
makna manakala ia menunjuk pada pengalaman langsung dan konkrit. Dan
bahasa figuratif atau kiasan juga hanya akan dianggap mempunyai akan
makna apabila diterjemahkan ke dalam bahasa literal hurufiah.
Positivisme Logis menggabungkan argumen epistemologis dengan argumen
semantik, persis seperti dilakukan oleh Locke dan Hobbes yang melihat
kerancuan dan kekaburan kategori itu terdapat dalam penggunaan kiasan
metaforis bahasa. Mereka yakin pula bahwa filsafat hanya bisa maju
jika menggunakan bahasa lugas literal murni. Imbasnya lantas timbul
keyakinan umum yang semakin kuat bahwa dalam dunia kebahasaan manusia
sebetulnya yang berperan besar adalah memang bahasa literal itu
sendiri.45
Positivisme Logis menempatkan filsafat ilmu
pengetahuan sebagai logika ilmu. Pandangan semacam itu menguasai dan
diterima luas oleh para filsuf ilmu pengetahuan pada zaman itu.
Penerimaan secara luas ini membuat pandangan semacam itu oleh
Frederick Suppe disebut The Received
View.46
Sebagai tradisi intelektual yang berakar pada ilmu pengetahuan alam
kodrati (natural sciences),
pesatnya perkembangan kelompok yang lazim juga dinamakan empirisme
neo-klasik ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena
memang kesan baik yang diberikan oleh ilmu fisika sebagai disiplin
ilmu yang prestisius dengan teknik-teknik penelitian yang impresif,
di samping itu juga disebabkan oleh adanya orang-orang besar dan
terhormat dalam bidang ilmu pengetahuan yang terdapat dalam kelompok
ini seperti Albert Einstein.47
Berdasarkan kronologi sejarahnya, Positivisme
Logis muncul pertama kali sebagai suatu logika bagi ilmu-ilmu fisika.
Tahun 1895, Ernst March menjabat sebagai guru besar pertama filsafat
ilmu-ilmu induksi di Universitas Wina, dan pada tahun 1922, posisi
itu digantikan oleh Moritz Schlick, seorang murid dari Max Planck
yang pada saat itu ia memusatkan karyanya pada filsafat fisika.
Kemudian pada tahun 1929, kelompok ini menerbitkan sebuah manifesto
yang berisi tentang tujuan perkumpulan itu dan memberinya nama: “A
Scientific Conception of the World: The Vienna Circle”
(Suatu Konsepsi Ilmiah Tentang Dunia: Lingkaran Wina).48
Para anggota yang ikut bergabung dalam kelompok ini adalah para kaum
positivis yang kebanyakan adalah ahli ilmu alam, matematikus dan
filsuf berlatar belakang matematika.
Dalam tulisan Morton White disebutkan bahwa aliran
Positivisme Logis ini telah dipelopori oleh Moritz Schlick yang kala
itu menjabat sebagai guru besar Filsafat di Wina, dan resmi dibentuk
pada tahun 1923 dengan sebutan The
Vienna Circle. Secara khusus, Schlick
dan Wittgenstein mengunjungi Amerika pada tahun 1929 untuk
memperkenalkan aliran tersebut. Namun ketika Hitler berkuasa,
mulailah aliran Positivisme Logis ini disebut-sebut sebagai gerakan
pemikiran yang sangat berbahaya. Popkin & Stroll menambahkan pula
bahwa para anggota Lingkaran Wina ini adalah Moritz Schlick, Hans
Hahn, Friederich Waismann, Herbert Feigel, Otto Neurath dan Rudolf
Carnap.49
Kelompok ini pernah mengadakan seminar atau studi kelompok dengan
melakukan pembahasan pada tulisan Wittgenstein yang sangat teliti
serta didasarkan pada pandangan bahwa filsafat bukanlah teori,
melainkan suatu aktivitas. Mereka berpedoman pada pendapat bahwa
filsafat tidak mungkin menghasilkan pernyataan, baik pernyataan yang
salah maupun pernyataan yang benar. Filsafat hanya memberikan
penjelasan mengenai pengertian suatu pernyataan; mengemukakannya
secara ilmiah, matematik atau bahkan tidak mempunyai arti apapun.
Inti pandangan mereka terletak pada keyakinan
bahwa setiap pernyataan mengikuti ketentuan logika formal dan bahwa
pernyataan itu harus bersifat ilmiah. Positivisme Logis ini biasa
disebut sebagai hasil karya Ludwig Josef Johann Wittgenstein
(1889-1951), yaitu dalam buku berjudul Tractatus
Logico-Philosophicus yang terbit pada
tahun 1921, lalu berkembang ke seluruh dunia termasuk Inggris dan
Amerika Serikat. Dalam tulisan tersebut, Wittgenstein menyatakan
bahwa filsafat bukanlah suatu teori, melainkan suatu aktivitas atau
kegiatan. Wittgenstein pun yakin bahwa teka-teki dan kekacauan
filsafati akan dapat diatasi oleh analisis bahasa.
Wittgenstein mensinyalir bahwa apabila suatu
pernyataan dapat diajukan, maka pernyataan itu pun seyogianya dapat
dijawab secara jelas dan tuntas. Tetapi kenyataannya, ternyata tidak
semua pernyataan yang diajukan itu benar-benar bermakna. Maka agar
supaya kita tidak terperangkap ke dalam persoalan-persoalan filsafati
yang tidak berarti, yang bersumber dari pernyataan-pernyataan yang
tidak bermakna itu, maka dalam pandangan Wittgenstein harus ditemukan
peraturan-peraturan tentang permainan bahasa (language
game) yang digunakan lewat ungkapan
bahasa sehari-hari.
Berbeda dengan Ayer, bagi Wittgenstein, yang
penting bukanlah mengatur bagaimana suatu ungkapan bahasa itu harus
berarti atau bermakna, tetapi kita harus bisa menangkap apa arti yang
terkandung dalam suatu ungkapan bahasa itu. Oleh karena itu, kita
harus mengalisis bentuk-bentuk hidup (forms
of life) sampai ke dasar terdalam dari
setiap permainan bahasa. Wittgenstein menegaskan bahwa arti
ditentukan oleh bagaimana suatu kata digunakan dalam konteksnya.
Lewat analisis bahasa, seseorang akan dapat memperoleh kejelasan
(clarify)
arti bahasa sebagaimana yang diutarakan oleh orang yang menggunakan
bahasa itu.50
Senada dengan Wittgenstein, Kuhn juga berpendirian
bahwa pengetahuan sains seperti bahasa pada dasarnya adalah milik
bersama suatu kelompok. Dan untuk memahaminya kita perlu mengetahui
karakteristik-karakteristik khusus dari kelompok yang menciptakan dan
menggunakannya.51
Apabila disimak secara seksama, seluruh ajaran
filsafat Wittgenstein itu tidak lain hanya menawarkan suatu metode
yang sering disebut sebagai metode
analisis bahasa. Metode itu bersifat
netral, tanpa pengandaian filsafati, epistemologis ataupun metafisik.
Analisis bahasa secara logis tanpa mereduksikan sesuatu sehingga pada
prinsipnya hanya sekedar membuat lebih jelas tentang maksud yang
dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa verbal. Metode analisis bahasa
yang dikemukakan oleh Wittgenstein ini disebut juga dengan metode
klarifikasi.
Pandangan Positivisme Logis bahwa bahasa merupakan
gambaran realitas inilah yang ditolak Feyerabend. Bagi Feyerabend,
fakta-fakta itu sesungguhnnya tergantung pada teori yang menjadi
mediasi dalam proses pemahaman. Sedangkan pengalaman dan pemahaman
itu sendiri terjadi lewat bahasa. Oleh karena itu, bahasa selalu
terbatas untuk mengungkapkan totalitas pengalaman. Pengalaman yang
kita alami senantiasa sudah terefleksikan yang dinyatakan dalam
bahasa. Jadi, distorsi itu tidak hanya terjadi pada waktu obyek atau
peristiwa dipresepsikan. Interpretasi yang dilakukan setelah
dipersepsi pun, sebagaimana diutarakan Feyerabend, juga dipengaruhi
oleh pengalaman dan harapan-harapan dari orang yang berusaha
menafsirkan struktur realitas itu.52
Disamping itu, Positivisme Logis ini juga biasa
disebut sebagai Logika Empirisme dengan pelopornya yang sangat
menonjol, yakni Rudolf Carnap. Ia merupakan seorang tokoh kelahiran
Jerman, datang ke Wina pada tahun 1927 dan ikut secara aktif di
Lingkaran Wina. Ia adalah seorang ahli yang terlatih dalam bidang
fisika dan juga seorang logisian yang rajin bekerja keras. Para
anggota aliran ini sendiri adalah bekas ilmuwan yang terjun ke dunia
filsafat dan sebelumnya telah berhasil membentuk suatu kegiatan di
Lingkaran Wina. Para ilmuwan yang terkenal itu diantaranya adalah
Ludwig Boltzmann, Pierre Duhem, Helmholtz, Ernst March termasuk juga
Einstein.53
Positivisme Logis sebenarnya merupakan perkawinan antara dua aliran,
empirisme dan logika tradisional. Tetapi sebutan positivisme kemudian
diralat menjadi empirisme, sebab menghilangkan sebutan “positivisme”
seperti kata Morton White adalah berhubungan erat dengan kritik
terhadap ajaran August Comte yang menggunakan istilah “positivisme”
juga. Dalam perspektif Morton White, setidaknya terdapat dua kutub
dalam aliran Positivisme Logis yang patut juga kiranya mendapat
perhatian cermat dalam diskursus perdebatan filsafat ilmu pengetahuan
kontemporer.
Yang pertama adalah pihak negatif, suatu golongan yang ekstrem,
militan, penuh kritik tajam dan menganggap remeh pula
pandangan-pandangan pendahulunya. Pihak kedua adalah kelompok positif
yang bersikap mengagumi logika dan ilmu pengetahuan. Disisi lain
mereka juga membantah sekaligus menyerang metafisika dan etika yang
gagasan awalnya sudah mulai dilontarkan beberapa filsuf analitik yang
embrionya berasal dari Lingkaran Wina itu sendiri. Mereka
mengembangkan ajaran yang disebut “kriteria pengertian empiris”
dan menolak setiap ajaran, pandangan dan pengertian yang tidak
memakai rumusan matematik dan empiris. Pada umumnya, mereka menolak
metafisika karena mereka sependapat bahwa metafisika tidak dapat
“dipertanggungjawabkan” secara ilmiah.
Salah satu pemikir kontemporer filsafat analitik
terkenal yang memiliki pengaruh cukup besar, Alfred Jules Ayer
(1910-1970) lewat bukunya Language,
Truth and Logic (1963), juga berupaya
mengeliminasi metafisika yang didasarkan pada prinsip verifikasi,
yaitu agar suatu pernyataan (statement)
benar-benar penuh arti, maka pernyataan tersebut haruslah dapat
diverifikasi oleh salah satu atau lebih dari kelima pancaindera.
Tokoh positivisme logika modern Inggris dan salah satu penganut
empirisis logis ini menandaskan bahwa kata “makna” dalam
positivisme logis berarti gagasan yang kebenaran dan kepalsuannya
dapat ditegaskan dalam batas-batas pengalaman inderawi.54
Pada tahap perkembangan selanjutnya, munculnya
Karl Raimund Popper menandai kreasi wacana baru dan sekaligus
merupakan masa transisi bagi suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan
baru. Popper membuka babak baru sekaligus sebagai masa transisi
dipicu oleh adanya dua alasan penting. Pertama,
lewat teori falsifikasinya Popper menjadi orang pertama yang
meruntuhkan dominasi aliran Positivisme Logis dari Lingkaran Wina.
Kedua,
lewat pendapatnya tentang berguru pada ilmu-ilmu, Popper
mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan baru yang
dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Popper menentang Lingkaran Wina terutama dalam
distingsi antara ungkapan yang disebut meaningful
dan meaningless
berdasarkan kemungkinannya untuk diverifikasi, yakni dibenarkan
secara empiris. Namun Popper sendiri dalam hal ini mengakui bahwa ia
tidak pernah berasumsi dengan memaksa kesimpulan yang telah
diverifikasi dapat ditetapkan sebagai sebuah jaminan kebenaran,
apalagi hanya sekedar dijadikan acuan untuk menerapkan prinsip
“mungkin” atau “bisa jadi” benar (probability).
Bahkan mungkin saja yang disalahkan (difalsifikasi) itu menjadi benar
dalam arti verifiable
(dapat diuji) secara ilmiah. Oleh Popper distingsi itu diganti dengan
apa yang disebut garis batas (demarcation)
antara ungkapan yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Menurut Popper,
pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya kemungkinan falsifikasi
bagi ungkapan yang bersangkutan.
Popper menandaskan bahwa metode falsifikasi itu
mengisyaratkan tidak adanya kesimpulan deduktif, kecuali hanya
perubahan sifat pengulangan kata dari logika deduktif yang memiliki
derajat kebenaran yang tidak lagi diperselisihkan. Ia mengatakan,
“...the method of falsification
presupposes no inductive inference, but not only tautological
transformation of deductive logic whose validity is not indispute”.55
Popper menegaskan bahwa suatu ungkapan bersifat empiris atau tidak,
tidak dapat ditentukan berdasarkan azas pembenaran (verifiability)
sebagaimana dianut oleh aliran Positivisme Logis. Pokok persoalannya
adalah mustahilnya pembenaran proses induksi.
Sebagai ganti azas pembenaran, Popper menyodorkan
prinsip falsifiabilitas, artinya ciri pengetahuan ilmiah adalah dapat
dibuktikan salah.56
Popper lantas menyarankan dilakukannya suatu deductive
testing of theories untuk menguji
kesahihan (validasi) dan ketepatan (akurasi) suatu teori ilmu
pengetahuan lewat empat jalur berbeda. Pertama,
perbandingan logis dari kesimpulan antar teori dalam hal konsistensi
internal dari sistem yang diuji. Kedua,
penyelidikan terhadap bentuk logis dari teori dengan obyek penelitian
teori tersebut untuk memastikan apakah teori tersebut mempunyai
karakter suatu teori empiris atau teori ilmiah, atau juga mungkin
terjadi hubungan tautologis (pengulangan kata yang mengaburkan makna)
diantara teori-teori tersebut.
Ketiga,
perbandingan dengan teori-teori lain dengan tujuan untuk menentukan
apakah teori itu telah memenuhi standar mutu hipotesis umum sebagai
scientific advance
yang tahan dari berbagai ujian dan kritik maupun diskusibilitas
publik sehingga hal itu akan semakin mengukuhkan (corroboration)
keberadaannya dalam setiap proses pencarian kebenaran ilmu
pengetahuan. Keempat,
pengujian terhadap teori dengan cara aplikasi empiris dari kesimpulan
yang berasal dari teori tersebut. Dari cara yang terakhir inilah,
suatu pernyataan tunggal dapat menghasilkan suatu prediksi
kemungkinan baru yang dapat diuji (applicable)
yang dideduksi dari suatu teori pengetahuan tertentu.
Setelah dilakukan seleksi terhadap beberapa
pernyataan (prediksi), maka diambil suatu putusan melalui
perbandingan antar pernyataan tersebut dengan hasil aplikasi praktis
dan eksperimen. Apabila putusan itu positif, berarti kesimpulan
tunggal itu acceptable
(dapat diterima secara logika) atau verified
(dapat dibuktikan secara empiris). Tetapi jika kesimpulan tersebut
negatif atau falsified
(tidak dapat dibuktikan keabsahannya), maka teori yang digunakan
untuk mendeduksi teori-teori tersebut secara logis tidak dapat
diterima sebagai sebuah hasil kebenaran yang sah.57
Dengan begitu Popper dianggap berhasil memberikan
pemecahan bagi masalah induksi. Dengan itu pula, Popper serentak
merubah seluruh pandangan tradisional atau The
Received View yang dipegang oleh
Lingkaran Wina. Bila cara kerja ilmu pengetahuan tradisional
didasarkan pada prinsip verifikasi, maka dasar yang diajukan Popper
adalah prinsip falsifiabilitas, suatu cita-cita yang sebenarnya
diimpikan oleh para ilmuwan tradisional yakni mendasarkan cara kerja
ilmu-ilmu empiris pada logika deduktif yang ketat.
Namun menurut kaum falsifikasionisme sofistikit,
masalah keutamaan falsifiabililtas belum cukup untuk menjajaki
kebenaran suatu teori, sebab masih ada kondisi lain yang diperlukan
oleh ilmu untuk dapat berkembang lebih maju. Pandangan ini lebih
menekankan pentingnya manfaat relatif teori-teori yang bersaing
daripada manfaat suatu teori tunggal.
Pertanyaan-pertanyaan tentang teori seperti:
“Apakah ia falsifiable?”
“Bagaimana tingkat falsifiabilitasnya?” dan “Sudahkah ia
difalsifiable?”
dalam penilaian mereka kini lebih layak diganti dengan, “Apakah
teori yang baru ini memiliki daya saing untuk menggantikan teori yang
ditantangnya?”. Jadi disini berlaku pragmatisme dari suatu teori
ilmiah yang merupakan racun ampuh terhadap paham determinisme yang
bersifat statis dan yang sebelumnya tidak dibicarakan oleh Popper.
Sedangkan pendapat Popper tentang berguru pada
sejarah ilmu-ilmu juga mengintroduksikan zaman filsafat ilmu
pengetahuan baru. Popper menegaskan bahwa cara kerja (berdasarkan
prinsip falsifiabilitas) itu bisa dilihat secara nyata dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan sejarah ilmu-ilmu. Selanjutnya,
dikatakan bahwa tidak hanya hipotesa melainkan juga hukum dan teori
yang kokoh dalam proses falsifikasi lalu ditinggalkan.58
Dari situ Popper meyakini tidak ada ungkapan, hukum dan teori yang
definitif dan baku. Semua pengetahuan manusia sementara sifatnya,
bisa difalsifikasi. Beerling59
juga berpendapat bahwa semua hasil ilmu itu tidak sempurna, dapat
ditambah dan diperbaiki. Jika tidak demikian, maka ilmu pengetahuan
justru akan merosot menjadi ideologi tertutup dari segala kritik dan
pembaruan.
Dalam kaitannya dengan hal inilah, maka kemudian
muncul paham falsifikasionisme yang memandang ilmu sebagai suatu
perangkat hipotesis yang dikemukakan lewat proses mencoba-coba (trial
and error) dengan tujuan melukiskan
secara akurat gejala suatu fenomena dunia atau alam semesta. Jadi
apabila suatu hipotesis akan dijadikan bagian dari bangunan struktur
ilmu, maka ia harus falsifiable
(dapat dinyatakan sebagai benar atau salah).
Mengikuti cara berpikir Popper, kita seharusnya memecahkan setiap
persoalan yang menarik melalui dugaan yang berani melawan (dan
terutama) apabila tidak lama kemudian ternyata salah daripada
mengulang suatu rangkaian kebenaran yang tidak relevan lagi dengan
konteks zamannya. Kita mesti belajar dari kesalahan-kesalahan kita
terdahulu, dan untuk selanjutnya setelah mengetahui bahwa dugaan kita
salah, maka lalu kita akan belajar banyak tentang model kebenaran
yang lain.
Dalam perkembangan ilmu, falsifikasi menjadi sandaran penting, sebab
penarikan kesimpulan teori-teori universal dari keterangan observasi
tidak mungkin menemukan jalan kebenaran yang diharapkan. Tetapi
sebaliknya, membuat deduksi tentang ketidakbenaran suatu teori lewat
proses falsifikasi mungkin saja ditempuh, sebab pada dasarnya ilmu
memang berkembang maju melalui berbagai percobaan dan kesalahan.
Paham falsifikasionisme ini dapat dipakai sebagai landasan berpikir
pragmatis tanpa selalu menganggap semua teori ilmiah sudah benar
secara ilmiah dalam perjalanan ilmu.
Kesalahan kita selama ini, sebagaimana yang
diutarakan oleh Huston Smith adalah mengira sains dapat memberikan
satu pandangan utuh tentang dunia seisinya. Tapi sayangnya sains cuma
mampu memperlihatkan kepada kita serpihan-serpihan dunia yang
bersifat fisikal, bisa dikalkulasi dan diuji lewat pengamatan
fakta-fakta empiris semata. Potongan-potongan dunia itu tidak dapat
divisualisasikan hanya dengan indera reseptor manusia yang memiliki
standar sensibilitas terbatas. Tak heran jika menjelang wafatnya,
Richard Feynman berujar kepada murid-muridnya, “Jangan pernah
menanyakan bagaimana cara kerja alam semesta, karena pertanyaan
seperti itu akan menyeret kalian ke dalam sebuah lubang, dan tak
seorang saintis pun bisa keluar darinya dengan selamat. Ketahuilah,
tak ada manusia yang dapat memahami bagaimana alam bekerja”.60
Popper sendiri sebenarnya ingin menekankan tentang
pentingnya kontrol intersubyektif dan kesepakatan dalam komunitas
para peneliti sendiri sehubungan dengan kemunculan teori-teori baru
agar kemungkinan falsifikasi atas teori-teori itu tidak semata-mata
didasarkan pada koherensi logis dan linguistis belaka, melainkan juga
atas kriteria praktis dan fungsional.61
Popper juga selalu mendorong tentang perlunya
mengembangkan budaya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan
dasar-dasar pikiran yang berbau mitos untuk mengikis tradisi-tradisi
dogmatik yang selama ini hanya selalu mengagung-agungkan kebenaran
satu doktrin saja untuk selanjutnya digantikan dengan doktrin yang
lebih bersifat majemuk (pluralistik) dan masing-masing mencoba
menemukan kebenaran secara analisis kritis.62
Tuntutan falsifikasi Popper tersebut di atas tentu harus dipahami
pula berkaitan dengan pandangan filsafatnya tentang rasionalisme
kritis yang salah satu uraian pokok ajarannya menjelaskan bahwa
setiap pernyataan teoretis harus disusun sedemikian rupa sehingga
memungkinkan terbukanya peluang-peluang perbaikan lanjutan. Sebab
hanya dengan demikian daya topang dan kemungkinan perkembangan
ilmu-ilmu ikut tertunjang secara selaras dan seimbang.
Rasionalisme kritis memang tepat mengatakan bahwa rasionalitas suatu
ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari dan ditemukan
pada kekuatan nalar ilmiah saja, seperti yang dikatakan oleh
Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional itu justru
dibentuk oleh adanya sikap keterbukaan terhadap kritik dan kenyataan
empiris menuju suatu kebijakan dan strategi ilmu yang lebih terpadu
dan menyeluruh.
Berbeda dengan Kant, Popper mengajukan suatu
pandangan yang lebih historis dan dinamis mengenai ilmu yang harus
selalu memodifikasi dan memperbaiki diri. Demikian pula terhadap
pendirian empiristis dari Hume ditandaskannya tidak perlu menunggu
secara pasif berulangnya gejala untuk mencari keteraturan. Justru
kitalah yang harus berusaha secara aktif memaksakan hukum keteraturan
(regularities)
kepada alam. Sebab pada hakikatnya sifat kritis berarti bahwa kita
seperti kata Kant senantiasa siap terbuka pada semua aneka bentuk
perubahan yang kita hadapi dan pengalaman yang kita alami. Tetapi
Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh dianggap
kritis apabila kita bersedia membuang rongrongan-rongrongan yang
dipaksakan (imposed regularities)
oleh sistem makrokosmos alam semesta ini dalam sistem mentalitas
berpikir kita.63
Popper menawarkan formulasi lain dalam prinsip
epistemologi dengan sebuah keyakinan awal bahwa tidak ada sesuatu
yang tidak bisa kita refleksikan dan kita buat eksplisit. Baginya
ketidakmungkinan mengeksplisitkan asumsi-asusmi dasar adalah sebuah
mitos yang cenderung dibesar-besarkan sehingga membuat kesulitan
menjadi ketidakmungkinan. Ia memang percaya bahwa setiap saat kita
ini terpenjara oleh teori-teori, harapan-harapan,
pengalaman-pengalaman dan bahasa kita. Tetapi sebenarnya kalau saja
kita mau, kita selalu bisa keluar dari kerangka acuan dasar itu
setiap saat. Memang kita akan terperangkap dalam kerangka yang lain,
tetapi kerangka itu pasti yang lebih baik. Lalu disitu pun kita bisa
saja keluar lagi untuk kemudian merefleksikan ulang tentang kerangka
acuan dasar itu. Inti persoalannya adalah bahwa suatu diskusi kritis
dan perbandingan berbagai kerangka acuan selalu mungkin dilakukan.64
Sejalan dengan ide-ide awal yang provokatif tersebut, tampilnya
Thomas Kuhn, sebagai generasi pasca Popper, semakin memantapkan
permulaan suatu zaman baru dalam proses dialektika filsafat ilmu
kontemporer yang biasa disebut filsafat ilmu pengetahuan baru. Secara
khusus, Kuhn memperlihatkan bahwa sepanjang sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan itu pembaharuan-pembaharuan yang benar hanya terjadi
dalam beberapa fase saja, yaitu sewaktu anggapan para ahli ilmu
pengetahuan pindah dari suatu paradigma (istilah teknis Kuhn, artinya
“susunan dasar” ilmu alam pada zaman dan wilayah perkembangan
ilmu tertentu) ke paradigma yang lain tanpa adanya hubungan logis
antara keduanya.
Tokoh-tokoh yang disebut bersama Kuhn adalah
Mihael Polanyi, Paul Karl Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Polter,
Stephen Toulmin dan A. Kaplan. Mereka ini disebut sebagai generasi
filsafat ilmu pengetahuan baru karena mempunyai perhatian besar
terhadap sejarah ilmu pengetahuan dan peranan sejarah ilmu
pengetahuan bagi penyusunan filsafat ilmu pengetahuan yang lebih
mendekati kenyataan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.
Mereka itu oleh Cornelis Anthonie van Peursen65,
digolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan baru karena mereka
melihat perkembangan ilmu pengetahuan sebagai perkembangan yang
revolusioner. Oleh Dudley Shapere66,
mereka digolongkan sebagai pemikir baru yang mendasarkan pandangan
filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri.
Hal ini nampak dari cara kerja Feyerabend dalam menentang empirisme
kontemporer dan teori kuantum mutakhir dari interpretasi Kopenhagen
yang menegaskan bahwa tidak mungkin untuk menyatakan posisi dan
kecepatan sebuah elektron bersama-sama. Berdasarkan percobaan,
kemustahilan ini ditarik dari kenyataan bahwa setiap kuantitas cahaya
yang cukup untuk menangkap posisinya akan merubah kecepatannya, dan
sebaliknya, setiap kuantitas cahaya yang tidak mempengaruhi kecepatan
tidak akan memadai untuk menyatakan posisinya.
Menurut interpretasi Kopenhagen yang dipertahankan
oleh ahli fisika Werner Heisenberg (1901-1976) dengan Uncertainly
principle (Prinsip Ketidakpastian)-nya,
kemustahilan ini adalah kemustahilan prinsipiil. Alasannya, pada
tingkat sub-mikroskopik kita tidak berhak untuk memberikan suatu
sifat kepada entitas kecuali kita dapat membuktikannya secara
eksperimental. Ia mengatakan bahwa para ahli fisika tidak membangun
peralatan yang canggih untuk membantah hipotesis dan pondasi ilmu
pengetahuan yang telah ada, melainkan untuk mengembangkan dan
menguatkan praktek kegiatan ilmiahnya.
Namun sayangnya, peralatan kita—istilah
Einstein—terlalu kasar untuk mendeteksi dan memaksa
menspesifikasikan kecepatan dan arah tertentu dari partikel elektron
yang lebih kecil daripada atom. Akibatnya, kenyataan obyektif
digambarkan secara mekanis sehingga hanya menghasilkan informasi yang
terbatas dan tidak utuh. Istilah-istilah seperti massa, kecepatan,
posisi, volume, tekanan, kekuatan dan unsur-unsur semesta atomik yang
paling kecil merupakan sifat-sifat utama dari materia yang bergerak
secara bebas. Dunia nyata diasumsikan menjadi suatu sistem
partikel-partikel material yang dipahami secara geometris. Akhirnya,
Heisenberg berkesimpulan bahwa ilmuwan tidak mungkin dapat melihat
elektron dan sekaligus mengukur kecepatannya pada waktu yang
bersamaan. Apa yang kita amati bukanlah alam an
sich, tetapi alam yang tampak seperti
dalam metode penelitian, dan gerakan sub-atomik alam itu sesungguhnya
tidak bisa dipastikan atau diramalkan.
Dalam kegiatan-kegiatan bebas, kita memanipulir
benda-benda yang terdiri dari bermiliar-miliar atom, dan bukannya
atom-atom itu sendiri. Sehingga dengan alasan bahwa teori kuanta
(partikel) itu masih jauh dari kadar kepastian, dan karena kebebasan
kita juga tidak dilaksanakan pada tingkat mikroskopik, melainkan pada
tingkat makroskopik dari kuanta, maka konsep indeterminisme
Heisenberg tersebut tidak dapat berfungsi lagi. Salahlah menjadikan
kepercayaan kita akan pertanggungjawaban manusiawi itu pada
jurang-jurang kekosongan yang ditemukan oleh Heisenberg dalam
struktur deterministik gambar dunia fisik.67
Implikasi dari adanya fenomena tentang
interpretasi Kopenhagen itu ternyata membawa sains modern kepada cara
analisis yang bersifat atomistik dengan jalan memilah-milah suatu
proses ke dalam proses pencarian sebab-sebab efisiensi maupun
subyek-subyek aktual yang terlibat dalam rangkaian kegiatan
penyelidikan ilmu pengetahuan. Sekali analisis dimulai harus dikejar
dan ditelusuri sampai batas akhir, karena sains baru akan merasa tahu
“bagaimana” secara persis dari proses alami jika telah menemukan
komponen-komponen fisis dasar yang menyebabkan terjadinya hukum
kausalitas dalam proses kegiatan tersebut sampai kepada teori atomik
sebagai pusat aktivitas saintifik.
Prinsip ketidakpastian ini telah memacu fungsi
imajinasi manusia untuk memunculkan ide-ide serta penemuan-penemuan
baru yang merupakan refleksi perkembangan ilmu dari masa ke masa.
Dari sini kemudian perkembangan ilmu-ilmu modern telah mengakibatkan
penjernihan dari prasangka-prasangka metafisika dan pencocokan lebih
teliti pada data dan cara berpikir yang lebih benar.
Kalau filsafat ilmu pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 lebih difokuskan pada upaya untuk menemukan penjelasan
yang radikal tentang apa, bagaimana dan untuk apa gejala alam itu,
maka filsafat di abad modern memperlihatkan kecenderungan menggeser
landasan dan obyek telaahannya. Filsafat ilmu abad modern bersumber
pada manusia itu sendiri yang pada perkembangan berikutnya terkesan
menjadi filsafat ilmu kehidupan. Artinya, ilmu bukan lagi merupakan
hasil usaha manusia semata-mata berdasarkan pengalaman empirik yang
diperolehnya melalui pengamatan inderanya dan penelitian percobaannya
serta pembuktiannya, melainkan manusia itu sendiri sebagai makhluk
yang memiliki keistimewaan khusus, yaitu dalam hal kemampuan
berimajinasi. Oleh karena itu, filsafat ilmu abad modern tidak lagi
mengutamakan penalaran semata, tetapi bertujuan juga untuk
meningkatkan dan membuka tabir serta mendalami realitas alam yang
penuh misteri dan paradoks ini melalui perangkat dimensi kreatif ilmu
pengetahuan kontemporer.
Oleh Frederick Suppe68,
Feyerabend disebut bersama Kuhn, Toulmin, Hanson, Popper dan Bohm
sebagai pembawa pandangan alternatif (alternatives
to the Received View). Suppe secara
khusus menempatkan mereka dalam kelompok analisis Weltanschaungen,
suatu model analisis untuk menginterpretasi dunia. Anehnya, pada
posisi ini Feyerabend justru didekatkan dengan Popper. Dikatakan
bahwa filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend merupakan percobaan untuk
memperkembangkan analisis Popperian, terutama dalam penilaian
Feyerabend terhadap empirisme kontemporer yang dianut oleh para
pengikut The Received View.
Mereka digolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan
baru bukan saja karena mendasarkan pandangan filosofisnya pada
sejarah ilmu pengetahuan, melainkan juga karena mereka melihat adanya
hubungan antara sejarah ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu
pengetahuan. Misalnya, Lakatos mengatakan bahwa filsafat ilmu
pengetahuan tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah omong kosong ilmiah
belaka. Sebaliknya, sejarah filsafat tanpa sejarah ilmu pengetahuan
adalah buta.69
Namun berbeda dengan Popper, dan lebih sehaluan
dengan Thomas S. Kuhn, ia menyangkal kemungkinan adanya tentang
experimentum crucis,
yakni keadaan bahwa dengan satu falsifikasi saja bisa menghancurkan
suatu teori. Sebab berdasarkan keyakinan Lakatos, seandainya ada
gerak lawan lain yang muncul dari ranah pengalaman subyek peneliti
pasti memproduk suatu teori baru, karena fakta tanpa kerangka
teoretis tidak pernah dapat menjadi relevan secara ilmiah. Yang
terjadi dalam pembaruan suatu ilmu itu sebetulnya merupakan peralihan
dari teori yang satu ke teori yang lain. Atau lebih jelasnya lagi,
yang berlangsung sebetulnya adalah suatu program penelitian. Jika
nantinya semua ini menghasilkan teori yang lebih baik, maka ini bisa
dikatakan sebagai program penelitian progresif, tetapi kalau tidak
dinamakan degeneratif.70
Lakatos menyatakan bahwa seluruh bangunan ilmu
alam merupakan suatu kompleksitas makro yang intinya seharusnya
melawan segala usaha untuk membuktikan salah. Kompleksitas itu
terdiri atas sejumlah teori ilmiah yang menurut Popper tidak dapat
berlaku sekaligus (yaitu apabila teori yang baru masuk, maka yang
lama dianggap gugur), tetapi justru deretan teori-teori ilmiah itu
yang dimaksud Lakatos dengan program riset (research
program) yang dalam prakteknya di
lapangan tidak boleh dilaksanakan secara fragmentaris.
Sementara disisi yang lain, Feyerabend juga
berusaha melawan segala usaha untuk menemukan keteraturan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Feyerabend merasa bosan akan segala
law and order
yang ingin dicapai oleh para sarjana, khususnya Popper. Feyerabend
berpendapat bahwa manusia dewasa ini terkekang oleh semua cara kerja
yang telah diperincikan dengan teliti itu dengan hanya berlandaskan
pada teori dan hipotesis yang kurang ditopang oleh kenyataan yang
terjadi dalam masyarakat.71
Feyerabend secara tegas mengatakan bahwa antara
sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan mempunyai
keterkaitan timbal balik. Dalam Against
Method72,
Feyerabend mengatakan bahwa para ilmuwan tidak bisa melepaskan diri
dari latar belakang historis bagi hukum-hukum, hasil-hasil
eksperimen, teknik-teknik matematis, prasangka-prasangka
epistemologis dan sikap-sikap mereka terhadap akibat-akibat aneh dari
teori-teori diterimanya. Kaitan itu dilukiskan oleh Feyerabend
sebagai sebuah perkawinan yang cocok (marriage
convenience).73
Alasannya adalah bahwa analisis-analisis terhadap kejelasan,
konfirmasi dan teori perbandingan yang diberikan oleh para filsuf
berguna baik bagi ilmuwan maupun para pakar sejarah.
Dengan semboyan Against
Method yang disuarakannya secara
ekstrem, Feyerabend mendesak membuka pintu bagi bermacam-macam model
alternatif demi pembaruan suatu ilmu. Bahkan yang kini sama sekali
tidak ilmiah, atau masih disebut magis sekalipun, misalnya, dapat
berfungsi sebagai ancangan alternatif yang merangsang untuk
menggantikan metode ilmiah tradisional dan kaku, dengan maksud agar
lebih banyak bahan yang bervariasi sifatnya dapat dicakup dalam
sistem ilmiah.74
Segala upaya dekonstruksi metodologis Feyerabend dalam filsafat ilmu
modern tersebut memberikan perspektif baru tentang hakikat ilmu
pengetahuan yang sebenarnya. Pandangan-pandangan maupun kritik-kritik
tajam yang dilontarkannya merupakan sebuah reaksi nyata dalam
menyikapi kegagalan teori-teori ilmiah tradisional yang tidak dapat
dibuktikan secara konklusif (meyakinkan), dan sekaligus juga sebagai
penentangan terhadap adanya asumsi bahwa ilmu itu adalah suatu
aktivitas rasional yang beroperasi hanya berdasarkan satu atau
beberapa metode tertentu. Sebab bagi Feyerabend, ilmu tidak mempunyai
segi-segi istimewa yang dapat menyatakan dirinya lebih unggul
daripada cabang-cabang pengetahuan lain.
BAB III
PRINSIP-PRINSIP
ILMU PENGETAHUAN PAUL KARL FEYERABEND
- Apa Saja Boleh (anything goes)
Pada zaman Yunani kuno, hubungan antara kesatuan
alam semesta yang teratur (kosmos) dengan pemikiran para filsuf
berkembang menjadi teori-teori yang berbeda. Platonisme, berasumsi
bahwa kesatuan adalah nyata, sedangkan pengertian (pengamatan) awam
adalah opini sebagai duplikat yang tidak sempurna. Aristoteles
menganggap bahwa opini atau hasil pengamatan (menurut Plato) itulah
yang benar, sedangkan hasil pengetahuan rasional abstrak Plato itu
adalah mimpi yang tidak berguna. Teori lain (para Sophis) menganggap
obyek natural adalah sesuatu yang nyata, sementara obyek-obyek
matematika (obyek akal) merupakan pemikiran dan bayangan yang tidak
realistik dari obyek natural.
Munculnya kaum Sophis itu secara tidak langsung
memperlihatkan tentang mulai adanya krisis dalam pemikiran filsafat
Yunani. Orang-orang Yunani merasa jemu terhadap banyak ajaran yang
dikemukakan oleh para filsuf pra-Sokratik. Kebosanan ini kemudian
melahirkan Skeptisisme sebagaimana yang dianut oleh tokoh-tokoh
berpengaruh besar kaum Sophis, seperti Protagoras (± 480-411 SM.),
Georgias (± 480-380 SM.), Hippias, Prodikos dan Kritias. Akibatnya
kebenaran diragukan dan dasar ilmu pengetahuan mulai disanggah. Hal
ini jelas membawa pengaruh yang tidak baik bagi kebudayaan Yunani
zaman itu. Nilai-nilai tradisional dalam bidang agama dan moral
dirubuhkan serta kecakapan berpidato di depan umum digunakan untuk
memutarbalikkan kenyataan demi kepentingan pihak yang berbicara
saja.75
Kelompok ini menolak segala realitas serta mengingkari
proposisi-proposisi ilmiah dan empirikal. Kaum Sophis dengan
kritik-kritiknya yang bersifat menjatuhkan telah menjadikan manusia
dan segala hal yang berhubungan dengan akal budi pengetahuan sebagai
pusat perhatian utama. Anehnya, Sokrates oleh lawan-lawannya
dinamakan juga orang Sophis, meskipun ia sebetulnya adalah lawan yang
terbesar dari kaum Sophis. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena
Sokrates terus bertekad untuk mempertahankan azas-azas pokok mengenai
pengetahuan hidup yang hendak dirongrong dan dirusak oleh kaum
Sophis.
Di sisi yang lain, kaum Sophis menyangkal adanya
nilai-nilai universal mengenai prinsip baik dan buruk atau adil dan
tidak adil yang terdapat dalam suatu tatanan masyarakat. Sebaliknya,
Sokrates membenarkan bahwa nilai yang berkembang dalam masyarakat
memang tidak dapat tahan terhadap kritik. Tetapi ia juga merasa bahwa
nilai-nilai yang ada itu pasti ada yang bergerak menuju kepada
tercapainya suatu norma yang bersifat mutlak, absolut dan abadi. Ia
membela yang benar dan baik sebagai nilai-nilai obyektif yang harus
diterima dan dijunjung tinggi oleh semua manusia. Ia sadar bahwa
mengenai satu hal ia lebih tahu daripada kebanyakan orang, sehingga
tanpa ragu-ragu ia pun berujar, “Saya tidak tahu apa-apa, tetapi
saya juga tidak mengira mengetahui sesuatu”. Semboyan Sokrates yang
kemudian lebih populer dengan ungkapan “Gnothi
Seauton” (Kenalilah dirimu) ini
menyiratkan bahwa ia mencintai kebijaksanaan dan bukan untuk
menguasainya.76
Kaum Sophis membantah adanya norma-norma moral-etis yang berlaku
terus-menerus. Kesalahan mereka adalah bahwa ukuran dari nilai
kebenaran yang mereka ajukan itu hanya sebatas pengamatan yang nampak
dari bagian permukaan luarnya saja. Padahal menurut Sokrates,
kesadaran akan adanya hakikat yang mutlak itu justru berada dalam
jiwa manusia yang selalu berpikir serta berusaha mencari dan
menyelidiki problem mendasar dari filsafat, yakni tentang ‘Ada’.
Namun begitu, harus diakui pula bahwa aliran
Sophis mempunyai pengaruh yang positif pada kebudayaan Yunani. Aliran
Sophis inilah yang pada akhirnya menimbulkan revolusi intelektual di
Yunani. Kaum Sophis menciptakan gaya bahasa baru yang sangat
mempengaruhi para sejarawan dan penulis drama Yunani. Kaum Sophis
juga menempatkan manusia sebagai obyek pemikiran filsafat dan
meletakkan dasar bagi pendidikan untuk para pemuda secara sistematis.
Dan yang paling penting adalah mereka menyiapkan kelahiran suatu
genre
pemikiran filsafat baru yang direalisasikan oleh tiga mahaguru filsuf
terkemuka Yunani Kuno, yakni Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Pemikiran Yunani sendiri ditandai oleh
ketergantungan pada akal sehat (common
sense) manusia (human
reason) dalam memecahkan berbagai macam
persoalan. Setiap persoalan digagas atau dirancang dalam satu sistem
kehidupan yang dialogis dan kritis, sehingga peranan akal sehat dan
logika diakui sangat penting.
Sejak filsuf Yunani Kuno berusaha meruntuhkan
mitos dengan mengedepankan logos, yang berusaha untuk mencari dasar
realitas (arche)
dalam berbagai unsur kosmos atau alam raya, pemikiran manusia
seolah-olah mememukan eksistensinya kembali. Implikasi filosofisnya,
berbagai pergolakan dan sekaligus pembongkaran atas pemikiran manusia
pun kemudian bermunculan sebagai suatu respons positif terhadap
berbagai usaha yang dilakukan oleh para filsuf Yunani Kuno tersebut,
sehingga mampu melahirkan sejumlah perubahan mendasar dalam cara
berpikir manusia atas dunia beserta karakteristiknya.
Dominasi kosmosentris yang menjadi sifat dasar
Yunani Kuno, misalnya, disingkirkan oleh pandangan teosentris Abad
Pertengahan melalui suatu pemahaman, bahwa semua realitas yang
terjadi dalam fenomena alam semesta ini dilihat dari segi kehendak
Tuhan sebagai prima causa
yang menggerakkan dan mengendalikan segala kejadian yang ada.
Implikasi teologisnya, yang memegang peran pada Abad Pertengahan ini
adalah dogmatisme gerejani dengan beragam tafsir keagamaannya yang
meminggirkan peran akal dalam menjelaskan dunia dengan berbagai
permasalahannya. Inilah sebenarnya awal dari kesalahan persepsi dalam
perjalanan sejarah ilmu pengetahuan berikutnya yang seringkali
menempatkan ilmu pengetahuan seakan-akan telah menjadi sedemikian
matematis, abstrak dan teknis, sehingga setiapkali terjalin hubungan
dengan akal sehat, pada saat itu juga terjadi perpecahan. Dogmatisme
tersebut telah cukup untuk meluluhlantakan bermacam nilai humanisme,
karena manusia dianggap tidak mempunyai peran apapun di atas dunia,
kecuali hanya sebagai viator mundi
(sekedar penziarah di muka bumi).77
Meskipun banyak pihak yang menilai bahwa Abad
Pertengahan sebagai masa kebodohan dan kegelapan dalam sejarah dunia
filsafat, namun begitu kemunculannya telah berusaha mewariskan suatu
kebudayaan baru dengan ciri-cirinya yang khas. Kebudayaan modern
sendiri tidak dapat melepaskan diri dari kebudayaan Abad Pertengahan,
dan penafsiran-penafsiran filosofis yang terdapat dalam filsafat
modern pun tidak mungkin ada dan berkembang tanpa berkiblat kepada
konsep awal filsafat skolastik. Sebab pada awal kemunculannya,
pemahaman Filsafat Skolastik (filsafat yang diajarkan di
sekolah-sekolah)—yang pada Abad Pertengahan terkenal dengan nama
Filsafat Eropa—tentang definisi, kategori dan analogi yang
didasarkan pada ketelitian, obyektivitas dan penguraian logis, memang
ditujukan untuk menumbuhkan dan menjelaskan alam pikiran Eropa yang
terjadi pada saat itu.78
Selanjutnya pada zaman Renaissance,
pendulum epsitemologis kembali pada empirisme, walaupun para ilmuwan
dan filsuf Aristotelian berupaya keras bersama tokoh gereja mengecam
bahwa pandangan Copernicus tidak rasional, tetapi Galileo, Giordano
Bruno, Kepler dan Newton justru mendukungnya. Nikolaus Copernicus
(1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei
(1564-1642)—barangkali—menjadi orang pertama yang berusaha untuk
memberikan cara pandang yang relatif baru bagi perkembangan sains,
terutama dengan teori heliosentrisnya yang menggugurkan paham
geosentris tentang pusat tata surya.
Bruno, misalnya, memahami alam semesta ini sebagai
sesuatu yang tidak terbatas dan tidak menentu serta tidak terhitung
jumlahnya dalam ruang dan waktu yang bergerak berdasarkan hukum-hukum
yang sama. Sedangkan Kepler menolak ajaran gerakan alami, dan
mengajukan prinsip kelambanan, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa
sebuah benda cenderung untuk diam atau bergerak di tempat ia berada,
kecuali apabila ia dipengaruhi oleh suatu benda yang terdapat di
sekitarnya. Kepler mengajarkan tentang tenaga mekanis yang
menghasilkan perubahan-perubahan kuantitatif.79
Secara historis, Renaissance
itu sendiri adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman saat
manusia merasa diri dan alam pikirannya telah dilahirkan kembali
dalam keadaan bebas dan beradab berdasarkan logika serta otoritas
yang utuh sebagai subyek yang berpikir, yang sempat diberangus oleh
dominasi otoritas gerejani Abad Pertengahan. Manusia kembali kepada
sumber yang murni bagi pengetahuan dan juga keindahan.80
Manusia—pada abad ini—dianggap telah menemukan
kembali subyektivitasnya yang menjadi titik acuan pengertian
realitas. Subyek bukan saja mempengaruhi realitas, bahkan pada
tataran tertentu dengan penuh kepercayaan diri dan kesadaran penuh
terhadap otonomi dan kebebasan alamiahnya untuk berpikir dan
bertindak berdasarkan kemampuannya tersebut, subyek juga dapat
menciptakan realitas itu sendiri. Dalam terminologi Hegel
(1770-1832)81
manusia bukan lagi dipahami sebagai substansi, melainkan subyek yang
mempunyai pusat kesadaran kritis untuk selalu membenturkan diri
terhadap realitas dan dunia.
Modernitas sebagai produk dari Filsafat
Pencerahan, menurut Hegel melibatkan sang subyek dalam proses
dialektik pembaharuan secara konstan dunia realitas, disebabkan
ketidakpercayaan pada spirit dan hukum alam. Dalam penciptaan dunia
obyek-obyek dan dalam pencarian nilai-nilai, subyek selalu terlibat
dalam proses bergerak ke depan—subyek selalu mengacu pada
nilai-nilai Kebenaran Ideal, sementara Kebenaran Ideal itu sendiri
juga selalu dalam proses ‘menjadi’. Perubahan yang dihasilkan
dari proses bergerak ke depan dan proses ‘menjadi’ inilah yang
oleh subyek modern itu sendiri dinilai sebagai kemajuan.82
Dengan pola pemikiran yang demikian itu, maka
pengetahuan dianggap tidak lagi berasal dari Kitab Suci atau dogma
Gereja, dan juga bukan berasal dari kekuasaan feodal, melainkan dari
diri manusia sendiri83,
yaitu melalui rasio (rasionalism)
dan pengalaman (empirism).
Rasionalisme dan empirisme inilah yang kemudian menjadi arus utama
filsafat yang paling dominan dalam perkembangan pemikiran manusia
abad Renaissance
dan dilanjutkan serta mencapai puncaknya pada abad ke-17 yang dikenal
dengan Abad Pencerahan (Aufklärung).
Tradisi khas dari filsafat abad ini terletak pada mainstream
utamanya dalam menempatkan akal atau rasio dan pengalaman manusia
sebagai sumber tertinggi untuk mencapai kebenaran.
Filsafat Pencerahan merupakan suatu ideologi yang mengiringi
perkembangan tingkat borjuasi di Eropa dan sekaligus kemunduran bagi
simbol budaya feodalisme. Jadi filsafat dituntut harus kembali
berpatokan pada dua nilai utama yang dianut dalam masyarakat: hal
yang berguna dan kesejahteraan manusia. Yang ditentang oleh aliran
filsafat ini adalah suatu hierarki atas dasar wahyu Tuhan dan
mendukung ideologi dari pluralisme politis dan religius. Hal itu
disebabkan oleh adanya pengertian baru bahwa dengan akal dan metode
ilmiah yang dimilikinya, manusia dianggap sanggup mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia ini.
Disamping itu, Filsafat Pencerahan juga mengusung suatu perspektif
epistemologi baru dengan menempatkan ilmu pengetahuan sebagai urusan
kolektif masyarakat yang tidak mempunyai batas-batas tertentu selain
daripada pengamatan seluas dunia nyata yang selalu menampakkan diri
sebagai realitas empirik. Filsafat Pencerahan adalah suatu bentuk
rasionalisme empiris yang berusaha menyangkal pendapat seperti yang
sering diutarakan oleh banyak pihak bahwa Filsafat Pencerahan hanya
terdiri dari sekumpulan fakta-fakta kecil yang tidak mempunyai
kesatuan dan corak yang khusus.
Sebab dalam Filsafat Pencerahan itu terdapat dua
aras pemikiran penting: orang menciptakan ilmu nyata (positif)
tentang corak jiwa manusia (ilmu jiwa rasional) dengan mempelajari
daya psikis, terutama bahasa. Selain itu, metode eksperimental dalam
ilmu alam dan kimia menjadi metode utama yang sangat dihargai dan
digunakan secara silih berganti serta saling melengkapi satu sama
lain. Dua azas itu memungkinkan kita mengerti bahwa terdapat suatu
sejarah akal manusia yang universal sejajar dengan universalitas dari
pengamatan dan pengalaman.84
Semboyan ‘sapere
aude’; beranilah berpikir memberikan
suatu spirit baru bagi cita-cita kemanusiaan. Voltaire85
menyebut Abad Pencerahan sebagai “Zaman Akal’, karena manusia
telah merasa bebas, merdeka untuk menginterpretasikan setiap kejadian
yang ada secara berbeda atau bahkan baru sama sekali tanpa memerlukan
lagi intervensi tiap kuasa yang datang dari luar kemampuan dirinya.
Sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa paruh Abad Renaissance
dan Abad Pencerahan sendiri memang telah dipenuhi dengan berbagai
revolusi ilmiah yang sangat mengagumkan lewat berbagai pemikiran dan
penemuan manusia secara spektakuler dan monumental. Tokoh-tokoh
pembaharu dan pemikir seperti Galileo Galilei, Francis Bacon dan pada
abad berikutnya Rene Descartes dan Isaac Newton telah berhasil
memperkenalkan metode matematik dan metode eksperimental untuk
mempelajari alam. Dengan demikian, maka pengertian filsafat alam
mulai memperoleh arti khusus sebagai penelaahan yang sistematis
terhadap alam dengan menggunakan metode-metode yang diperkenalkan
oleh para pembaharu dari zaman Renaissance
dan awal abad ke-17.86
Perkembangan ilmu pengetahuan dari yang
semata-mata bersifat rasional-empiris menuju ilmu pengetahuan yang
bersifat rasional-eksperimental ini telah mengakibatkan ditemukannya
kegunaan praktis ilmu pengetahuan dengan berbagai
kemungkinan-kemungkinan dan impuls-impuls baru. Dimensi-dimensi
kehidupan sehari-hari telah pula mengalami perubahan drastis dengan
cara dan teknik yang tidak disangka sebelumnya.87
Galileo Galilei mengawali penjelasannya tentang
suatu perkembangan baru sains ketika ia membuat suatu aliansi
(pengggabungan) antara matematika dengan observasi eksperimen. Alam
hendaknya diselidiki dengan memakai pengertian matematika, setiap
kenyataan pasti bersifat kualitatif dan dapat diukur. Pada sisi lain,
penemuan teleskop dari Galileo Galilei semakin memperkuat kebenaran
teori heliosentrisnya Copernicus; bahwa bukan bumi sebagai pusat
gerakan dari tata surya, melainkan mataharilah pusatnya.
Dengan teropong jarak jauhnya, Galileo memastikan
bahwa planet-planet tidaklah bercahaya sendiri, melainkan memantulkan
cahaya matahari seperti halnya bulan. Lewat pengamatan astronomis itu
pula, Galileo sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Jupiter merupakan
model miniatur dari prinsip heliosentris. Galileo juga meletakkan
dasar hukum-hukum yang menghubungkan kecepatan, percepatan dan jarak
yang ditempuh dalam jangka waktu tertentu, sehingga dengan demikian
ia juga telah berhasil menciptakan ilmu pengetahuan kinetika
(ilmu tentang gerak) yang bersifat linear-lurus.88
Apa yang diintrodusir dan diwariskan oleh teori
heliosentris ini adalah babak baru bagi kebenaran logis rasionalisme
dan empirisme yang meruntuhkan kebenaran dogmatisme agama saat itu.
Berbagai pendekatan dan juga penemuan sains oleh para filsuf dan
ilmuwan abad ini, seperti Francis Bacon (1561-1626) dengan metode
induktif sebagai landasan empirismenya, Galileo Galilei dengan
pengembangan prinsip heliosentrisnya Copernicus, Charles Darwin
dengan teori evolusinya, dan sebagainya, seolah telah menjadi awal
bagi tersingkirnya doktrin keagamaan.
Melalui penemuan inilah Galileo kemudian berusaha
memberikan keyakinan bahwa kebenaran pengetahuan terletak pada
persoalan yang obyektif, atas dasar observasi dan hitungan matematis.
Alam bagi Galileo merupakan satu-satunya sumber pengetahuan ilmiah
sehingga ia memposisikan antara alam sebagai sumber pengetahuan
ilmiah dengan Kitab Suci sebagai pengetahuan teologi dalam derajat
yang sama. Tragisnya, ahli astronomi dan fisika Italia ini pada tahun
1633 justru dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Gereja Roma di bawah
kekuasan Paus Urbanus VIII, karena dituduh telah menyebarkan ajaran
heliosentrisme dari Copernicus, seorang pastor yang meninggal pada
tahun 1543.
Pendapat dan perjuangan yang telah dirintis oleh
Galileo itu kemudian disempurnakan secara sistematis oleh Isaac
Newton (1642-1727) yang menjelaskan bahwa alam sebagai mesin besar
yang berjalan sesuai dengan hukum gerakan dan segenap proses yang
terjadi di dalamnya ditentukan oleh massa dan posisi yang dimiliki
oleh berbagai partikel materi yang terdapat di dalamnya. Prinsip
mekanika tentang gerak alam ini berimplikasi logis bahwa dunia
diciptakan seperti sebuah mesin dengan hukum mekanikanya, dan Tuhan
yang semula diyakini begitu intim dengan manusia mulai dicurigai
sebagai remote control
yang jauh letaknya dari dunia nyata.
Newton melihat bahwa planet-planet tidak berjalan
lurus, tetapi berputar-putar. Fenomena ini dalam pandangan Newton
tidak mungkin terjadi seandainya tidak ada kekuatan gravitasi. Dari
gejala inilah Newton kemudian memperoleh hukum gravitasi yang
menetapkan bahwa planet-planet tersebut tunduk pada kekuatan sentral,
yaitu gravitasi. Newton menyatakan bahwa semua benda langit saling
tarik menarik dengan gaya yang berbanding lurus dengan massanya serta
berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Prinsip yang sederhana
ini telah mampu menerangkan berbagai garis orbit yang sangat kompleks
bagi berbagai planet di sekeliling matahari. Newton berpendapat bahwa
suatu planet bergerak mengitari matahari karena adanya gaya gravitasi
yang keluar dari matahari.89
Sementara itu, jauh sebelum Isaac Newton, Francis
Bacon sebagai peletak dasar Abad Renaissance
merupakan tokoh yang mempertajam empirisme dengan mendasarkan semua
pengetahuan dan sains atas dasar pengalaman. Bacon menerangkan
prinsip empirisme bahwa untuk menyusun ilmu pengetahuan yang
diperlukan adalah pengumpulan fakta pengalaman sebanyak mungkin yang
kemudian dianalisis mengenai kesamaan yang terdapat diantara berbagai
fakta tersebut. Melalui metode empirismenya pula, Bacon mempercayai
bahwa apa yang akan datang dapat diramalkan kejadiannya atas penemuan
yang lampau. Berbagai prinsip ini pulalah yang kemudian mempengaruhi
dan dijabarkan oleh Newton dengan teori gravitasi universalnya
sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas.
Dengan demikian sesungguhnya dapat dikatakan bahwa
Abad Renaissance
dan Pencerahan merupakan dua mata rantai perkembangan ilmu
pengetahuan yang menggunakan dua arus besar dalam tradisi filsafat,
yaitu rasionalism
dan empirism.
Menurut Karen Amstrong90,
tradisi tersebut—dalam banyak hal—secara alamiah mempengaruhi
cara manusia mempersepsi diri dan mendorong mereka untuk meninjau
kembali hubungan dengan Realitas Tertinggi yang biasa disebut Tuhan.
Secara khusus, doktrin rasional membagi pengetahuan menjadi dua
macam. Pertama adalah pengetahuan intuitif, artinya akal mesti
mengetahui dan mengakui tentang kebenaran suatu proposisi tertentu
tanpa harus mencari dalil pembuktiannya, misalnya: “tidak mungkin
terjadi suatu peristiwa tanpa suatu sebab”, “keseluruhan lebih
besar daripada sebagian”, dan “satu adalah separuh dua”. Yang
kedua adalah pengetahuan informasi dan teoretis. Maksudnya adalah
bahwa akal tidak dapat mempercayai dan menilai kebenaran suatu
proposisi, kecuali dengan merujuk kepada proses pemikiran dan bantuan
informasi-informasi pengetahuan primer lain, seperti: “bumi itu
bulat”, “gerak adalah sebab terjadinya panas”, “gerak mundur
tak terbatas adalah mustahil”, “benda-benda logam itu memuai oleh
panas”.
Berdasarkan pandangan rasionalisme, kriteria pertama bagi benar
salahnya setiap gagasan manusia adalah pengetahuan rasional yang
bersifat pasti dan mengandung prinsip nonkontradiksi, sehingga
cakupan wilayah pengetahuan manusia menjadi lebih luas daripada
batas-batas indera dan eksperimen. Ia memberikan potensi-potensi
kepada pikiran manusia untuk dapat menjangkau dan merealisasikan
realitas-realitas dan proposisi-proposisi di balik materi, bahkan
sampai kepada aspek-aspek metafisis sekalipun. Perjalanan pikiran
manusia, menurut kaum rasionalis berpijak dari proposisi umum menuju
ke proposisi yang lebih khusus, dari yang universal ke yang
partikular. Bahwa materi itu memiliki asal, kita ketahui dari “bahwa
setiap yang berubah pasti memiliki asal”. Jadi pikiran itu bergerak
dari proposisi universal, “setiap yang berubah pasti memiliki asal”
ke proposisi partikular “materi itu memiliki asal”. Akhirnya
mesti diingat bahwa doktrin rasional tidak bersikap masa bodoh
terhadap peran eksperimen dalam penarikan kesimpulan dan pencarian
hakikat pengetahuan. Tetapi doktrin rasional yakin bahwa eksperimen
saja tidak mungkin menjadi sumber azasi dan kriteria primer bagi
pengetahuan.
Sebaliknya, paham empirisme menunjukkan bahwa pengalaman adalah
sumber pertama semua pengetahuan manusia. Demikian juga halnya dengan
masalah penalaran pikiran yang menurut mereka selalu berangkat dari
yang khusus ke yang umum, yaitu dari batas-batas eksperimen yang
sempit ke hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang universal; selalu
beranjak dari realitas khusus empirikal ke realitas yang mutlak
berdasarkan hasil pengalaman. Karena itu, doktrin empirisme dalam
mencari dalil berpikir bersandar pada metode induksi, sebab ia
merupakan metode yang bergerak dari yang partikular ke yang
universal. Aliran pemikiran ini menolak prinsip logika silogistik
yang berpatokan dari yang umum ke yang khusus, karena dalam
pembuktian dan kesimpulan akhirnya ternyata tidak menghasilkan
pengetahuan baru yang tidak terkandung dalam rumus premis-premis
silogisme tersebut.
Rasionalisme dan empirisme yang begitu mendominasi
alam pikir Abad Renaissance
itu memunculkan persoalan baru berupa ketegangan antara agama dan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai penemuan di bidang sains dan
teknologi—dalam kenyataannya—memberikan kontribusi yang cukup
besar bagi tumbangnya otoritas keagamaan dan mulai mengguncang paham
keyakinan keagamaan manusia, dan juga tentang hakikat serta peranan
Tuhan. Ukuran rasional dan empirik telah menyempitkan kesadaran
kebenaran agama dan pembuktian adanya Tuhan sehingga dianggap
memberikan ketidakpastian dan kebingungan.
Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti
Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo
sum-nya, Baruch Spinoza (1632-1677)
dengan ajarannya tentang satu substansi
yaitu Tuhan yang dapat ditangkap oleh akal atau rasio manusia, karena
dalam dunia tidak ada hal yang bersifat rahasia dan akal manusia
telah mencakup semuanya. Ia beranggapan bahwa segala kejadian di
dunia ini berjalan menurut suatu proses yang logis.
Sedangkan empirisme yang bermula dari Inggris
diberikan jalan pembukanya oleh Francis Bacon, bahwa pengalaman
merupakan sumber kebenaran yang terpercaya, yang dilanjutkan dan
dirubah secara radikal oleh empirisme Abad Pencerahan seperti John
Locke (1632-1704) dengan teori tabularasa-nya,
bahwa pada mulanya rasio harus dianggap as
a white paper dan seluruh isinya
berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah (sensation)
dan pengalaman batiniah (reflexion).91
Tokoh empirisme yang paling radikal, yaitu David Hume (1711-1776)
juga menggunakan prinsip empiristis, terutama dalam hal penolakannya
terhadap substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi,
sebab yang dialami hanya merupakan kesan saja tentang beberapa ciri
yang selalu terdapat bersama-sama. Hume berpendirian bahwa gambaran
dan pengertian kita terhadap hubungan logis antara
peristiwa-peristiwa yang terjadi secara kausal-mekanis hanya
merupakan salinan yang sesuai dengan aslinya. Berbagai cita rasa
hasil dari kombinasi penangkapan, pengalaman dan kesadaran itu adalah
suatu perasaan atau naluri-pembawaan yang berada di luar kekuasaan
akal.92
Baginya, tidak mungkin mengkonsepsikan atau
menciptakan suatu gagasan tentang realitas jika gagasan itu ternyata
berbeda dengan konsep-konsep dan reaksi-reaksi itu sendiri. Kepastian
tentang nilai obyektif pengetahuan manusia merupakan masalah yang
tidak bisa dijangkau oleh nalar. Oleh karena itu, lanjut Hume,
sebaiknya kita pusatkan saja perhatian kita ke alam luar sesuka kita,
dan biarkan imajinasi kita menjelajah langit-langit atau ujung-ujung
alam semesta. Sebab kita selamanya tidak akan dapat melampaui hal-hal
di luar batas kemampauan rasio kita sendiri. Kita juga mustahil mampu
menjawab persoalan dasar filsafat yang dipertentangkan oleh kaum
idealis dan kaum realis. Idealisme sendiri berpendapat bahwa realitas
itu ada dalam kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara kaum
realisme menduga bahwa realitas itu ada secara obyektif dan mandiri.93
Keberhasilan pembuktian ilmiah melalui
rasionalisme dan empirisme telah menggeser kedudukan otoritas
pengetahuan berdasarkan kebenaran wahyu yang dianggap abstrak. Apa
yang diterima sebagai kebenaran dogma keagamaan, pada abad ini
benar-benar mulai dipertanyakan dan ditinjau kembali. Penemuan sains
dan teknologi pada masyarakat Barat tersebut membawa sinyal otonomi
baru bahwa manusia sebagai penanggungjawab atas urusan mereka
sendiri94,
termasuk agama dan Tuhan. Kepercayaan diri yang baru terhadap
kekuatan alamiah manusia ini mengandung arti bahwa manusia mulai
yakin bahwa mereka mampu mencapai pencerahan lewat usaha mereka
sendiri. Mereka sudah tidak lagi merasa perlu untuk bersandar pada
warisan tradisi, institusi, sekelompok elit,—bahkan wahyu dari
Tuhan—untuk menemukan hakikat kebenaran.95
Kekuatan alamiah yang dimiliki manusia dianggap telah cukup
representatif untuk menemukan semua jenis kebenaran, dan sains yang
telah ditemukan oleh para ilmuwan merupakan bukti empiriknya.
Paradigma sains yang demikian telah cukup menjadi
pertanda konkrit betapa Abad Renaissance
yang kemudian dilanjutkan oleh Abad Pencerahan telah menimbulkan
ketegangan kreatif antara agama dengan filsafat. Filsafat sering
dituduh sekularistik, ateis dan anarkis karena suka menyobek
selubung-selubung ideologis berbagai kepentingan duniawi, termasuk
yang tersembunyi dalam pakaian yang alim sekalipun. Pada Abad
Renaissance,
otoritas agama benar-benar telah ditinggalkan, sementara pada Abad
Pencerahan, otoritas agama dan peranan Tuhan dipertanyakan kembali.
Spirit ilmiah baru, terutama di Abad Pencerahan
yang bersifat empiris, semata-mata berdasarkan observasi dan
eksperimen pada akhirnya berimplikasi logis bahwa fenomena dan
problem ketuhanan pun harus diletakkan pada domain
empiris. Melalui metode empirismenya, para ilmuwan dan filsuf
melakukan verifikasi atas realitas obyektif Tuhan dengan cara yang
sama seperti ketika mereka membuktikan fenomena lainnya yang bisa
didemonstrasikan.
Permasalahan di atas lantas diangkat oleh
Feyerabend untuk menunjukkan bahwa perdebatan seputar rasioalisme dan
empirisme telah berlangsung sepanjang pemikiran filsafat itu muncul.
Feyerabend ingin menolak kedua posisi yang ekstrem itu, walaupun
dalam argumen-argumennya yang menonjol adalah berupa kritik terhadap
empirisme dan positivisme ilmiah. Tetapi ia juga cukup banyak
menyodorkan bukti bahwa rasionalitas itu sendiri bukanlah suatu yang
mapan. Misalnya ia menunjukkan bahwa teori Pythagoras (± 580-500
SM.) tentang bumi itu bulat dan berputar tidak rasional menurut
Hipparchus dan Ptolemeus, tetapi kemudian rasional lagi pada masa
Copernicus.
Dalam pandangan Ptolemeus, bumi menjadi pusat dari
bulan, matahari dan lima bintang yang telah dikenal luas pada saat
itu (Jupiter, Mars, Mercury, Saturnus dan Venus) serta semua bintang
lainnya di langit. Peredaran bintang-bintang yang tampak bergerak
mundur dari bumi dijelaskan oleh Ptolemeus dengan teori Epicycle.
Dalam teori ini, setiap planet bergerak pada suatu lingkaran yang
titik pusatnya bergerak pada suatu lingkaran lain yang pusatnya juga
adalah bumi. Teorinya tentang bumi sebagai pusat dari peredaran
bintang-bintang termasuk matahari sangat berpengaruh besar sampai
pada Abad Pertengahan dan Masa Pencerahan.
Tesis geosentrisme (matahari beredar mengelilingi bumi dan planet)
Ptolemeus ini kemudian berangsur-angsur mulai surut sejalan dengan
munculnya Revolusi Copernicus yang diprakarsai oleh Copernicus yang
berusaha meyakinkan semua orang bahwa sebenarnya mataharilah yang
menjadi pusat orbit bintang-bintang dan bumi sendiri mengelilingi
matahari sebagaimana halnya bintang-bintang lainnya.
Copernicus berhasil menyusun tujuh hipotesis yang
berkaitan dengan alam. Pertama,
tidak ada sentrum bagi seluruh bola-bola langit. Kedua,
bumi meskipun dipandang sebagai pusat gravitasi, tetapi bukan
merupakan sentrum kosmos. Ketiga,
bola-bola planet bergerak mengelilingi matahari sebagai sentrumnya.
Keempat,
jarak antara bumi ke matahari tidak bisa diukur melalui luas
cakrawala ruang angkasa. Kelima,
bumi setiap hari mengelilingi porosnya sendiri. Keenam,
gerakan bumi menunjukkan lebih dari satu macam. Ketujuh,
gerakan bumi memberikan pemahaman adanya gerakan benda-benda langit.96
Sehingga tidak heran jika dari berbagai rumusan metode ilmiah yang
dihasilkannya tersebut, ia kemudian dianggap oleh para ahli ilmu
pengetahuan dewasa ini sebagai peletak dasar dari Ilmu Bintang
modern.97
Walaupun di pihak yang lain, ternyata gagasan heliosentrisme (bumi
dan planet-planet beredar mengelilingi matahari) Copernicus dalam
bidang sains dan filsafat tersebut, “secara sah dianggap sesat”
jika dikontradiksikan dengan ajaran Kitab Suci (Bibel) dan pandangan
Gereja.98
Tetapi dari hasil diskusi yang membuat heboh itu, akhirnya terungkap
bahwa ilmu bumi benar dan pandangan kitab suci mengenai langit dan
masalah beredarnya matahari pada bumi tidak dapat dipertahankan lagi.
Mungkin kesalahan pihak Gereja Katolik pada waktu itu adalah mereka
memandang kitab suci sebagai sumber dan pedoman segala ilmu dalam
arti sempit dan keras. Padahal kitab suci adalah suara Tuhan yang
mengajak umat manusia menuju iman, pengharapan dan cinta kasih
sebagai nilai-nilai tertinggi.
Lalu dari semua itu siapa yang benar? Menurut
Feyerabend, itu tergantung pada jenis informasi, budaya ataupun
pemimpin budaya yang menggunakan informasi tersebut. Tentu banyak
orang dewasa ini tanpa pikir panjang akan memilih teknologi daripada
kehidupan yang harmonis dengan alam. Tetapi bagi sebuah kebudayaan
yang memusatkan perhatian manusia dan kemanusiaan pada tempat
tertinggi, akan memilih dan mendahulukan hubungan personal daripada
hubungan abstrak seperti kepandaian ataupun efisiensi yang statistik.
Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodologi, ia menolak
pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa
rasionalitas adalah asli, agung, bersifat universal, terlepas dari
subyektivitas, konteks dan historisitas. Baik rasionalisme maupun
empirisme mendukung rasionalitas yang menurutnya universal dengan
cara yang berbeda. Tetapi anggapan ini sesungguhnya tidak dapat
dibenarkan. Contoh-contoh yang dikemukakan oleh Feyerabend
membuktikan bahwa tidak ada teori yang mengandung cacat, tidak ada
teori yang sepenuhnya konsisten dengan fakta, tidak ada rasionalitas
yang tidak terkait dengan konteks. Atas dasar itu, sangat dipahami
apabila Feyerabend menolak kesatuan metode ilmu pengetahuan.
Feyerabend mengemukakan pandangannya tentang
relativisme dalam konteks ilmu pengetahuan, yang di dalamnya semua
pendekatan dan metode dianggap sah, semua cara mendapatkan
pengetahuan dianggap boleh, semua pengetahuan yang dihasilkannya
dianggap mengandung kebenaran, yang di dalamnya apapun saja
boleh—anything goes.
Sehingga di dalam penjelajahan pengetahuan tidak diperlukan metode
atau paradigma umum, yang berlaku dan menjadi acuan umum sebuah
masyarakat peneliti. Relativisme dalam ilmu pengetahuan memungkinkan
setiap orang melakukan penelitian tanpa perlu terikat pada sebuah
metode yang telah baku.99
Itulah sebenarnya penjabaran makna relativisme pengetahuan sebagai
sebuah pandangan yang meyakini bahwa nilai dan kebenaran ditentukan
oleh pandangan hidup dan kerangka berpikir setiap individu atau
masyarakat, yang di dalamnya semua hal (pandangan, nilai, keyakinan,
kebenaran, makna) mengandung arti kebenaran relatif. Artinya, tidak
ada hal yang benar secara absolut; dan sebaliknya tidak ada hal yang
salah secara absolut, semuanya mengandung porsi kebenarannya
masing-masing.
Berbagai penemuan aspek eksperimental dalam bidang ilmu pengetahuan
semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa suatu teori tidak penah dapat
bersifat definitif. Selalu mungkin bahwa eksperimen-eksperimen baru
yang menyelidiki lapisan-lapisan baru dari kenyataan atau struktur
realitas, memaksa kita untuk merevisi teori-teori yang sudah lazim
diterima.
Kaum relativis menyangkal adanya suatu standar
rasionalitas universal dan a-historis yang merupakan pedoman untuk
menilai suatu teori lebih baik daripada teori lainnya. Apa yang
dianggap paling akurat atau lebih baik mengenai teori-teori ilmiah
akan berbeda-beda dari individu atau mayarakat yang satu dengan yang
lainnya. Sebab tujuan mencari pengetahuan akan tergantung pada apa
yang penting bagi, atau apa yang dihargai oleh, seorang atau suatu
masyarakat tertentu. Misalnya, masyarakat kapitalis Barat memberikan
penghargaan yang sangat tinggi pada tujuan penguasaan materiil atas
kekayaan alam, tetapi hal itu akan memperoleh status yang rendah
dalam satu kultur dimana pengetahuan justru diharapkan dapat
memberikan kepuasaan individual. Diktum seorang filsuf Yunani Kuno,
Protagoras, “manusia adalah ukuran segala-galanya”, menunjukkan
suatu relativisme dalam hubungannya dengan individu-individu,
sedangkan ucapan Kuhn, “tidak ada standar yang lebih tinggi
daripada persetujuan masyarakat bersangkutan”, merupakan pernyataan
relativisme mengenai masyarakat. Karakterisasi kemajuan dan
spesifikasi kriteria untuk menilai jasa atau faedah suatu teori akan
selalu relatif bagi individu atau masyarakat yang
menginterpretasikannya. Bagi seorang relativis, kriteria untuk
menilai faedah teori-teori akan tergantung dari nilai-nilai atau
kepentingan yang dianut oleh suatu individu atau masyarakat. Jadi
contohnya, teori tentang pasang surut air laut berdasarkan pada gaya
tarik bulan adalah ilmu yang berguna bagi kaum Newtonian, tetapi bagi
Galileo dipandang sudah mirip dengan mistik ghaib; sementara itu
dalam masyarakat masa kini, teori Marx tentang perubahan historis
yang dipandang sebagai ilmu yang baik, oleh sementara kalangan
dianggap propaganda belaka.100
Menurut Feyerabend, tidak ada gagasan, baik yang
kuno maupun yang absurd, yang tidak tidak mampu meningkatkan
pengetahuan. Totalitas sejarah pemikiran diarsobsikan (dituangkan) ke
dalam sains dan dipergunakan untuk meningkatkan setiap teori. Begitu
pula tidak ada interferensi (campur tangan) politis yang ditolak. Ini
boleh jadi dibutuhkan untuk menghilangkan chauvinisme
sains yang menolak pemikiran lain, selain mempertahankan satus
quo. Hal tersebut dikemukakan oleh
Feyerabend sebagai berikut:
There is no idea, however ancient and absurd, that
is not capable of improving of knowledge. The whole history of
thought is absorbed into science and is used for improving every
single theory. Nor is political interference rejected. It may be
needed to overcome the chauvinism of science that resists
alternatives to the status quo.101
Perkembangan ilmu selama berabad-abad selalu
ditandai oleh cara-cara analisis dan partisipasi pengamatan terhadap
terjadinya perubahan yang bergerak secara dinamis dan drastis, dengan
terlebih dahulu diawali oleh introduksi suatu perangkat konsep atau
pola pengetahuan baru yang sebelumnya tidak ada, walaupun dalam
proses penemuannya bukan merupakan hasil yang lahir dari suatu krisis
atau konflik.
Pada awal pertumbuhannya, ilmu bercorak
positivistis (bebas dari pikiran etis), deterministis (berdasar
prinsip kausalitas), evolusionistis (kecenderungan untuk melihat
sejarah dari obyek yang diteliti) sehingga segala hal harus
dijelaskan dengan metode kuantitatif (mengukur dan menghitung),
eksperimental (merubah gejala dengan mempertahankan variabel) dengan
metode observasi dan riset.102
Pada perkembangan selanjutnya, adanya berbagai pengkajian ide, teori,
sistem atau paradigma baru sebagai titik tolak, dengan pengujian
ulang terhadap cara penyajian serta diseminasinya semakin memperjelas
fase-fase yang kemudian diterima oleh masyarakat ilmiah sebagai suatu
pertanda terjadinya perubahan yang cukup siginifikan untuk disebut
evolusi atau bahkan suatu revolusi yang mampu melahirkan transformasi
keilmuan fundamental.
Terjadinya perubahan tersebut ditandai oleh
kriteria analisis logis maupun historis seperti yang dapat kita amati
dalam penemuan Newton, Darwin, Einstein dan revolusi biologi
molekuler (yang berhubungan dengan molekul) serta perkembangan
ilmu-ilmu bumi dewasa ini. Dalam mewujudkan konsep keilmuan,
kebenaran ilmiah itu tidak dapat semata-mata didasarkan atas konsep
keilmuan yang bersifat rasional, logis, empiris, rasionalistis
kritis, ataupun konstruktivis (ilmu berasal dan berkembang karena
keseluruhan konteks, baik rasional ataupun empiris) saja, tetapi juga
merupakan suatu sistem terbuka yang dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan kehidupan manusiawi dengan seluruh aspek pembangunan
masyarakat spiritual maupun material ataupun dalam kaitan dengan
konteks ilmu itu sendiri.
Setiap evolusi ilmu selalu dimulai dengan suatu
latihan intelektual (intellectual
exercise) oleh kelompok ilmuwan
tertentu yang menumbuhkan suatu ide baru, dan kemudian berkembang
menjadi suatu pemahaman baru yang sebelumnya tidak ada ataupun tidak
diharapkan akan ada; suatu tindakan kreatif yang bersumber dari suatu
inovasi, bertolak dari masukan ilmu yang sudah ada sebagai batu
loncatan bagi penemuan dan perubahan konseptual yang signifikan. Oleh
karena itu, keterbukaan terhadap berbagai tuntutan modernisasi dan
pengembangan ilmu yang disajikan melalui berbagai kekuatan yang
datang dari luar harus diimbangi pula dengan kemampuan mengadakan
penemuan, improvisasi dan kreasi-kreasi yang terus-menerus, yang
menampilkan renungan dan dialog mengenai makna dari segenap
pengalaman hidup melalui dinamika perkembangan ilmu.103
Dalam kaitan ini, Thomas Kuhn juga menunjukkan
bahwa bahkan dalam perkembangan ilmu yang paling positivis, empiris
dan pragmatis sekalipun terdapat pula faktor-faktor lain. Dalam
pemilihan sebuah teori baru misalnya, yang terlibat bukan sekedar
rasio yang analitis, verbal dan matematis, melainkan juga cita rasa
estetis, nilai-nilai moral dan juga ikatan-ikatan sosial kelompok
yang tidak dapat dibuktikan dan diungkapkan secara eksplisit sebagai
dasar bagi terbentuknya suatu masyarakat. Semua dimensi ini bersifat
nonverbal atau simbolis, implisit serta tidak terukur secara
matematis dan empiris, tetapi menjadi faktor yang bekerja dalam
proses penemuan teori atau paradigma baru dan sekaligus mengakhiri
krisis menuju suatu tahap revolusi ilmiah.
Selaras dengan apa yang dikemukakan Kuhn tersebut,
dalam salah satu tesis pentingnya tentang pengembangan ilmu
pengetahuan, Michael Polanyi menawarkan tentang perlunya kehidupan
kreatif masyarakat ilmiah yang pada gilirannya didasarkan pada
kepercayaan akan kemungkinan terungkapnya kebenaran-kebenaran yang
hingga kini masih tersembunyi. Sebab masyarakat kita pada umumnya dan
masyarakat ilmiah pada khususnya dewasa ini, menurut Polanyi telah
mengidap suatu pandangan yang bercorak positivis. Positivisme sendiri
melihat bahwa obyektivitas dalam bidang pengetahuan manusia pada
umumnya dan pengetahuan ilmiah pada khususnya sebagai tujuan; dan
tujuan itu dapat dicapai dengan syarat bahwa fakta yang diteliti,
metode yang dipakai untuk memahami realitas serta pembuktian yang
digunakan untuk menguji kebenaran harus lepas dari personalitas
manusia.104
Premis dasar ini merupakan cikal bakal kekeliruan
tesis positivisme yang tidak hanya terletak pada sikapnya yang
menolak cita rasa estetis dan nilai-nilai moral serta ikatan-ikatan
sosial105,
karena dianggapnya sebagai realitas subyektif semata-mata, melainkan
juga pada pandangannya bahwa suatu masyarakat tidak dapat dibangun di
atas dasar-dasar yang berakar pada cita rasa estetis, nilai-nilai
moral dan ikatan-ikatan sosial itu. Situasi semacam ini oleh Polanyi
disebut dengan inversi atau pemutarbalikan estetis dan moral, suatu
kondisi di mana cita rasa estetis dan moralitas menjadi dasar
tersembunyi bagi kegiatan-kegiatan yang jelas-jelas tidak manusiawi.
Padahal cita rasa estetis dan moral merupakan sesuatu yang sensitif
dalam diri kehidupan manusia dan yang menuntut manusia untuk
menghargai keindahan, kemurahan hati dan ikatan-ikatan sosial
masyarakat. Tetapi jika cita-cita itu diganti dengan tujuan-tujuan
yang sekuler semata-mata, maka ia akan berubah menjadi
tindakan-tindakan yang koersif.
Selain itu, kekeliruan mendasar dari positivisme
yang juga ditentang keras oleh Feyerabend dapat kita telaah dari
sudut pandang epistemologi sebagai suatu cabang filsafat yang
berbicara tentang aspek-aspek pengetahuan manusia. Bagi Polanyi,
persoalan dasar epistemologi adalah bagaimana seseorang dapat
memiliki suatu pengetahuan. Penemuan yang berkesinambungan di bidang
ilmu pengetahuan merupakan masalah penting, dan oleh karena itu usaha
mencari faktor-faktor yang dapat membuahkan pengetahuan baru lebih
penting dari usaha mencari verifikasi dengan pengukuran positif
terhadap pengetahuan.106
Berbeda dengan pandangan positivisme yang melihat pengetahuan yang
tidak terungkap sebagai pengetahuan yang harus disingkirkan karena
berada di ambang kesadaran manusia, maka dalam pandangan Polanyi
jenis pengetahuan ini justru dilihat sebagai dasar dari semua
pengetahuan manusia.
Pengetahuan yang tidak terungkap atau—istilah
Polanyi, lacit knowledge—merupakan
integrasi intelektual atas unsur-unsur pengalaman personal ke dalam
kesatuan pemahaman sebagai suatu aktivitas inteligensi manusia dalam
mengartikan dan memahami realitas. Sementara pemahaman atas
keseluruhan realitas itu sendiri hanya bisa dicapai melalui proses
integrasi personal atas fakta-fakta partikularnya. Dengan begitu
positivisme bukanlah satu-satunya sistem penjelasan terhadap struktur
pengetahuan manusia.
Hal ini perlu ditegaskan kembali oleh karena
adanya kenyataan bahwa sejak awal pendekatan mekanis Galileo terhadap
alam, fisika klasik cenderung diterima tanpa sikap kritis terhadap
kategori-kategori umum yang dimuat dalam pendekatan tersebut. Fisika
klasik menganggap saintisnya sebagai saksi murni dari
peristiwa-peristiwa alami yang tidak dipengaruhi oleh subyek, dengan
mengandalkan dikotomi antara yang subyektif dan yang obyektif.
Baru setelah terjadi pergantian abad ke-20,
kemudian ahli fisika sudah mulai mengalami semacam krisis intelektual
yang diakibatkan oleh penemuan fakta-fakta eksperimental yang tidak
mereka bayangkan sebelumnya, dan yang bahkan dianggapnya mustahil
terjadi.107
Pergeseran itu setidaknya disebabkan oleh adanya tiga hal penting,
yaitu perubahan pemikiran manusia, kemajuan teknologi dan lahirnya
metode-metode ilmiah baru. Indikasinya, dalam abad ke-20 ini
berkembang tiga teori yang cukup menggelisahkan dunia ilmu
pengetahaun, yakni: (1) Teori relativitas Einstein; (2) Teori kuantum
dari Plank; dan (3) Teori elektris tentang materi.108
Lebih lanjut, imbas dari berbagai inovasi
pemikiran modern tersebut menyebabkan dunia fisika dewasa ini
mengalami apa yang disebut “krisis penjelasan”. Perkembangan baru
dalam fisika mengakibatkan perubahan pandangan dalam epistemologi,
yang dalam istilah Thomas S. Kuhn dikatakan “perkembangan fisika
abad ke-20 telah menimbulkan revolusi ilmiah yang menggulirkan
paradigma baru”. Alam dalam pandangan Newtonian yang di atasnya
prinsip positivisme ditegakkan; alam yang mekanis, deterministik,
sederhana dan dapat diketahui secara obyektif dengan observasi dan
eksperimen ilmiah, kini mulai diragukan.
Secara filosofis, implikasi dari modifikasi teori fisika terutama
dalam hal mekanika kuantum tersebut semakin menunjukkan betapa
goyahnya pondasi atau asumsi-asumsi dasar positivisme yang menuntut
ilmuwan dan filsuf merevaluasi pandangannya tentang ilmu pengetahuan.
Paling tidak kondisi itu dipicu oleh beberapa kejadian yang terdapat
dalam dunia ilmu fisika seiring dengan kemajuan-kemajuan dan
penemuan-penemuan baru yang sangat revolusioner dan di luar prediksi
semula.
Pertama, adanya
problem “prinsip ketidakpastian (Uncertainly
principle)” Heisenberg tentang
kemustahilan untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah elektron
dalam waktu yang bersamaan. Prinsip ini beranggapan bahwa dalam
keadaan yang lumrah, hukum fisika tidak akan mampu menjangkau
realitas mikrokosmos atau dunia sub-atomik. Kemudian masalah yang
Kedua,
adalah adanya paradoks terkenal tentang kodrat cahaya yang sampai
sekarang mempunyai status yang tidak jelas. Yang lazim diketahui
sampai saat ini hanyalah pendapat umum bahwa cahaya itu disebarkan
dalam bentuk gelombang. Dan permasalahan penting yang Ketiga,
adalah adanya penemuan Max Planck mengenai kenyataan bahwa atom hanya
ada dalam bentuk-bentuk energi.109
Pada tahun 1900, Plank mengemukakan teori kuantum yang menyatakan
bahwa tenaga dari sinar yang dipancarkan ataupun diserap terdiri atas
kelipatan-kelipatan bulat dari suatu takaran tertentu. Dalam hemat
Planck, cahaya dapat dilihat sebagai term partikel atau sebagai
gelombang (term of waves).
Namun tidak ada interpretasi yang secara konsisten dapat digunakan
pada keseluruhan situasi dengan selalu menetapkan hukum matematika
formal.110
Hal itulah yang digunakan Feyerabend untuk memperlihatkan bagaimana
metodologi-metodologi yang telah ada sudah tidak sejalan atau tidak
cocok lagi dengan sejarah perkembangan fisika. Ia menyangkal klaim
bahwa ada metode yang mampu menjelaskan sejarah fisika. Ia juga
menolak anggapan bahwa superioritas fisika atas bentuk-bentuk
pengetahuan lain dapat dikukuhkan dengan bantuan suatu metode ilmiah
tertentu. Pendeknya, apabila seseorang hendak memberi sumbangsih
kepada kemajuan fisika, maka ia tidak perlu terlebih dahulu mengenal
metodologi-metodologi ilmu kontemporer, tetapi ia memang perlu
mengenal tentang beberapa teori yang terdapat dalam pengetahuan
fisika. Ia menunjukkan bahwa tidaklah bijaksana jika para ilmuwan di
dalam melakukan pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan terikat oleh
hukum-hukum yang diatur dalam metodologi-metodologi ilmu.
Mengingat begitu kompleksnya kenyataan yang berkembang pesat serta
juga terkait dengan masa depan yang tidak dapat diramalkan secara
pasti dalam rangka perkembangan ilmu pengetahuan, maka tidak logis
kiranya mengharapkan metodologi dapat mendikte seorang ilmuwan.
Misalnya dalam situasi tertentu kita harus menerima teori A, menolak
teori B, atau lebih menyukai teori A daripada teori B. Hukum-hukum
seperti “terimalah teori yang mendapatkan paling banyak dukungan
induktif dari fakta-fakta yang diterima umum” dan “tolaklah teori
yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang sudah diterima umum”,
tidaklah relevan dengan episode pengembangan ilmu itu sendiri yang
dianggap sebagai fase yang paling kreatif dan progresif dalam sejarah
peradaban umat manusia.
Dalam pengertian inilah istilah “apa saja boleh”
itu berlaku. Prinsip apa saja boleh (anything
goes) secara harfiah berarti membiarkan
segala sesuatu berlangsung dan berjalan tanpa dijejali aturan-aturan
dan hukum-hukum. Bahkan prinsip ini mengimplikasikan suatu perlawanan
terhadap segala macam aturan atau hukum yang telah baku. Prinsip ini
tidak dimaksudkan sebagai metode baru, melainkan hanya sekedar upaya
agar para ilmuwan yang sudah terbiasa bekerja dengan memakai
standar-standar universal harus bersedia menerima tradisi-tradisi dan
praktek-praktek riset.111
Dengan ini Feyerabend ingin menegaskan bahwa semua metode yang paling
jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan satu-satunya hukum yang
akan hidup terus dan dapat bertahan di tengah semua situasi dan dalam
tahap perkembangan manusia adalah prinsip ini.
Sebab nyatanya, gagasan mengenai adanya keteraturan metode atau
rasionalitas teori ternyata banyak sekali menyisakan pandangan yang
naif tentang manusia dan keadaan sosialnya. Untuk itu barangsiapa
yang melihat kekayaan bahan yang disediakan oleh sejarah, tetapi
tidak sungguh-sungguh dalam menggarapnya pada gilirannya akan
mengurangi kepekaan nalurinya, dan mereka sangat membutuhkan jaminan
kejelasan dari cendekiawan, ketelitian, obyektivitas, kebenaran saja,
sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada satu pun prinsip yang dapat
dipertahankan dalam semua keadaan seperti itu ataupun dalam semua
tingkat perkembangan manusia. Inilah prinsip: apa saja boleh. Hal
tersebut dikemukakan Feyerabend sebagai berikut:
[T]he idea of a fixed method, or of a fixed theory
of rationality, rests on too naive a view of man and hissocial
surrounding. To those who look at the rich material provided by
history, and who are not intent on impoverishing it in order to
please their lower instincts, their craving for intellectual security
in the form of clarity, precision, ‘objectivity’, ‘truth’, it
will become clear that there is only one principle that can be
defended under all circumstances and in all stages of human
development. It is the principle: anything goes.112
Prinsip apa saja boleh ini juga sangat sesuai dengan pokok pikiran
Feyerabend lainnya, yakni tentang kebebasan individu yang akan kami
paparkan dalam sub-topik pembahasan selanjutnya. Menurut Feyerabend,
jika kita ingin rasional dalam situasi-situasi konkrit sebenarnya
prinsip apa saja boleh membebaskan kita dari keharusan untuk
bertindak di bawah ketentuan-ketentuan hukum dan metode yang telah
disepakati bersama. Menurut prinsip ini juga, setiap orang secara
bebas dapat mengikuti pilihan pradigma dan aturan teori serta boleh
juga mengikuti kecenderungan tertentu sebagai usaha untuk menumbuhkan
ide-ide kritis. Dalam pengertian ini, seorang ilmuwan perlu
keberanian untuk mengajukan ide-ide, gagasan-gagasan baru tanpa harus
dikekang oleh tradisi ilmiah. Namun tentu saja kebebasan yang
dipraktekkannya itu bukanlah kebebasan yang liar, dan bukan pula
kecenderungan sesaat yang tidak berarti sedikitpun. Dengan begitu,
prinsip apa saja boleh bukanlah berarti bahwa apa saja boleh tanpa
batas, tanpa aturan dan tanpa tujuan.
- Ilmu Tidak Bisa Saling Diukur dengan Standar Yang Sama
Salah satu komponen penting lain dari analisa
Feyerabend tentang ilmu pengetahuan adalah pandangannya bahwa
ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama.
Konsepsi Feyerabend ini berasal dari apa yang disebut sebagai prinsip
ketergantungan observasi pada teori. Sebagaimana yang kita maklumi,
bahwa ada dua asumsi penting dalam pandangan induktivisme tentang
observasi. Pertama,
ilmu pengetahuan diperoleh lewat observasi. Kedua,
kepercayaan bahwa observasi yang sungguh-sungguh obyektif menjadi
dasar yang kokoh bagi ilmu pengetahuan.113
Mereka percaya bahwa: (1) Seorang pengamat sedikit banyak dapat
menangkap langsung beberapa sifat dari dunia eksternal yang
diobservasi; (2) Dua orang pengamat yang mempunyai indera yang normal
akan melihat obyek atau gejala-gejala dari tempat yang sama, niscaya
akan melihat hasil yang sama pula.114
Inilah yang disanggah Feyerabend dengan alasan
bahwa apa yang dilihat pengamat dalam pengalaman visual ketika
memandang suatu obyek sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman
di masa lalunya, pengetahuan dan harapan-harapannya. Bagi Feyerabend,
hasil observasi itu selalu tergantung pada teori sehingga tidak dapat
dijadikan dasar yang obyektif bagi penilaian tentang kelayakan sebuah
teori. Feyerabend menyimpulkan bahwa tingginya mutu sebuah teori
berdasarkan hasil pengamatan itu tidak dapat saling diukur satu sama
lain.115
Makna dan interpretasi tentang konsep-konsep dan
keterangan-keterangan observasi yang digunakan akan tergantung pada
konteks dimana makna dan keterangan observasi itu muncul. Feyerabend
beranggapan bahwa arti setiap istilah yang kita pakai tergantung pada
konteks teori yang digunakan. Letusan gunung berapi bagi seorang ahli
geologi, dapat dijelaskan sebagai gangguan di bawah tanah, tetapi
bagi warga suku primitif, letusan gunung berapi mungkin dianggap
sebagai hukuman para dewa akibat dosa-dosa manusia.
Feyerabend menerima pandangan Kuhn tentang tidak adanya kriteria bagi
ilmuwan yang disebabkan oleh adanya ketidaksepadanan atau
ketidakkonsistenan dalam teori ilmu pengetahuan. Prinsip
ketidakterbandingkan antara satu teori atau pandangan dengan yang
lainnya berkaitan dengan prinsip inkonsistensi. Maksudnya, bahwa
dalam satu penelitian ilmiah dapat melibatkan pendapat dan
alternatif-alternatif yang bervariasi.
Jika seseorang tertarik dengan penelitian empiris
dan ingin mengerti teori dalam berbagai aspek, maka ia harus memahami
dan mengadopsi metode yang pluralistik. Ia harus dapat membandingkan
antara satu teori dengan teori yang lain berdasarkan hasil pengamatan
serta kumpulan data dan fakta yang diperolehnya. Ia harus mencoba
pula untuk memperbaiki daripada membuang pandangan-pandangan yang
kelihatannya kehilangan daya kompetisi. Feyerabend menulis masalah
itu sebagai berikut: “...will adopt a
pluralistic methodology, he will compare theories with other theories
rather than with ‘experience’, ‘data’, or ‘facts’, and he
will try to improve rather than discard the views that appear to lose
in the competition”.116
Sebelumnya Thomas Kuhn telah menggambarkan ilmu sebagai aktivitas
pemecahan teka-teki ilmu pengetahuan, baik secara teoretis maupun
eksperimental. Pemecahan itu dibimbimg oleh peraturan-peraturan dalam
suatu paradigma. Kuhn secara tegas menyatakan bahwa paradigma bukan
saja membimbing teknis penelitian, tetapi juga membimbing
interpretasi fenomena yang diobservasi. Ini artinya Kuhn juga
mengakui ketergantungan observasi pada teori. Dalam penjabarannya,
setiap paradigma akan memandang dunia ini secara berlainan, sebab
setiap paradigma itu memang memiliki asumsi dan standar yang berbeda
atau bahkan saling bertentangan satu sama lain.
Dalam beberapa kasus-kasus fundamental dari dua teori rival mungkin
terdapat perbedaan yang begitu signifikan, sehingga tidak mungkin
merumuskan konsep dasar dari teori yang satu dengan standar teori
yang lain, sebab kedua teori rival itu tidak memiliki kesamaan
keterangan-observasi apapun. Dalam kasus seperti itu, maka jelas
tidak mungkin saling membandingkan ataupun mereduksi beberapa
konsekuensi teori-teori rival itu secara logis, sebab dua teori rival
itu tidak akan bisa saling diukur dengan standar yang sama pula.
Hal ini tepat sekali jika dihubungkan dengan
keyakinan Kuhn dan Feyerabend bahwa teori-teori itu memang tidak
memiliki tolok ukur yang sama antara yang satu dengan yang lainnya.
Itulah maksud dari penyangkalan sebagaimana yang dikemukakan oleh
T.S. dan P.K. Feyerabend bahwa dua pengertian teori itu tidak bisa
saling diukur dan diperbandingkan satu sama lain. “Which
refutes the contention of T.S. Kuhn and P.K. Feyerabend that two
concept are mutually “incommensurable”, i.e., incomparable”.117
Kuhn dan Feyerabend berpendapat bahwa seingkali
teori-teori ilmu pengetahuan itu tidak dapat saling diukur dengan
beberapa teori yang lain secara bersamaan, dalam arti bahwa memang
tidak ada hal yang patut untuk dibanding-bandingkan. (..., both
of whom argued that successive scientific theories are often
incommensurable with each other in the sense that there is no neutral
way of comparing their merits).118
Pasangan-pasangan teori yang tidak bisa saling diukur menurut
Feyerabend adalah mekanika kuantum dan mekanika klasik, teori
penggerak dan mekanika Newtonian, materialisme di satu pihak dan
dualisme antara badan dan akal di pihak yang lain. Salah satu contoh
Feyerabend tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur tersebut
adalah mengenai hubungan antara mekanika klasik dengan teori
relativitas.
Menurut pandangan mekanika klasik, realitas yang
nampak di dunia ini merupakan obyek-obyek fisik yang mempunyai
bentuk, massa dan volume. Sifat-sifat itu eksis dalam obyek-obyek
fisik dan dapat dirubah akibat adanya campur tangan fisik. Sedangkan
dalam teori relativitas,
sifat-sifat seperti bentuk, massa dan volume tidak eksis lagi, tetapi
menjadi relasi-relasi antar obyek-obyek. Ia menjadi kerangka
referensi dan bisa dirubah tanpa interaksi fisik apapun. Akibatnya
keterangan apapun mengenai obyek-obyek fisik dalam mekanika klasik
akan mempunyai makna berbeda dari keterangan observasi serupa dalam
teori relativitas.119
Adanya kenyataan bahwa sepasang teori rival tidak bisa saling diukur,
tidak lantas berarti bahwa teori-teori tersebut tidak bisa
diperbandingkan dengan cara apapun. Salah satu cara untuk
memperbandingkan sepasang teori adalah dengan mengkonfrontasikan
teori-teori itu pada serangkaian situasi yang dapat diobservasi, lalu
kita catat seberapa jauh derajat masing-masing teori itu sejalan
dengan situasi-situasi tersebut yang ditafsirkan menurut kondisi
masing-masing teori. Cara lain membandingkan teori-teori adalah
seperti yang diusulkan Feyerabend dengan melibatkan
pertimbangan-pertimbangan apakah teori-teori tersebut linear atau
non-linear, koheren atau inkohern, dan lain sebagainya.
Walaupun begitu, Feyerabend tidak menampik bahwa
hakikat ilmu yang tidak bisa saling diukur itu, terpaksa akan membawa
kita ke suatu aspek subyektif dalam personalitas kita juga. Secara
tegas Feyerabend menjelaskan bahwa setelah kita menyingkirkan
kemungkinan pembandingan teori-teori secara logis untuk
membandingkannya dengan sejumlah konsekuensi deduktif, maka
sebenarnya yang tinggal tersisa adalah penilaian estetik, penilaian
selera, prasangka-prasangka metafisis, keinginan-keinginan religius,
pendeknya, apa yang tersisa adalah keinginan-keinginan subyektif
kita. Diutarakannya, “...What remains
are aesthetic judgements, judgements of taste, metaphysical
prejudices, religious desires, in short, what remains are our
subjective whises”.120
Hasil penelitian, penemuan ataupun pemilihan
berbagai teori yang dilakukan oleh seorang ilmuwan tentang dunia
fisik yang diamati itu tidak bisa terlepas dari kondisi sosiologis,
intervensi pribadi maupun interest
psikologis dari subyek yang memberikan isi terhadap obyek pengamatan
itu. Dari sekian permasalahan itu sudah cukup kiranya kita jadikan
dasar penolakan pandangan positivisme logis dengan argumentasi
ilmiahnya tentang mutu kebenaran sebuah teori berdasarkan hasil
observasi, yang dalam perjalanan sejarahnya ternyata banyak
tersandung oleh kesalahan-kesalahan yang fatal.
- Ilmu Tidak Harus Mengungguli Bidang Pengetahuan Lain
Aspek lain yang penting dari anasir-anasir pokok
pemikiran Feyerabend adalah menyangkut posisi ilmu dengan
bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Feyerabend menunjukkan bahwa tidak
ada satu metode pun yang dianggap lebih baik dari bentuk metode yang
lain.121
Feyerabend mengkritik keras pandangan ilmuwan dan masyarakat yang
mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu tinggi.
Namun sebelum mengulas gagasan Feyerabend tersebut, perlu juga
kiranya dikemukakan pendapat dari Herbert Marcuse (1898-1979) yang
menyatakan bahwa masyarakat industri telah berkembang menjadi
masyarakat berdimensi satu yang berada di bawah penguasaan prinsip
teknologi. Setiap individu dalam masyarakat industri diperbudak oleh
sistem produksi dan selalu berada dalam cengkeraman masyarakat
konsumsi. Produktivitas bukan lagi sebagai alat, melainkan telah
menjadi tujuan.
Dalam masyarakat seperti itu, kebutuhan hidup
dihambur-hamburkan hanya untuk menghabiskan hasil produksi yang
melimpahruah saja. Dan setiap individu, kecuali kaum buruh, dituntut
harus menyesuaikan diri dengan keadaan ini sebab ia bukan merupakan
kelas yang revolusioner, tetapi mereka hanya kelas yang sekedar
berusaha mempertahankan hak untuk hidup. Dalam masyarakat yang
demikian itu, harapan untuk mengadakan perubahan hanya terletak pada
orang-orang pinggiran (marginal men),
yaitu para seniman, cendekiawan, dan mahasiswa.122
Marcuse mengkritik tajam asumsi positivisme dan neo-positivisme yang
menurutnya mematikan pemikiran negatif (negasi), sehingga pemikiran
dan filsafat hanya berfungsi menyesuaikan diri dengan sistem lama
yang telah ada. Dalam hal inilah gagasan Feyerabend memiliki
kedekatan pandangan dengan Marcuse.
Kegagalan dari program kaum positivis selama ini adalah bahwa
keragaman budaya selalu dinyatakan lewat pemahaman disiplin ilmu
antropologi, dan meningkatnya perbedaan budaya yang mendapat
kehormatan sampai di taraf internasional berarti bahwa sebuah
keragaman pada dasarnya menggambarkan adanya perbedaan gambaran
tentang kenyataan alam selalu dihubungkan dengan perbedaan budaya,
yang secara tiba-tiba goyah oleh dunia ilmu pengetahuan dan
cendekiawan kontemporer, dan ide tentang adanya satu kebenaran
obyektif mengenai realitas tunggal alam semesta pun telah beralih
menjadi kekaburan pemikiran di kalangan kaum cendekiawan.
Akibatnya seperti yang diungkapkan oleh
Feyerabend, “keragaman budaya tidak dapat dijinakkan lewat
pemikiran kaku tentang kebenaran obyektif sebab ia juga mengandung
keragaman pemikiran serupa”. Katanya, “cultural
variety cannot be tamed by a formal notion of objective truth because
it contains a variety of such notion”.123
Kaum positivisme dan neo-positivisme mengemukakan
bahwa ilmu pengetahuan unggul karena dua alasan. Pertama,
keunggulan metodologis. Maksudnya dengan metode empiris-analitis,
ilmuwan dapat menentukan dan membuktikan kebenaran teorinya. Kedua,
ilmu pengetahuan unggul karena dapat membuktikan hasil-hasl
(teknologi) yang dapat diandalkan.
Feyerabend menolak dengan tegas anggapan-anggapan
tersebut dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah lebih
unggul dari bentuk-bentuk pengetahuan lain. Bahkan menurutnya tidak
lebih unggul dari mitos, magi atau voodoo.
Baginya sains bukanlah satu-satunya tradisi terbaik yang ada, kecuali
bagi mereka yang sudah terbiasa memperlakukannya secara istimewa.
Feyerabend menyatakan bahwa kebenaran itu terkait dengan tradisi dan
bersifat relatif.
Ilmu pengetahuan pada masyarakat ilmiah modern telah dianggap paling
benar, sehingga memonopoli kebenaran di tengah-tengah masyarakat
luas. Ilmu pengetahuan dan metodenya menindas semua pandangan
alternatif yang dianggap tidak relevan lagi dengan keaadan yang ada
dan kenyataan yang berkembang dewasa ini. Ilmu pengetahuan dalam
penilaian Feyerabend telah mengambil alih peran yang dimainkan oleh
kaum agamawan.
Bacon, Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton di awal kebangkitan
ilmu pengetahuan modern masih menganggap bahwa ilmu pengetahuan dan
agama saling melengkapi. Bacon masih mencita-citakan bertemunya
penjelasan antara ilmu dengan Kitab Suci secara harmonis. Tetapi
Thomas Hobbes dan para pengikutnya yang muncul kemudian, memberikan
tafsir atas segala fenomena alam yang sepenuhnya bercorak naturalis
dan determinis. Misalnya Hobbes, berpendapat bahwa segala kejadian
itu ditentukan oleh gerakan dan bentuk dari obyek yang bersifat
kebendaan. Sedangkan cita rasa yang berdasarkan pancaindera itu sama
sekali subyektif. Pandangan inilah yang diterapkan secara radikal
oleh Comte dan kaum Positivisme Logis.
Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu yang secara tipikal
menilai ilmu lebih unggul dan lebih berbobot atas bentuk-bentuk
pengetahuan lainnya tanpa melakukan penyelidikan yang memadai
terhadap pengetahuan-pengetahuan yang lain. Karena alasan itu
pulalah, kemudian Feyerabend tidak menerima keharusan superioritas
ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain. Lebih lanjut, dari segi
tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia menolak
ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen yang menentukan dan
menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain yang tidak
bisa diukur.
Secara khusus, Feyerabend menyerang pandangan
ilmuwan yang menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai agama
baru, terutama dalam masyarakat Amerika. Menurut Feyerabend, dalam
masyarakat Amerika, orang memilih agama secara bebas, bahkan bebas
untuk memilih tidak beragama, tetapi mereka dilarang mempelajari
semua yang dianggap tidak ilmiah (mitos, voodoo).
Semua ini dirasa tidak wajar tetapi tetap saja terjadi, karena para
ilmuwan dan institusi pendukungnya dengan gencar selalu melakukan
propaganda bahwa ilmu pengetahuan itu lebih unggul.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, Feyerabend
menyarankan pemisahan ilmu pengetahuan dengan negara sebagaimana
agama dipisahkan dari negara pada masa Renaissance.
Lebih jauh ia memproklamirkan bahwa tidak ada perbedaan yang
prinsipil antara ilmu pengetahuan dan mitos dan voodoo.124
Jadi kalau saja kata mitos diartikan untuk menunjukkan gejala dan
peristiwa alam atau manusia seperti yang terjadi dalam tradisi dahulu
kala, dan tetap saja dilestarikan dengan cara-cara yang sama oleh
orang-orang yang masih rendah tingkat peradabannya, maka sesungguhnya
tidak ada perbedaan antara mitos dan logos (teori ilmiah).
Feyerabend mengungkapkan bahwa ilmu adalah satu
bentuk ideologi saja, yang berhubungan dengan sihir dan astrologi
serta bertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan yang dipertahankan oleh
masyarakat. Ia berkata, “...that
science is just another ideology, along with magic and astrology,
against which society needs to be defended?”125
Dengan demikian, catatan penting yang dapat kita ambil dari salah
satu gagasan pokok Feyerabend ini adalah bahwa tidak ada
universalitas sebuah teori yang secara mutlak lebih unggul
kebenarannya dari teori yang lain. Sebab, sejarah ilmu pengetahuan
itu memang selalu berproses untuk menyempurnakan dan mengembangkan
teori-teori yang telah ada lewat pergulatan pemikiran yang simultan
dan relatif ‘mendekati’ hakikat sebuah kebenaran.
- Kebebasan Individu
Kritik-kritik konstruktif Feyerabend cukup ampuh
membongkar (mendekonstruksi) pandangan saintisme modern. Berdasarkan
analisis sejarah, ia dapat mengajukan bukti-bukti bahwa ilmu
pengetahuan itu berkembang justru karena memberinya kebebasan, bukan
dengan memagarinya melalui peraturan tunggal atau hanya dengan
menerapkan satu metode yang dianggap mapan. Perkembangan dunia ilmu
pengetahuan lebih dimungkinkan dengan membiarkan teori-teori yang
beraneka ragam secara bebas dalam mengembangkan visi intelektualitas
secara kreatif.
Bertitik tolak dari keyakinan seperti itulah, maka di bagian lain
pandangannya tentang ilmu pengetahuan Feyerabend juga menekankan
tentang pentingnya makna kebebasan individu dari berbagai macam
belenggu metodologis. Ia menyatakan bahwa setiap orang harus
mengikuti kecenderungan individualnya dan mengerjakan hal-ihwalnya
sendiri.
Gagasan awal tentang kebebasan individu Feyerabend ini sendiri
sebenarnya hanya merupakan uraian lanjutan dari apa yang disebut oleh
John Stuart Mill (1806-1873) sebagai “sikap kemanusiawian” yang
dalam realisasi konkritnya ditujukan untuk membebaskan dan sekaligus
meningkatkan kebebasan individu menuju kehidupan yang lebih maju dan
produktif. Dalam perspektif Feyerabend, perkembangan ilmu pengetahuan
tidak dapat diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan dan
sistem hukum yang berlaku, sebab pada dasarnya kegiatan ilmiah atau
ilmu pengetahuan itu memang merupakan upaya yang anarkistik.
Pandangan Feyerabend tersebut harus ditelusuri pula berkaitan dengan
analisisnya tentang masyarakat yang dicita-citakannya. Ia melihat
bahwa ilmu pengetahuan memiliki kedudukan dan kuasa mutlak yang sama
dengan otoritas agama pada masa Abad Pertengahan. Artinya ilmu
pengetahuan tidak lagi berfungsi untuk membebaskan manusia, namun
justru memasungnya dengan teori-teori dan aturan-aturan yang ketat
dan mengikat.
Ilmu telah menjadi ideologi absolut-tunggal yang
membatasi, menguasai dan bahkan memperbudak manusia. Sehingga pada
akhirnya Feyerabend berkesimpulan bahwa pelembagaan ilmu dalam
masyarakat kita dewasa ini sudah dianggap tidak konsisten lagi dengan
sikap kemanusiaan itu sendiri. Padahal sebenarnya seperti yang
ditunjukkan oleh Feyerabend, terdapat beberapa pemikiran universal
tentang manusia yang digunakan untuk menetapkan beberapa pendekatan
teoretis untuk memecahkan perselisihan-perselisihan manusia yang
sombong, bebal, dangkal, tidak sempurna dan tidak jujur. Ia
mengatakan, “...there is some
universal notion of human understanding which might be used to
provide some theoretical approach to solving human conflicts as
“conceited, ignorant, superfisial, incomplete, and dishonest”.126
Di sekolah-sekolah, misalnya, ia melihat bahwa
ilmu masih diajarkan sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Lagi-lagi
ia menampilkan contoh tentang masyarakat Amerika yang menurutnya
memberikan kebebasan warganya untuk memilih agama yang mereka
kehendaki, tetapi tetap saja warga masyarakat tidak diperkenankan
untuk mempelajari ilmu sihir dan voodoo.
Dalam pengertian ini, jelas tidak ada pemisahan antara negara dan
ilmu. Ia berujar, “thus, while an
American can now choose the religion he likes, he is still not
permitted to demand that his children learn magic rather than science
at school. There is a separation between state and church, there is
no separation between state and science”.127
Dan bagi Feyerabend, tidak ada cara lain yang dapat ditempuh dalam
dilema ini kecuali dengan berusaha membebaskan masyarakat itu sendiri
dari pengaruh monotafsir ilmu yang secara ideologis telah dimonopoli
oleh institusi negara.
Dalam masyarakat yang diimpikan oleh Feyerabend,
negara secara ideologis adalah netral. Negara semestinya bertugas
untuk mengatur perjuangan antara ideologi-ideologi untuk menjamin
setiap individu dapat mempertahankan hak kebebasan untuk memilih
tanpa adanya unsur pemaksaan ideologi tertentu yang bertentangan
dengan pilihan sadar dan kehendak hati nuraninya.128
Demikianlah gambaran umum tentang ide kebebasan individu dan
masyarakat Feyerabend yang merupakan pertautan epsitemologis dari
pemikiran-pemikiran utamanya tentang anarkisme ilmu pengetahuan.
Bermula dari eksplorasi tentang “apa saja boleh” dan berbagai
problem teori-teori keilmuan lainnya, Feyerabend terus berusaha
‘berkelit’ dari sanjungan keberhasilan dan kemapanan sains,
sehingga ia mampu menghadirkan kronik pemikiran baru dalam diskursus
ilmu pengetahuan modern dan postmodern yang sudah mulai banyak
diperdebatkan.
Surplus positif dari filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend yang
mungkin dapat didedikasikan bagi masa depan umat manusia adalah bahwa
ia masih diperlukan untuk mensukseskan apa yang oleh Jürgen Habermas
disebut “program pencerahan”, dengan selalu melakukan perlawanan
secara kritis terhadap segala bentuk penyempitan ideologis. Salah
satu peran penting filsafat Feyerabend yang berpijak pada
rasionalitas dan universalisasi ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan
masyarakat luas adalah bahwa ia bisa membantu menjernihkan substansi
suatu permasalahan dan menyingkirkan berbagai macam kepalsuan dan
pemaksaaan ideologis, termasuk juga doktrin-doktrin agama yang begitu
dogmatis dan tanpa kompromistis. Sedangkan dalam komunitas akademik,
filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend itu bisa membimbing kaum cerdik
pandai untuk berpikir mandiri, mendalam, kritis dan berani. Filsafat
Feyerabend dapat pula mencegah meluasnya kantong-kantong kosong
pemikiran filosofis yang lolos dari tantangan kritik, sembari
mempertanyakan ulang tentang kejelasan metode dan wawasan, serta
menghubungkan kesenjangan pemahaman ilmu itu sendiri dengan
tuntutan-tuntutan praktis kehidupan.
Lantas, apa kontribusi konkrit yang bisa diberikan
model pembelajaran filsafat Feyerabend tersebut terhadap dunia
keilmuan di Indonesia? Secara praktis, gagasan-gagasan filsafat
Feyerabend itu setidaknya bisa membantu kita mengambil jarak
sekaligus memberikan kritik tandingan terhadap klaim ideologi
ilmu-ilmu empiris yang dalam opini budaya modern ini seolah-olah
hanya ilmu-ilmu empirislah yang sanggup mendefinisikan arti
kemanusiaan dan tujuan perkembangan masyarakat. Dalam kehidupan
sosial, dengan analisis yang bebas dan obyektif, filsafat Feyerabend
dapat dijadikan alat untuk mendeteksi setiap kedok-kedok ideologis
berbagai ketidakadilan sosial serta pelanggaran-pelanggaran terhadap
martabat manusia dan hak-hak asasinya. Dalam bidang agama, pluralisme
metodologi yang ditawarkan Feyerabend kiranya juga bisa membantu
melepaskan subyektivitas keberagamaan kita dari pandangan dunia dan
pembelaan agama yang berbeda untuk bersama-sama membahas tantangan
yang dihadapi bangsa, serta mencari pemecahan yang berorientasi pada
penghormatan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, maka perluasan
wacana filsafat Feyerabend ini akan memungkinkan masyarakat untuk
memikirkan kembali masalah-masalah dasar hidupnya secara rasional
dengan bahasa, wawasan dan argumentasi yang universal dalam rangka
menggali kekayaan budaya, tradisi-tradisi dan filsafat Indonesia asli
secara lebih terbuka, kritis dan kreatif.
BAB IV
ANARKISME
ILMU PENGETAHUAN PAUL KARL FEYERABEND
- Pengertian Anarkisme
Secara etimologi, anarkisme berasal dari kata
Yunani an archos
= tanpa pemerintahan. Ia merupakan sebuah aliran dalam filsafat
sosial yang menghendaki dihapuskannya negara atau pemerintahan serta
kontrol politik dalam masyarakat. Aliran ini didasarkan pada ajaran
bahwa masyarakat yang ideal itu dapat mengatur urusannya sendiri
tanpa mempergunakan kekuasaan yang berlawanan dengan paham sosialisme
dan komunisme. Tokoh-tokohnya: Gerrard Winstanley (1609-1660),
William Goldwin (1756-1836), Mikhail Bakunin (1814-1876) dan Peter
Kropotkin (1842-1921).129
Anarkisme (bhs. Yunani, awalan a,
tidak, kebutuhan akan, ketiadaan, kekurangan + anarchos,
seorang pengatur, pengarah, ketua, orang yang berwenang, komandan.
Dalam bahasa Yunani istilah anarchos
atau anarchia
berarti tidak memiliki pemerintahan—keadaan tanpa penguasa).
Konotasi positif:
Anarkisme adalah ideologi sosial yang menolak pemerintahan yang
otoriter. Aliran ini berpandangan bahwa individu-individu harus
mengatur diri mereka sendiri dengan cara yang disenangi demi
pemenuhan kebutuhan dan ideal-ideal mereka. Dalam pengertian ini
anarkisme tidak bisa disamakan dengan Nihilisme, tetapi lebih serupa
dengan libertarianisme politik dan antinomianisme.
Konotasi negatif:
Anarkisme adalah kepercayaan yang menyangkal untuk menghormati hukum
atau peraturan apapun dan secara aktif melibatkan diri dalam promosi
kekacauan melalui perusakan masyarakat. Aliran ini mengajarkan
penggunaan terorisme individual sebagai sebuah alat untuk
meningkatkan terjadinya disorganisasi sosial dan politik.130
Kamus Ilmiah Populer dengan gamblang
mendefinisikan anarkisme sebagai sebuah paham kebebasan bertindak
tanpa mau diikat oleh undang-undang; hal kesewenang-wenangan
bertindak (melenyapkan undang-undang).131
Sementara Dictionary
of Philosophy secara terperinci
memberikan pengertian anarkisme sebagai berikut:
Anarchism: This doctrine advocates the abolition
of political control within society: The State, it contends, is man’s
greatest enemy—eliminate it and the evils of human life will
disappear. Positively, anarchism envisages a homely life devoted to
unsophisticated activity and filled with simple pleasure. Thus it
belong in the “primitive tradition” of Western culture and
springs from the philosophical concept the inherent and radical
goodness of human nature. Modern anarchism probably owes not a
little, in an indirect way, to the influence of the primitivistic
strain in the thought of Jean Jacques Rousseau. In an popular sense
the word “anarchy” is often used to denote a state of social
chaos, but it is obvious that the word can be used in this sense only
by one who denies the validity of anarchism.132
Jadi yang dimaksud dengan istilah anarkisme adalah: ajaran yang
menganjurkan dihapuskannya penguasaan politik dalam masyarakat. Sebab
negara menurut pendapat mereka adalah musuh terbesar manusia yang
jika disingkirkan akan dapat menghilangkan kejahatan-kejahatan yang
ada dalam kehidupan manusia. Jelasnya, anarkisme mengimpikan
kehidupan yang bersahaja dengan menekuni kegiatan yang sederhana dan
mengisinya dengan kesenangan yang wajar. Jadi ia termasuk kebiasaan
kuno dari budaya Barat yang bersumber dari konsep filosofis yang
telah melekat dan mengakar secara baik dalam sifat dasar manusia.
Anarkisme modern kelihatannya juga tidak jarang, walaupun dengan cara
yang berlainan, berusaha untuk mempengaruhi pandangan-pandangan kuno
yang terdapat dalam pemikiran Jean Jacques Rousseau. Dalam pengertian
populer, kata “anarki” seringkali digunakan untuk menunjukkan
adanya kekacauan sosial dalam suatu negara, bahkan kata ini juga
dipakai oleh seseorang yang menyangkal terhadap keabsahan anarkisme
itu sendiri.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, anarkisme diartikan
sebagai anarchy epistemological
(kesewenang-wenangan epistemologis) yang digunakan dan dipopulerkan
oleh Paul Karl Feyerabend. Menurutnya, tidak ada ukuran-ukuran yang
tetap untuk memisahkan atau membedakan antara sampah dengan teori
yang dapat diamati.133
Disamping itu juga terdapat beberapa pandangan filsuf tentang
definisi anarkisme, diantaranya:
- Sebagai doktrin politis dan filosofis, istilah ini baru beredar pada abad ke-19. Pertama kali digunakan oleh Proudhon dan kemudian diangkat kembali oleh Bakunin untuk menyatakan adanya aneka ragam doktrin yang berkisar seputar keyakinan bahwa negara yang teratur harus dilenyapkan, sebab ia merupakan biang keladi ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan mengenai cara penghapusannya berbeda-beda menurut pandangan para penganutnya: evolusioner; revolusioner; garis keras (ekstrem), garis lunak (moderat).
- William Goldwin, penulis politik Inggris, mengharapkan munculnya anarkisme melalui perkembangan moral manusia secara bertahap.
- Max Stirner, filsuf Jerman, berkeyakinan bahwa keberadaan anarkisme adalah pasti dalam wujud pemberontakan—bukan revolusi—perseorangan seiring dengan adanya penumpukan dan pengembangan sikap individualisme.
- Joseph Proudhon, filsuf Perancis, mendukung pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap hubungan timbal balik atau kegotong-royongan; suatu rasa sosial yang semakin meningkat di tengah masyarakat. Dan penyebarluasan kerjasama sukarela semacam ini akan menggantikan negara.
- Mikhail Bakunin, penulis dan aktivis politik Rusia, menganut doktrin revolusioner yang bermuara pada penghancuran negara.
- Leo Tolstoy, filsuf sosial dan novelis Rusia, menganjurkan revolusi moral tanpa kekerasan yang mengarah pada penghapusan negara. Dalam hal ini ia lebih cenderung mewakili pandangan anarkisme religius.
- Peter Kropotkin, filsuf sosial dan pengarang Rusia, mengutarakan bahwa teori Darwin terlalu melebih-lebihkan kompetisi dalam evolusi; padahal konsep gotong royong tidak kalah pentingnya. Dan anarkisme itu sendiri merupakan gerakan kembali kepada masyarakat alamiah.134
Sedangkan dalam analisa Feyerabend sendiri, term
anarkisme itu tidak lain adalah anarkisme epistemologis yang
dipertentangkan dengan anarkisme politis atau religius. Dikatakannya,
apabila anarkisme politis anti terhadap kemapanan (kekuasaan, negara,
institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang menopangnya), maka
anarkisme epistemologis justru tidak selalu memiliki loyalitas
ataupun perlawanan yang jelas terhadap semua sistem dan struktur elit
tersebut.
Di akhir renungannya tentang anarkisme, Feyerabend
sendiri secara pribadi menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang
dadais yang dilukiskannya sebagai berikut:
A Dadais is convinced that a worthile life will
arise only when we start taking things lightly and when we remove
from our speech the profound but already putrid meanings it has
accumulated over the centuries...I hope that having read the pamphlet
the reader will remember me as flippant Dadais and not as a serious
anarchist.135
(Seorang Dadais percaya bahwa hidup yang berguna
itu hanya dapat dibangun apabila kita mulai melakukan sesuatu yang
gampang dan berhenti dari omong besar kecuali jika kita ingin
pengertian-pengertian itu menjadi busuk karena ditumpuk-ditumpuk
selama berabad-abad...Saya berharap bahwa setelah membaca selebaran
ini pembaca mengenangku sebagai seorang Dadais yang sembrono, dan
bukan sebagai anarkis yang sesungguhnya).
Seorang anarkisme epistemologis menurut Feyerabend
ibarat seorang dadais
seperti yang dijelaskan oleh Hans Richter dalam bukunya Dada:
Art and Anti-Art. Feyerabend mengutip
pandangan Richter sebagai berikut: ‘Dada’,
‘not only had no programme, it was against all programmes’. This
does not exclude the skillful defence of programmes to show the
chimerical character of any defence, however ‘rational’.136
Maksud Feyerabend adalah bahwa dalam epistemologi
terdapat bentuk anarkisme yang berupaya mempertahankan sekaligus
menentang kemapanan. Ia bukan hanya tidak punya program, tetapi
anti-program. Ia pembela status quo,
tetapi juga anti status quo.
Hal itu ditempuh untuk memberikan kebebasan bagi perkembangan
metode-metode alternatif. Anarkisme Feyerabend yang demikian itu
terkadang diartikan orang sebagai kesewenang-wenangan epistemologi,
karena tidak adanya ukuran atau aturan yang tetap dan pasti untuk
menentukan antara yang ilmiah dan yang non-ilmiah.
Dalam posisi seperti itu, anarkisme juga tidak bisa disebut
skeptisisme. Jika skeptisisme berpendapat bahwa suatu pandangan bisa
benar dan bisa salah atau bahkan bisa juga tidak ada penilaian
berarti baginya, maka tidak demikian halnya dengan anarkisme
epistemologis. Seorang anarkis di bidang ini tidak segan bahkan tidak
malu untuk mempertahankan pandangan yang dianggap sudah basi dan
konyol sekalipun.
Lantas mengapa diksi yang ditawarkan oleh
Feyerabend adalah anarkisme? Karena anarkisme epistemologis merupakan
anarkisme teoretis. Menurut hemat Feyerabend anarkisme teoretis itu
lebih manusiawi daripada alternatif hukum. Dari perspektif ini, ilmu
pengetahuan secara hakiki merupakan usaha yang anarkistik mutlak.
Feyerabend memberikan argumentasi historis, bahwa sejarah ilmu
pengetahuan tidak hanya berisi fakta-fakta dan kesimpulan-kesimpulan
yang ditarik dari fakta-fakta tersebut. Ia juga berisi ide-ide,
interpretasi terhadap fakta-fakta, masalah-masalah yang timbul dari
kesalahan interpretasi, interpretasi yang bertentangan, dan
sebagainya. Feyerabend melihat bahwa para ilmuwan hanya meninjau
fakta ilmu pengetahuan dari dimensi ide belaka, sehingga tidak heran
andaikata sejarah dan ide-ide ilmu pengetahuan yang berkembang itu
kemudian menjadi pelik, rancu dan penuh dengan kesalahan seperti
pemikiran dari para penemunya.137
Situasi semacam itulah yang dilukiskan Feyerabend
sebagai sakit epistemologis, dan obat paling mujarab untuk
mengembalikan eksistensinya pada koridor semula adalah dengan prinsip
anarkisme. Dengan demikian, anarkisme, sebagaimana pengakuan
Feyerabend bisa membantu kita untuk mencapai kemajuan dengan memilih
salah satu pemikiran yang kita minati secara lebih rasional, jelas
dan bebas. Pungkasan ide anarkisme Feyerabend yang secara esensial
perlu kita gali maknanya dalam realitas keseharian kita adalah
pernyataannya berikut ini: “And my
thesis is that anarchism helps to achieve progress in any one of the
senses one cares to choose”.138
- Anarkisme Sebagai Kritik atas Ilmu Pengetahuan
Secara garis besar, seluruh pemikiran individualisme ekstrem
Feyerabend tentang anarkisme di atas sebenarnya adalah suatu kritik
terhadap perjalanan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang telah
didominasi oleh sains positivistik. Atas nama kebebasan individu,
Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang kaitan antar keduanya
tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kritik pertama disebutnya sebagai anti-metode
(Against Method)
yang berusaha (mendekonstruksi) format metode ilmu pengetahuan yang
telah dibuat dan dipahami oleh para kaum positivis dengan melakukan
penyingkapan dan pembongkaran terhadap asumsi-asumsi beserta
kesalahan dari teori-teori baku yang selama ini telah
dikembangkannya. Dan kritik yang kedua dinamakannya dengan anti-ilmu
pengetahuan (Against Science)
yang secara lebih mendalam lagi mencoba mengoreksi tentang praktek
ilmiah, fungsi dan kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
masyarakat yang dianggap memiliki standar universal yang melampaui
batas-batas partikularitas dan relativitasnya.
- Anti-Metode (Against Method)
Dengan semboyan ini, Feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang
oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan
universal, memiliki resistensi terhadap kritik yang tahan sepanjang
masa serta dapat pula membawahi fakta dan penelitian. Menurut
Feyerabend, klaim itu tidak realistis dan jahat. Tidak realistis,
karena kenyataannya ilmu pengetahuan hanya diambil dari pandangan
sederhana atas dasar kemampuan seseorang dari lingkungan tertentu.
Jahat, karena ilmu pengetahuan berusaha memaksakan hukum-hukum yang
menghalangi berkembangnya kausalitas-kausalitas profesional kita
dengan mempertaruhkan sifat kemanusiaan kita.
Lagi pula, gagasan itu merusak ilmu pengetahuan dan
menghambat laju perkembangannya karena mengabaikan adanya
kompleksitas situasi fisik dan historis yang memungkinkan perubahan
ilmu pengetahuan.139
Dengan menunjukkan bukti bahwa sejarah ilmu pengetahuan itu selalu
dipenuhi dengan pertentangan teori, Feyerabend juga menyangkal
pandangan saintisme yang menganggap ilmu berada di atas segala aspek
budaya lain sehingga menyebabkan ilmu pengetahuan modern menghalangi
kebebasan berpikir para ilmuwan itu sendiri.
Dan langkah pertama yang dilakukan Feyerabend untuk
menindaklanjuti kritiknya tersebut adalah dengan mengajukan suatu
prosedur yang diberi nama kontra-induksi (counterinduction).
Prosedur ini dimaksudkan sebagai standar kritik dari luar yang sangat
diperlukan demi kemajuan ilmu pengetahuan, karena sulitnya otokritik
yang berasal dari dalam tubuh ilmu pengetahuan itu sendiri.
Maksud Feyerabend bukanlah mengganti seperangkat aturan-aturan dengan
peraturan yang lain, tetapi tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa
semua metode yang sudah jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan
cara terbaik untuk menjelaskan ini adalah dengan menunjukkan
batas-batas, irasionalitas dari beberapa aturan yang mungkin dianggap
sebagai hal yang paling mendasar. Hal tersebut diungkapkan Feyerabend
sebagai berikut:
My intention is not to replace one set of general ruler
by another such set: my intention is, rather, to convince the reader
that all methodolgies, even the most obvious ones, have their limits.
The best way to show this is to demonstrate the limits and even the
irrationality of some rules which she, or he, is likely to regard as
basic.140
Hal ini jelas berbeda dengan paradigma positivisme yang menganggap
induksi sebagai satu-satunya metode yang dianggap valid ataupun juga
dengan kaum induktivisme naif yang berpendapat bahwa batang tubuh
ilmu pengetahuan ilmiah dibangun di atas prinsip induksi yang
dasarnya cukup kuat. Ketika ditemukan sejumlah fakta observasi dan
eksperimen yang sesuai dengan teori, maka teori atau hukum diperkuat
atau dikorborasi. Prinsip induksi berupaya mencari fakta yang
mendukung dan menghindari fakta yang tidak sesuai dengan teori.
Kontra-induksi yang ditawarkan Feyerabend itu adalah
juga untuk mengatasi masalah kekurangan prinsip verifikasi atau
falsifikasi yang sama-sama tidak menghendaki adanya fakta yang
konsisten dengan teori. Melalui kontra-induksi, Feyerabend
mengusulkan counterrule,
yaitu memberikan hipotesis yang tidak konsisten dengan teori yang
mapan atau dengan fakta yang bahkan tidak sesuai atau tidak terukur
sekalipun. Jadi, kontra-induksi yang dikemukakan oleh Feyerabend itu
sesungguhnya berperan penting untuk menjembatani permasalahan teori
dan fakta.
Walaupun begitu, menurut Feyerabend, masalah ini tidak memerlukan
pembelaan khusus, karena tidak ada satu pun teori yang menarik dan
sesuai dengan semua fakta yang selalu dapat diketahui dalam bidang
domainnya secara pasti dan meyakinkan. Oleh karena itu, pertanyaan
pokoknya bukan apakah teori-teori yang kontra-induktif ini harus
diakui dalam ilmu pengetahuan atau tidak, tetapi apakah kesenjangan
yang ada antara teori dengan fakta harus diperbesar atau diperkecil?
Atau apa yang harus kita lakukan dalam menjawab persoalan ini?
Maka untuk bisa menyadari dan melakukan kritik terhadap
asumsi-asumsi ilmu pengetahuan diperlukan standar eksternal guna
memeriksa karakteristik dari dunia nyata yang diamati. Dan untuk itu
semua, Feyerabend kemudian merancang pertanyaan mendasar tentang apa
yang seharusnya dilakukan? Pertama,
melakukan kritik terhadap fakta untuk memutuskan rantai dan konsep
yang sudah mapan. Kedua,
mengacaukan prinsip-prinsip teoretis yang paling masuk akal, dan
Ketiga,
memperkenalkan persepsi yang bukan merupakan bagian dari dunia
persepsi yang ada. Semua itu merupakan langkah yang disebut oleh
Feyerabend sebagai kontra-induksi. Itu sebabnya kontra-induksi selalu
masuk akal dan selalu mempunyai kemungkinan untuk berhasil
(counterinduction is, therefore, always
reasonable and it has always a chance of success).141
Sebagai ganti atas anti-metode, Feyerabend memasukkan
beberapa prinsip (bukan metode), yaitu prinsip
pengembangbiakan (proliferation)
dan prinsip apa saja boleh
(anything goes) yang
telah penulis terangkan dalam bab sebelumnya. Jadi dalam dalam kaitan
ini kami hanya akan membahas tentang prinsip pengembangbiakan yang
secara harfiah berarti membiarkan semua berkembang sendiri. Maksudnya
kita tidak bekerja dengan sistem pemikiran, bentuk-bentuk kehidupan
dan kerangka institusional yang tunggal. Ini berarti bahwa prinsip
pengembangbiakan juga menafikan adanya sikap otoritarianisme terhadap
produk pemikiran manusia yang paling absurd sekalipun.
Prinsip pengembangbiakan ini merupakan realisasi kritik
dari alternatif pemikiran Feyerabend yang pada prinsipnya bertujuan
untuk mencapai tiga hal utama: (1) memberikan model abstrak tentang
kritik terhadap ilmu pengetahuan; (2) mengembangkan
konsekuensi-konsekuensinya; dan (3) membandingkan
konsekuensi-konsekuensi itu dengan ilmu pengetahuan. Berdasarkan hal
yang ketiga, Feyerabend mengharapkan bahwa perbandingan antara
fenomena-fenomena sejarah dan pandangan epistemologis mampu
memberikan kriteria penilaian yang holistik terhadap struktur aktual
ilmu pengetahuan, sehingga nantinya terbentuk suatu basis bagi
kritisisme dan reformasi ilmu pengetahuan.142
Siasat Feyerabend ini, menurut W.H. Newton-Smith,
adalah untuk memperlemah kesetian kita terhadap kemantapan suasana
dengan menciptakan hal yang bertentangan dengan keadaan yang melarang
kita untuk mengembangkan berbagai teori, terutama teori yang
bertentangan dengan satu teori yang telah diterima oleh umum pada
zaman sekarang ini. Smith mengatakan, “…Feyerabend’s
strategy is to weaken our allegiance to the consistency condition by
developing a case an incompatible counterrule which in this case
enjoins us to proliferate theories, especially theories incompatible
with currently accepted ones”.143
Prinsip pengembangbiakan berusaha menemukan dan mengembangkan
teori-teori yang tidak cocok dengan pandangan yang sudah lazim
diterima. Dengan demikian, prinsip ini tidak hanya memungkinkan
adanya penemuan-penemuan alternatif baru, tetapi juga membuka peluang
bagi tampilnya kembali teori lama yang sudah tidak diakui lagi
keberadaannya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa prinsip pengembangbiakan ini
bukan aturan metodologis, sebab ternyata ia juga menegaskan bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan itu tidak dapat diperoleh dengan hanya
mengikuti teori tunggal, aturan atau metode apapun, melainkan dengan
membiarkan teori-teori yang beraneka ragam dan berbeda satu sama lain
berkembang secara bebas.
- Anti-Ilmu Pengetahuan (Against Science)
Anti-ilmu pengetahuan Feyerabend ini tidak berarti ia
anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap
kekuasaan ilmu pengetahuan yang seringkali mengaburkan maksud dan
tujuan utamanya. Dengan sikap ini, Feyerabend ingin melawan ilmu
pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul daripada
bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti sihir,
voodoo, magi, mitos,
dan lain sebagainya.
Ditegaskannya, ilmu pengetahuan menjadi pemikiran tunggal-mutlak
karena adanya propaganda dari para ilmuwan dan institusi terkait yang
diberi wewenang untuk selalu mempengaruhi kesadaran kolektif
masyarakat tentang hakikat dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sehingga
ilmu pengetahuan yang dianggap paling benar itu telah menguasai
sistem kebenaran dunia ilmiah, dan pada gilirannya menjadi semacam
ideologi yang menindas kebudayaan alternatif.
Semboyan extra ecclesiam nulla
salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan)
yang lebih dari satu abad lalu ada dalam tradisi gereja, diadopsi
oleh para ilmuwan dengan mengatakan extra
scientiam nulla salus (di luar ilmu
pengetahuan tidak ada kebenaran).144
Walaupun dewasa ini tidak ada lagi orang yang dihukum mati dengan
dakwaan subversif atau “sesat” terhadap rumus-rumus formal ilmu
pengetahuan, tetapi mereka secara hukum konvensional mendapat sanksi
sosial yang justru lebih berat daripada batas-batas toleransi yang
ada dalam suatu masyarakat sekalipun.
Dari semua bentuk pengingkaran yang sangat radikal
tersebut, Feyerabend sejatinya ingin menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan hanya merupakan salah satu gagasan terbuka dan plural
dari sekian banyak pilihan ideologi yang ada dalam masyarakat. Dengan
begitu, Feyerabend ingin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu
bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka. Maka tidak wajar
mendewa-dewakan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya pengetahuan
yang paling unggul dan bahkan paling menentukan kehidupan masyarakat.
Karena masalahnya terletak pada muatan ideologis dari komunitas para
ilmuwan dan pihak-pihak yang selalu berusaha menciderai kemurnian
citra ilmu pengetahuan dengan kepentingan-kepentingan
subyektif-individual yang menyebabkan proses idealisasi ilmu
pengetahuan yang sebenarnya mengalami stagnasi. Mungkin situasi
inilah yang dikatakan oleh Richard Rorty bahwa epistemology
is dead, atau dalam konstruksi filsafat
Feyerabend disebut sebagai anti-ilmu pengetahuan (Against
Science) itu.
Relevansi pemikiran yang dapat kita pertautkan makna
aktualitasnya dari dasar-dasar epistemologi Feyerabend di atas dengan
fenomena budaya akademik kita saat ini adalah bahwa kita perlu
mengembangkan pola pikir—dalam bahasa filsuf John Henry
Newman—illative sense,
yaitu bagian intelektual manusia yang dapat mengandaikan adanya
kompleksitas suatu obyek, dan kemungkinan manusia mengambil sikap
terhadap obyek tersebut. Mungkin illative
sense ini mirip dengan konsep phronesis
dari Aristoteles, yakni semacam kebijaksanaan untuk mengakui segala
keterbatasan pengetahuan kita, tanpa kehilangan kepastian bahwa kita
dapat bicara mengenai kebenaran. Adanya pengakuan terhadap
kompleksitas berbagai persoalan kemanusiaan dan keterbatasan
kemampuan manusia menguasainya yang pada akhirnya mengandaikan
keterbukaan terhadap beragam persepsi, penafsiran dan perbedaan
pendapat itu tidak lantas membuat kita harus kehilangan sandaran
pencarian perennial tentang adanya kemungkinan bahwa kita dapat
mencapai—betapapun mencapai disini mesti ditafsirkan sebagai
(makin) mendekati—hakikat kebenaran yang kita maksud.
BAB V
PENUTUP
- Simpulan
Dari seluruh pembahasan tentang konstruksi
epistemologis Paul Karl Feyerabend beserta persoalan-persoalan
dasarnya tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
penting sebagai berikut:
- Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend disusun atas dasar protes terhadap proses pemapanan ilmu pengetahuan yang selama ini didominasi oleh aliran Positivisme Logis dari Lingkaran Wina (Vienna Circle) yang menempatkan dan merumuskan ilmu pengetahuan sebagai kalkulasi aksiomatis semata. Disamping itu, prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Feyerabend juga merupakan wujud dari ketidaksetujuannya pada empirisme kontemporer dan teori mekanika kuantum mutakhir dari Interpretasi Kopenhagen untuk menunjukkan bahwa metodologi-metodologi yang telah ada sudah tidak sejalan atau tidak cocok lagi dengan sejarah perkembangan fisika. Adapun prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh Feyerabend itu adalah apa saja boleh (anything goes), ilmu tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak mengungguli bidang pengetahuan lain, dan kebebasan individu.
- Feyerabend juga berhasil mengembangkan sistem ilmu pengetahuan revolusioner yang menjadi suatu analisis alternatif untuk menginterpretasi dunia dengan metode anarkisme epistemologi yang ditujukan untuk semakin menemukan hakikat ilmu pengetahuan yang selama ini secara ideologis dianggap lebih unggul daripada bentuk pengetahuan lain lewat kritik anti-metode (Against Method) dan anti-ilmu pengetahuan (Against Science)nya. Selain itu, salah satu ide penting Feyerabend lainnya sebagai penjelasan lanjutan dari tesis apa saja boleh yang diusungnya adalah bahwa tidak ada keteraturan metode atau teori dalam ilmu pengetahuan. Ia berargumen bahwa selama ini para ilmuwan cenderung memakai standar-standar universal dan baku, sehingga menghalangi berkembangnya kausalitas-kausalitas profesional kita dan menegasikan pula pluralisme metodologi yang pada hakikatnya bisa menjadi sarana kritisisme dan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan
Feyerabend, terlepas dari kontroversi ilmiah yang menyertainya, telah
mampu memberikan perspektif baru untuk melepaskan diri dari segala
bentuk otoritarianisme ilmu pengetahuan yang dianggap Feyerabend
tidak ubahnya seperti sihir, mitos, magi, voodoo,
dan tidak ubahnya juga seperti “agama baru” pada masa Abad
Pertengahan yang memonopoli sistem kebenaran dalam masyarakat. Oleh
sebab itu, ilmu pengetahuan yang dipropagandakan menjadi ideologi
tunggal-mutlak yang menindas budaya ilmiah alternatif oleh para
ilmuwan dan institusi terkait lain semisal negara itu menurut
keyakinan Feyerabend mesti dilawan dengan penentangan metode yang
anarkistik.
- Saran-saran
- Sebagai sebuah pemantik dan pengenalan awal dari wacana filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend, dalam skripsi ini penulis hanya sebatas ‘mengantarkan’ khalayak pembaca pada orientasi umum tentang anarkisme epistemologi Feyerabend yang oleh sebagian kalangan dianggap tidak memberikan tawaran metodologi yang jelas dan sistematis, serta tidak memiliki standar aturan yang dinilai baku untuk menentukan antara yang ilmiah dan yang non-ilmiah. Untuk itu, maka saran singkat yang bisa penulis sampaikan adalah, bahwa di masa mendatang mungkin alangkah lebih baik jika pengembangan kajian dari tulisan ini lebih difokuskan pada implikasi-implikasi sosial-praktis dari prinsip apa saja boleh (anything goes), ilmu tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak harus mengungguli bidang pengetahuan lain dan kebebasan individu Feyerabend di tengah arus liberalisasi pemikiran masyarakat kontemporer. Dengan begitu, maka perdebatan filosofis tentang Feyerabend tidak hanya berkisar pada satu sketsa pemikiran saja, sebab masih banyak padanan ide dan ragam penafsiran lain yang bisa dielaborasi secara tajam dan mendalam dari tesis-tesis utama Feyerabend yang begitu kontroversial dan ekstrem itu guna memperoleh bekal pemahaman yang lebih benar dan lengkap tentang struktur fundamental dari filsafat Feyerabend itu sendiri.
- Dalam mengkaji pemikiran filsafat Feyerabend ini kita dituntut untuk melakukan apropriasi, yaitu kemampuan memahami orang lain tanpa terhanyut ke dalam alam pikirannya secara total. Sebab kerapkali krisis persepsi terhadap pluralitas dan kompleksitas dari setiap dialektika pemikiran membuat kita tidak bisa menangkap dan menggali muatan-muatan filosofis yang menjadi asumsi dasar masalah tersebut, sehingga tidak jarang menimbulkan pemaknaan yang justru kontraproduktif. Bahkan yang lebih parah lagi, batas-batas yang kita paksakan atas persoalan yang sejatinya kompleks itu sering merupakan penjelmaan dari sikap-sikap subyektif-egoistik kita. Oleh karena itu, selain beresiko menghasilkan rumusan pemecahan masalah yang keliru, kita pun cenderung bersikap fanatik—mati-matian membela pendapat kita tanpa peluang menyadari bahwa pendapat kita itu salah. Namun dengan adanya unsur “relativisme saintifik”—istilah Haidar Bagir—dalam rumpun teori ilmu pengetahuan, tentu akan membuat kita tidak pernah merasa benar sendiri serta tidak mudah merasa puas dengan segala pengetahuan yang telah kita peroleh. Sebab studi filsafat sebagai pilar utama rekonstruksi pemikiran lewat metodologi berpikirnya yang ketat, mengajar kita untuk senantiasa meneliti, mendiskusikan dan menguji kesahihan serta akuntabilitas setiap gagasan—termasuk anarkisme ilmu pengetahuan Feyerabend—agar bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual dan ilmiah. Evolusi ilmu pengetahuan dan kebudayaan manusia telah sampai ke zaman yang memaksa kita untuk berpikir holistik, sistemik dan refleksif-mendalam untuk memahami realitas beserta problem-problem besar yang diakibatkannya.
- Di samping itu juga, perlu kecermatan dan ketelitian dalam menelaah setiap rekonstruksi filosofis yang cukup provokatif dari Feyerabend, sehingga kita mampu mencerna makna substansial dari setiap realitas yang ada. Anarkisme, sebagaimana ditegaskan Feyerabend berbeda dengan anarkisme politis maupun religius. Demikian juga, anything goes tidak berarti pula tanpa batas-batas fungsional yang mengikuti kecenderungan individual yang tidak berarti dan tidak bernilai. Juga pengertian Against Method, tidak lantas itu meniadakan atau mengganti peran dan fungsi teoretis ilmu pengetahuan yang telah dirintis oleh para ilmuwan, tetapi itu menurut Feyerabend, dipakai untuk menunjukkan bahwa ada aspek relativitas teori ilmu pengetahuan yang selalu terbatas oleh adanya ketergantungan observasi pada teori. Atau Against Science, yang tidak bermakna anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan bahwa subyektivitas para ilmuwan dalam penetapan sebuah proposisi atau hipotesis ilmu pengetahuan menyebabkan praktek ilmiah tidak bisa dijadikan sebagai simbol superioritas ilmu pengetahuan atas bentuk atau bidang pengetahuan lain. Maka saran akhir yang bisa penulis usulkan adalah dibutuhkan sikap kehati-hatian dalam memahami dan menyelidiki pokok-pokok pikiran filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dengan menghindari penafsiran yang dangkal dan terpilah-pilah.
DAFTAR PUSTAKA
Asdi, Endang Daruni dan A. Husnan Aksa. Filsuf-filsuf
Dunia dalam Gambar. Yogyakarta: Karya
Kencana, 1981.
Adisusilo, Sutardjo. Problematika
Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius, 1983.
Androngi. Filsafat Alam
Semesta. Semarang: Bintang Pelajar, 1986.
Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Semarang: Alwaah, 1993.
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna.
terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali. Bandung: Mizan, 1998.
Beerling, R.F. Filsafat Dewasa
Ini. Jakarta: Balai Pustaka, 1951.
Brouwer, Martinus Anton Wesel. Psikologi
Fenomenologis. Frans M. Parera (penyunting).
Jakarta: Gramedia, 1984.
Brouwer, Martinus Anton Wesel dan M.P. Heryadi. Sejarah
Filsafat Barat dan Sezaman. Bandung: Alumni,
1986.
Bertens, Kees. Panorama
Filasafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1987.
Bakker, Anton dan A. Charris Zubair. Metodologi
Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius,
1990.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat.
Jakarta: Gramedia, 1996.
Beerling, et.al., Pengantar
Filsafat Ilmu. alih bahasa Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Bunge, Mario Augusto. Philosophy
of Science, Volume One: From Problem to Theory, Revised Edition.
New York: Transaction Publishers, 1998.
Balashov, Yuri and Alex Rosenberg (eds.). Philosophy
of Science: Contemporary Readings. London:
Routledge, 2002.
Bernadien, Win Usuluddin (ed.). Dance
of God, Tarian Tuhan. Yogyakarta: Apeiron
Philotés, 2003.
Chalmers, A.F., Apa itu yang
dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta
Metodenya. Jakarta: Hasta Mitra, 1982.
Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar
Epistemologi dan Logika. Bandung: Remadja
Karya, 1985.
Epping, A., Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat
Ensie: Eerste, Nederlandse, Systematisch, Ingerichte, Encyclopaedie.
Bandung: Jemmars, 1983.
Feyerabend, Paul Karl. Against
Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge.
London: New Left Books, 1975.
__________________. “How to Defend Society Against
Science”, dalam Ian Hacking (ed.). Structure
Revolutions. New York: Oxford University
Press, 1981.
__________________. Farewell to
Reason. New York: Verso, 1987.
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Pedoman
Penulisan Proposal dan Skripsi. Yogyakarta:
Fak. Ushuluddin, 2002.
G.W., Bawengan. Sebuah Studi
Tentang Filsafat. Jakarta: Pradnya Paramita,
1983.
Gie, The Liang. Lintasan
Sejarah Ilmu. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu
Berguna, 1998.
____________.
Pengantar Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Liberty, 1999.
Gallagher, Kenneth T., Epistemologi
(Filsafat Pengetahuan). P. Hardono Hadi
(penyunting). Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah
Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius,
1980.
Hanafi, A., Ikhtisar Sejarah
Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka Alhusna,
1981.
_______, Filsafat Skolastik.
Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983.
Hamersma, Harry. Tokoh-tokoh
Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia,
1992.
Harris, James Franklin. Against
Relativism: A Philosophical Defense of Method.
La Salle, Illinois: Open Court, 1997.
Howard, Roy J., Pengantar
Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika; Wacana Analitik,
Psikososial, dan Ontologis. Ninuk
Kleden-Probonegoro (ed). Bandung: Nuansa, 2000.
Kuhn, Thomas S., Peran
Paradigma dalam Revolusi Sains. terj. Tjun
Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.
Kattsoff, Louis O., Pengantar
Filsafat. alih bahasa Soejono Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Losee, John. Philosophy of
Science and Historical Enquiry. Oxford:
Clarendon Press, 1974.
Laer, Henry van. Filsafat Sains
Bagian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara Umum.
Yudian W. Asmin (ed.). Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan Penulis
Muslim Indonesia, 1995.
_________. A Historical
Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition.
New York: Oxford University Press, 2001.
Leaman, Oliver. Pengantar
Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis.
terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan, 2001.
Ladyman, James. Understanding
Philosophy of Science. London: Routledge,
2002.
Lubis, Akhyar Yusuf. Feyerabend:
Penggagas Anti-Metode. Jakarta: Teraju,
2003.
Magnis-Suseno, Franz von. Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius,
1992.
Melsen, A.G.M. van. Ilmu
Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita. terj.
Kees Bertens. Jakarta: Gramedia, 1992.
Mudhofir, Ali. Kamus Istilah
Filsafat. Yogyakarta: Liberty, 1992.
__________. Kamus Teori dan
Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Gadjah
Mada University Press, 1996.
Popper, Karl Raimund. The Logic
of Scientific Discovery. New York: Harper &
Row Pub., 1968.
Prawirohardjo, Soeroso H. Meta-Teoritis
atas Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya Bagi Program Pendidikan Tinggi
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Yogyakarta:
U.P. Indonesia, 1984.
Peursen, Cornelis Anthonie van. Susunan
Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia, 1988.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry. Kamus
Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994.
Piaget, Jean. Strukturalisme.
terj. Hermoyo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Polanyi, Michael. Segi Tak
Terungkap Ilmu Pengetahuan. terj. Michael
Dua. Jakarta: Gramedia, 1996.
Piliang, Yasraf Amir. Hiper-Realitas
Kebudayaan. Yogyakarta: LKÃS,
1999.
_______________. Hipersemiotika:
Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Qadir, C.A. (penyunting). Ilmu
Pengetahuan dan Metodenya. terj. Bosco
Carvalho, et.al. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Runes, Dagobert D. (ed.). Dictionary
of Philosophy. Littlefield Adams & Co.,
Totowa: New Jersey, 1971.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Suppe, Frederick (ed.). The
Structure of Scientific Theories. Urbana
University of Illionis Press, 1974.
Siswanto,
Joko. Kosmologi Einstein.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Sudarto. Metodologi Penelitian
Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
Smith, W.H. Newton. The
Rationality of Science. Boston: Routledge &
Keagan Paul Ltd., 1981.
Smith, Huston. Kebenaran Yang
Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas.
terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD, 2001.
Sutrisno, F.X. Mudji dan F. Budi Hardiman (ed.). Para
Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Semiawan, Conny R., et.al., Dimensi
Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung:
Rosdakarya, 1998.
Suriasumantri, Jujun Suparjan. Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1995.
____________ (penyunting). Ilmu
dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Salam, Burhanuddin. Sejarah
Filsafat, Ilmu dan Teknologi. Jakarta:
Rineka Cipta, 2000.
Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme:
Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Tim Redaksi Driyarkara (penyunting). Hakikat
Ilmu dan Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta:
Gramedia, 1993.
Tim Penulis Rosda. Kamus
Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Verhaak, Christiaan R.O.M. dan Robert Haryono Imam.
Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara
Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia, 1991.
1
Jujun Suparjan Suriasumantri (penyunting), Ilmu
dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2.
2
Beerling, et.al., Pengantar Filsafat
Ilmu, alih bahasa Soejono Soemargono,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. xii.
3
Prasetya T.W., "Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl
Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat
Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu
(Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 47.
4
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan
Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya
(Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 149.
5
Paul Karl Feyerabend, Against Method:
Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge
(London: New Left Books, 1975), hlm. 205.
7
Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend:
Penggagas Anti-Metode (Jakarta:
Teraju, 2003), hlm. 119 dan 116.
8
Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono
Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah
atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1991), hlm. 167-168.
15
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Pedoman
Penulisan Proposal dan Skripsi
(Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002), hlm. 9.
16
Anton Bakker dan A. Charris Zubair, Metodologi
Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 61.
18
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 98. Lihat juga dalam
Anton Bakker dan A. Charris Zubair, op.cit.,
hlm. 63.
20
W.H. Newton-Smith, The Rationality of
Science (Boston: Routledge &
Keagan Paul Ltd., 1981), sebagaimana yang dikutip oleh Endro Witj.,
Feyerabend: Rasionalitas Ilmu Yang
Goyah, dalam Fokus, Februari 1989,
hlm. 34.
22
Prasetya T.W., “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl
Feyerabend”, dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat
Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993).
23
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian
Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta
Mitra, 1982).
24
W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston:
Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981).
25
Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode
(Jakarta: Teraju, 2003).
26
Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam
Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi
Driyarkara (penyunting), Hakikat
Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu
(Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 48.
27
Akhyar Yusuf Lubis, Paul
Feyerabend: Penggagas Anti-Metode
(Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 101-102.
28
John Losee, A Historical Introduction
to the Philosophy of Science, Fourth Edition
(New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 177.
29
Paul Karl Feyerabend, Against
Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge
(London: New Left Books, 1975), hlm. 5. Feyerabend mempersembahkan
buku ini kepada Imre Lakatos dengan menulis To
Imre Lakatos, friend and fellow-anarchist.
32
Yuri Balashov and Alex Rosenberg (eds.), Philosophy
of Science: Contemporary Readings
(London: Routledge, 2002), hlm. 141.
33
Don Cupitt, After God: Masa Depan
Agama, terj. Abdul Qodir Shaleh
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. 204-205.
34
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar
Epistemologi dan Logika (Bandung:
Remadja Karya, 1985), hlm. 2.
39
Louis O. Kattsoff, Pengantar
Filsafat, alih bahasa Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 116.
40
Frederick Suppe (ed.), The Structure of
Scientific Theories (Urbana University
of Illionis Press, 1974), hlm. 4.
44
Henry van Laer, Filsafat Sains Bagian
Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara Umum,
Yudian W. Asmin (ed.), (Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan Penulis
Muslim Indonesia, 1995), hlm. 133.
45
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme:
Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 126-127.
47
Soeroso H. Prawirohardjo, Pengamatan Meta-Teoritis atas Ilmu
Pengetahuan dan Implikasinya Bagi Program Pendidikan Tinggi Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1984), hlm.
9-10.
48
Roy J. Howard, Pengantar atas
Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika; Wacana Analitik,
Psikososial, dan Ontologis, Ninuk
Kleden-Probonegoro (ed.), (Bandung: Nuansa, 2000), hlm. 51.
51
Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma dalam
Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 203.
54
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna,
terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 59.
55
Karl Raimund Popper, The Logic of
Scientific Discovery (New York: Harper
& Row Pub., 1968), hlm. 40-42.
56
Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat
Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu
(Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 160.
57
Conny R. Semiawan, et.al., Dimensi
Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung:
Rosdakarya, 1991), hlm. 51-52.
59
Seperti dikutip oleh Conny R. Semiawan, op.cit., hlm. 58.
60
Huston Smith, Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan
Modernitas, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSoD,
2001), hlm. xviii.
62
Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 112.
67
Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri:
Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal
(Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 176 dan 315.
73
John Losee, Philosophy of Science and
Historical Enquiry (Oxford: Clarendon
Press, 1974), hlm. 4.
75
Martinus Anton Wesel Brouwer dan M.P. Heryadi, Sejarah
Filsafat Barat dan Sezaman (Bandung:
Alumni, 1986), hlm. 22.
77
Listiyono Santoso, “Sains dan Problematika Ketuhanan Abad
Pencerahan (Hampiran Empirisme Radikal David Hume, 1711-1776)”,
dalam Win Usuluddin Bernadien (ed.), Dance
of God, Tarian Tuhan (Yogyakarta:
Apeiron-Philotés, 2003), hlm. 84.
79
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat,
alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996),
hlm. 269.
83
Nico Syukur Dister, “Descartes, Hume dan Kant, Tiga Tonggak
Filsafat Modern”, dalam F.X. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman
(ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 55.
87
A.G.M. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita,
terj. Kees Bertens (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 6-7.
91
Sutardjo Adisusilo, Problematika
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
(Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 43.
92
A. Epping, Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat
Ensie: Eerste, Nederlandse, Systematisch, Ingerichte, Encyclopaedie
(Bandung: Jemmars, 1983), hlm. 244-245.
93
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna,
terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 90.
96
Joko Siswanto, op.cit.,
hlm. 11. Baca juga dalam Androngi, Filsafat
Alam Semesta (Semarang: Bintang
Pelajar, 1986), hlm. 110.
99
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika:
Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. 235.
100
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan
Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya
(Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 107-108.
101
Paul Karl Feyerabend, Against Method:
Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge
(London: New Left Books, 1975), hlm. 33.
102
Martinus Anton Wesel Brouwer, Psikologi
Fenomenologis, Frans M. Parera
(penyunting), (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 83.
103
Conny R. Semiawan, et.al., Dimensi
Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung:
Rosdakarya, 1998), hlm. 76 dan 80.
104
Michael Polanyi, Segi Tak Terungkap
Ilmu Pengetahuan, terj. Michael Dua
(Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. ix-x.
105
Jika Polanyi berbicara tentang cita rasa estetis, nilai-nilai moral
dan ikatan-ikatan sosial, maka yang dimaksud disini bukan
prinsip-prinsip moral universal dan abstrak dalam pengertian Kant,
melainkan kebiasaan atau tradisi suatu masyarakat.
107
James B. Conant, Apakah Ilmu Pengetahuan Itu?, dalam C.A. Qadir
(penyunting), Ilmu Pengetahuan dan
Metodenya, terj. Bosco Carvalho,
et.al., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 41.
109
Kenneth T. Gallagher, Epistemologi
(Filsafat Pengetahuan), P. Hardono
Hadi (penyunting), (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 174-175.
111
Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan
Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara
(penyunting), Hakikat Pengetahuan dan
Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1993), hlm. 57.
115
John Losee, A Historical Introduction
to the Philosophy of Science, Fourth Edition
(New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 187.
117
Mario Augusto Bunge, Philosophy of
Science, Volume One: From Problem to Theory, Revised Edition
(New York: Transaction Publishers, 1998), hlm. 78.
Teori relativitas atau dikenal juga dengan teori
Einstein adalah teori tentang realitas fisik yang menggambarkan
fenomena alam secara kuantitatif. Teori relativitas terdiri dari dua
bagian, yaitu teori relativitas khusus yang diciptakan Einstein pada
tahun 1905 dan teori relativitas umum yang dimunculkan Einstein pada
tahun 1916. Isi pokok teori tersebut menyangkut ide-ide fundamental
yang dipakai untuk menjelaskan alam, yakni ide-ide tentang ruang,
waktu, massa, gerak dan gravitasi. Lihat Joko Siswanto, op.cit.,
hlm. 27.
121
Paul Karl Feyerabend, “How to Defend Society Against Science”,
dalam Ian Hacking (ed.), Scientific
Revolutions (New York: Oxford
University Press, 1981), hlm. 156ff.
122
Endang Daruni Asdi dan A. Husnan Aksa, Filsuf-filsuf
Dunia dalam Gambar (Yogyakarta: Karya
Kencana, 1981), hlm. 166.
125
Paul Karl Feyerabend, “How to Defend Society Against Science”,
hlm. 156ff.
127
Paul Karl Feyerabend, Against Method:
Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge
(London: New Left Books, 1975), hlm. 299.
129
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran
dalam Filsafat dan Teologi
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 9-10.
Antinomian (bhs.
Yunani, anti,
melawan, nomos,
hukum) 1. seseorang yang menginginkan kebebasan dari aneka peraturan
dan hukum dalam masyarakat. Seseorang yang ingin hidup di luar
masyarakat dalam keadaan alami atau hidup dalam masyarakat dengan
ikatan seminimal mungkin oleh norma-norma sosial. (Penganut
antinomi, sebgai lawan dari kaum aktivis atau anarkis, umumnya tidak
langsung terlibat dalam usaha penghapusan hukum-hukum dan struktur
politik suatu masyarakat. 2. dalam teologi, (a) seseorang yang
percaya bahwa hanya keimanan, bukan hukum moral, yang diperlukan
bagi keselamatan. (b) dalam pengertian teologis yang lebih ekstrem,
seseorang yang memandang rendah hukum dan batasan-batasan sosial
serta meletakkan di atas segalanya soal keimanan dan pengetahuan
tertentu yang menjanjikan keselamatan. Lihat dalam Tim Penulis
Rosda, Kamus Filsafat
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 17.
131
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus
Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,
1994), hlm. 30.
132
Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of
Philosophy (Littlefield Adams &
Co., Totowa: New Jersey, 1971), hlm. 11-12.
135
W.H. Newton-Smith, The
Rationality of Science (Boston:
Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981), hlm. 146-147.
Istilah dadais
muncul dari dunia seni di Perancis dan Jerman setelah Perang Dunia I
sekitar tahun 1916-1922. Dadaisme
berarti suatu gerakan protes dari dunia seni yang ditujukan bukan
hanya terhadap seni yang sudah mapan, melainkan akhirnya juga
menjadi gerakan protes terhadap segala bentuk kemapanan.
136
Paul Karl Feyerabend, Against
Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge
(London: New Left Books, 1975), hlm. 23.
137
Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam
Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi
Driyarkara (penyunting), Hakikat
Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu
(Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 54.