ANARKISME ILMU PENGETAHUAN (Analisis Terhadap Konstruksi Epistemologi Paul Karl Feyerabend, 1924-1994)

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu. Dinamika perkembangan ilmu yang begitu pesat dan cepat serta pengaruhnya yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat, menuntut intensitas pemikiran kita untuk mempelajari berbagai metode cabang ilmu secara terpadu dan berkesinambungan. Hakikat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan berdaya guna memberikan dorongan bagi kita dalam menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala-gejala alam.
Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor peradaban telah memungkinkan manusia menemukan jati dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan serta merta dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kehidupan sehari-hari, dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya.
Meskipun tampak betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni: Apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? dan Apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?1 Hal ini juga sesuai dengan dimensi utama filsafat ilmu itu sendiri sebagai sebuah proses penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Sebab filsafat ilmu itu sendiri bersinggungan pula dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti filsafat pengetahuan (hakikat serta otentisitas pengetahuan), ontologi (ciri-ciri serta susunan kenyataan) dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).2
Pertanyaan itu kelihatannya sederhana namun mencakup permasalahan yang sangat azasi. Lahirnya sejumlah karya pemikiran besar pun sebenarnya merupakan wujud nyata dari keseriusan kaum intelektual dalam rangka merumuskan format penafsiran baru yang lebih bermutu atas ketiga pertanyaan tersebut di atas. Pemikiran-pemikiran besar dalam sejarah kebudayaan manusia dapat dicirikan dan dibedakan dari cara mereka menjawab dan menyikapi pertanyaan-pertanyaan itu yang merupakan titik tolak dalam pengembangan pemikiran selanjutnya. Ilmu merupakan salah satu bentuk manifestasi dari pengetahuan manusia yang pada abad modern ini telah merasuki setiap sudut kehidupan manusia.
Salah satu pandangan kontemporer tentang ilmu yang paling menantang dan provokatif adalah pandangan yang dikemukakan dan dibela secara gemilang oleh Paul Karl Feyerabend. Ia mengajukan pandangan yang sangat menantang dan baru dalam filsafat ilmu. Baginya, tidak ada penilaian mengenai watak dan status ilmu akan lengkap tanpa suatu usaha untuk memahaminya secara integral dan holistik. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya secara mendalam, sehingga hal tersebut bukan saja akan meningkatkan apresiasi kita terhadap ilmu itu sendiri, namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan yang dikandungnya.
Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya. Demikian juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari ilmu, dan tidak mau melihat kenyataan bahwa ilmu telah mampu membentuk peradaban seperti apa yang kita saksikan sekarang ini, kepicikan seperti itu kemungkinan besar disebabkan karena mereka kurang mengenal hakikat ilmu yang sebenarnya.
Menghadapi dua pola pendapat yang ekstrem ini seyogianya kita harus bersikap lapang dan bijak dengan menyadari bahwa meskipun ilmu memang memberikan gambaran konseptual tentang hakikat kebenaran, namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya sumber kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat berbagai model kebenaran lain yang memperkaya khazanah kehidupan kita. Kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran saja. Adalah ketinggi hatian yang tidak mempunyai dasar sama sekali, jika kita beranggapan bahwa ilmulah alpha dan omega dari segala kebenaran yang ada.
Dalam konteks pemikiran inilah, Paul Karl Feyerabend ingin melihat mengapa pada abad modern ini ilmu pengetahuan diberi penghargaan tinggi dalam masyarakat dibandingkan bidang-bidang lainnya. Seolah-olah kini ilmu pengetahuan bersifat "anarkis".3
Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu yang secara tipikal menilai ilmu adalah superior atas bentuk-bentuk pengetahuan lain tanpa melakukan penyelidikan yang layak mengenai bentuk-bentuk pengetahuan lain.4 Ia mengemukakan bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar tanpa argumentasi, bahwa ilmu (fisika) membentuk paradigma rasionalitas.
Secara kritis Feyerabend menulis tentang Imre Lakatos yang dianggapnya sebagai rekan anarkis karena metodologinya tidak menyediakan hukum-hukum untuk memilih teori atau program: "Setelah menyelesaikan rekonstruksinya tentang ilmu modern, ia (Lakatos) mengalihkannya ke bidang-bidang lain seolah-olah telah mapan bahwa ilmu modern lebih unggul daripada sihir-sihir atau ilmu Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada secuil pun argumentasi yang dikemukakannya. 'Rekonstruksi rasional' menganggap 'kearifan ilmiah' sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ia lebih baik daripada 'kearifan' para ahli sihir dan tukang-tukang sulap. Feyerabend menggambarkan hal tersebut dengan pernyataan berikut:
Having finished his ‘reconstruction’ of modern science, he turns it against other fields as if it had already been established that modern science is superior to magic, or to Aristotelian science, and that it has no illusory results. However, there is not a shared of an argument of this kind. ‘Rational reconstructions’ take ‘basic scientific wisdom’ for granted, they do not show that it is better than the ‘basic wisdom’ of witches and warlocks. 5

Feyerabend tidak bersedia menerima keharusan superioritas ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain, karena hal semacam itu hanya akan membenarkan tentang adanya suatu fenomena “penjajahan intelektual” secara terselubung. Dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia juga menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen menentukan yang menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain.
Apabila ilmu hendak diperbandingkan dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain, maka diperlukan penyelidikan terhadap watak, tujuan dan metode dari ilmu itu serta bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Hal ini harus dilakukan dengan meneliti "catatan-catatan sejarah, buku-buku pelajaran, tulisan-tulisan orisinal, pembicaraan serta surat-surat pribadi, dan sebagainya". Ia mengatakan, “…that is, we shall have study historical records—texbooks, original papers, records of meetings and private conversations, letters, and like”.6 Ia pun tidak bisa sekedar asumsi tanpa penelitian lebih jauh, bahwa suatu bentuk pengetahuan yang sedang diteliti itu harus sesuai dengan hukum-hukum logika, sebagaimana yang biasanya dipahami oleh para filsuf dan rasionalis kontemporer.
Feyerabend meyakini bahwa tidak ada metodologi ilmu yang ada selama ini yang bisa bertahan dari perubahan. Secara meyakinkan Feyerabend mengemukakan bahwa metodologi-metodologi ilmu gagal menyediakan hukum-hukum yang memadai untuk membimbing aktivitas para ilmuwan. Menurut Feyerabend, mengingat kompleksitas sejarah, maka tidak masuk akal untuk mengharapkan ilmu dapat diterangkan hanya atas dasar beberapa hukum metodologi yang terlalu simplistik (sederhana) dan superfisial (dangkal).
Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodologi yang menolak pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa rasionalitas adalah agung, bersifat universal, terlepas dari subyektivitas, konteks dan historisitas. Baik rasionalisme maupun empirisme mendukung rasionalitas yang menurutnya universal dengan cara yang berbeda.
Seperti halnya Kuhn yang berasumsi bahwa tidak ada suatu teori apa pun yang bertahan dalam sejarah, Feyerabend menyangkal adanya rasionalitas yang universal dan historis. Maksudnya, kebenaran universal yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik daripada yang lainnya.7
Kesamaan Feyerabend dengan Kuhn terletak pada tesis keduanya yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu atau teori-teori tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. Feyerabend beranggapan bahwa makna dan interpretasi tentang keterangan observasi tergantung pada konteks teoretis. Dengan begitu, ia ingin menentang pandangan yang memisahkan teori dan observasi.
Konsekuensi logisnya adalah, tidak mungkinlah merumuskan keterangan observasi yang sama dalam suatu konteks yang berbeda. Perbedaan dua teori atau lebih cukup mendasar, sehingga tidak mungkin saling membandingkan teori-teori rival secara logis.8
Dalam sebuah kutipan yang agak panjang, Feyerabend mengatakan:
The idea that science can, and should, be run according to fixed and universal rules, is both unrealistic and pernicious. It is unrealistic, for it takes too simple a view of the talents of man and of the circumstances which encourage, or cause, their development. And it is pernicious, for the attempt to enforce the rules is bound to increase our professional qualifications at the expense of our humanity. In addition, the idea is detrimental to science, for it neglects the complex physical and historical conditions which influence scientific change. It makes our science less adaptable and more dogmatic…All methodologies have their limitations, and the only rule that survives is ‘anything goes’. 9

[Ide bahwa ilmu dapat dan harus berjalan sesuai dengan hukum-hukum universal yang mapan, adalah tidak realistis dan juga merusak. Ia tidak realistis, karena terlalu menyederhanakan bakat manusia dan keadaan lingkungan yang mendorong atau menyebabkan perkembangan. Dan ia merusak, karena usaha untuk memberlakukan hukum-hukum itu cenderung meningkatkan kualifikasi profesional kita yang mengorbankan rasa kemanusiaan. Selain itu, ide itu pun merugikan ilmu, karena ia mengabaikan kondisi fisik dan historis yang kompleks yang mempengaruhi perubahan ilmiah. Ia menyebabkan ilmu semakin kurang bisa dikelola dan semakin dogmatik…Semua metodologi mempunyai keterbatasannya dan satu-satunya 'hukum' yang survive adalah 'apa saja boleh'].

Kasus Feyerabend yang menentang metode, memukul metodologi-metodologi yang dianggap telah memberikan hukum-hukum untuk membimbing para ilmuwan ini ternyata ditunjang dengan alasan yang kuat. Menurutnya: “the methodology of research programmes provides standards that aid the scientist in evaluating the historical situation in which he makes his decisions; it does not contain rules that tell him what to do”.10 Maksudnya, "Metodologi dan program-program riset menyediakan standar-standar yang membantu ilmuwan menilai situasi historis untuk mengambil keputusan-keputusannya; ia tidak berisi hukum-hukum yang mendikte apa yang harus diperbuat ilmuwan”. Maka tidaklah bijaksana, bahwa para ilmuwan dalam melakukan pemilihan-pemilihan dan keputusan-keputusan terikat oleh hukum-hukum yang diatur atau terkandung di dalam metodologi-metodologi ilmu.
Feyerabend membela apa yang ia sebut sebagai "sikap kemanusiawian" yang memandang bahwa manusia individual harus bebas dan memiliki kebebasan sebagaimana yang diperjuangkan John Stuart Mill. Feyerabend menyetujui usaha meningkatkan kebebasan menuju ke kehidupan yang penuh dan produktif.
Ia mendukung Mill dalam membela "pembinaan individualitas yang secara pribadi mampu berproduksi sendiri, atau dapat memproduksi manusia-manusia yang maju". Feyerabend menyatakan bahwa, It is in conflict ‘with cultivation of individuality which alone produces, or can produce, well-developed human beings’.11
Dari sudut pandang kemanusiawian ini, pemikiran anarkis Feyerabend tentang ilmu mendapatkan dasar pembenarannya, karena di dalam ilmu ia memang diarahkan guna meningkatkan kebebasan individu dengan memacu penyingkiran segala macam kungkungan metodologis.
Dalam konteks yang lebih luas, ia senantiasa mendorong semangat kebebasan bagi para individu untuk memilih antara ilmu dan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Jadi jelas sekali, bahwa Feyerabend menolak sikap otoriter dalam bentuk apapun juga.
Feyerabend hendak mendobrak anggapan bahwa ada keteraturan dalam perkembangan ilmu yang hendak diwujudkan dalam hukum dan sistem. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem maupun hukum yang berlaku. Ia harus bebas karena memang kegiatan ilmiah atau ilmu pengetahuan merupakan suatu upaya yang anarkistik. Pendapat Feyerabend ini juga harus dilihat sehubungan dengan analisisnya tentang masyarakat.
Dalam perspektif Paul Karl Feyerabend, perkembangan ilmu di dalam masyarakat kita tidak lagi konsisten dengan sikap kemanusiawian. Di kalangan masyarakat kita dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama dengan posisi agama seperti halnya pada masa Abad Pertengahan. Ilmu pengetahuan memiliki kuasa mutlak. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan manusia, namun justru menguasai dan memperbudak manusia.
Apa yang perlu kita lakukan dalam masalah ini, tulis Feyerabend, adalah "membebaskan masyarakat dari kungkungan ilmu yang membatu secara ideologis, persis seperti nenek moyang kita membebaskan kita dari kungkungan 'agama satu-satunya' yang benar". Ia menyatakan, “let us free society from the strangling hold of an ideologically petrified science just as our ancestors freed us from the strangling hold of the One True Religion!”. 12
Hal ini perlu ditempuh karena menurut citra Feyerabend, setiap individu dilahirkan ke dalam suatu masyarakat yang sudah eksis lebih dulu, dan dalam pengertian itu, masyarakat itu bukanlah pilihannya yang bebas. Kebebasan yang dimiliki seorang individu akan tergantung pada posisi yang ia duduki di dalam struktur sosial tersebut, dan oleh karena itu, suatu analisa tentang struktur sosial bersangkutan merupakan prasyarat untuk mengerti tentang kebebasan sang individu.
Setidaknya ia menyadari hal semacam ini dan dalam satu bagian tentang kebebasan riset, Feyerabend menulis: “The scientist is still restricted by the properties of his instruments, the amount of money available, the intelligence of his assistants, the attitude of his colleagues, his playmets—he or she—is restricted by innumerable physical, physiological, sociological, historical contraints”.13 Artinya bahwa, "Ilmuwan masih dibatasi oleh sifat-sifat dari instrumen-instrumennya, jumlah uang yang bisa diperolehnya, kecakapan para asistennya, sikap rekan-rekannya, teman-teman mainnya—lelaki atau perempuan—ia dibatasi oleh banyak sekali kekangan fisik, psikologis, sosiologis dan historis".

Seluruh pembicaraan dan perdebatan tentang pemikiran Paul Karl Feyerabend tersebut di atas tersimpul dalam sebuah mainstream yang padat makna, anarkisme ilmu pengetahuan, sebagai suatu kritik yang diajukan dan ditujukan untuk semakin dapat menemukan wajah ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Yang pertama, dengan memegang semboyan anti-metode (Against Method), Feyerabend ingin melawan batang tubuh beserta metode ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal serta tahan sepanjang masa, dan juga dapat membawahi semua fakta dan penelitian.
Kemudian, atas nama kebebasan yang sama, Feyerabend mempunyai sikap anti-ilmu pengetahuan (Against Science) sebagai kritik terhadap praktek ilmiah, kekuasaan, fungsi dan kedudukan ilmu pengetahuan dalam masyarakat yang kerapkali melampaui maksud utamanya. Dengan posisi seperti ini, ia hendak melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain semisal sihir, magi, voodoo, mitos, dan sebagainya.
Feyerabend menyimpulkan bahwa, sains maupun rasionalitas bukanlah ukuran unggul yang universal. Keduanya adalah tradisi partikular yang tidak menyadari latar historisnya sendiri. Ilmu pengetahuan sebagaimana tinjauan historis Feyerabend, lebih merupakan suatu perkembangan dari berjuta-juta alternatif, satu dengan yang lain tidak selalu terdapat konsistensi atau kesepadanan.14
Maksud dari semua itu sebenarnya adalah, Feyerabend ingin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka yang dipropagandakan oleh para ilmuwan. Ia memilih istilah realisme ilmiah yang dalam salah satu bentuknya berupa aktivitas-aktivitas kita mengumpulkan pengetahuan sebagai jalan terbaik untuk memahami dunia.
Dalam pengertian ini berarti ilmu pengetahuan tidak hanya sanggup menghasilkan prediksi-prediksi saja, melainkan juga berpotensi untuk menggali hakikat realitas yang menjadi cita-cita dari pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Realisme ini akan bisa terwujud pada saat teori-teori, sistem pemikiran, dan kerangka-kerangka pandang diterapkan dalam bentuknya yang paling kuat, bukan sekedar sebagai skema-skema bagi setiap proses kejadian yang kodratnya ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan eksternal, tetapi sekaligus juga bertindak sebagai penentu orientasi keilmuan yang telah dirancangnya.
Pada akhir kegelisahan intelektualnya, Feyerabend menawarkan terma anarkisme sebagai obat mujarab dalam menyembuhkan epistemologi dari sakitnya. Sebagai obat bukan berarti ilmu pengetahuan harus menjadi anarkis, namun baik epistemologi maupun filsafat ilmu pengetahuan harus menerima anarkisme agar dengan demikian kita akan kembali kepada bentuk-bentuk rasionalitas yang lebih jelas dan bebas, kurang lebih seperti yang diproyeksikan dan diidealisasikan oleh Feyerabend.
Adanya klaim bahwa anarkisme ilmu pengetahuan sebagai bentuk kesewenang-wenangan epistemologis Feyerabend perlu kiranya dimengerti dalam porsi pemahaman yang tepat dan seimbang. Sebab pada kenyataannya istilah ekstrem itu dimaksudkan untuk memberikan kritik eksternal terhadap metode dan praktek ilmu pengetahuan yang acapkali mengaburkan karakter dan tujuan dasar utamanya. Tetapi hal itu mungkin bisa dipahami karena memang seorang anarkis di bidang ilmu pengetahuan oleh Feyerabend diistilahkan—mengutip pendapat Hans Richter—sebagai dadais yang anti terhadap segala bentuk kemapanan.
Maka berkaitan dengan persoalan itu pula, skripsi ini diangkat guna menelaah lebih jauh mengenai beberapa pokok pemikiran Feyerabend beserta aspek penting lain yang terdapat di dalamnya. Secara khusus, dalam tulisan ini penulis ingin melacak dan mengurai sejauhmana konsistensi dari seluruh sistem pemikiran Feyerabend dalam alur sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai tawaran metodis yang disodorkannya.
Sebagai sebuah kajian serius tentang tokoh filsafat ilmu pengetahuan baru, Feyerabend melontarkan gagasan kritis-progresif yang sayangnya sampai saat ini masih relatif kurang bisa dibaca, dipelajari dan diakses lebih jauh oleh para peminat filsafat pada khususnya serta kalangan dunia akademis pada umumnya.
Mungkin hal inilah yang kemudian menjadi latar dari pemilihan tokoh dan pembahasan topik Paul Karl Feyerabend, yang dalam rekaan awal penulis, beberapa pandangan ilmu pengetahuannya tidak lebih hanya sekedar reaksi keilmuan mengenai presuposisi-presuposisi akan adanya berbagai deviasi (penyimpangan) nilai-nilai etis-praktis ilmu pengetahuan yang diterapkan oleh para ilmuwan kala itu saja.
Namun setelah melalui proses studi yang runut dan seksama, ternyata penulis menemukan beberapa endapan gagasan vital dan relatif belum banyak diperbincangkan muatan-muatan filosofisnya, yang selain disinyalir menjadi tonggak kebangkitan era filsafat ilmu pengetahuan baru pasca dominasi aliran Positivisme Logis, juga telah dianggap berhasil memecahkan kebuntuan monometodologi ilmu pengetahuan untuk direinterpretasikan dan direformulasikan secara paradigmatik dan anarkistik, tanpa terikat oleh hukum-hukum positivistik-logis yang berkembang sebelum masa Feyerabend.
Pondasi ilmu pengetahuan Feyerabend yang berusaha mendobrak keangkuhan format dan prosedur-prosedur sains modern ini telah menggugah kesadaran kolektif kita untuk merefleksikan ulang tentang asumsi-asumsi ilmiah sebagai simbol kemajuan peradaban modern, yang telah beralih fungsi menjadi semacam arogansi intelektual, atau terkesan hanya menjadi menara gading, dan pada akhirnya berujung pada retorika serta ideologi tertutup yang penuh kedangkalan makna dan kepentingan-kepentingan tertentu.
Maka dengan pluri-metodologi dan pandangan konstruktivis-kontekstualis seperti yang dinyatakan oleh Feyerabend, kita jadi mafhum bahwa semua klaim pengetahuan (fakta, kebenaran, validitas) hanya dapat dimengerti dan diperdebatkan dalam konteks dan dalam paradigma atau komunitas tertentu pula. Tidak satupun yang diterima sebagai fakta, teori, atau kesimpulan yang selesai atau final, sebab penerimaan atas pluri-metodologi Feyerabend ini memang mengandaikan adanya berbagai standar kebenaran.
Dengan mengacu pada realitas historis seperti itu, penulis pun berketetapan hati untuk menempatkan segi-segi fundamental filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend tersebut sebagai starting point dan landasan pemikiran dalam menggali dan mengolah ide-ide dasar ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara lebih jelas dan obyektif. Harapannya, paling tidak urgensi topik dalam penulisan karya ilmiah ini bisa menambah koleksi seri tokoh filsafat ilmu di masa mendatang.

  1. Rumusan Masalah
Dari deskripsi umum di atas, ada beberapa kata kunci yang perlu kiranya dicermati dari pola pemikiran yang dibangun oleh tokoh utama dalam fokus kajian skripsi ini, yakni Paul Karl Feyerabend. Banyak jalinan ide penting Feyerabend yang saling berhubungan dalam membentuk konsep-konsep penting lainnya sehingga semakin memperkokoh landasan teoretis yang dituangkan semasa hidupnya.
Oleh karena itu, agar alur pembahasan ini tepat sasaran, terarah dan sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka tentu saja ruang lingkup masalah yang akan dijadikan sumber acuan nantinya terbatas dan terumus dalam masalah-masalah berikut, yaitu:
  1. Bagaimana prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend dalam filsafat ilmu pengetahuannya?
  2. Bagaimana corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend?
  1. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah:
  1. Mengetahui prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara utuh dan mendalam.
  2. Mengetahui corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan yang digunakan oleh Paul Karl Feyerabend secara jelas dan memadai.
  1. Metodologi Penelitian
Menurut sumber bacaan yang ada, metodologi penelitian merupakan serangkaian metode yang saling melengkapi dalam melakukan penelitian.15 Sifat dari penelitian ini sendiri adalah kajian kepustakaan (Library Research) yang memuat data-data dan bahan-bahan yang mendukung dan melengkapi terhadap isi pembahasan ini baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, artikel, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam proses pengumpulan data-data tersebut, penulis berusaha untuk menghimpun data primer maupun sekunder yang sekiranya ada kaitannya dengan pokok pembicaraan dalam skripsi ini. Data primer itu berupa buku masterpiece Paul Karl Feyerabend sendiri yang berjudul Against Method, sedangkan data sekunder adalah berupa karya-karya Feyerabend lainnya yang dilengkapi pula dengan tulisan atau karya ilmiah para ahli yang secara khusus mengkaji dan membahas tentang pemikiran Paul Karl Feyerabend.
Disamping itu, penelitian ini juga merupakan penelitian historis-faktual mengenai seorang tokoh16, dalam hal ini Paul Karl Feyerabend. Dalam kaitan ini, penulis berusaha menyelami pikiran, karya dan latar belakang historis yang melingkupi sejarah kehidupan dan keilmuannya.
Untuk mempermudah prosedur pengolahan data itu, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode khusus, yaitu: (1) Deskriptif. Dengan metode ini, peneliti menguraikan dan membahas secara sistematis dan terperinci seluruh konsepsi pemikiran tokoh yang bersangkutan.17 Dalam konteks ini, penulis akan menggambarkan dan menguraikan sepenuhnya dengan memakai analisis filosofis tentang konstruksi filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dan beberapa gagasan penting lainnya secara lebih lengkap dan jelas. (2) Interpretatif. Dalam hal ini, peneliti berusaha menyelami karya tokoh untuk menangkap kandungan arti dan nuansa yang dimaksudkan secara spesifik.18 (3) Analisis. Dengan cara ini, penulis akan merinci istilah-istilah atau pendapat-pendapat tokoh (Feyerabend) ke dalam bagian-bagian khusus tertentu sehingga dapat dilakukan pemeriksaan atas arti yang dikandungnya, dengan maksud untuk memperoleh kejelasan tentang arti yang sebenar-benarnya.19 Dengan begitu, diharapkan nantinya akan bisa diperoleh suatu pemahaman yang benar pula tentang ciri, sifat, latar belakang dan ide-ide dasar Feyerabend itu sendiri.

  1. Tinjauan Pustaka
Diantara para filsuf sezamannya, Feyerabend dinilai paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrem, yang terutama didasarkan pada karya monumentalnya, Against Method. W.H. Newton-Smith20 menilai bahwa tidak ada kritik terhadap ilmu pengetahuan setegar dan selantang kritik Feyerabend. Kritik yang disampaikan melalui buku itu telah menggambarkan panggung filsafat pada tahun 70-an21 yang banyak mengundang polemik dan perdebatan sengit.
Sudah ada beberapa literatur yang mengupas jejak-jejak pemikiran Feyerabend, baik dalam versi Bahasa Indonesia maupun asing. Misalnya tulisan Prasetya T.W. yang berjudul “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend”, yang dimuat dalam antologi buku Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu.22 Secara lengkap dan padat, di dalamnya diuraikan seluk-beluk kemunculan Feyerabend dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan serta sejarah awal perjalanannya menjadi seorang anarkis. Dalam buku itu juga, dijelaskan tentang definisi dari anti-metode dan anti-ilmu pengetahuan yang menjadi kritik utama dalam pemikiran Feyerabend.
Selain itu pula, buku yang secara representatif dalam menampilkan dan menanggapi urgensi pemikiran Feyerabend juga diungkapkan oleh A.F. Chalmers dalam sub-topik bahasan, “Teori Anarkistis Feyerabend Tentang Pengetahuan”, yang termaktub dalam bukunya Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya.23 Buku ini secara teliti dan akurat memberikan ringkasan tentang segi-segi kunci pandangan Feyerabend yang meliputi seluruh konstruksi epistemologinya dengan disertai kritik-kritik yang cukup argumentatif-korektif.
Buku lain yang membicarakan sisi-sisi pemikiran Feyerabend adalah The Rationality of Science, karya W.H. Newton Smith24, yang berintikan tema-tema aktual dan liberal Feyerabend secara menyeluruh, mulai dari konsep anti-metode yang merupakan topik utama pemikirannya sampai gagasan-gagasan vital lainnya, seperti pandangan Feyerabend tentang prosedur kontra-induksi, ketidaksepadanan, dan seterusnya yang dibahas secara tuntas dan mendalam.
Satu lagi buku rujukan yang berkaitan dengan fenomena pemikiran Feyerabend adalah apa yang ditulis oleh Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode.25 Seri pengantar tokoh filsafat ini memberikan garis-garis besar haluan sebagai gambaran awal yang sistematis tentang sosok filsuf Paul Karl Feyerabend yang kerapkali mendera sains dengan kritik-kritik kerasnya. Ia tidak menawarkan metodologi apapun sebagai ganti induksi yang selama ini dijadikan panduan utama cara kerja ilmiah. Dengan lantangnya, Feyerabend justru memproklamirkan anarkisme epistemologis yang berhasil membuka sumbat penyatuan metode yang selama ini diberhalakan oleh sains.
Dari sekian literatur tersebut di atas, ada perbedaan yang cukup signifikan dengan maksud penelitian ini, yaitu bahwa artikel yang ditulis oleh Prasetya T.W. hanya sebatas mengenalkan sejarah awal dan garis-garis besar haluan filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dalam pergulatannya dengan aliran Positivisme Logis. Sedangkan buku A.F. Chalmers dan W.H. Newton-Smith sekedar rangkuman dari beberapa substansi pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan saja yang pembahasannya terkesan ambivalen tanpa disertai jalinan sketsa ilmu pengetahuan Feyerabend dengan pemikiran tokoh-tokoh lain serta minimnya aspek historisitas mengenai kemunculan dan keterlibatan Feyerabend dalam wacana filsafat ilmu pengetahuan secara terperinci.
Demikian juga dengan buku Akhyar Yusuf Lubis sebagai buku pengantar dalam memahami traktat-traktat berat filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend yang secara khusus hanya ‘memandu’ pembaca untuk mengenal ciri, sifat dan latar belakang pemikiran filsafat Feyerabend yang disisipi juga penjelasan tentang titik persinggungannya dengan model metodologi ilmu pengetahuan yang berkembang sebelumnya, semisal metodologi Galilean dan metodologi Positivisme Logis.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis secara spesifik berusaha menyelidiki pokok-pokok masalah yang menjadi sasaran kritik utama Feyerabend serta letak-letak perbedaan fundamental yang terdapat dalam corak pemikiran filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dengan para filsuf ilmu pengetahuan lainnya, tanpa terperangkap ke dalam pemihakan-pemihakan subyektif yang terkesan berlebihan dan kontraproduktif.
Selain daripada itu, penulis juga akan mengkaji sejauhmana konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari dasar-dasar pemahaman epistemologi Feyerabend dalam mindset sosio-kultural masyarakat yang akhir-akhir ini secara tidak kritis cenderung hanya terpaku pada satu bentuk kebenaran monologis yang bersumber dari konsepsi keilmuan tertentu.

  1. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mudah dan urutnya penulisan ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan dikelompokkan menjadi beberapa bab dan sub-bab, yaitu:
Diawali dengan Bab I, yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika pembahasan.
Kemudian Bab II, berisi tentang biografi singkat Paul Karl Feyerabend yang terdiri dari riwayat hidup, karya serta tokoh-tokoh yang membentuk watak dan mempengaruhi karakteristik pemikirannya.
Selanjutnya Bab III, menyarikan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend yang berkisar tentang persoalan apa saja boleh (anything goes), ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak harus mengungguli bidang-bidang pengetahuan lain, dan kebebasan individu.
Disusul dengan Bab IV, yang merupakan intisari pembahasan yang mengetengahkan tentang penafsiran Paul Karl Feyerabend terhadap makna anarkisme sebagai kritik atas ilmu pengetahuan itu sendiri berupa anti-metode (Against Method), dan anti-ilmu pengetahuan (Against Science).
Terakhir Bab V, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis berdasarkan seluruh hasil pembahasan yang dilakukan dan ditekuni selama dalam proses awal sampai akhir penyusunan skripsi ini.


BAB II
BIOGRAFI PAUL KARL FEYERABEND (1924-1994)

  1. Riwayat Hidup dan Karyanya
Paul Karl Feyerabend lahir pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 ia belajar seni suara teater, dan sejarah teater di Institute for Production of Theater, the Methodological Reform the German Theater di Weimar. Sepanjang hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Ia belajar Astronomi, Matematika, Sejarah, Filsafat. Menurut pengakuannya, kalau ia mengingat masa itu, ia menggambarkan dirinya sebagai seorang rasionalis. Maksudnya, ia percaya akan keutamaan dan keunggulan ilmu pengetahuan yang memiliki hukum-hukum universal yang berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Keyakinan rasionalitasnya pada masa itu tampak dari kiprahnya dalam Himpunan Penyelamatan Fisika Teoretis (A Club for Salvation of Theoretical Phsysics).26 Keanggotaannya dalam kelompok tersebut tentu melibatkan dirinya dengan eksperimen-eksperimen ilmu alam dan sejarah perkembangan ilmu fisika itu sendiri. Dari sinilah ia melihat hubungan yang sesungguhnya antara eksperimen dengan teori yang ternyata relasi itu tidak sesederhana apa yang dibayangkan dan dijelaskan dalam buku-buku pelajaran selama ini.
Terjadinya perubahan pemikiran dalam Paul Karl Feyerabend itu setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, karena adanya perkembangan baru dalam ilmu fisika, terutama fisika kuantum. Ia melihat bahwa fisika kuantum telah menolak beberapa patokan dasar fisika yang ketika itu dianggap modern (Newtonian) yang di atasnya prinsip-prisnip positivisme ditegakkan. Yang Kedua, sambutan para fisikawan/filsuf terhadap teori mekanika kuantum yang dianggap sebagai dukungan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Gagasan Popper, Thomas S. Kuhn, dan terutama Imre Lakatos, sangat mempengaruhi pemikiran filsafatnya.27
Pada permulaan tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari Karl Raimund Popper di London. Waktu itu ia masih tetap berpegang teguh pada keyakinan rasionalitasnya, bahkan ia berpendapat bahwa perkenalannya dengan Popper semakin memperteguh keyakinannya itu.
Ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang fisika dari Wina University dan kemudian mengajar di California University. Ia telah menyatakan diri sebagai seorang “anarkis” yang menentang penyelidikan terhadap aturan-aturan penggantian teori dan pembangunan kembali pemikiran rasional dari kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan. Sikap Feyerabend tentang “apa saja boleh” dan bahwa sasaran dari kreativitas dalam ilmu pengetahuan itu adalah sebagai bentuk pengembangbiakan teori-teori.28
Pada tahun 1953, ia menjadi pengajar di Bristol. Tahun-tahun berikutnya mengajar Estetika, Sejarah Ilmu Pengetahuan dan Filsafat di Austria, Jerman, Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Pada tahun-tahun itu pula ia mulai mengalami pertobatan pemikiran. Tidak bisa tidak pertobatannya itu merupakan akibat dari perkenalannya dengan Imre Lakatos, yang meniupkan pemikiran-pemikiran anarkis terhadapnya.29
Kelak, Feyerabend menyebutkan bahwa Lakatos dianggap sebagai sahabat anarkisnya. Lagi pula seperti yang ia akui, Lakatoslah yang mendorongnya untuk menuliskan gagasan-gagasannya. Seperti yang pernah dikatakan Lakatos padanya, ‘Paul, ‘he said, ‘you have such strange ideas, why don’t you write them down?30
Dalam pertobatannya itu ia melihat bahwa dalam sejarah mekanika kuantum, bermacam-macam patokan telah dilanggar, dan anehnya patokan itu dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam pertobatannya itu, Feyerabend mengajukan pertanyaan: apakah manusia tidak mengejar ilusi-ilusi kalau mencari hukum universal guna mencapai hasil dalam ilmu pengetahuan?
Tahun 1958 ia menjadi guru besar Universitas California di Berkeley, tempat ia mengajar sampai akhir hayatnya. Tahun 1964-1965 proses pertobatannya dipercepat karena percakapannya dengan Carl Freither von Weizsäcker di Hamburg mengenai dasar-dasar mekanika kuantum. Pertobatannya itu juga dipercepat oleh keraguannya terhadap bangunan sistem pendidikan intelektualistis di tempat ia bekerja sebagai pengajar.31
Puncak pemikiran anarkisnya tertuang dalam Against Method yang terbit pada tahun 1970, suatu karangan panjang yang pada tahun 1975 diolah lagi menjadi sebuah buku dengan judul yang sama pula. Terbitnya buku itu ternyata mampu menyedot dan menyulut antusiasme publik dengan adanya berbagai kontroversi, diskusi dan kritik yang cukup beragam corak dan pemaknaannya dari para tokoh filsafat dan kaum ilmuwan secara luas. Maka sebagai jawaban atas kritik terhadap pemikirannya itu, ia pun kemudian menerbitkan lagi beberapa buku yang memuat penjelasan serta argumentasi atau perluasan gagasan yang sudah diulas dalam buku yang dikritik sebelumnya. Namun begitu, munculnya tanggapan dari berbagai pihak itu seolah-olah justru semakin memperkokoh pemikiran anarkisnya.
Mungkin Feyerabend merupakan salah satu filsuf yang sangat provokatif pada abad ke-20. Ia giat melakukan perlawanan terhadap setiap gagasan ilmu yang memiliki metodologi tersendiri untuk membatasinya dengan yang bukan ilmu dan ilmu palsu. Walaupun mulai dulu sampai sekarang banyak usaha-usahanya yang disia-siakan, tetapi usaha itu bisa dijadikan sebagai dasar persiapan yang masih layak dan berharga bagi bentuk-bentuk perlawanan lain.32
Dalam analisis Don Cupitt, sebagai seorang filsuf sains dari California yang sangat Californian sekali, Feyerabend berargumen bahwa apa yang ia sebut dengan “teori pengetahuan anarkistik” merupakan pemaknaan ulang terhadap pengetahuan saintifik. Baik filsuf maupun yang lainnya berhak menetapkan dan menggambarkan apa saja yang diperbolehkan sebagai metode saintifik, baik yang termasuk kategori sains asli ataupun yang bukan sains sekalipun. Sebab beberapa usaha untuk menjalankan aturan-aturan yang ada sebelumnya hanya mengundang pertentangan seperti yang nampak jelas pada kasus konflik agama dan (menurut Feyerabend) juga berlaku pada kasus sains. Sudah banyak contoh sejarah yang mengesampingkan hal-hal semacam itu sebagai intuisi tandingan teori-teori saintifik, seperti transmutasi spesies, relativitas umum dan teori kuantum.33

  1. Paul Karl Feyerabend dalam Wacana Filsafat Ilmu Pengetahuan
Dalam menempatkan konteks pemikiran Feyerabend, penulis membatasi diri mulai dari tahun 1920-an sampai Feyerabend muncul di panggung filsafat. Semenjak tahun 1920, panggung filsafat ilmu pengetahuan dikuasai oleh aliran Positivisme Logis. Kelompok ini berusaha memperbaharui positivisme abad ke-19 yang telah dirintis oleh tokoh positivisme klasik August Comte (1798-1857) dan para pengikutnya yang dinilai diwarnai pemikiran yang bersifat dogmatis dan indoktrinasi ideologi yang mengarah kepada absolutisme.34
Filsafat Comte adalah anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah. Positivisme klasik hanya mengakui tentang gejala-gejala (fenomen-fenomen), sehingga tidak ada gunanya mencari hakikat kenyataan yang tidak mempunyai arti faktual sama sekali. Sebab bagi Comte, hanya ada satu hal yang penting, yaitu savoir pour prévoir, “mengetahui supaya siap untuk bertindak”, “mengetahui agar manusia dapat memperkirakan apa yang akan terjadi”. Oleh karena itu, manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara fenomena-fenomena fisik-faktual tersebut sehingga ia dapat memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Hubungan-hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan konsep-konsep atau hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh akal pikiran manusia. Tetapi lawan dari filsafat positivisme ini bukanlah suatu filsafat negatif, melainkan filsafat spekulatif atau obyek metafisik.35
Positivisme klasik merumuskan hukum-hukum positif itu sebagai berikut: “Setiap perkembangan pemikiran rohani dan ilmu pengetahuan manusia secara berturut-turut melewati tiga tahap (stadia) yang berbeda, yakni tahap teologis yang berdasarkan fantasi, tahap metafisis yang abstrak dan tahap positif-ilmiah”. Tahap teologis, merupakan tahap dimana manusia percaya akan kemungkinan adanya kekuatan adikodrati yang mutlak.
Dalam tahap teologis ini terdapat tiga tahap lagi: animisme, politeisme dan monoteisme. Berdasarkan kepercayaan animistis ini, manusia beranggapan bahwa benda-benda itu merupakan sesuatu yang bergerak. Banyak benda disebut suci dan sakti yang biasa diidentikkan dengan dewa-dewa, seperti dewa api, dewa lautan, dewa angin, dewa panen, dan sebagainya, diatur dalam suatu sistem sehingga menjadi paham politeisme dengan berbagai macam spesialisasinya. Selanjutnya, semua gejala tersebut dikembalikan pada satu sumber kekuatan tunggal, yakni satu keilahian yang pada akhirnya melahirkan pemikiran tentang monoteisme.36
Kemudian dalam tahap metafisis, alam pikiran manusia secara simbolis beralih kepada kekuatan-kekuatan kosmis yang abstrak. Pada tahap positif-ilmiah, manusia mulai sadar dan mengetahui bahwa upaya teologis dan metafisis itu tidak ada gunanya. Dari sini kemudian manusia berusaha mencari hukum-hukum alam dengan memakai kemampuan akal budi yang dimilikinya.37
Di lain pihak, kaum Positivisme Logis itu sendiri menolak filsafat yang tidak menghiraukan kenyataan dan susunan serta hasil ilmu pengetahuan empiris. Mereka menganggap bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang telah diatur dan dirumuskan dalam kaidah-kaidah ilmu alam dan diperoleh dari pengamatan inderawi serta dapat diperiksa secara empiris.
Aliran Positivisme Logis membagi pengetahuan hanya terbatas kepada ilmu matematika (ilmu pasti) dan ilmu-ilmu lain yang diperoleh dari gejala-gejala yang dapat diamati oleh indera. Pengetahuan semacam ini yang disebutnya sebagai pengetahuan positif, artinya dapat dinyatakan atau dibuktikan (verifiable-positive knowledge). Seperti halnya dengan Bacon yang mendeskripsikan semua pengetahuan atas dasar pengalaman dan pengamatan inderawi, kalangan Positivisme Logis menolak persoalan sebab-sebab terakhir (final causes) yang menjadi pokok perdebatan filsafat klasik, terutama mengenai sebab pertama (first cause), sehingga mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan pun sama sekali mereka tolak.38 Kiranya pandangan Positivisme Logis ini mempunyai dasar-dasar persamaan ontologis dengan aliran Naturalisme yang juga menentang segala bentuk pikiran yang menyatakan adanya suatu dunia yang bersifat adialami atau transendental.39
Bagi aliran ini, persoalan-persoalan ilmiah harus dipecahkan secara lebih tepat dan sistematis dengan menggunakan teknik-teknik logika matematika, sebab mereka menganggap bahwa ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Ilmu pengetahuan sendiri dirumuskan dan diuraikan sebagai kalkulasi aksiomatis, yang memberikan perangkat-perangkat hukum pada interpretasi terhadap observasi yang terbatas.40
Positivisme Logis bertitik tolak dari data empiris dan tetap setia pada sifatnya yang empiristis dengan menganggap hukum-hukum logis sebagai hubungan antara istilah-istilah, hasil pengamatan dan fakta yang dinyatakan dengan memakai ungkapan dasar dalam suatu ilmu yang bercorak empiris atau—dalam pengertian Rudolf Carnap—“kalimat protokol”. Ilmu formal sama sekali tidak menyinggung tentang bukti dan data empirik (kenyataan), tetapi hanya menampilkan jalinan hubungan antara lambang-lambang logiko-matematis yang membuka kemungkinan pemakaian data observasi yang telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).41
Sebagai sebuah aliran epistemologi, Positivisme Logis menganggap logika dan matematika mencakup sebuah sintaksis dan semantik umum sehingga struktur-struktur matematis dan logis untuk menjelaskan himpunan, transformasi maupun aspek-aspek terkecil dari logika hanya merupakan struktur-struktur linguistik.42 Positivisme sebagai sebuah pandangan filsafat mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasarkan hukum-hukum dapat dibuktikan dengan teknik observasi, eksperimen dan verifikasi.43
Menurut Positivisme Logis, hanya apa yang nampak jelas dan berguna saja yang secara prinsipil bisa diverifikasi melalui observasi dan eksperimentasi. Persoalan tentang nilai sebuah teori atau makna suatu penjelasan dianggapnya tidak berarti apa-apa karena tidak memberikan jawaban yang pasti dan terukur.44
Prinsip verifikasi sebagai sentral dalam doktrin Positivisme Logis menegaskan bahwa suatu ungkapan baru akan mempunyai makna manakala ia menunjuk pada pengalaman langsung dan konkrit. Dan bahasa figuratif atau kiasan juga hanya akan dianggap mempunyai akan makna apabila diterjemahkan ke dalam bahasa literal hurufiah. Positivisme Logis menggabungkan argumen epistemologis dengan argumen semantik, persis seperti dilakukan oleh Locke dan Hobbes yang melihat kerancuan dan kekaburan kategori itu terdapat dalam penggunaan kiasan metaforis bahasa. Mereka yakin pula bahwa filsafat hanya bisa maju jika menggunakan bahasa lugas literal murni. Imbasnya lantas timbul keyakinan umum yang semakin kuat bahwa dalam dunia kebahasaan manusia sebetulnya yang berperan besar adalah memang bahasa literal itu sendiri.45
Positivisme Logis menempatkan filsafat ilmu pengetahuan sebagai logika ilmu. Pandangan semacam itu menguasai dan diterima luas oleh para filsuf ilmu pengetahuan pada zaman itu. Penerimaan secara luas ini membuat pandangan semacam itu oleh Frederick Suppe disebut The Received View.46 Sebagai tradisi intelektual yang berakar pada ilmu pengetahuan alam kodrati (natural sciences), pesatnya perkembangan kelompok yang lazim juga dinamakan empirisme neo-klasik ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena memang kesan baik yang diberikan oleh ilmu fisika sebagai disiplin ilmu yang prestisius dengan teknik-teknik penelitian yang impresif, di samping itu juga disebabkan oleh adanya orang-orang besar dan terhormat dalam bidang ilmu pengetahuan yang terdapat dalam kelompok ini seperti Albert Einstein.47
Berdasarkan kronologi sejarahnya, Positivisme Logis muncul pertama kali sebagai suatu logika bagi ilmu-ilmu fisika. Tahun 1895, Ernst March menjabat sebagai guru besar pertama filsafat ilmu-ilmu induksi di Universitas Wina, dan pada tahun 1922, posisi itu digantikan oleh Moritz Schlick, seorang murid dari Max Planck yang pada saat itu ia memusatkan karyanya pada filsafat fisika. Kemudian pada tahun 1929, kelompok ini menerbitkan sebuah manifesto yang berisi tentang tujuan perkumpulan itu dan memberinya nama: “A Scientific Conception of the World: The Vienna Circle” (Suatu Konsepsi Ilmiah Tentang Dunia: Lingkaran Wina).48 Para anggota yang ikut bergabung dalam kelompok ini adalah para kaum positivis yang kebanyakan adalah ahli ilmu alam, matematikus dan filsuf berlatar belakang matematika.
Dalam tulisan Morton White disebutkan bahwa aliran Positivisme Logis ini telah dipelopori oleh Moritz Schlick yang kala itu menjabat sebagai guru besar Filsafat di Wina, dan resmi dibentuk pada tahun 1923 dengan sebutan The Vienna Circle. Secara khusus, Schlick dan Wittgenstein mengunjungi Amerika pada tahun 1929 untuk memperkenalkan aliran tersebut. Namun ketika Hitler berkuasa, mulailah aliran Positivisme Logis ini disebut-sebut sebagai gerakan pemikiran yang sangat berbahaya. Popkin & Stroll menambahkan pula bahwa para anggota Lingkaran Wina ini adalah Moritz Schlick, Hans Hahn, Friederich Waismann, Herbert Feigel, Otto Neurath dan Rudolf Carnap.49
Kelompok ini pernah mengadakan seminar atau studi kelompok dengan melakukan pembahasan pada tulisan Wittgenstein yang sangat teliti serta didasarkan pada pandangan bahwa filsafat bukanlah teori, melainkan suatu aktivitas. Mereka berpedoman pada pendapat bahwa filsafat tidak mungkin menghasilkan pernyataan, baik pernyataan yang salah maupun pernyataan yang benar. Filsafat hanya memberikan penjelasan mengenai pengertian suatu pernyataan; mengemukakannya secara ilmiah, matematik atau bahkan tidak mempunyai arti apapun.
Inti pandangan mereka terletak pada keyakinan bahwa setiap pernyataan mengikuti ketentuan logika formal dan bahwa pernyataan itu harus bersifat ilmiah. Positivisme Logis ini biasa disebut sebagai hasil karya Ludwig Josef Johann Wittgenstein (1889-1951), yaitu dalam buku berjudul Tractatus Logico-Philosophicus yang terbit pada tahun 1921, lalu berkembang ke seluruh dunia termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Dalam tulisan tersebut, Wittgenstein menyatakan bahwa filsafat bukanlah suatu teori, melainkan suatu aktivitas atau kegiatan. Wittgenstein pun yakin bahwa teka-teki dan kekacauan filsafati akan dapat diatasi oleh analisis bahasa.
Wittgenstein mensinyalir bahwa apabila suatu pernyataan dapat diajukan, maka pernyataan itu pun seyogianya dapat dijawab secara jelas dan tuntas. Tetapi kenyataannya, ternyata tidak semua pernyataan yang diajukan itu benar-benar bermakna. Maka agar supaya kita tidak terperangkap ke dalam persoalan-persoalan filsafati yang tidak berarti, yang bersumber dari pernyataan-pernyataan yang tidak bermakna itu, maka dalam pandangan Wittgenstein harus ditemukan peraturan-peraturan tentang permainan bahasa (language game) yang digunakan lewat ungkapan bahasa sehari-hari.
Berbeda dengan Ayer, bagi Wittgenstein, yang penting bukanlah mengatur bagaimana suatu ungkapan bahasa itu harus berarti atau bermakna, tetapi kita harus bisa menangkap apa arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa itu. Oleh karena itu, kita harus mengalisis bentuk-bentuk hidup (forms of life) sampai ke dasar terdalam dari setiap permainan bahasa. Wittgenstein menegaskan bahwa arti ditentukan oleh bagaimana suatu kata digunakan dalam konteksnya. Lewat analisis bahasa, seseorang akan dapat memperoleh kejelasan (clarify) arti bahasa sebagaimana yang diutarakan oleh orang yang menggunakan bahasa itu.50
Senada dengan Wittgenstein, Kuhn juga berpendirian bahwa pengetahuan sains seperti bahasa pada dasarnya adalah milik bersama suatu kelompok. Dan untuk memahaminya kita perlu mengetahui karakteristik-karakteristik khusus dari kelompok yang menciptakan dan menggunakannya.51
Apabila disimak secara seksama, seluruh ajaran filsafat Wittgenstein itu tidak lain hanya menawarkan suatu metode yang sering disebut sebagai metode analisis bahasa. Metode itu bersifat netral, tanpa pengandaian filsafati, epistemologis ataupun metafisik. Analisis bahasa secara logis tanpa mereduksikan sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya sekedar membuat lebih jelas tentang maksud yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa verbal. Metode analisis bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein ini disebut juga dengan metode klarifikasi.
Pandangan Positivisme Logis bahwa bahasa merupakan gambaran realitas inilah yang ditolak Feyerabend. Bagi Feyerabend, fakta-fakta itu sesungguhnnya tergantung pada teori yang menjadi mediasi dalam proses pemahaman. Sedangkan pengalaman dan pemahaman itu sendiri terjadi lewat bahasa. Oleh karena itu, bahasa selalu terbatas untuk mengungkapkan totalitas pengalaman. Pengalaman yang kita alami senantiasa sudah terefleksikan yang dinyatakan dalam bahasa. Jadi, distorsi itu tidak hanya terjadi pada waktu obyek atau peristiwa dipresepsikan. Interpretasi yang dilakukan setelah dipersepsi pun, sebagaimana diutarakan Feyerabend, juga dipengaruhi oleh pengalaman dan harapan-harapan dari orang yang berusaha menafsirkan struktur realitas itu.52
Disamping itu, Positivisme Logis ini juga biasa disebut sebagai Logika Empirisme dengan pelopornya yang sangat menonjol, yakni Rudolf Carnap. Ia merupakan seorang tokoh kelahiran Jerman, datang ke Wina pada tahun 1927 dan ikut secara aktif di Lingkaran Wina. Ia adalah seorang ahli yang terlatih dalam bidang fisika dan juga seorang logisian yang rajin bekerja keras. Para anggota aliran ini sendiri adalah bekas ilmuwan yang terjun ke dunia filsafat dan sebelumnya telah berhasil membentuk suatu kegiatan di Lingkaran Wina. Para ilmuwan yang terkenal itu diantaranya adalah Ludwig Boltzmann, Pierre Duhem, Helmholtz, Ernst March termasuk juga Einstein.53
Positivisme Logis sebenarnya merupakan perkawinan antara dua aliran, empirisme dan logika tradisional. Tetapi sebutan positivisme kemudian diralat menjadi empirisme, sebab menghilangkan sebutan “positivisme” seperti kata Morton White adalah berhubungan erat dengan kritik terhadap ajaran August Comte yang menggunakan istilah “positivisme” juga. Dalam perspektif Morton White, setidaknya terdapat dua kutub dalam aliran Positivisme Logis yang patut juga kiranya mendapat perhatian cermat dalam diskursus perdebatan filsafat ilmu pengetahuan kontemporer.
Yang pertama adalah pihak negatif, suatu golongan yang ekstrem, militan, penuh kritik tajam dan menganggap remeh pula pandangan-pandangan pendahulunya. Pihak kedua adalah kelompok positif yang bersikap mengagumi logika dan ilmu pengetahuan. Disisi lain mereka juga membantah sekaligus menyerang metafisika dan etika yang gagasan awalnya sudah mulai dilontarkan beberapa filsuf analitik yang embrionya berasal dari Lingkaran Wina itu sendiri. Mereka mengembangkan ajaran yang disebut “kriteria pengertian empiris” dan menolak setiap ajaran, pandangan dan pengertian yang tidak memakai rumusan matematik dan empiris. Pada umumnya, mereka menolak metafisika karena mereka sependapat bahwa metafisika tidak dapat “dipertanggungjawabkan” secara ilmiah.
Salah satu pemikir kontemporer filsafat analitik terkenal yang memiliki pengaruh cukup besar, Alfred Jules Ayer (1910-1970) lewat bukunya Language, Truth and Logic (1963), juga berupaya mengeliminasi metafisika yang didasarkan pada prinsip verifikasi, yaitu agar suatu pernyataan (statement) benar-benar penuh arti, maka pernyataan tersebut haruslah dapat diverifikasi oleh salah satu atau lebih dari kelima pancaindera. Tokoh positivisme logika modern Inggris dan salah satu penganut empirisis logis ini menandaskan bahwa kata “makna” dalam positivisme logis berarti gagasan yang kebenaran dan kepalsuannya dapat ditegaskan dalam batas-batas pengalaman inderawi.54
Pada tahap perkembangan selanjutnya, munculnya Karl Raimund Popper menandai kreasi wacana baru dan sekaligus merupakan masa transisi bagi suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper membuka babak baru sekaligus sebagai masa transisi dipicu oleh adanya dua alasan penting. Pertama, lewat teori falsifikasinya Popper menjadi orang pertama yang meruntuhkan dominasi aliran Positivisme Logis dari Lingkaran Wina. Kedua, lewat pendapatnya tentang berguru pada ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Popper menentang Lingkaran Wina terutama dalam distingsi antara ungkapan yang disebut meaningful dan meaningless berdasarkan kemungkinannya untuk diverifikasi, yakni dibenarkan secara empiris. Namun Popper sendiri dalam hal ini mengakui bahwa ia tidak pernah berasumsi dengan memaksa kesimpulan yang telah diverifikasi dapat ditetapkan sebagai sebuah jaminan kebenaran, apalagi hanya sekedar dijadikan acuan untuk menerapkan prinsip “mungkin” atau “bisa jadi” benar (probability). Bahkan mungkin saja yang disalahkan (difalsifikasi) itu menjadi benar dalam arti verifiable (dapat diuji) secara ilmiah. Oleh Popper distingsi itu diganti dengan apa yang disebut garis batas (demarcation) antara ungkapan yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Menurut Popper, pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya kemungkinan falsifikasi bagi ungkapan yang bersangkutan.
Popper menandaskan bahwa metode falsifikasi itu mengisyaratkan tidak adanya kesimpulan deduktif, kecuali hanya perubahan sifat pengulangan kata dari logika deduktif yang memiliki derajat kebenaran yang tidak lagi diperselisihkan. Ia mengatakan, “...the method of falsification presupposes no inductive inference, but not only tautological transformation of deductive logic whose validity is not indispute”.55 Popper menegaskan bahwa suatu ungkapan bersifat empiris atau tidak, tidak dapat ditentukan berdasarkan azas pembenaran (verifiability) sebagaimana dianut oleh aliran Positivisme Logis. Pokok persoalannya adalah mustahilnya pembenaran proses induksi.
Sebagai ganti azas pembenaran, Popper menyodorkan prinsip falsifiabilitas, artinya ciri pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikan salah.56 Popper lantas menyarankan dilakukannya suatu deductive testing of theories untuk menguji kesahihan (validasi) dan ketepatan (akurasi) suatu teori ilmu pengetahuan lewat empat jalur berbeda. Pertama, perbandingan logis dari kesimpulan antar teori dalam hal konsistensi internal dari sistem yang diuji. Kedua, penyelidikan terhadap bentuk logis dari teori dengan obyek penelitian teori tersebut untuk memastikan apakah teori tersebut mempunyai karakter suatu teori empiris atau teori ilmiah, atau juga mungkin terjadi hubungan tautologis (pengulangan kata yang mengaburkan makna) diantara teori-teori tersebut.
Ketiga, perbandingan dengan teori-teori lain dengan tujuan untuk menentukan apakah teori itu telah memenuhi standar mutu hipotesis umum sebagai scientific advance yang tahan dari berbagai ujian dan kritik maupun diskusibilitas publik sehingga hal itu akan semakin mengukuhkan (corroboration) keberadaannya dalam setiap proses pencarian kebenaran ilmu pengetahuan. Keempat, pengujian terhadap teori dengan cara aplikasi empiris dari kesimpulan yang berasal dari teori tersebut. Dari cara yang terakhir inilah, suatu pernyataan tunggal dapat menghasilkan suatu prediksi kemungkinan baru yang dapat diuji (applicable) yang dideduksi dari suatu teori pengetahuan tertentu.
Setelah dilakukan seleksi terhadap beberapa pernyataan (prediksi), maka diambil suatu putusan melalui perbandingan antar pernyataan tersebut dengan hasil aplikasi praktis dan eksperimen. Apabila putusan itu positif, berarti kesimpulan tunggal itu acceptable (dapat diterima secara logika) atau verified (dapat dibuktikan secara empiris). Tetapi jika kesimpulan tersebut negatif atau falsified (tidak dapat dibuktikan keabsahannya), maka teori yang digunakan untuk mendeduksi teori-teori tersebut secara logis tidak dapat diterima sebagai sebuah hasil kebenaran yang sah.57
Dengan begitu Popper dianggap berhasil memberikan pemecahan bagi masalah induksi. Dengan itu pula, Popper serentak merubah seluruh pandangan tradisional atau The Received View yang dipegang oleh Lingkaran Wina. Bila cara kerja ilmu pengetahuan tradisional didasarkan pada prinsip verifikasi, maka dasar yang diajukan Popper adalah prinsip falsifiabilitas, suatu cita-cita yang sebenarnya diimpikan oleh para ilmuwan tradisional yakni mendasarkan cara kerja ilmu-ilmu empiris pada logika deduktif yang ketat.
Namun menurut kaum falsifikasionisme sofistikit, masalah keutamaan falsifiabililtas belum cukup untuk menjajaki kebenaran suatu teori, sebab masih ada kondisi lain yang diperlukan oleh ilmu untuk dapat berkembang lebih maju. Pandangan ini lebih menekankan pentingnya manfaat relatif teori-teori yang bersaing daripada manfaat suatu teori tunggal.
Pertanyaan-pertanyaan tentang teori seperti: “Apakah ia falsifiable?” “Bagaimana tingkat falsifiabilitasnya?” dan “Sudahkah ia difalsifiable?” dalam penilaian mereka kini lebih layak diganti dengan, “Apakah teori yang baru ini memiliki daya saing untuk menggantikan teori yang ditantangnya?”. Jadi disini berlaku pragmatisme dari suatu teori ilmiah yang merupakan racun ampuh terhadap paham determinisme yang bersifat statis dan yang sebelumnya tidak dibicarakan oleh Popper.
Sedangkan pendapat Popper tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu juga mengintroduksikan zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper menegaskan bahwa cara kerja (berdasarkan prinsip falsifiabilitas) itu bisa dilihat secara nyata dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sejarah ilmu-ilmu. Selanjutnya, dikatakan bahwa tidak hanya hipotesa melainkan juga hukum dan teori yang kokoh dalam proses falsifikasi lalu ditinggalkan.58 Dari situ Popper meyakini tidak ada ungkapan, hukum dan teori yang definitif dan baku. Semua pengetahuan manusia sementara sifatnya, bisa difalsifikasi. Beerling59 juga berpendapat bahwa semua hasil ilmu itu tidak sempurna, dapat ditambah dan diperbaiki. Jika tidak demikian, maka ilmu pengetahuan justru akan merosot menjadi ideologi tertutup dari segala kritik dan pembaruan.
Dalam kaitannya dengan hal inilah, maka kemudian muncul paham falsifikasionisme yang memandang ilmu sebagai suatu perangkat hipotesis yang dikemukakan lewat proses mencoba-coba (trial and error) dengan tujuan melukiskan secara akurat gejala suatu fenomena dunia atau alam semesta. Jadi apabila suatu hipotesis akan dijadikan bagian dari bangunan struktur ilmu, maka ia harus falsifiable (dapat dinyatakan sebagai benar atau salah).
Mengikuti cara berpikir Popper, kita seharusnya memecahkan setiap persoalan yang menarik melalui dugaan yang berani melawan (dan terutama) apabila tidak lama kemudian ternyata salah daripada mengulang suatu rangkaian kebenaran yang tidak relevan lagi dengan konteks zamannya. Kita mesti belajar dari kesalahan-kesalahan kita terdahulu, dan untuk selanjutnya setelah mengetahui bahwa dugaan kita salah, maka lalu kita akan belajar banyak tentang model kebenaran yang lain.
Dalam perkembangan ilmu, falsifikasi menjadi sandaran penting, sebab penarikan kesimpulan teori-teori universal dari keterangan observasi tidak mungkin menemukan jalan kebenaran yang diharapkan. Tetapi sebaliknya, membuat deduksi tentang ketidakbenaran suatu teori lewat proses falsifikasi mungkin saja ditempuh, sebab pada dasarnya ilmu memang berkembang maju melalui berbagai percobaan dan kesalahan. Paham falsifikasionisme ini dapat dipakai sebagai landasan berpikir pragmatis tanpa selalu menganggap semua teori ilmiah sudah benar secara ilmiah dalam perjalanan ilmu.
Kesalahan kita selama ini, sebagaimana yang diutarakan oleh Huston Smith adalah mengira sains dapat memberikan satu pandangan utuh tentang dunia seisinya. Tapi sayangnya sains cuma mampu memperlihatkan kepada kita serpihan-serpihan dunia yang bersifat fisikal, bisa dikalkulasi dan diuji lewat pengamatan fakta-fakta empiris semata. Potongan-potongan dunia itu tidak dapat divisualisasikan hanya dengan indera reseptor manusia yang memiliki standar sensibilitas terbatas. Tak heran jika menjelang wafatnya, Richard Feynman berujar kepada murid-muridnya, “Jangan pernah menanyakan bagaimana cara kerja alam semesta, karena pertanyaan seperti itu akan menyeret kalian ke dalam sebuah lubang, dan tak seorang saintis pun bisa keluar darinya dengan selamat. Ketahuilah, tak ada manusia yang dapat memahami bagaimana alam bekerja”.60
Popper sendiri sebenarnya ingin menekankan tentang pentingnya kontrol intersubyektif dan kesepakatan dalam komunitas para peneliti sendiri sehubungan dengan kemunculan teori-teori baru agar kemungkinan falsifikasi atas teori-teori itu tidak semata-mata didasarkan pada koherensi logis dan linguistis belaka, melainkan juga atas kriteria praktis dan fungsional.61
Popper juga selalu mendorong tentang perlunya mengembangkan budaya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang berbau mitos untuk mengikis tradisi-tradisi dogmatik yang selama ini hanya selalu mengagung-agungkan kebenaran satu doktrin saja untuk selanjutnya digantikan dengan doktrin yang lebih bersifat majemuk (pluralistik) dan masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis kritis.62
Tuntutan falsifikasi Popper tersebut di atas tentu harus dipahami pula berkaitan dengan pandangan filsafatnya tentang rasionalisme kritis yang salah satu uraian pokok ajarannya menjelaskan bahwa setiap pernyataan teoretis harus disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan terbukanya peluang-peluang perbaikan lanjutan. Sebab hanya dengan demikian daya topang dan kemungkinan perkembangan ilmu-ilmu ikut tertunjang secara selaras dan seimbang.
Rasionalisme kritis memang tepat mengatakan bahwa rasionalitas suatu ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari dan ditemukan pada kekuatan nalar ilmiah saja, seperti yang dikatakan oleh Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional itu justru dibentuk oleh adanya sikap keterbukaan terhadap kritik dan kenyataan empiris menuju suatu kebijakan dan strategi ilmu yang lebih terpadu dan menyeluruh.
Berbeda dengan Kant, Popper mengajukan suatu pandangan yang lebih historis dan dinamis mengenai ilmu yang harus selalu memodifikasi dan memperbaiki diri. Demikian pula terhadap pendirian empiristis dari Hume ditandaskannya tidak perlu menunggu secara pasif berulangnya gejala untuk mencari keteraturan. Justru kitalah yang harus berusaha secara aktif memaksakan hukum keteraturan (regularities) kepada alam. Sebab pada hakikatnya sifat kritis berarti bahwa kita seperti kata Kant senantiasa siap terbuka pada semua aneka bentuk perubahan yang kita hadapi dan pengalaman yang kita alami. Tetapi Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh dianggap kritis apabila kita bersedia membuang rongrongan-rongrongan yang dipaksakan (imposed regularities) oleh sistem makrokosmos alam semesta ini dalam sistem mentalitas berpikir kita.63
Popper menawarkan formulasi lain dalam prinsip epistemologi dengan sebuah keyakinan awal bahwa tidak ada sesuatu yang tidak bisa kita refleksikan dan kita buat eksplisit. Baginya ketidakmungkinan mengeksplisitkan asumsi-asusmi dasar adalah sebuah mitos yang cenderung dibesar-besarkan sehingga membuat kesulitan menjadi ketidakmungkinan. Ia memang percaya bahwa setiap saat kita ini terpenjara oleh teori-teori, harapan-harapan, pengalaman-pengalaman dan bahasa kita. Tetapi sebenarnya kalau saja kita mau, kita selalu bisa keluar dari kerangka acuan dasar itu setiap saat. Memang kita akan terperangkap dalam kerangka yang lain, tetapi kerangka itu pasti yang lebih baik. Lalu disitu pun kita bisa saja keluar lagi untuk kemudian merefleksikan ulang tentang kerangka acuan dasar itu. Inti persoalannya adalah bahwa suatu diskusi kritis dan perbandingan berbagai kerangka acuan selalu mungkin dilakukan.64
Sejalan dengan ide-ide awal yang provokatif tersebut, tampilnya Thomas Kuhn, sebagai generasi pasca Popper, semakin memantapkan permulaan suatu zaman baru dalam proses dialektika filsafat ilmu kontemporer yang biasa disebut filsafat ilmu pengetahuan baru. Secara khusus, Kuhn memperlihatkan bahwa sepanjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan itu pembaharuan-pembaharuan yang benar hanya terjadi dalam beberapa fase saja, yaitu sewaktu anggapan para ahli ilmu pengetahuan pindah dari suatu paradigma (istilah teknis Kuhn, artinya “susunan dasar” ilmu alam pada zaman dan wilayah perkembangan ilmu tertentu) ke paradigma yang lain tanpa adanya hubungan logis antara keduanya.
Tokoh-tokoh yang disebut bersama Kuhn adalah Mihael Polanyi, Paul Karl Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Polter, Stephen Toulmin dan A. Kaplan. Mereka ini disebut sebagai generasi filsafat ilmu pengetahuan baru karena mempunyai perhatian besar terhadap sejarah ilmu pengetahuan dan peranan sejarah ilmu pengetahuan bagi penyusunan filsafat ilmu pengetahuan yang lebih mendekati kenyataan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.
Mereka itu oleh Cornelis Anthonie van Peursen65, digolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan baru karena mereka melihat perkembangan ilmu pengetahuan sebagai perkembangan yang revolusioner. Oleh Dudley Shapere66, mereka digolongkan sebagai pemikir baru yang mendasarkan pandangan filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri.
Hal ini nampak dari cara kerja Feyerabend dalam menentang empirisme kontemporer dan teori kuantum mutakhir dari interpretasi Kopenhagen yang menegaskan bahwa tidak mungkin untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah elektron bersama-sama. Berdasarkan percobaan, kemustahilan ini ditarik dari kenyataan bahwa setiap kuantitas cahaya yang cukup untuk menangkap posisinya akan merubah kecepatannya, dan sebaliknya, setiap kuantitas cahaya yang tidak mempengaruhi kecepatan tidak akan memadai untuk menyatakan posisinya.
Menurut interpretasi Kopenhagen yang dipertahankan oleh ahli fisika Werner Heisenberg (1901-1976) dengan Uncertainly principle (Prinsip Ketidakpastian)-nya, kemustahilan ini adalah kemustahilan prinsipiil. Alasannya, pada tingkat sub-mikroskopik kita tidak berhak untuk memberikan suatu sifat kepada entitas kecuali kita dapat membuktikannya secara eksperimental. Ia mengatakan bahwa para ahli fisika tidak membangun peralatan yang canggih untuk membantah hipotesis dan pondasi ilmu pengetahuan yang telah ada, melainkan untuk mengembangkan dan menguatkan praktek kegiatan ilmiahnya.
Namun sayangnya, peralatan kita—istilah Einstein—terlalu kasar untuk mendeteksi dan memaksa menspesifikasikan kecepatan dan arah tertentu dari partikel elektron yang lebih kecil daripada atom. Akibatnya, kenyataan obyektif digambarkan secara mekanis sehingga hanya menghasilkan informasi yang terbatas dan tidak utuh. Istilah-istilah seperti massa, kecepatan, posisi, volume, tekanan, kekuatan dan unsur-unsur semesta atomik yang paling kecil merupakan sifat-sifat utama dari materia yang bergerak secara bebas. Dunia nyata diasumsikan menjadi suatu sistem partikel-partikel material yang dipahami secara geometris. Akhirnya, Heisenberg berkesimpulan bahwa ilmuwan tidak mungkin dapat melihat elektron dan sekaligus mengukur kecepatannya pada waktu yang bersamaan. Apa yang kita amati bukanlah alam an sich, tetapi alam yang tampak seperti dalam metode penelitian, dan gerakan sub-atomik alam itu sesungguhnya tidak bisa dipastikan atau diramalkan.
Dalam kegiatan-kegiatan bebas, kita memanipulir benda-benda yang terdiri dari bermiliar-miliar atom, dan bukannya atom-atom itu sendiri. Sehingga dengan alasan bahwa teori kuanta (partikel) itu masih jauh dari kadar kepastian, dan karena kebebasan kita juga tidak dilaksanakan pada tingkat mikroskopik, melainkan pada tingkat makroskopik dari kuanta, maka konsep indeterminisme Heisenberg tersebut tidak dapat berfungsi lagi. Salahlah menjadikan kepercayaan kita akan pertanggungjawaban manusiawi itu pada jurang-jurang kekosongan yang ditemukan oleh Heisenberg dalam struktur deterministik gambar dunia fisik.67
Implikasi dari adanya fenomena tentang interpretasi Kopenhagen itu ternyata membawa sains modern kepada cara analisis yang bersifat atomistik dengan jalan memilah-milah suatu proses ke dalam proses pencarian sebab-sebab efisiensi maupun subyek-subyek aktual yang terlibat dalam rangkaian kegiatan penyelidikan ilmu pengetahuan. Sekali analisis dimulai harus dikejar dan ditelusuri sampai batas akhir, karena sains baru akan merasa tahu “bagaimana” secara persis dari proses alami jika telah menemukan komponen-komponen fisis dasar yang menyebabkan terjadinya hukum kausalitas dalam proses kegiatan tersebut sampai kepada teori atomik sebagai pusat aktivitas saintifik.
Prinsip ketidakpastian ini telah memacu fungsi imajinasi manusia untuk memunculkan ide-ide serta penemuan-penemuan baru yang merupakan refleksi perkembangan ilmu dari masa ke masa. Dari sini kemudian perkembangan ilmu-ilmu modern telah mengakibatkan penjernihan dari prasangka-prasangka metafisika dan pencocokan lebih teliti pada data dan cara berpikir yang lebih benar.
Kalau filsafat ilmu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 lebih difokuskan pada upaya untuk menemukan penjelasan yang radikal tentang apa, bagaimana dan untuk apa gejala alam itu, maka filsafat di abad modern memperlihatkan kecenderungan menggeser landasan dan obyek telaahannya. Filsafat ilmu abad modern bersumber pada manusia itu sendiri yang pada perkembangan berikutnya terkesan menjadi filsafat ilmu kehidupan. Artinya, ilmu bukan lagi merupakan hasil usaha manusia semata-mata berdasarkan pengalaman empirik yang diperolehnya melalui pengamatan inderanya dan penelitian percobaannya serta pembuktiannya, melainkan manusia itu sendiri sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan khusus, yaitu dalam hal kemampuan berimajinasi. Oleh karena itu, filsafat ilmu abad modern tidak lagi mengutamakan penalaran semata, tetapi bertujuan juga untuk meningkatkan dan membuka tabir serta mendalami realitas alam yang penuh misteri dan paradoks ini melalui perangkat dimensi kreatif ilmu pengetahuan kontemporer.
Oleh Frederick Suppe68, Feyerabend disebut bersama Kuhn, Toulmin, Hanson, Popper dan Bohm sebagai pembawa pandangan alternatif (alternatives to the Received View). Suppe secara khusus menempatkan mereka dalam kelompok analisis Weltanschaungen, suatu model analisis untuk menginterpretasi dunia. Anehnya, pada posisi ini Feyerabend justru didekatkan dengan Popper. Dikatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend merupakan percobaan untuk memperkembangkan analisis Popperian, terutama dalam penilaian Feyerabend terhadap empirisme kontemporer yang dianut oleh para pengikut The Received View.
Mereka digolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan baru bukan saja karena mendasarkan pandangan filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan, melainkan juga karena mereka melihat adanya hubungan antara sejarah ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Misalnya, Lakatos mengatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah omong kosong ilmiah belaka. Sebaliknya, sejarah filsafat tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah buta.69
Namun berbeda dengan Popper, dan lebih sehaluan dengan Thomas S. Kuhn, ia menyangkal kemungkinan adanya tentang experimentum crucis, yakni keadaan bahwa dengan satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Sebab berdasarkan keyakinan Lakatos, seandainya ada gerak lawan lain yang muncul dari ranah pengalaman subyek peneliti pasti memproduk suatu teori baru, karena fakta tanpa kerangka teoretis tidak pernah dapat menjadi relevan secara ilmiah. Yang terjadi dalam pembaruan suatu ilmu itu sebetulnya merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang lain. Atau lebih jelasnya lagi, yang berlangsung sebetulnya adalah suatu program penelitian. Jika nantinya semua ini menghasilkan teori yang lebih baik, maka ini bisa dikatakan sebagai program penelitian progresif, tetapi kalau tidak dinamakan degeneratif.70

Lakatos menyatakan bahwa seluruh bangunan ilmu alam merupakan suatu kompleksitas makro yang intinya seharusnya melawan segala usaha untuk membuktikan salah. Kompleksitas itu terdiri atas sejumlah teori ilmiah yang menurut Popper tidak dapat berlaku sekaligus (yaitu apabila teori yang baru masuk, maka yang lama dianggap gugur), tetapi justru deretan teori-teori ilmiah itu yang dimaksud Lakatos dengan program riset (research program) yang dalam prakteknya di lapangan tidak boleh dilaksanakan secara fragmentaris.
Sementara disisi yang lain, Feyerabend juga berusaha melawan segala usaha untuk menemukan keteraturan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Feyerabend merasa bosan akan segala law and order yang ingin dicapai oleh para sarjana, khususnya Popper. Feyerabend berpendapat bahwa manusia dewasa ini terkekang oleh semua cara kerja yang telah diperincikan dengan teliti itu dengan hanya berlandaskan pada teori dan hipotesis yang kurang ditopang oleh kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.71
Feyerabend secara tegas mengatakan bahwa antara sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan mempunyai keterkaitan timbal balik. Dalam Against Method72, Feyerabend mengatakan bahwa para ilmuwan tidak bisa melepaskan diri dari latar belakang historis bagi hukum-hukum, hasil-hasil eksperimen, teknik-teknik matematis, prasangka-prasangka epistemologis dan sikap-sikap mereka terhadap akibat-akibat aneh dari teori-teori diterimanya. Kaitan itu dilukiskan oleh Feyerabend sebagai sebuah perkawinan yang cocok (marriage convenience).73 Alasannya adalah bahwa analisis-analisis terhadap kejelasan, konfirmasi dan teori perbandingan yang diberikan oleh para filsuf berguna baik bagi ilmuwan maupun para pakar sejarah.
Dengan semboyan Against Method yang disuarakannya secara ekstrem, Feyerabend mendesak membuka pintu bagi bermacam-macam model alternatif demi pembaruan suatu ilmu. Bahkan yang kini sama sekali tidak ilmiah, atau masih disebut magis sekalipun, misalnya, dapat berfungsi sebagai ancangan alternatif yang merangsang untuk menggantikan metode ilmiah tradisional dan kaku, dengan maksud agar lebih banyak bahan yang bervariasi sifatnya dapat dicakup dalam sistem ilmiah.74
Segala upaya dekonstruksi metodologis Feyerabend dalam filsafat ilmu modern tersebut memberikan perspektif baru tentang hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Pandangan-pandangan maupun kritik-kritik tajam yang dilontarkannya merupakan sebuah reaksi nyata dalam menyikapi kegagalan teori-teori ilmiah tradisional yang tidak dapat dibuktikan secara konklusif (meyakinkan), dan sekaligus juga sebagai penentangan terhadap adanya asumsi bahwa ilmu itu adalah suatu aktivitas rasional yang beroperasi hanya berdasarkan satu atau beberapa metode tertentu. Sebab bagi Feyerabend, ilmu tidak mempunyai segi-segi istimewa yang dapat menyatakan dirinya lebih unggul daripada cabang-cabang pengetahuan lain.
 

BAB III
PRINSIP-PRINSIP ILMU PENGETAHUAN PAUL KARL FEYERABEND

  1. Apa Saja Boleh (anything goes)
Pada zaman Yunani kuno, hubungan antara kesatuan alam semesta yang teratur (kosmos) dengan pemikiran para filsuf berkembang menjadi teori-teori yang berbeda. Platonisme, berasumsi bahwa kesatuan adalah nyata, sedangkan pengertian (pengamatan) awam adalah opini sebagai duplikat yang tidak sempurna. Aristoteles menganggap bahwa opini atau hasil pengamatan (menurut Plato) itulah yang benar, sedangkan hasil pengetahuan rasional abstrak Plato itu adalah mimpi yang tidak berguna. Teori lain (para Sophis) menganggap obyek natural adalah sesuatu yang nyata, sementara obyek-obyek matematika (obyek akal) merupakan pemikiran dan bayangan yang tidak realistik dari obyek natural.
Munculnya kaum Sophis itu secara tidak langsung memperlihatkan tentang mulai adanya krisis dalam pemikiran filsafat Yunani. Orang-orang Yunani merasa jemu terhadap banyak ajaran yang dikemukakan oleh para filsuf pra-Sokratik. Kebosanan ini kemudian melahirkan Skeptisisme sebagaimana yang dianut oleh tokoh-tokoh berpengaruh besar kaum Sophis, seperti Protagoras (± 480-411 SM.), Georgias (± 480-380 SM.), Hippias, Prodikos dan Kritias. Akibatnya kebenaran diragukan dan dasar ilmu pengetahuan mulai disanggah. Hal ini jelas membawa pengaruh yang tidak baik bagi kebudayaan Yunani zaman itu. Nilai-nilai tradisional dalam bidang agama dan moral dirubuhkan serta kecakapan berpidato di depan umum digunakan untuk memutarbalikkan kenyataan demi kepentingan pihak yang berbicara saja.75
Kelompok ini menolak segala realitas serta mengingkari proposisi-proposisi ilmiah dan empirikal. Kaum Sophis dengan kritik-kritiknya yang bersifat menjatuhkan telah menjadikan manusia dan segala hal yang berhubungan dengan akal budi pengetahuan sebagai pusat perhatian utama. Anehnya, Sokrates oleh lawan-lawannya dinamakan juga orang Sophis, meskipun ia sebetulnya adalah lawan yang terbesar dari kaum Sophis. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena Sokrates terus bertekad untuk mempertahankan azas-azas pokok mengenai pengetahuan hidup yang hendak dirongrong dan dirusak oleh kaum Sophis.
Di sisi yang lain, kaum Sophis menyangkal adanya nilai-nilai universal mengenai prinsip baik dan buruk atau adil dan tidak adil yang terdapat dalam suatu tatanan masyarakat. Sebaliknya, Sokrates membenarkan bahwa nilai yang berkembang dalam masyarakat memang tidak dapat tahan terhadap kritik. Tetapi ia juga merasa bahwa nilai-nilai yang ada itu pasti ada yang bergerak menuju kepada tercapainya suatu norma yang bersifat mutlak, absolut dan abadi. Ia membela yang benar dan baik sebagai nilai-nilai obyektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua manusia. Ia sadar bahwa mengenai satu hal ia lebih tahu daripada kebanyakan orang, sehingga tanpa ragu-ragu ia pun berujar, “Saya tidak tahu apa-apa, tetapi saya juga tidak mengira mengetahui sesuatu”. Semboyan Sokrates yang kemudian lebih populer dengan ungkapan “Gnothi Seauton” (Kenalilah dirimu) ini menyiratkan bahwa ia mencintai kebijaksanaan dan bukan untuk menguasainya.76 Kaum Sophis membantah adanya norma-norma moral-etis yang berlaku terus-menerus. Kesalahan mereka adalah bahwa ukuran dari nilai kebenaran yang mereka ajukan itu hanya sebatas pengamatan yang nampak dari bagian permukaan luarnya saja. Padahal menurut Sokrates, kesadaran akan adanya hakikat yang mutlak itu justru berada dalam jiwa manusia yang selalu berpikir serta berusaha mencari dan menyelidiki problem mendasar dari filsafat, yakni tentang ‘Ada’.
Namun begitu, harus diakui pula bahwa aliran Sophis mempunyai pengaruh yang positif pada kebudayaan Yunani. Aliran Sophis inilah yang pada akhirnya menimbulkan revolusi intelektual di Yunani. Kaum Sophis menciptakan gaya bahasa baru yang sangat mempengaruhi para sejarawan dan penulis drama Yunani. Kaum Sophis juga menempatkan manusia sebagai obyek pemikiran filsafat dan meletakkan dasar bagi pendidikan untuk para pemuda secara sistematis. Dan yang paling penting adalah mereka menyiapkan kelahiran suatu genre pemikiran filsafat baru yang direalisasikan oleh tiga mahaguru filsuf terkemuka Yunani Kuno, yakni Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Pemikiran Yunani sendiri ditandai oleh ketergantungan pada akal sehat (common sense) manusia (human reason) dalam memecahkan berbagai macam persoalan. Setiap persoalan digagas atau dirancang dalam satu sistem kehidupan yang dialogis dan kritis, sehingga peranan akal sehat dan logika diakui sangat penting.
Sejak filsuf Yunani Kuno berusaha meruntuhkan mitos dengan mengedepankan logos, yang berusaha untuk mencari dasar realitas (arche) dalam berbagai unsur kosmos atau alam raya, pemikiran manusia seolah-olah mememukan eksistensinya kembali. Implikasi filosofisnya, berbagai pergolakan dan sekaligus pembongkaran atas pemikiran manusia pun kemudian bermunculan sebagai suatu respons positif terhadap berbagai usaha yang dilakukan oleh para filsuf Yunani Kuno tersebut, sehingga mampu melahirkan sejumlah perubahan mendasar dalam cara berpikir manusia atas dunia beserta karakteristiknya.
Dominasi kosmosentris yang menjadi sifat dasar Yunani Kuno, misalnya, disingkirkan oleh pandangan teosentris Abad Pertengahan melalui suatu pemahaman, bahwa semua realitas yang terjadi dalam fenomena alam semesta ini dilihat dari segi kehendak Tuhan sebagai prima causa yang menggerakkan dan mengendalikan segala kejadian yang ada. Implikasi teologisnya, yang memegang peran pada Abad Pertengahan ini adalah dogmatisme gerejani dengan beragam tafsir keagamaannya yang meminggirkan peran akal dalam menjelaskan dunia dengan berbagai permasalahannya. Inilah sebenarnya awal dari kesalahan persepsi dalam perjalanan sejarah ilmu pengetahuan berikutnya yang seringkali menempatkan ilmu pengetahuan seakan-akan telah menjadi sedemikian matematis, abstrak dan teknis, sehingga setiapkali terjalin hubungan dengan akal sehat, pada saat itu juga terjadi perpecahan. Dogmatisme tersebut telah cukup untuk meluluhlantakan bermacam nilai humanisme, karena manusia dianggap tidak mempunyai peran apapun di atas dunia, kecuali hanya sebagai viator mundi (sekedar penziarah di muka bumi).77
Meskipun banyak pihak yang menilai bahwa Abad Pertengahan sebagai masa kebodohan dan kegelapan dalam sejarah dunia filsafat, namun begitu kemunculannya telah berusaha mewariskan suatu kebudayaan baru dengan ciri-cirinya yang khas. Kebudayaan modern sendiri tidak dapat melepaskan diri dari kebudayaan Abad Pertengahan, dan penafsiran-penafsiran filosofis yang terdapat dalam filsafat modern pun tidak mungkin ada dan berkembang tanpa berkiblat kepada konsep awal filsafat skolastik. Sebab pada awal kemunculannya, pemahaman Filsafat Skolastik (filsafat yang diajarkan di sekolah-sekolah)—yang pada Abad Pertengahan terkenal dengan nama Filsafat Eropa—tentang definisi, kategori dan analogi yang didasarkan pada ketelitian, obyektivitas dan penguraian logis, memang ditujukan untuk menumbuhkan dan menjelaskan alam pikiran Eropa yang terjadi pada saat itu.78
Selanjutnya pada zaman Renaissance, pendulum epsitemologis kembali pada empirisme, walaupun para ilmuwan dan filsuf Aristotelian berupaya keras bersama tokoh gereja mengecam bahwa pandangan Copernicus tidak rasional, tetapi Galileo, Giordano Bruno, Kepler dan Newton justru mendukungnya. Nikolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1642)—barangkali—menjadi orang pertama yang berusaha untuk memberikan cara pandang yang relatif baru bagi perkembangan sains, terutama dengan teori heliosentrisnya yang menggugurkan paham geosentris tentang pusat tata surya.
Bruno, misalnya, memahami alam semesta ini sebagai sesuatu yang tidak terbatas dan tidak menentu serta tidak terhitung jumlahnya dalam ruang dan waktu yang bergerak berdasarkan hukum-hukum yang sama. Sedangkan Kepler menolak ajaran gerakan alami, dan mengajukan prinsip kelambanan, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa sebuah benda cenderung untuk diam atau bergerak di tempat ia berada, kecuali apabila ia dipengaruhi oleh suatu benda yang terdapat di sekitarnya. Kepler mengajarkan tentang tenaga mekanis yang menghasilkan perubahan-perubahan kuantitatif.79
Secara historis, Renaissance itu sendiri adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman saat manusia merasa diri dan alam pikirannya telah dilahirkan kembali dalam keadaan bebas dan beradab berdasarkan logika serta otoritas yang utuh sebagai subyek yang berpikir, yang sempat diberangus oleh dominasi otoritas gerejani Abad Pertengahan. Manusia kembali kepada sumber yang murni bagi pengetahuan dan juga keindahan.80
Manusia—pada abad ini—dianggap telah menemukan kembali subyektivitasnya yang menjadi titik acuan pengertian realitas. Subyek bukan saja mempengaruhi realitas, bahkan pada tataran tertentu dengan penuh kepercayaan diri dan kesadaran penuh terhadap otonomi dan kebebasan alamiahnya untuk berpikir dan bertindak berdasarkan kemampuannya tersebut, subyek juga dapat menciptakan realitas itu sendiri. Dalam terminologi Hegel (1770-1832)81 manusia bukan lagi dipahami sebagai substansi, melainkan subyek yang mempunyai pusat kesadaran kritis untuk selalu membenturkan diri terhadap realitas dan dunia.
Modernitas sebagai produk dari Filsafat Pencerahan, menurut Hegel melibatkan sang subyek dalam proses dialektik pembaharuan secara konstan dunia realitas, disebabkan ketidakpercayaan pada spirit dan hukum alam. Dalam penciptaan dunia obyek-obyek dan dalam pencarian nilai-nilai, subyek selalu terlibat dalam proses bergerak ke depan—subyek selalu mengacu pada nilai-nilai Kebenaran Ideal, sementara Kebenaran Ideal itu sendiri juga selalu dalam proses ‘menjadi’. Perubahan yang dihasilkan dari proses bergerak ke depan dan proses ‘menjadi’ inilah yang oleh subyek modern itu sendiri dinilai sebagai kemajuan.82
Dengan pola pemikiran yang demikian itu, maka pengetahuan dianggap tidak lagi berasal dari Kitab Suci atau dogma Gereja, dan juga bukan berasal dari kekuasaan feodal, melainkan dari diri manusia sendiri83, yaitu melalui rasio (rasionalism) dan pengalaman (empirism). Rasionalisme dan empirisme inilah yang kemudian menjadi arus utama filsafat yang paling dominan dalam perkembangan pemikiran manusia abad Renaissance dan dilanjutkan serta mencapai puncaknya pada abad ke-17 yang dikenal dengan Abad Pencerahan (Aufklärung). Tradisi khas dari filsafat abad ini terletak pada mainstream utamanya dalam menempatkan akal atau rasio dan pengalaman manusia sebagai sumber tertinggi untuk mencapai kebenaran.
Filsafat Pencerahan merupakan suatu ideologi yang mengiringi perkembangan tingkat borjuasi di Eropa dan sekaligus kemunduran bagi simbol budaya feodalisme. Jadi filsafat dituntut harus kembali berpatokan pada dua nilai utama yang dianut dalam masyarakat: hal yang berguna dan kesejahteraan manusia. Yang ditentang oleh aliran filsafat ini adalah suatu hierarki atas dasar wahyu Tuhan dan mendukung ideologi dari pluralisme politis dan religius. Hal itu disebabkan oleh adanya pengertian baru bahwa dengan akal dan metode ilmiah yang dimilikinya, manusia dianggap sanggup mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia ini.
Disamping itu, Filsafat Pencerahan juga mengusung suatu perspektif epistemologi baru dengan menempatkan ilmu pengetahuan sebagai urusan kolektif masyarakat yang tidak mempunyai batas-batas tertentu selain daripada pengamatan seluas dunia nyata yang selalu menampakkan diri sebagai realitas empirik. Filsafat Pencerahan adalah suatu bentuk rasionalisme empiris yang berusaha menyangkal pendapat seperti yang sering diutarakan oleh banyak pihak bahwa Filsafat Pencerahan hanya terdiri dari sekumpulan fakta-fakta kecil yang tidak mempunyai kesatuan dan corak yang khusus.
Sebab dalam Filsafat Pencerahan itu terdapat dua aras pemikiran penting: orang menciptakan ilmu nyata (positif) tentang corak jiwa manusia (ilmu jiwa rasional) dengan mempelajari daya psikis, terutama bahasa. Selain itu, metode eksperimental dalam ilmu alam dan kimia menjadi metode utama yang sangat dihargai dan digunakan secara silih berganti serta saling melengkapi satu sama lain. Dua azas itu memungkinkan kita mengerti bahwa terdapat suatu sejarah akal manusia yang universal sejajar dengan universalitas dari pengamatan dan pengalaman.84
Semboyan ‘sapere aude’; beranilah berpikir memberikan suatu spirit baru bagi cita-cita kemanusiaan. Voltaire85 menyebut Abad Pencerahan sebagai “Zaman Akal’, karena manusia telah merasa bebas, merdeka untuk menginterpretasikan setiap kejadian yang ada secara berbeda atau bahkan baru sama sekali tanpa memerlukan lagi intervensi tiap kuasa yang datang dari luar kemampuan dirinya. Sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa paruh Abad Renaissance dan Abad Pencerahan sendiri memang telah dipenuhi dengan berbagai revolusi ilmiah yang sangat mengagumkan lewat berbagai pemikiran dan penemuan manusia secara spektakuler dan monumental. Tokoh-tokoh pembaharu dan pemikir seperti Galileo Galilei, Francis Bacon dan pada abad berikutnya Rene Descartes dan Isaac Newton telah berhasil memperkenalkan metode matematik dan metode eksperimental untuk mempelajari alam. Dengan demikian, maka pengertian filsafat alam mulai memperoleh arti khusus sebagai penelaahan yang sistematis terhadap alam dengan menggunakan metode-metode yang diperkenalkan oleh para pembaharu dari zaman Renaissance dan awal abad ke-17.86
Perkembangan ilmu pengetahuan dari yang semata-mata bersifat rasional-empiris menuju ilmu pengetahuan yang bersifat rasional-eksperimental ini telah mengakibatkan ditemukannya kegunaan praktis ilmu pengetahuan dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan impuls-impuls baru. Dimensi-dimensi kehidupan sehari-hari telah pula mengalami perubahan drastis dengan cara dan teknik yang tidak disangka sebelumnya.87
Galileo Galilei mengawali penjelasannya tentang suatu perkembangan baru sains ketika ia membuat suatu aliansi (pengggabungan) antara matematika dengan observasi eksperimen. Alam hendaknya diselidiki dengan memakai pengertian matematika, setiap kenyataan pasti bersifat kualitatif dan dapat diukur. Pada sisi lain, penemuan teleskop dari Galileo Galilei semakin memperkuat kebenaran teori heliosentrisnya Copernicus; bahwa bukan bumi sebagai pusat gerakan dari tata surya, melainkan mataharilah pusatnya.
Dengan teropong jarak jauhnya, Galileo memastikan bahwa planet-planet tidaklah bercahaya sendiri, melainkan memantulkan cahaya matahari seperti halnya bulan. Lewat pengamatan astronomis itu pula, Galileo sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Jupiter merupakan model miniatur dari prinsip heliosentris. Galileo juga meletakkan dasar hukum-hukum yang menghubungkan kecepatan, percepatan dan jarak yang ditempuh dalam jangka waktu tertentu, sehingga dengan demikian ia juga telah berhasil menciptakan ilmu pengetahuan kinetika (ilmu tentang gerak) yang bersifat linear-lurus.88
Apa yang diintrodusir dan diwariskan oleh teori heliosentris ini adalah babak baru bagi kebenaran logis rasionalisme dan empirisme yang meruntuhkan kebenaran dogmatisme agama saat itu. Berbagai pendekatan dan juga penemuan sains oleh para filsuf dan ilmuwan abad ini, seperti Francis Bacon (1561-1626) dengan metode induktif sebagai landasan empirismenya, Galileo Galilei dengan pengembangan prinsip heliosentrisnya Copernicus, Charles Darwin dengan teori evolusinya, dan sebagainya, seolah telah menjadi awal bagi tersingkirnya doktrin keagamaan.
Melalui penemuan inilah Galileo kemudian berusaha memberikan keyakinan bahwa kebenaran pengetahuan terletak pada persoalan yang obyektif, atas dasar observasi dan hitungan matematis. Alam bagi Galileo merupakan satu-satunya sumber pengetahuan ilmiah sehingga ia memposisikan antara alam sebagai sumber pengetahuan ilmiah dengan Kitab Suci sebagai pengetahuan teologi dalam derajat yang sama. Tragisnya, ahli astronomi dan fisika Italia ini pada tahun 1633 justru dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Gereja Roma di bawah kekuasan Paus Urbanus VIII, karena dituduh telah menyebarkan ajaran heliosentrisme dari Copernicus, seorang pastor yang meninggal pada tahun 1543.
Pendapat dan perjuangan yang telah dirintis oleh Galileo itu kemudian disempurnakan secara sistematis oleh Isaac Newton (1642-1727) yang menjelaskan bahwa alam sebagai mesin besar yang berjalan sesuai dengan hukum gerakan dan segenap proses yang terjadi di dalamnya ditentukan oleh massa dan posisi yang dimiliki oleh berbagai partikel materi yang terdapat di dalamnya. Prinsip mekanika tentang gerak alam ini berimplikasi logis bahwa dunia diciptakan seperti sebuah mesin dengan hukum mekanikanya, dan Tuhan yang semula diyakini begitu intim dengan manusia mulai dicurigai sebagai remote control yang jauh letaknya dari dunia nyata.
Newton melihat bahwa planet-planet tidak berjalan lurus, tetapi berputar-putar. Fenomena ini dalam pandangan Newton tidak mungkin terjadi seandainya tidak ada kekuatan gravitasi. Dari gejala inilah Newton kemudian memperoleh hukum gravitasi yang menetapkan bahwa planet-planet tersebut tunduk pada kekuatan sentral, yaitu gravitasi. Newton menyatakan bahwa semua benda langit saling tarik menarik dengan gaya yang berbanding lurus dengan massanya serta berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Prinsip yang sederhana ini telah mampu menerangkan berbagai garis orbit yang sangat kompleks bagi berbagai planet di sekeliling matahari. Newton berpendapat bahwa suatu planet bergerak mengitari matahari karena adanya gaya gravitasi yang keluar dari matahari.89
Sementara itu, jauh sebelum Isaac Newton, Francis Bacon sebagai peletak dasar Abad Renaissance merupakan tokoh yang mempertajam empirisme dengan mendasarkan semua pengetahuan dan sains atas dasar pengalaman. Bacon menerangkan prinsip empirisme bahwa untuk menyusun ilmu pengetahuan yang diperlukan adalah pengumpulan fakta pengalaman sebanyak mungkin yang kemudian dianalisis mengenai kesamaan yang terdapat diantara berbagai fakta tersebut. Melalui metode empirismenya pula, Bacon mempercayai bahwa apa yang akan datang dapat diramalkan kejadiannya atas penemuan yang lampau. Berbagai prinsip ini pulalah yang kemudian mempengaruhi dan dijabarkan oleh Newton dengan teori gravitasi universalnya sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas.
Dengan demikian sesungguhnya dapat dikatakan bahwa Abad Renaissance dan Pencerahan merupakan dua mata rantai perkembangan ilmu pengetahuan yang menggunakan dua arus besar dalam tradisi filsafat, yaitu rasionalism dan empirism. Menurut Karen Amstrong90, tradisi tersebut—dalam banyak hal—secara alamiah mempengaruhi cara manusia mempersepsi diri dan mendorong mereka untuk meninjau kembali hubungan dengan Realitas Tertinggi yang biasa disebut Tuhan.
Secara khusus, doktrin rasional membagi pengetahuan menjadi dua macam. Pertama adalah pengetahuan intuitif, artinya akal mesti mengetahui dan mengakui tentang kebenaran suatu proposisi tertentu tanpa harus mencari dalil pembuktiannya, misalnya: “tidak mungkin terjadi suatu peristiwa tanpa suatu sebab”, “keseluruhan lebih besar daripada sebagian”, dan “satu adalah separuh dua”. Yang kedua adalah pengetahuan informasi dan teoretis. Maksudnya adalah bahwa akal tidak dapat mempercayai dan menilai kebenaran suatu proposisi, kecuali dengan merujuk kepada proses pemikiran dan bantuan informasi-informasi pengetahuan primer lain, seperti: “bumi itu bulat”, “gerak adalah sebab terjadinya panas”, “gerak mundur tak terbatas adalah mustahil”, “benda-benda logam itu memuai oleh panas”.
Berdasarkan pandangan rasionalisme, kriteria pertama bagi benar salahnya setiap gagasan manusia adalah pengetahuan rasional yang bersifat pasti dan mengandung prinsip nonkontradiksi, sehingga cakupan wilayah pengetahuan manusia menjadi lebih luas daripada batas-batas indera dan eksperimen. Ia memberikan potensi-potensi kepada pikiran manusia untuk dapat menjangkau dan merealisasikan realitas-realitas dan proposisi-proposisi di balik materi, bahkan sampai kepada aspek-aspek metafisis sekalipun. Perjalanan pikiran manusia, menurut kaum rasionalis berpijak dari proposisi umum menuju ke proposisi yang lebih khusus, dari yang universal ke yang partikular. Bahwa materi itu memiliki asal, kita ketahui dari “bahwa setiap yang berubah pasti memiliki asal”. Jadi pikiran itu bergerak dari proposisi universal, “setiap yang berubah pasti memiliki asal” ke proposisi partikular “materi itu memiliki asal”. Akhirnya mesti diingat bahwa doktrin rasional tidak bersikap masa bodoh terhadap peran eksperimen dalam penarikan kesimpulan dan pencarian hakikat pengetahuan. Tetapi doktrin rasional yakin bahwa eksperimen saja tidak mungkin menjadi sumber azasi dan kriteria primer bagi pengetahuan.
Sebaliknya, paham empirisme menunjukkan bahwa pengalaman adalah sumber pertama semua pengetahuan manusia. Demikian juga halnya dengan masalah penalaran pikiran yang menurut mereka selalu berangkat dari yang khusus ke yang umum, yaitu dari batas-batas eksperimen yang sempit ke hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang universal; selalu beranjak dari realitas khusus empirikal ke realitas yang mutlak berdasarkan hasil pengalaman. Karena itu, doktrin empirisme dalam mencari dalil berpikir bersandar pada metode induksi, sebab ia merupakan metode yang bergerak dari yang partikular ke yang universal. Aliran pemikiran ini menolak prinsip logika silogistik yang berpatokan dari yang umum ke yang khusus, karena dalam pembuktian dan kesimpulan akhirnya ternyata tidak menghasilkan pengetahuan baru yang tidak terkandung dalam rumus premis-premis silogisme tersebut.
Rasionalisme dan empirisme yang begitu mendominasi alam pikir Abad Renaissance itu memunculkan persoalan baru berupa ketegangan antara agama dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai penemuan di bidang sains dan teknologi—dalam kenyataannya—memberikan kontribusi yang cukup besar bagi tumbangnya otoritas keagamaan dan mulai mengguncang paham keyakinan keagamaan manusia, dan juga tentang hakikat serta peranan Tuhan. Ukuran rasional dan empirik telah menyempitkan kesadaran kebenaran agama dan pembuktian adanya Tuhan sehingga dianggap memberikan ketidakpastian dan kebingungan.
Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sum-nya, Baruch Spinoza (1632-1677) dengan ajarannya tentang satu substansi yaitu Tuhan yang dapat ditangkap oleh akal atau rasio manusia, karena dalam dunia tidak ada hal yang bersifat rahasia dan akal manusia telah mencakup semuanya. Ia beranggapan bahwa segala kejadian di dunia ini berjalan menurut suatu proses yang logis.
Sedangkan empirisme yang bermula dari Inggris diberikan jalan pembukanya oleh Francis Bacon, bahwa pengalaman merupakan sumber kebenaran yang terpercaya, yang dilanjutkan dan dirubah secara radikal oleh empirisme Abad Pencerahan seperti John Locke (1632-1704) dengan teori tabularasa-nya, bahwa pada mulanya rasio harus dianggap as a white paper dan seluruh isinya berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflexion).91 Tokoh empirisme yang paling radikal, yaitu David Hume (1711-1776) juga menggunakan prinsip empiristis, terutama dalam hal penolakannya terhadap substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya merupakan kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama. Hume berpendirian bahwa gambaran dan pengertian kita terhadap hubungan logis antara peristiwa-peristiwa yang terjadi secara kausal-mekanis hanya merupakan salinan yang sesuai dengan aslinya. Berbagai cita rasa hasil dari kombinasi penangkapan, pengalaman dan kesadaran itu adalah suatu perasaan atau naluri-pembawaan yang berada di luar kekuasaan akal.92
Baginya, tidak mungkin mengkonsepsikan atau menciptakan suatu gagasan tentang realitas jika gagasan itu ternyata berbeda dengan konsep-konsep dan reaksi-reaksi itu sendiri. Kepastian tentang nilai obyektif pengetahuan manusia merupakan masalah yang tidak bisa dijangkau oleh nalar. Oleh karena itu, lanjut Hume, sebaiknya kita pusatkan saja perhatian kita ke alam luar sesuka kita, dan biarkan imajinasi kita menjelajah langit-langit atau ujung-ujung alam semesta. Sebab kita selamanya tidak akan dapat melampaui hal-hal di luar batas kemampauan rasio kita sendiri. Kita juga mustahil mampu menjawab persoalan dasar filsafat yang dipertentangkan oleh kaum idealis dan kaum realis. Idealisme sendiri berpendapat bahwa realitas itu ada dalam kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara kaum realisme menduga bahwa realitas itu ada secara obyektif dan mandiri.93
Keberhasilan pembuktian ilmiah melalui rasionalisme dan empirisme telah menggeser kedudukan otoritas pengetahuan berdasarkan kebenaran wahyu yang dianggap abstrak. Apa yang diterima sebagai kebenaran dogma keagamaan, pada abad ini benar-benar mulai dipertanyakan dan ditinjau kembali. Penemuan sains dan teknologi pada masyarakat Barat tersebut membawa sinyal otonomi baru bahwa manusia sebagai penanggungjawab atas urusan mereka sendiri94, termasuk agama dan Tuhan. Kepercayaan diri yang baru terhadap kekuatan alamiah manusia ini mengandung arti bahwa manusia mulai yakin bahwa mereka mampu mencapai pencerahan lewat usaha mereka sendiri. Mereka sudah tidak lagi merasa perlu untuk bersandar pada warisan tradisi, institusi, sekelompok elit,—bahkan wahyu dari Tuhan—untuk menemukan hakikat kebenaran.95 Kekuatan alamiah yang dimiliki manusia dianggap telah cukup representatif untuk menemukan semua jenis kebenaran, dan sains yang telah ditemukan oleh para ilmuwan merupakan bukti empiriknya.
Paradigma sains yang demikian telah cukup menjadi pertanda konkrit betapa Abad Renaissance yang kemudian dilanjutkan oleh Abad Pencerahan telah menimbulkan ketegangan kreatif antara agama dengan filsafat. Filsafat sering dituduh sekularistik, ateis dan anarkis karena suka menyobek selubung-selubung ideologis berbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi dalam pakaian yang alim sekalipun. Pada Abad Renaissance, otoritas agama benar-benar telah ditinggalkan, sementara pada Abad Pencerahan, otoritas agama dan peranan Tuhan dipertanyakan kembali.
Spirit ilmiah baru, terutama di Abad Pencerahan yang bersifat empiris, semata-mata berdasarkan observasi dan eksperimen pada akhirnya berimplikasi logis bahwa fenomena dan problem ketuhanan pun harus diletakkan pada domain empiris. Melalui metode empirismenya, para ilmuwan dan filsuf melakukan verifikasi atas realitas obyektif Tuhan dengan cara yang sama seperti ketika mereka membuktikan fenomena lainnya yang bisa didemonstrasikan.
Permasalahan di atas lantas diangkat oleh Feyerabend untuk menunjukkan bahwa perdebatan seputar rasioalisme dan empirisme telah berlangsung sepanjang pemikiran filsafat itu muncul. Feyerabend ingin menolak kedua posisi yang ekstrem itu, walaupun dalam argumen-argumennya yang menonjol adalah berupa kritik terhadap empirisme dan positivisme ilmiah. Tetapi ia juga cukup banyak menyodorkan bukti bahwa rasionalitas itu sendiri bukanlah suatu yang mapan. Misalnya ia menunjukkan bahwa teori Pythagoras (± 580-500 SM.) tentang bumi itu bulat dan berputar tidak rasional menurut Hipparchus dan Ptolemeus, tetapi kemudian rasional lagi pada masa Copernicus.
Dalam pandangan Ptolemeus, bumi menjadi pusat dari bulan, matahari dan lima bintang yang telah dikenal luas pada saat itu (Jupiter, Mars, Mercury, Saturnus dan Venus) serta semua bintang lainnya di langit. Peredaran bintang-bintang yang tampak bergerak mundur dari bumi dijelaskan oleh Ptolemeus dengan teori Epicycle. Dalam teori ini, setiap planet bergerak pada suatu lingkaran yang titik pusatnya bergerak pada suatu lingkaran lain yang pusatnya juga adalah bumi. Teorinya tentang bumi sebagai pusat dari peredaran bintang-bintang termasuk matahari sangat berpengaruh besar sampai pada Abad Pertengahan dan Masa Pencerahan.
Tesis geosentrisme (matahari beredar mengelilingi bumi dan planet) Ptolemeus ini kemudian berangsur-angsur mulai surut sejalan dengan munculnya Revolusi Copernicus yang diprakarsai oleh Copernicus yang berusaha meyakinkan semua orang bahwa sebenarnya mataharilah yang menjadi pusat orbit bintang-bintang dan bumi sendiri mengelilingi matahari sebagaimana halnya bintang-bintang lainnya.
Copernicus berhasil menyusun tujuh hipotesis yang berkaitan dengan alam. Pertama, tidak ada sentrum bagi seluruh bola-bola langit. Kedua, bumi meskipun dipandang sebagai pusat gravitasi, tetapi bukan merupakan sentrum kosmos. Ketiga, bola-bola planet bergerak mengelilingi matahari sebagai sentrumnya. Keempat, jarak antara bumi ke matahari tidak bisa diukur melalui luas cakrawala ruang angkasa. Kelima, bumi setiap hari mengelilingi porosnya sendiri. Keenam, gerakan bumi menunjukkan lebih dari satu macam. Ketujuh, gerakan bumi memberikan pemahaman adanya gerakan benda-benda langit.96 Sehingga tidak heran jika dari berbagai rumusan metode ilmiah yang dihasilkannya tersebut, ia kemudian dianggap oleh para ahli ilmu pengetahuan dewasa ini sebagai peletak dasar dari Ilmu Bintang modern.97 Walaupun di pihak yang lain, ternyata gagasan heliosentrisme (bumi dan planet-planet beredar mengelilingi matahari) Copernicus dalam bidang sains dan filsafat tersebut, “secara sah dianggap sesat” jika dikontradiksikan dengan ajaran Kitab Suci (Bibel) dan pandangan Gereja.98
Tetapi dari hasil diskusi yang membuat heboh itu, akhirnya terungkap bahwa ilmu bumi benar dan pandangan kitab suci mengenai langit dan masalah beredarnya matahari pada bumi tidak dapat dipertahankan lagi. Mungkin kesalahan pihak Gereja Katolik pada waktu itu adalah mereka memandang kitab suci sebagai sumber dan pedoman segala ilmu dalam arti sempit dan keras. Padahal kitab suci adalah suara Tuhan yang mengajak umat manusia menuju iman, pengharapan dan cinta kasih sebagai nilai-nilai tertinggi.
Lalu dari semua itu siapa yang benar? Menurut Feyerabend, itu tergantung pada jenis informasi, budaya ataupun pemimpin budaya yang menggunakan informasi tersebut. Tentu banyak orang dewasa ini tanpa pikir panjang akan memilih teknologi daripada kehidupan yang harmonis dengan alam. Tetapi bagi sebuah kebudayaan yang memusatkan perhatian manusia dan kemanusiaan pada tempat tertinggi, akan memilih dan mendahulukan hubungan personal daripada hubungan abstrak seperti kepandaian ataupun efisiensi yang statistik.
Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodologi, ia menolak pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa rasionalitas adalah asli, agung, bersifat universal, terlepas dari subyektivitas, konteks dan historisitas. Baik rasionalisme maupun empirisme mendukung rasionalitas yang menurutnya universal dengan cara yang berbeda. Tetapi anggapan ini sesungguhnya tidak dapat dibenarkan. Contoh-contoh yang dikemukakan oleh Feyerabend membuktikan bahwa tidak ada teori yang mengandung cacat, tidak ada teori yang sepenuhnya konsisten dengan fakta, tidak ada rasionalitas yang tidak terkait dengan konteks. Atas dasar itu, sangat dipahami apabila Feyerabend menolak kesatuan metode ilmu pengetahuan.
Feyerabend mengemukakan pandangannya tentang relativisme dalam konteks ilmu pengetahuan, yang di dalamnya semua pendekatan dan metode dianggap sah, semua cara mendapatkan pengetahuan dianggap boleh, semua pengetahuan yang dihasilkannya dianggap mengandung kebenaran, yang di dalamnya apapun saja boleh—anything goes. Sehingga di dalam penjelajahan pengetahuan tidak diperlukan metode atau paradigma umum, yang berlaku dan menjadi acuan umum sebuah masyarakat peneliti. Relativisme dalam ilmu pengetahuan memungkinkan setiap orang melakukan penelitian tanpa perlu terikat pada sebuah metode yang telah baku.99
Itulah sebenarnya penjabaran makna relativisme pengetahuan sebagai sebuah pandangan yang meyakini bahwa nilai dan kebenaran ditentukan oleh pandangan hidup dan kerangka berpikir setiap individu atau masyarakat, yang di dalamnya semua hal (pandangan, nilai, keyakinan, kebenaran, makna) mengandung arti kebenaran relatif. Artinya, tidak ada hal yang benar secara absolut; dan sebaliknya tidak ada hal yang salah secara absolut, semuanya mengandung porsi kebenarannya masing-masing.
Berbagai penemuan aspek eksperimental dalam bidang ilmu pengetahuan semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa suatu teori tidak penah dapat bersifat definitif. Selalu mungkin bahwa eksperimen-eksperimen baru yang menyelidiki lapisan-lapisan baru dari kenyataan atau struktur realitas, memaksa kita untuk merevisi teori-teori yang sudah lazim diterima.
Kaum relativis menyangkal adanya suatu standar rasionalitas universal dan a-historis yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik daripada teori lainnya. Apa yang dianggap paling akurat atau lebih baik mengenai teori-teori ilmiah akan berbeda-beda dari individu atau mayarakat yang satu dengan yang lainnya. Sebab tujuan mencari pengetahuan akan tergantung pada apa yang penting bagi, atau apa yang dihargai oleh, seorang atau suatu masyarakat tertentu. Misalnya, masyarakat kapitalis Barat memberikan penghargaan yang sangat tinggi pada tujuan penguasaan materiil atas kekayaan alam, tetapi hal itu akan memperoleh status yang rendah dalam satu kultur dimana pengetahuan justru diharapkan dapat memberikan kepuasaan individual. Diktum seorang filsuf Yunani Kuno, Protagoras, “manusia adalah ukuran segala-galanya”, menunjukkan suatu relativisme dalam hubungannya dengan individu-individu, sedangkan ucapan Kuhn, “tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan masyarakat bersangkutan”, merupakan pernyataan relativisme mengenai masyarakat. Karakterisasi kemajuan dan spesifikasi kriteria untuk menilai jasa atau faedah suatu teori akan selalu relatif bagi individu atau masyarakat yang menginterpretasikannya. Bagi seorang relativis, kriteria untuk menilai faedah teori-teori akan tergantung dari nilai-nilai atau kepentingan yang dianut oleh suatu individu atau masyarakat. Jadi contohnya, teori tentang pasang surut air laut berdasarkan pada gaya tarik bulan adalah ilmu yang berguna bagi kaum Newtonian, tetapi bagi Galileo dipandang sudah mirip dengan mistik ghaib; sementara itu dalam masyarakat masa kini, teori Marx tentang perubahan historis yang dipandang sebagai ilmu yang baik, oleh sementara kalangan dianggap propaganda belaka.100
Menurut Feyerabend, tidak ada gagasan, baik yang kuno maupun yang absurd, yang tidak tidak mampu meningkatkan pengetahuan. Totalitas sejarah pemikiran diarsobsikan (dituangkan) ke dalam sains dan dipergunakan untuk meningkatkan setiap teori. Begitu pula tidak ada interferensi (campur tangan) politis yang ditolak. Ini boleh jadi dibutuhkan untuk menghilangkan chauvinisme sains yang menolak pemikiran lain, selain mempertahankan satus quo. Hal tersebut dikemukakan oleh Feyerabend sebagai berikut:
There is no idea, however ancient and absurd, that is not capable of improving of knowledge. The whole history of thought is absorbed into science and is used for improving every single theory. Nor is political interference rejected. It may be needed to overcome the chauvinism of science that resists alternatives to the status quo.101

Perkembangan ilmu selama berabad-abad selalu ditandai oleh cara-cara analisis dan partisipasi pengamatan terhadap terjadinya perubahan yang bergerak secara dinamis dan drastis, dengan terlebih dahulu diawali oleh introduksi suatu perangkat konsep atau pola pengetahuan baru yang sebelumnya tidak ada, walaupun dalam proses penemuannya bukan merupakan hasil yang lahir dari suatu krisis atau konflik.
Pada awal pertumbuhannya, ilmu bercorak positivistis (bebas dari pikiran etis), deterministis (berdasar prinsip kausalitas), evolusionistis (kecenderungan untuk melihat sejarah dari obyek yang diteliti) sehingga segala hal harus dijelaskan dengan metode kuantitatif (mengukur dan menghitung), eksperimental (merubah gejala dengan mempertahankan variabel) dengan metode observasi dan riset.102 Pada perkembangan selanjutnya, adanya berbagai pengkajian ide, teori, sistem atau paradigma baru sebagai titik tolak, dengan pengujian ulang terhadap cara penyajian serta diseminasinya semakin memperjelas fase-fase yang kemudian diterima oleh masyarakat ilmiah sebagai suatu pertanda terjadinya perubahan yang cukup siginifikan untuk disebut evolusi atau bahkan suatu revolusi yang mampu melahirkan transformasi keilmuan fundamental.
Terjadinya perubahan tersebut ditandai oleh kriteria analisis logis maupun historis seperti yang dapat kita amati dalam penemuan Newton, Darwin, Einstein dan revolusi biologi molekuler (yang berhubungan dengan molekul) serta perkembangan ilmu-ilmu bumi dewasa ini. Dalam mewujudkan konsep keilmuan, kebenaran ilmiah itu tidak dapat semata-mata didasarkan atas konsep keilmuan yang bersifat rasional, logis, empiris, rasionalistis kritis, ataupun konstruktivis (ilmu berasal dan berkembang karena keseluruhan konteks, baik rasional ataupun empiris) saja, tetapi juga merupakan suatu sistem terbuka yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kehidupan manusiawi dengan seluruh aspek pembangunan masyarakat spiritual maupun material ataupun dalam kaitan dengan konteks ilmu itu sendiri.
Setiap evolusi ilmu selalu dimulai dengan suatu latihan intelektual (intellectual exercise) oleh kelompok ilmuwan tertentu yang menumbuhkan suatu ide baru, dan kemudian berkembang menjadi suatu pemahaman baru yang sebelumnya tidak ada ataupun tidak diharapkan akan ada; suatu tindakan kreatif yang bersumber dari suatu inovasi, bertolak dari masukan ilmu yang sudah ada sebagai batu loncatan bagi penemuan dan perubahan konseptual yang signifikan. Oleh karena itu, keterbukaan terhadap berbagai tuntutan modernisasi dan pengembangan ilmu yang disajikan melalui berbagai kekuatan yang datang dari luar harus diimbangi pula dengan kemampuan mengadakan penemuan, improvisasi dan kreasi-kreasi yang terus-menerus, yang menampilkan renungan dan dialog mengenai makna dari segenap pengalaman hidup melalui dinamika perkembangan ilmu.103
Dalam kaitan ini, Thomas Kuhn juga menunjukkan bahwa bahkan dalam perkembangan ilmu yang paling positivis, empiris dan pragmatis sekalipun terdapat pula faktor-faktor lain. Dalam pemilihan sebuah teori baru misalnya, yang terlibat bukan sekedar rasio yang analitis, verbal dan matematis, melainkan juga cita rasa estetis, nilai-nilai moral dan juga ikatan-ikatan sosial kelompok yang tidak dapat dibuktikan dan diungkapkan secara eksplisit sebagai dasar bagi terbentuknya suatu masyarakat. Semua dimensi ini bersifat nonverbal atau simbolis, implisit serta tidak terukur secara matematis dan empiris, tetapi menjadi faktor yang bekerja dalam proses penemuan teori atau paradigma baru dan sekaligus mengakhiri krisis menuju suatu tahap revolusi ilmiah.
Selaras dengan apa yang dikemukakan Kuhn tersebut, dalam salah satu tesis pentingnya tentang pengembangan ilmu pengetahuan, Michael Polanyi menawarkan tentang perlunya kehidupan kreatif masyarakat ilmiah yang pada gilirannya didasarkan pada kepercayaan akan kemungkinan terungkapnya kebenaran-kebenaran yang hingga kini masih tersembunyi. Sebab masyarakat kita pada umumnya dan masyarakat ilmiah pada khususnya dewasa ini, menurut Polanyi telah mengidap suatu pandangan yang bercorak positivis. Positivisme sendiri melihat bahwa obyektivitas dalam bidang pengetahuan manusia pada umumnya dan pengetahuan ilmiah pada khususnya sebagai tujuan; dan tujuan itu dapat dicapai dengan syarat bahwa fakta yang diteliti, metode yang dipakai untuk memahami realitas serta pembuktian yang digunakan untuk menguji kebenaran harus lepas dari personalitas manusia.104
Premis dasar ini merupakan cikal bakal kekeliruan tesis positivisme yang tidak hanya terletak pada sikapnya yang menolak cita rasa estetis dan nilai-nilai moral serta ikatan-ikatan sosial105, karena dianggapnya sebagai realitas subyektif semata-mata, melainkan juga pada pandangannya bahwa suatu masyarakat tidak dapat dibangun di atas dasar-dasar yang berakar pada cita rasa estetis, nilai-nilai moral dan ikatan-ikatan sosial itu. Situasi semacam ini oleh Polanyi disebut dengan inversi atau pemutarbalikan estetis dan moral, suatu kondisi di mana cita rasa estetis dan moralitas menjadi dasar tersembunyi bagi kegiatan-kegiatan yang jelas-jelas tidak manusiawi. Padahal cita rasa estetis dan moral merupakan sesuatu yang sensitif dalam diri kehidupan manusia dan yang menuntut manusia untuk menghargai keindahan, kemurahan hati dan ikatan-ikatan sosial masyarakat. Tetapi jika cita-cita itu diganti dengan tujuan-tujuan yang sekuler semata-mata, maka ia akan berubah menjadi tindakan-tindakan yang koersif.
Selain itu, kekeliruan mendasar dari positivisme yang juga ditentang keras oleh Feyerabend dapat kita telaah dari sudut pandang epistemologi sebagai suatu cabang filsafat yang berbicara tentang aspek-aspek pengetahuan manusia. Bagi Polanyi, persoalan dasar epistemologi adalah bagaimana seseorang dapat memiliki suatu pengetahuan. Penemuan yang berkesinambungan di bidang ilmu pengetahuan merupakan masalah penting, dan oleh karena itu usaha mencari faktor-faktor yang dapat membuahkan pengetahuan baru lebih penting dari usaha mencari verifikasi dengan pengukuran positif terhadap pengetahuan.106 Berbeda dengan pandangan positivisme yang melihat pengetahuan yang tidak terungkap sebagai pengetahuan yang harus disingkirkan karena berada di ambang kesadaran manusia, maka dalam pandangan Polanyi jenis pengetahuan ini justru dilihat sebagai dasar dari semua pengetahuan manusia.
Pengetahuan yang tidak terungkap atau—istilah Polanyi, lacit knowledge—merupakan integrasi intelektual atas unsur-unsur pengalaman personal ke dalam kesatuan pemahaman sebagai suatu aktivitas inteligensi manusia dalam mengartikan dan memahami realitas. Sementara pemahaman atas keseluruhan realitas itu sendiri hanya bisa dicapai melalui proses integrasi personal atas fakta-fakta partikularnya. Dengan begitu positivisme bukanlah satu-satunya sistem penjelasan terhadap struktur pengetahuan manusia.
Hal ini perlu ditegaskan kembali oleh karena adanya kenyataan bahwa sejak awal pendekatan mekanis Galileo terhadap alam, fisika klasik cenderung diterima tanpa sikap kritis terhadap kategori-kategori umum yang dimuat dalam pendekatan tersebut. Fisika klasik menganggap saintisnya sebagai saksi murni dari peristiwa-peristiwa alami yang tidak dipengaruhi oleh subyek, dengan mengandalkan dikotomi antara yang subyektif dan yang obyektif.
Baru setelah terjadi pergantian abad ke-20, kemudian ahli fisika sudah mulai mengalami semacam krisis intelektual yang diakibatkan oleh penemuan fakta-fakta eksperimental yang tidak mereka bayangkan sebelumnya, dan yang bahkan dianggapnya mustahil terjadi.107 Pergeseran itu setidaknya disebabkan oleh adanya tiga hal penting, yaitu perubahan pemikiran manusia, kemajuan teknologi dan lahirnya metode-metode ilmiah baru. Indikasinya, dalam abad ke-20 ini berkembang tiga teori yang cukup menggelisahkan dunia ilmu pengetahaun, yakni: (1) Teori relativitas Einstein; (2) Teori kuantum dari Plank; dan (3) Teori elektris tentang materi.108
Lebih lanjut, imbas dari berbagai inovasi pemikiran modern tersebut menyebabkan dunia fisika dewasa ini mengalami apa yang disebut “krisis penjelasan”. Perkembangan baru dalam fisika mengakibatkan perubahan pandangan dalam epistemologi, yang dalam istilah Thomas S. Kuhn dikatakan “perkembangan fisika abad ke-20 telah menimbulkan revolusi ilmiah yang menggulirkan paradigma baru”. Alam dalam pandangan Newtonian yang di atasnya prinsip positivisme ditegakkan; alam yang mekanis, deterministik, sederhana dan dapat diketahui secara obyektif dengan observasi dan eksperimen ilmiah, kini mulai diragukan.
Secara filosofis, implikasi dari modifikasi teori fisika terutama dalam hal mekanika kuantum tersebut semakin menunjukkan betapa goyahnya pondasi atau asumsi-asumsi dasar positivisme yang menuntut ilmuwan dan filsuf merevaluasi pandangannya tentang ilmu pengetahuan. Paling tidak kondisi itu dipicu oleh beberapa kejadian yang terdapat dalam dunia ilmu fisika seiring dengan kemajuan-kemajuan dan penemuan-penemuan baru yang sangat revolusioner dan di luar prediksi semula.
Pertama, adanya problem “prinsip ketidakpastian (Uncertainly principle)” Heisenberg tentang kemustahilan untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah elektron dalam waktu yang bersamaan. Prinsip ini beranggapan bahwa dalam keadaan yang lumrah, hukum fisika tidak akan mampu menjangkau realitas mikrokosmos atau dunia sub-atomik. Kemudian masalah yang Kedua, adalah adanya paradoks terkenal tentang kodrat cahaya yang sampai sekarang mempunyai status yang tidak jelas. Yang lazim diketahui sampai saat ini hanyalah pendapat umum bahwa cahaya itu disebarkan dalam bentuk gelombang. Dan permasalahan penting yang Ketiga, adalah adanya penemuan Max Planck mengenai kenyataan bahwa atom hanya ada dalam bentuk-bentuk energi.109 Pada tahun 1900, Plank mengemukakan teori kuantum yang menyatakan bahwa tenaga dari sinar yang dipancarkan ataupun diserap terdiri atas kelipatan-kelipatan bulat dari suatu takaran tertentu. Dalam hemat Planck, cahaya dapat dilihat sebagai term partikel atau sebagai gelombang (term of waves). Namun tidak ada interpretasi yang secara konsisten dapat digunakan pada keseluruhan situasi dengan selalu menetapkan hukum matematika formal.110
Hal itulah yang digunakan Feyerabend untuk memperlihatkan bagaimana metodologi-metodologi yang telah ada sudah tidak sejalan atau tidak cocok lagi dengan sejarah perkembangan fisika. Ia menyangkal klaim bahwa ada metode yang mampu menjelaskan sejarah fisika. Ia juga menolak anggapan bahwa superioritas fisika atas bentuk-bentuk pengetahuan lain dapat dikukuhkan dengan bantuan suatu metode ilmiah tertentu. Pendeknya, apabila seseorang hendak memberi sumbangsih kepada kemajuan fisika, maka ia tidak perlu terlebih dahulu mengenal metodologi-metodologi ilmu kontemporer, tetapi ia memang perlu mengenal tentang beberapa teori yang terdapat dalam pengetahuan fisika. Ia menunjukkan bahwa tidaklah bijaksana jika para ilmuwan di dalam melakukan pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan terikat oleh hukum-hukum yang diatur dalam metodologi-metodologi ilmu.
Mengingat begitu kompleksnya kenyataan yang berkembang pesat serta juga terkait dengan masa depan yang tidak dapat diramalkan secara pasti dalam rangka perkembangan ilmu pengetahuan, maka tidak logis kiranya mengharapkan metodologi dapat mendikte seorang ilmuwan. Misalnya dalam situasi tertentu kita harus menerima teori A, menolak teori B, atau lebih menyukai teori A daripada teori B. Hukum-hukum seperti “terimalah teori yang mendapatkan paling banyak dukungan induktif dari fakta-fakta yang diterima umum” dan “tolaklah teori yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang sudah diterima umum”, tidaklah relevan dengan episode pengembangan ilmu itu sendiri yang dianggap sebagai fase yang paling kreatif dan progresif dalam sejarah peradaban umat manusia.
Dalam pengertian inilah istilah “apa saja boleh” itu berlaku. Prinsip apa saja boleh (anything goes) secara harfiah berarti membiarkan segala sesuatu berlangsung dan berjalan tanpa dijejali aturan-aturan dan hukum-hukum. Bahkan prinsip ini mengimplikasikan suatu perlawanan terhadap segala macam aturan atau hukum yang telah baku. Prinsip ini tidak dimaksudkan sebagai metode baru, melainkan hanya sekedar upaya agar para ilmuwan yang sudah terbiasa bekerja dengan memakai standar-standar universal harus bersedia menerima tradisi-tradisi dan praktek-praktek riset.111 Dengan ini Feyerabend ingin menegaskan bahwa semua metode yang paling jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan satu-satunya hukum yang akan hidup terus dan dapat bertahan di tengah semua situasi dan dalam tahap perkembangan manusia adalah prinsip ini.
Sebab nyatanya, gagasan mengenai adanya keteraturan metode atau rasionalitas teori ternyata banyak sekali menyisakan pandangan yang naif tentang manusia dan keadaan sosialnya. Untuk itu barangsiapa yang melihat kekayaan bahan yang disediakan oleh sejarah, tetapi tidak sungguh-sungguh dalam menggarapnya pada gilirannya akan mengurangi kepekaan nalurinya, dan mereka sangat membutuhkan jaminan kejelasan dari cendekiawan, ketelitian, obyektivitas, kebenaran saja, sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada satu pun prinsip yang dapat dipertahankan dalam semua keadaan seperti itu ataupun dalam semua tingkat perkembangan manusia. Inilah prinsip: apa saja boleh. Hal tersebut dikemukakan Feyerabend sebagai berikut:
[T]he idea of a fixed method, or of a fixed theory of rationality, rests on too naive a view of man and hissocial surrounding. To those who look at the rich material provided by history, and who are not intent on impoverishing it in order to please their lower instincts, their craving for intellectual security in the form of clarity, precision, ‘objectivity’, ‘truth’, it will become clear that there is only one principle that can be defended under all circumstances and in all stages of human development. It is the principle: anything goes.112

Prinsip apa saja boleh ini juga sangat sesuai dengan pokok pikiran Feyerabend lainnya, yakni tentang kebebasan individu yang akan kami paparkan dalam sub-topik pembahasan selanjutnya. Menurut Feyerabend, jika kita ingin rasional dalam situasi-situasi konkrit sebenarnya prinsip apa saja boleh membebaskan kita dari keharusan untuk bertindak di bawah ketentuan-ketentuan hukum dan metode yang telah disepakati bersama. Menurut prinsip ini juga, setiap orang secara bebas dapat mengikuti pilihan pradigma dan aturan teori serta boleh juga mengikuti kecenderungan tertentu sebagai usaha untuk menumbuhkan ide-ide kritis. Dalam pengertian ini, seorang ilmuwan perlu keberanian untuk mengajukan ide-ide, gagasan-gagasan baru tanpa harus dikekang oleh tradisi ilmiah. Namun tentu saja kebebasan yang dipraktekkannya itu bukanlah kebebasan yang liar, dan bukan pula kecenderungan sesaat yang tidak berarti sedikitpun. Dengan begitu, prinsip apa saja boleh bukanlah berarti bahwa apa saja boleh tanpa batas, tanpa aturan dan tanpa tujuan.

  1. Ilmu Tidak Bisa Saling Diukur dengan Standar Yang Sama
Salah satu komponen penting lain dari analisa Feyerabend tentang ilmu pengetahuan adalah pandangannya bahwa ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. Konsepsi Feyerabend ini berasal dari apa yang disebut sebagai prinsip ketergantungan observasi pada teori. Sebagaimana yang kita maklumi, bahwa ada dua asumsi penting dalam pandangan induktivisme tentang observasi. Pertama, ilmu pengetahuan diperoleh lewat observasi. Kedua, kepercayaan bahwa observasi yang sungguh-sungguh obyektif menjadi dasar yang kokoh bagi ilmu pengetahuan.113 Mereka percaya bahwa: (1) Seorang pengamat sedikit banyak dapat menangkap langsung beberapa sifat dari dunia eksternal yang diobservasi; (2) Dua orang pengamat yang mempunyai indera yang normal akan melihat obyek atau gejala-gejala dari tempat yang sama, niscaya akan melihat hasil yang sama pula.114
Inilah yang disanggah Feyerabend dengan alasan bahwa apa yang dilihat pengamat dalam pengalaman visual ketika memandang suatu obyek sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman di masa lalunya, pengetahuan dan harapan-harapannya. Bagi Feyerabend, hasil observasi itu selalu tergantung pada teori sehingga tidak dapat dijadikan dasar yang obyektif bagi penilaian tentang kelayakan sebuah teori. Feyerabend menyimpulkan bahwa tingginya mutu sebuah teori berdasarkan hasil pengamatan itu tidak dapat saling diukur satu sama lain.115
Makna dan interpretasi tentang konsep-konsep dan keterangan-keterangan observasi yang digunakan akan tergantung pada konteks dimana makna dan keterangan observasi itu muncul. Feyerabend beranggapan bahwa arti setiap istilah yang kita pakai tergantung pada konteks teori yang digunakan. Letusan gunung berapi bagi seorang ahli geologi, dapat dijelaskan sebagai gangguan di bawah tanah, tetapi bagi warga suku primitif, letusan gunung berapi mungkin dianggap sebagai hukuman para dewa akibat dosa-dosa manusia.
Feyerabend menerima pandangan Kuhn tentang tidak adanya kriteria bagi ilmuwan yang disebabkan oleh adanya ketidaksepadanan atau ketidakkonsistenan dalam teori ilmu pengetahuan. Prinsip ketidakterbandingkan antara satu teori atau pandangan dengan yang lainnya berkaitan dengan prinsip inkonsistensi. Maksudnya, bahwa dalam satu penelitian ilmiah dapat melibatkan pendapat dan alternatif-alternatif yang bervariasi.
Jika seseorang tertarik dengan penelitian empiris dan ingin mengerti teori dalam berbagai aspek, maka ia harus memahami dan mengadopsi metode yang pluralistik. Ia harus dapat membandingkan antara satu teori dengan teori yang lain berdasarkan hasil pengamatan serta kumpulan data dan fakta yang diperolehnya. Ia harus mencoba pula untuk memperbaiki daripada membuang pandangan-pandangan yang kelihatannya kehilangan daya kompetisi. Feyerabend menulis masalah itu sebagai berikut: “...will adopt a pluralistic methodology, he will compare theories with other theories rather than with ‘experience’, ‘data’, or ‘facts’, and he will try to improve rather than discard the views that appear to lose in the competition”.116
Sebelumnya Thomas Kuhn telah menggambarkan ilmu sebagai aktivitas pemecahan teka-teki ilmu pengetahuan, baik secara teoretis maupun eksperimental. Pemecahan itu dibimbimg oleh peraturan-peraturan dalam suatu paradigma. Kuhn secara tegas menyatakan bahwa paradigma bukan saja membimbing teknis penelitian, tetapi juga membimbing interpretasi fenomena yang diobservasi. Ini artinya Kuhn juga mengakui ketergantungan observasi pada teori. Dalam penjabarannya, setiap paradigma akan memandang dunia ini secara berlainan, sebab setiap paradigma itu memang memiliki asumsi dan standar yang berbeda atau bahkan saling bertentangan satu sama lain.
Dalam beberapa kasus-kasus fundamental dari dua teori rival mungkin terdapat perbedaan yang begitu signifikan, sehingga tidak mungkin merumuskan konsep dasar dari teori yang satu dengan standar teori yang lain, sebab kedua teori rival itu tidak memiliki kesamaan keterangan-observasi apapun. Dalam kasus seperti itu, maka jelas tidak mungkin saling membandingkan ataupun mereduksi beberapa konsekuensi teori-teori rival itu secara logis, sebab dua teori rival itu tidak akan bisa saling diukur dengan standar yang sama pula.
Hal ini tepat sekali jika dihubungkan dengan keyakinan Kuhn dan Feyerabend bahwa teori-teori itu memang tidak memiliki tolok ukur yang sama antara yang satu dengan yang lainnya. Itulah maksud dari penyangkalan sebagaimana yang dikemukakan oleh T.S. dan P.K. Feyerabend bahwa dua pengertian teori itu tidak bisa saling diukur dan diperbandingkan satu sama lain. “Which refutes the contention of T.S. Kuhn and P.K. Feyerabend that two concept are mutually “incommensurable”, i.e., incomparable”.117
Kuhn dan Feyerabend berpendapat bahwa seingkali teori-teori ilmu pengetahuan itu tidak dapat saling diukur dengan beberapa teori yang lain secara bersamaan, dalam arti bahwa memang tidak ada hal yang patut untuk dibanding-bandingkan. (..., both of whom argued that successive scientific theories are often incommensurable with each other in the sense that there is no neutral way of comparing their merits).118
Pasangan-pasangan teori yang tidak bisa saling diukur menurut Feyerabend adalah mekanika kuantum dan mekanika klasik, teori penggerak dan mekanika Newtonian, materialisme di satu pihak dan dualisme antara badan dan akal di pihak yang lain. Salah satu contoh Feyerabend tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur tersebut adalah mengenai hubungan antara mekanika klasik dengan teori relativitas.
Menurut pandangan mekanika klasik, realitas yang nampak di dunia ini merupakan obyek-obyek fisik yang mempunyai bentuk, massa dan volume. Sifat-sifat itu eksis dalam obyek-obyek fisik dan dapat dirubah akibat adanya campur tangan fisik. Sedangkan dalam teori relativitas, sifat-sifat seperti bentuk, massa dan volume tidak eksis lagi, tetapi menjadi relasi-relasi antar obyek-obyek. Ia menjadi kerangka referensi dan bisa dirubah tanpa interaksi fisik apapun. Akibatnya keterangan apapun mengenai obyek-obyek fisik dalam mekanika klasik akan mempunyai makna berbeda dari keterangan observasi serupa dalam teori relativitas.119
Adanya kenyataan bahwa sepasang teori rival tidak bisa saling diukur, tidak lantas berarti bahwa teori-teori tersebut tidak bisa diperbandingkan dengan cara apapun. Salah satu cara untuk memperbandingkan sepasang teori adalah dengan mengkonfrontasikan teori-teori itu pada serangkaian situasi yang dapat diobservasi, lalu kita catat seberapa jauh derajat masing-masing teori itu sejalan dengan situasi-situasi tersebut yang ditafsirkan menurut kondisi masing-masing teori. Cara lain membandingkan teori-teori adalah seperti yang diusulkan Feyerabend dengan melibatkan pertimbangan-pertimbangan apakah teori-teori tersebut linear atau non-linear, koheren atau inkohern, dan lain sebagainya.
Walaupun begitu, Feyerabend tidak menampik bahwa hakikat ilmu yang tidak bisa saling diukur itu, terpaksa akan membawa kita ke suatu aspek subyektif dalam personalitas kita juga. Secara tegas Feyerabend menjelaskan bahwa setelah kita menyingkirkan kemungkinan pembandingan teori-teori secara logis untuk membandingkannya dengan sejumlah konsekuensi deduktif, maka sebenarnya yang tinggal tersisa adalah penilaian estetik, penilaian selera, prasangka-prasangka metafisis, keinginan-keinginan religius, pendeknya, apa yang tersisa adalah keinginan-keinginan subyektif kita. Diutarakannya, “...What remains are aesthetic judgements, judgements of taste, metaphysical prejudices, religious desires, in short, what remains are our subjective whises”.120
Hasil penelitian, penemuan ataupun pemilihan berbagai teori yang dilakukan oleh seorang ilmuwan tentang dunia fisik yang diamati itu tidak bisa terlepas dari kondisi sosiologis, intervensi pribadi maupun interest psikologis dari subyek yang memberikan isi terhadap obyek pengamatan itu. Dari sekian permasalahan itu sudah cukup kiranya kita jadikan dasar penolakan pandangan positivisme logis dengan argumentasi ilmiahnya tentang mutu kebenaran sebuah teori berdasarkan hasil observasi, yang dalam perjalanan sejarahnya ternyata banyak tersandung oleh kesalahan-kesalahan yang fatal.

  1. Ilmu Tidak Harus Mengungguli Bidang Pengetahuan Lain
Aspek lain yang penting dari anasir-anasir pokok pemikiran Feyerabend adalah menyangkut posisi ilmu dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Feyerabend menunjukkan bahwa tidak ada satu metode pun yang dianggap lebih baik dari bentuk metode yang lain.121 Feyerabend mengkritik keras pandangan ilmuwan dan masyarakat yang mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu tinggi.
Namun sebelum mengulas gagasan Feyerabend tersebut, perlu juga kiranya dikemukakan pendapat dari Herbert Marcuse (1898-1979) yang menyatakan bahwa masyarakat industri telah berkembang menjadi masyarakat berdimensi satu yang berada di bawah penguasaan prinsip teknologi. Setiap individu dalam masyarakat industri diperbudak oleh sistem produksi dan selalu berada dalam cengkeraman masyarakat konsumsi. Produktivitas bukan lagi sebagai alat, melainkan telah menjadi tujuan.
Dalam masyarakat seperti itu, kebutuhan hidup dihambur-hamburkan hanya untuk menghabiskan hasil produksi yang melimpahruah saja. Dan setiap individu, kecuali kaum buruh, dituntut harus menyesuaikan diri dengan keadaan ini sebab ia bukan merupakan kelas yang revolusioner, tetapi mereka hanya kelas yang sekedar berusaha mempertahankan hak untuk hidup. Dalam masyarakat yang demikian itu, harapan untuk mengadakan perubahan hanya terletak pada orang-orang pinggiran (marginal men), yaitu para seniman, cendekiawan, dan mahasiswa.122
Marcuse mengkritik tajam asumsi positivisme dan neo-positivisme yang menurutnya mematikan pemikiran negatif (negasi), sehingga pemikiran dan filsafat hanya berfungsi menyesuaikan diri dengan sistem lama yang telah ada. Dalam hal inilah gagasan Feyerabend memiliki kedekatan pandangan dengan Marcuse.
Kegagalan dari program kaum positivis selama ini adalah bahwa keragaman budaya selalu dinyatakan lewat pemahaman disiplin ilmu antropologi, dan meningkatnya perbedaan budaya yang mendapat kehormatan sampai di taraf internasional berarti bahwa sebuah keragaman pada dasarnya menggambarkan adanya perbedaan gambaran tentang kenyataan alam selalu dihubungkan dengan perbedaan budaya, yang secara tiba-tiba goyah oleh dunia ilmu pengetahuan dan cendekiawan kontemporer, dan ide tentang adanya satu kebenaran obyektif mengenai realitas tunggal alam semesta pun telah beralih menjadi kekaburan pemikiran di kalangan kaum cendekiawan.
Akibatnya seperti yang diungkapkan oleh Feyerabend, “keragaman budaya tidak dapat dijinakkan lewat pemikiran kaku tentang kebenaran obyektif sebab ia juga mengandung keragaman pemikiran serupa”. Katanya, “cultural variety cannot be tamed by a formal notion of objective truth because it contains a variety of such notion”.123
Kaum positivisme dan neo-positivisme mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan unggul karena dua alasan. Pertama, keunggulan metodologis. Maksudnya dengan metode empiris-analitis, ilmuwan dapat menentukan dan membuktikan kebenaran teorinya. Kedua, ilmu pengetahuan unggul karena dapat membuktikan hasil-hasl (teknologi) yang dapat diandalkan.
Feyerabend menolak dengan tegas anggapan-anggapan tersebut dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah lebih unggul dari bentuk-bentuk pengetahuan lain. Bahkan menurutnya tidak lebih unggul dari mitos, magi atau voodoo. Baginya sains bukanlah satu-satunya tradisi terbaik yang ada, kecuali bagi mereka yang sudah terbiasa memperlakukannya secara istimewa. Feyerabend menyatakan bahwa kebenaran itu terkait dengan tradisi dan bersifat relatif.
Ilmu pengetahuan pada masyarakat ilmiah modern telah dianggap paling benar, sehingga memonopoli kebenaran di tengah-tengah masyarakat luas. Ilmu pengetahuan dan metodenya menindas semua pandangan alternatif yang dianggap tidak relevan lagi dengan keaadan yang ada dan kenyataan yang berkembang dewasa ini. Ilmu pengetahuan dalam penilaian Feyerabend telah mengambil alih peran yang dimainkan oleh kaum agamawan.
Bacon, Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton di awal kebangkitan ilmu pengetahuan modern masih menganggap bahwa ilmu pengetahuan dan agama saling melengkapi. Bacon masih mencita-citakan bertemunya penjelasan antara ilmu dengan Kitab Suci secara harmonis. Tetapi Thomas Hobbes dan para pengikutnya yang muncul kemudian, memberikan tafsir atas segala fenomena alam yang sepenuhnya bercorak naturalis dan determinis. Misalnya Hobbes, berpendapat bahwa segala kejadian itu ditentukan oleh gerakan dan bentuk dari obyek yang bersifat kebendaan. Sedangkan cita rasa yang berdasarkan pancaindera itu sama sekali subyektif. Pandangan inilah yang diterapkan secara radikal oleh Comte dan kaum Positivisme Logis.
Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu yang secara tipikal menilai ilmu lebih unggul dan lebih berbobot atas bentuk-bentuk pengetahuan lainnya tanpa melakukan penyelidikan yang memadai terhadap pengetahuan-pengetahuan yang lain. Karena alasan itu pulalah, kemudian Feyerabend tidak menerima keharusan superioritas ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain. Lebih lanjut, dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen yang menentukan dan menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain yang tidak bisa diukur.
Secara khusus, Feyerabend menyerang pandangan ilmuwan yang menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai agama baru, terutama dalam masyarakat Amerika. Menurut Feyerabend, dalam masyarakat Amerika, orang memilih agama secara bebas, bahkan bebas untuk memilih tidak beragama, tetapi mereka dilarang mempelajari semua yang dianggap tidak ilmiah (mitos, voodoo). Semua ini dirasa tidak wajar tetapi tetap saja terjadi, karena para ilmuwan dan institusi pendukungnya dengan gencar selalu melakukan propaganda bahwa ilmu pengetahuan itu lebih unggul.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, Feyerabend menyarankan pemisahan ilmu pengetahuan dengan negara sebagaimana agama dipisahkan dari negara pada masa Renaissance. Lebih jauh ia memproklamirkan bahwa tidak ada perbedaan yang prinsipil antara ilmu pengetahuan dan mitos dan voodoo.124 Jadi kalau saja kata mitos diartikan untuk menunjukkan gejala dan peristiwa alam atau manusia seperti yang terjadi dalam tradisi dahulu kala, dan tetap saja dilestarikan dengan cara-cara yang sama oleh orang-orang yang masih rendah tingkat peradabannya, maka sesungguhnya tidak ada perbedaan antara mitos dan logos (teori ilmiah).
Feyerabend mengungkapkan bahwa ilmu adalah satu bentuk ideologi saja, yang berhubungan dengan sihir dan astrologi serta bertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan yang dipertahankan oleh masyarakat. Ia berkata, “...that science is just another ideology, along with magic and astrology, against which society needs to be defended?”125
Dengan demikian, catatan penting yang dapat kita ambil dari salah satu gagasan pokok Feyerabend ini adalah bahwa tidak ada universalitas sebuah teori yang secara mutlak lebih unggul kebenarannya dari teori yang lain. Sebab, sejarah ilmu pengetahuan itu memang selalu berproses untuk menyempurnakan dan mengembangkan teori-teori yang telah ada lewat pergulatan pemikiran yang simultan dan relatif ‘mendekati’ hakikat sebuah kebenaran.

  1. Kebebasan Individu
Kritik-kritik konstruktif Feyerabend cukup ampuh membongkar (mendekonstruksi) pandangan saintisme modern. Berdasarkan analisis sejarah, ia dapat mengajukan bukti-bukti bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang justru karena memberinya kebebasan, bukan dengan memagarinya melalui peraturan tunggal atau hanya dengan menerapkan satu metode yang dianggap mapan. Perkembangan dunia ilmu pengetahuan lebih dimungkinkan dengan membiarkan teori-teori yang beraneka ragam secara bebas dalam mengembangkan visi intelektualitas secara kreatif.
Bertitik tolak dari keyakinan seperti itulah, maka di bagian lain pandangannya tentang ilmu pengetahuan Feyerabend juga menekankan tentang pentingnya makna kebebasan individu dari berbagai macam belenggu metodologis. Ia menyatakan bahwa setiap orang harus mengikuti kecenderungan individualnya dan mengerjakan hal-ihwalnya sendiri.
Gagasan awal tentang kebebasan individu Feyerabend ini sendiri sebenarnya hanya merupakan uraian lanjutan dari apa yang disebut oleh John Stuart Mill (1806-1873) sebagai “sikap kemanusiawian” yang dalam realisasi konkritnya ditujukan untuk membebaskan dan sekaligus meningkatkan kebebasan individu menuju kehidupan yang lebih maju dan produktif. Dalam perspektif Feyerabend, perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem hukum yang berlaku, sebab pada dasarnya kegiatan ilmiah atau ilmu pengetahuan itu memang merupakan upaya yang anarkistik.
Pandangan Feyerabend tersebut harus ditelusuri pula berkaitan dengan analisisnya tentang masyarakat yang dicita-citakannya. Ia melihat bahwa ilmu pengetahuan memiliki kedudukan dan kuasa mutlak yang sama dengan otoritas agama pada masa Abad Pertengahan. Artinya ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi untuk membebaskan manusia, namun justru memasungnya dengan teori-teori dan aturan-aturan yang ketat dan mengikat.
Ilmu telah menjadi ideologi absolut-tunggal yang membatasi, menguasai dan bahkan memperbudak manusia. Sehingga pada akhirnya Feyerabend berkesimpulan bahwa pelembagaan ilmu dalam masyarakat kita dewasa ini sudah dianggap tidak konsisten lagi dengan sikap kemanusiaan itu sendiri. Padahal sebenarnya seperti yang ditunjukkan oleh Feyerabend, terdapat beberapa pemikiran universal tentang manusia yang digunakan untuk menetapkan beberapa pendekatan teoretis untuk memecahkan perselisihan-perselisihan manusia yang sombong, bebal, dangkal, tidak sempurna dan tidak jujur. Ia mengatakan, “...there is some universal notion of human understanding which might be used to provide some theoretical approach to solving human conflicts as “conceited, ignorant, superfisial, incomplete, and dishonest”.126
Di sekolah-sekolah, misalnya, ia melihat bahwa ilmu masih diajarkan sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Lagi-lagi ia menampilkan contoh tentang masyarakat Amerika yang menurutnya memberikan kebebasan warganya untuk memilih agama yang mereka kehendaki, tetapi tetap saja warga masyarakat tidak diperkenankan untuk mempelajari ilmu sihir dan voodoo. Dalam pengertian ini, jelas tidak ada pemisahan antara negara dan ilmu. Ia berujar, “thus, while an American can now choose the religion he likes, he is still not permitted to demand that his children learn magic rather than science at school. There is a separation between state and church, there is no separation between state and science”.127 Dan bagi Feyerabend, tidak ada cara lain yang dapat ditempuh dalam dilema ini kecuali dengan berusaha membebaskan masyarakat itu sendiri dari pengaruh monotafsir ilmu yang secara ideologis telah dimonopoli oleh institusi negara.
Dalam masyarakat yang diimpikan oleh Feyerabend, negara secara ideologis adalah netral. Negara semestinya bertugas untuk mengatur perjuangan antara ideologi-ideologi untuk menjamin setiap individu dapat mempertahankan hak kebebasan untuk memilih tanpa adanya unsur pemaksaan ideologi tertentu yang bertentangan dengan pilihan sadar dan kehendak hati nuraninya.128
Demikianlah gambaran umum tentang ide kebebasan individu dan masyarakat Feyerabend yang merupakan pertautan epsitemologis dari pemikiran-pemikiran utamanya tentang anarkisme ilmu pengetahuan. Bermula dari eksplorasi tentang “apa saja boleh” dan berbagai problem teori-teori keilmuan lainnya, Feyerabend terus berusaha ‘berkelit’ dari sanjungan keberhasilan dan kemapanan sains, sehingga ia mampu menghadirkan kronik pemikiran baru dalam diskursus ilmu pengetahuan modern dan postmodern yang sudah mulai banyak diperdebatkan.
Surplus positif dari filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend yang mungkin dapat didedikasikan bagi masa depan umat manusia adalah bahwa ia masih diperlukan untuk mensukseskan apa yang oleh Jürgen Habermas disebut “program pencerahan”, dengan selalu melakukan perlawanan secara kritis terhadap segala bentuk penyempitan ideologis. Salah satu peran penting filsafat Feyerabend yang berpijak pada rasionalitas dan universalisasi ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan masyarakat luas adalah bahwa ia bisa membantu menjernihkan substansi suatu permasalahan dan menyingkirkan berbagai macam kepalsuan dan pemaksaaan ideologis, termasuk juga doktrin-doktrin agama yang begitu dogmatis dan tanpa kompromistis. Sedangkan dalam komunitas akademik, filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend itu bisa membimbing kaum cerdik pandai untuk berpikir mandiri, mendalam, kritis dan berani. Filsafat Feyerabend dapat pula mencegah meluasnya kantong-kantong kosong pemikiran filosofis yang lolos dari tantangan kritik, sembari mempertanyakan ulang tentang kejelasan metode dan wawasan, serta menghubungkan kesenjangan pemahaman ilmu itu sendiri dengan tuntutan-tuntutan praktis kehidupan.
Lantas, apa kontribusi konkrit yang bisa diberikan model pembelajaran filsafat Feyerabend tersebut terhadap dunia keilmuan di Indonesia? Secara praktis, gagasan-gagasan filsafat Feyerabend itu setidaknya bisa membantu kita mengambil jarak sekaligus memberikan kritik tandingan terhadap klaim ideologi ilmu-ilmu empiris yang dalam opini budaya modern ini seolah-olah hanya ilmu-ilmu empirislah yang sanggup mendefinisikan arti kemanusiaan dan tujuan perkembangan masyarakat. Dalam kehidupan sosial, dengan analisis yang bebas dan obyektif, filsafat Feyerabend dapat dijadikan alat untuk mendeteksi setiap kedok-kedok ideologis berbagai ketidakadilan sosial serta pelanggaran-pelanggaran terhadap martabat manusia dan hak-hak asasinya. Dalam bidang agama, pluralisme metodologi yang ditawarkan Feyerabend kiranya juga bisa membantu melepaskan subyektivitas keberagamaan kita dari pandangan dunia dan pembelaan agama yang berbeda untuk bersama-sama membahas tantangan yang dihadapi bangsa, serta mencari pemecahan yang berorientasi pada penghormatan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, maka perluasan wacana filsafat Feyerabend ini akan memungkinkan masyarakat untuk memikirkan kembali masalah-masalah dasar hidupnya secara rasional dengan bahasa, wawasan dan argumentasi yang universal dalam rangka menggali kekayaan budaya, tradisi-tradisi dan filsafat Indonesia asli secara lebih terbuka, kritis dan kreatif.
 

BAB IV
ANARKISME ILMU PENGETAHUAN PAUL KARL FEYERABEND

  1. Pengertian Anarkisme
Secara etimologi, anarkisme berasal dari kata Yunani an archos = tanpa pemerintahan. Ia merupakan sebuah aliran dalam filsafat sosial yang menghendaki dihapuskannya negara atau pemerintahan serta kontrol politik dalam masyarakat. Aliran ini didasarkan pada ajaran bahwa masyarakat yang ideal itu dapat mengatur urusannya sendiri tanpa mempergunakan kekuasaan yang berlawanan dengan paham sosialisme dan komunisme. Tokoh-tokohnya: Gerrard Winstanley (1609-1660), William Goldwin (1756-1836), Mikhail Bakunin (1814-1876) dan Peter Kropotkin (1842-1921).129
Anarkisme (bhs. Yunani, awalan a, tidak, kebutuhan akan, ketiadaan, kekurangan + anarchos, seorang pengatur, pengarah, ketua, orang yang berwenang, komandan. Dalam bahasa Yunani istilah anarchos atau anarchia berarti tidak memiliki pemerintahan—keadaan tanpa penguasa). Konotasi positif: Anarkisme adalah ideologi sosial yang menolak pemerintahan yang otoriter. Aliran ini berpandangan bahwa individu-individu harus mengatur diri mereka sendiri dengan cara yang disenangi demi pemenuhan kebutuhan dan ideal-ideal mereka. Dalam pengertian ini anarkisme tidak bisa disamakan dengan Nihilisme, tetapi lebih serupa dengan libertarianisme politik dan antinomianisme. Konotasi negatif: Anarkisme adalah kepercayaan yang menyangkal untuk menghormati hukum atau peraturan apapun dan secara aktif melibatkan diri dalam promosi kekacauan melalui perusakan masyarakat. Aliran ini mengajarkan penggunaan terorisme individual sebagai sebuah alat untuk meningkatkan terjadinya disorganisasi sosial dan politik.130
Kamus Ilmiah Populer dengan gamblang mendefinisikan anarkisme sebagai sebuah paham kebebasan bertindak tanpa mau diikat oleh undang-undang; hal kesewenang-wenangan bertindak (melenyapkan undang-undang).131
Sementara Dictionary of Philosophy secara terperinci memberikan pengertian anarkisme sebagai berikut:
Anarchism: This doctrine advocates the abolition of political control within society: The State, it contends, is man’s greatest enemy—eliminate it and the evils of human life will disappear. Positively, anarchism envisages a homely life devoted to unsophisticated activity and filled with simple pleasure. Thus it belong in the “primitive tradition” of Western culture and springs from the philosophical concept the inherent and radical goodness of human nature. Modern anarchism probably owes not a little, in an indirect way, to the influence of the primitivistic strain in the thought of Jean Jacques Rousseau. In an popular sense the word “anarchy” is often used to denote a state of social chaos, but it is obvious that the word can be used in this sense only by one who denies the validity of anarchism.132

Jadi yang dimaksud dengan istilah anarkisme adalah: ajaran yang menganjurkan dihapuskannya penguasaan politik dalam masyarakat. Sebab negara menurut pendapat mereka adalah musuh terbesar manusia yang jika disingkirkan akan dapat menghilangkan kejahatan-kejahatan yang ada dalam kehidupan manusia. Jelasnya, anarkisme mengimpikan kehidupan yang bersahaja dengan menekuni kegiatan yang sederhana dan mengisinya dengan kesenangan yang wajar. Jadi ia termasuk kebiasaan kuno dari budaya Barat yang bersumber dari konsep filosofis yang telah melekat dan mengakar secara baik dalam sifat dasar manusia. Anarkisme modern kelihatannya juga tidak jarang, walaupun dengan cara yang berlainan, berusaha untuk mempengaruhi pandangan-pandangan kuno yang terdapat dalam pemikiran Jean Jacques Rousseau. Dalam pengertian populer, kata “anarki” seringkali digunakan untuk menunjukkan adanya kekacauan sosial dalam suatu negara, bahkan kata ini juga dipakai oleh seseorang yang menyangkal terhadap keabsahan anarkisme itu sendiri.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, anarkisme diartikan sebagai anarchy epistemological (kesewenang-wenangan epistemologis) yang digunakan dan dipopulerkan oleh Paul Karl Feyerabend. Menurutnya, tidak ada ukuran-ukuran yang tetap untuk memisahkan atau membedakan antara sampah dengan teori yang dapat diamati.133
Disamping itu juga terdapat beberapa pandangan filsuf tentang definisi anarkisme, diantaranya:
  1. Sebagai doktrin politis dan filosofis, istilah ini baru beredar pada abad ke-19. Pertama kali digunakan oleh Proudhon dan kemudian diangkat kembali oleh Bakunin untuk menyatakan adanya aneka ragam doktrin yang berkisar seputar keyakinan bahwa negara yang teratur harus dilenyapkan, sebab ia merupakan biang keladi ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan mengenai cara penghapusannya berbeda-beda menurut pandangan para penganutnya: evolusioner; revolusioner; garis keras (ekstrem), garis lunak (moderat).
  2. William Goldwin, penulis politik Inggris, mengharapkan munculnya anarkisme melalui perkembangan moral manusia secara bertahap.
  3. Max Stirner, filsuf Jerman, berkeyakinan bahwa keberadaan anarkisme adalah pasti dalam wujud pemberontakan—bukan revolusi—perseorangan seiring dengan adanya penumpukan dan pengembangan sikap individualisme.
  4. Joseph Proudhon, filsuf Perancis, mendukung pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap hubungan timbal balik atau kegotong-royongan; suatu rasa sosial yang semakin meningkat di tengah masyarakat. Dan penyebarluasan kerjasama sukarela semacam ini akan menggantikan negara.
  5. Mikhail Bakunin, penulis dan aktivis politik Rusia, menganut doktrin revolusioner yang bermuara pada penghancuran negara.
  6. Leo Tolstoy, filsuf sosial dan novelis Rusia, menganjurkan revolusi moral tanpa kekerasan yang mengarah pada penghapusan negara. Dalam hal ini ia lebih cenderung mewakili pandangan anarkisme religius.
  7. Peter Kropotkin, filsuf sosial dan pengarang Rusia, mengutarakan bahwa teori Darwin terlalu melebih-lebihkan kompetisi dalam evolusi; padahal konsep gotong royong tidak kalah pentingnya. Dan anarkisme itu sendiri merupakan gerakan kembali kepada masyarakat alamiah.134
Sedangkan dalam analisa Feyerabend sendiri, term anarkisme itu tidak lain adalah anarkisme epistemologis yang dipertentangkan dengan anarkisme politis atau religius. Dikatakannya, apabila anarkisme politis anti terhadap kemapanan (kekuasaan, negara, institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang menopangnya), maka anarkisme epistemologis justru tidak selalu memiliki loyalitas ataupun perlawanan yang jelas terhadap semua sistem dan struktur elit tersebut.
Di akhir renungannya tentang anarkisme, Feyerabend sendiri secara pribadi menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang dadais yang dilukiskannya sebagai berikut:
A Dadais is convinced that a worthile life will arise only when we start taking things lightly and when we remove from our speech the profound but already putrid meanings it has accumulated over the centuries...I hope that having read the pamphlet the reader will remember me as flippant Dadais and not as a serious anarchist.135

(Seorang Dadais percaya bahwa hidup yang berguna itu hanya dapat dibangun apabila kita mulai melakukan sesuatu yang gampang dan berhenti dari omong besar kecuali jika kita ingin pengertian-pengertian itu menjadi busuk karena ditumpuk-ditumpuk selama berabad-abad...Saya berharap bahwa setelah membaca selebaran ini pembaca mengenangku sebagai seorang Dadais yang sembrono, dan bukan sebagai anarkis yang sesungguhnya).
Seorang anarkisme epistemologis menurut Feyerabend ibarat seorang dadais seperti yang dijelaskan oleh Hans Richter dalam bukunya Dada: Art and Anti-Art. Feyerabend mengutip pandangan Richter sebagai berikut: ‘Dada’, ‘not only had no programme, it was against all programmes’. This does not exclude the skillful defence of programmes to show the chimerical character of any defence, however ‘rational’.136
Maksud Feyerabend adalah bahwa dalam epistemologi terdapat bentuk anarkisme yang berupaya mempertahankan sekaligus menentang kemapanan. Ia bukan hanya tidak punya program, tetapi anti-program. Ia pembela status quo, tetapi juga anti status quo. Hal itu ditempuh untuk memberikan kebebasan bagi perkembangan metode-metode alternatif. Anarkisme Feyerabend yang demikian itu terkadang diartikan orang sebagai kesewenang-wenangan epistemologi, karena tidak adanya ukuran atau aturan yang tetap dan pasti untuk menentukan antara yang ilmiah dan yang non-ilmiah.
Dalam posisi seperti itu, anarkisme juga tidak bisa disebut skeptisisme. Jika skeptisisme berpendapat bahwa suatu pandangan bisa benar dan bisa salah atau bahkan bisa juga tidak ada penilaian berarti baginya, maka tidak demikian halnya dengan anarkisme epistemologis. Seorang anarkis di bidang ini tidak segan bahkan tidak malu untuk mempertahankan pandangan yang dianggap sudah basi dan konyol sekalipun.
Lantas mengapa diksi yang ditawarkan oleh Feyerabend adalah anarkisme? Karena anarkisme epistemologis merupakan anarkisme teoretis. Menurut hemat Feyerabend anarkisme teoretis itu lebih manusiawi daripada alternatif hukum. Dari perspektif ini, ilmu pengetahuan secara hakiki merupakan usaha yang anarkistik mutlak. Feyerabend memberikan argumentasi historis, bahwa sejarah ilmu pengetahuan tidak hanya berisi fakta-fakta dan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta tersebut. Ia juga berisi ide-ide, interpretasi terhadap fakta-fakta, masalah-masalah yang timbul dari kesalahan interpretasi, interpretasi yang bertentangan, dan sebagainya. Feyerabend melihat bahwa para ilmuwan hanya meninjau fakta ilmu pengetahuan dari dimensi ide belaka, sehingga tidak heran andaikata sejarah dan ide-ide ilmu pengetahuan yang berkembang itu kemudian menjadi pelik, rancu dan penuh dengan kesalahan seperti pemikiran dari para penemunya.137
Situasi semacam itulah yang dilukiskan Feyerabend sebagai sakit epistemologis, dan obat paling mujarab untuk mengembalikan eksistensinya pada koridor semula adalah dengan prinsip anarkisme. Dengan demikian, anarkisme, sebagaimana pengakuan Feyerabend bisa membantu kita untuk mencapai kemajuan dengan memilih salah satu pemikiran yang kita minati secara lebih rasional, jelas dan bebas. Pungkasan ide anarkisme Feyerabend yang secara esensial perlu kita gali maknanya dalam realitas keseharian kita adalah pernyataannya berikut ini: “And my thesis is that anarchism helps to achieve progress in any one of the senses one cares to choose”.138

  1. Anarkisme Sebagai Kritik atas Ilmu Pengetahuan
Secara garis besar, seluruh pemikiran individualisme ekstrem Feyerabend tentang anarkisme di atas sebenarnya adalah suatu kritik terhadap perjalanan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang telah didominasi oleh sains positivistik. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang kaitan antar keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kritik pertama disebutnya sebagai anti-metode (Against Method) yang berusaha (mendekonstruksi) format metode ilmu pengetahuan yang telah dibuat dan dipahami oleh para kaum positivis dengan melakukan penyingkapan dan pembongkaran terhadap asumsi-asumsi beserta kesalahan dari teori-teori baku yang selama ini telah dikembangkannya. Dan kritik yang kedua dinamakannya dengan anti-ilmu pengetahuan (Against Science) yang secara lebih mendalam lagi mencoba mengoreksi tentang praktek ilmiah, fungsi dan kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan masyarakat yang dianggap memiliki standar universal yang melampaui batas-batas partikularitas dan relativitasnya.

  1. Anti-Metode (Against Method)
Dengan semboyan ini, Feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal, memiliki resistensi terhadap kritik yang tahan sepanjang masa serta dapat pula membawahi fakta dan penelitian. Menurut Feyerabend, klaim itu tidak realistis dan jahat. Tidak realistis, karena kenyataannya ilmu pengetahuan hanya diambil dari pandangan sederhana atas dasar kemampuan seseorang dari lingkungan tertentu. Jahat, karena ilmu pengetahuan berusaha memaksakan hukum-hukum yang menghalangi berkembangnya kausalitas-kausalitas profesional kita dengan mempertaruhkan sifat kemanusiaan kita.
Lagi pula, gagasan itu merusak ilmu pengetahuan dan menghambat laju perkembangannya karena mengabaikan adanya kompleksitas situasi fisik dan historis yang memungkinkan perubahan ilmu pengetahuan.139 Dengan menunjukkan bukti bahwa sejarah ilmu pengetahuan itu selalu dipenuhi dengan pertentangan teori, Feyerabend juga menyangkal pandangan saintisme yang menganggap ilmu berada di atas segala aspek budaya lain sehingga menyebabkan ilmu pengetahuan modern menghalangi kebebasan berpikir para ilmuwan itu sendiri.
Dan langkah pertama yang dilakukan Feyerabend untuk menindaklanjuti kritiknya tersebut adalah dengan mengajukan suatu prosedur yang diberi nama kontra-induksi (counterinduction). Prosedur ini dimaksudkan sebagai standar kritik dari luar yang sangat diperlukan demi kemajuan ilmu pengetahuan, karena sulitnya otokritik yang berasal dari dalam tubuh ilmu pengetahuan itu sendiri.
Maksud Feyerabend bukanlah mengganti seperangkat aturan-aturan dengan peraturan yang lain, tetapi tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa semua metode yang sudah jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan cara terbaik untuk menjelaskan ini adalah dengan menunjukkan batas-batas, irasionalitas dari beberapa aturan yang mungkin dianggap sebagai hal yang paling mendasar. Hal tersebut diungkapkan Feyerabend sebagai berikut:
My intention is not to replace one set of general ruler by another such set: my intention is, rather, to convince the reader that all methodolgies, even the most obvious ones, have their limits. The best way to show this is to demonstrate the limits and even the irrationality of some rules which she, or he, is likely to regard as basic.140

Hal ini jelas berbeda dengan paradigma positivisme yang menganggap induksi sebagai satu-satunya metode yang dianggap valid ataupun juga dengan kaum induktivisme naif yang berpendapat bahwa batang tubuh ilmu pengetahuan ilmiah dibangun di atas prinsip induksi yang dasarnya cukup kuat. Ketika ditemukan sejumlah fakta observasi dan eksperimen yang sesuai dengan teori, maka teori atau hukum diperkuat atau dikorborasi. Prinsip induksi berupaya mencari fakta yang mendukung dan menghindari fakta yang tidak sesuai dengan teori.
Kontra-induksi yang ditawarkan Feyerabend itu adalah juga untuk mengatasi masalah kekurangan prinsip verifikasi atau falsifikasi yang sama-sama tidak menghendaki adanya fakta yang konsisten dengan teori. Melalui kontra-induksi, Feyerabend mengusulkan counterrule, yaitu memberikan hipotesis yang tidak konsisten dengan teori yang mapan atau dengan fakta yang bahkan tidak sesuai atau tidak terukur sekalipun. Jadi, kontra-induksi yang dikemukakan oleh Feyerabend itu sesungguhnya berperan penting untuk menjembatani permasalahan teori dan fakta.
Walaupun begitu, menurut Feyerabend, masalah ini tidak memerlukan pembelaan khusus, karena tidak ada satu pun teori yang menarik dan sesuai dengan semua fakta yang selalu dapat diketahui dalam bidang domainnya secara pasti dan meyakinkan. Oleh karena itu, pertanyaan pokoknya bukan apakah teori-teori yang kontra-induktif ini harus diakui dalam ilmu pengetahuan atau tidak, tetapi apakah kesenjangan yang ada antara teori dengan fakta harus diperbesar atau diperkecil? Atau apa yang harus kita lakukan dalam menjawab persoalan ini?
Maka untuk bisa menyadari dan melakukan kritik terhadap asumsi-asumsi ilmu pengetahuan diperlukan standar eksternal guna memeriksa karakteristik dari dunia nyata yang diamati. Dan untuk itu semua, Feyerabend kemudian merancang pertanyaan mendasar tentang apa yang seharusnya dilakukan? Pertama, melakukan kritik terhadap fakta untuk memutuskan rantai dan konsep yang sudah mapan. Kedua, mengacaukan prinsip-prinsip teoretis yang paling masuk akal, dan Ketiga, memperkenalkan persepsi yang bukan merupakan bagian dari dunia persepsi yang ada. Semua itu merupakan langkah yang disebut oleh Feyerabend sebagai kontra-induksi. Itu sebabnya kontra-induksi selalu masuk akal dan selalu mempunyai kemungkinan untuk berhasil (counterinduction is, therefore, always reasonable and it has always a chance of success).141
Sebagai ganti atas anti-metode, Feyerabend memasukkan beberapa prinsip (bukan metode), yaitu prinsip pengembangbiakan (proliferation) dan prinsip apa saja boleh (anything goes) yang telah penulis terangkan dalam bab sebelumnya. Jadi dalam dalam kaitan ini kami hanya akan membahas tentang prinsip pengembangbiakan yang secara harfiah berarti membiarkan semua berkembang sendiri. Maksudnya kita tidak bekerja dengan sistem pemikiran, bentuk-bentuk kehidupan dan kerangka institusional yang tunggal. Ini berarti bahwa prinsip pengembangbiakan juga menafikan adanya sikap otoritarianisme terhadap produk pemikiran manusia yang paling absurd sekalipun.
Prinsip pengembangbiakan ini merupakan realisasi kritik dari alternatif pemikiran Feyerabend yang pada prinsipnya bertujuan untuk mencapai tiga hal utama: (1) memberikan model abstrak tentang kritik terhadap ilmu pengetahuan; (2) mengembangkan konsekuensi-konsekuensinya; dan (3) membandingkan konsekuensi-konsekuensi itu dengan ilmu pengetahuan. Berdasarkan hal yang ketiga, Feyerabend mengharapkan bahwa perbandingan antara fenomena-fenomena sejarah dan pandangan epistemologis mampu memberikan kriteria penilaian yang holistik terhadap struktur aktual ilmu pengetahuan, sehingga nantinya terbentuk suatu basis bagi kritisisme dan reformasi ilmu pengetahuan.142
Siasat Feyerabend ini, menurut W.H. Newton-Smith, adalah untuk memperlemah kesetian kita terhadap kemantapan suasana dengan menciptakan hal yang bertentangan dengan keadaan yang melarang kita untuk mengembangkan berbagai teori, terutama teori yang bertentangan dengan satu teori yang telah diterima oleh umum pada zaman sekarang ini. Smith mengatakan, “…Feyerabend’s strategy is to weaken our allegiance to the consistency condition by developing a case an incompatible counterrule which in this case enjoins us to proliferate theories, especially theories incompatible with currently accepted ones”.143
Prinsip pengembangbiakan berusaha menemukan dan mengembangkan teori-teori yang tidak cocok dengan pandangan yang sudah lazim diterima. Dengan demikian, prinsip ini tidak hanya memungkinkan adanya penemuan-penemuan alternatif baru, tetapi juga membuka peluang bagi tampilnya kembali teori lama yang sudah tidak diakui lagi keberadaannya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa prinsip pengembangbiakan ini bukan aturan metodologis, sebab ternyata ia juga menegaskan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan itu tidak dapat diperoleh dengan hanya mengikuti teori tunggal, aturan atau metode apapun, melainkan dengan membiarkan teori-teori yang beraneka ragam dan berbeda satu sama lain berkembang secara bebas.

  1. Anti-Ilmu Pengetahuan (Against Science)
Anti-ilmu pengetahuan Feyerabend ini tidak berarti ia anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang seringkali mengaburkan maksud dan tujuan utamanya. Dengan sikap ini, Feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti sihir, voodoo, magi, mitos, dan lain sebagainya.
Ditegaskannya, ilmu pengetahuan menjadi pemikiran tunggal-mutlak karena adanya propaganda dari para ilmuwan dan institusi terkait yang diberi wewenang untuk selalu mempengaruhi kesadaran kolektif masyarakat tentang hakikat dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sehingga ilmu pengetahuan yang dianggap paling benar itu telah menguasai sistem kebenaran dunia ilmiah, dan pada gilirannya menjadi semacam ideologi yang menindas kebudayaan alternatif.
Semboyan extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) yang lebih dari satu abad lalu ada dalam tradisi gereja, diadopsi oleh para ilmuwan dengan mengatakan extra scientiam nulla salus (di luar ilmu pengetahuan tidak ada kebenaran).144 Walaupun dewasa ini tidak ada lagi orang yang dihukum mati dengan dakwaan subversif atau “sesat” terhadap rumus-rumus formal ilmu pengetahuan, tetapi mereka secara hukum konvensional mendapat sanksi sosial yang justru lebih berat daripada batas-batas toleransi yang ada dalam suatu masyarakat sekalipun.
Dari semua bentuk pengingkaran yang sangat radikal tersebut, Feyerabend sejatinya ingin menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya merupakan salah satu gagasan terbuka dan plural dari sekian banyak pilihan ideologi yang ada dalam masyarakat. Dengan begitu, Feyerabend ingin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka. Maka tidak wajar mendewa-dewakan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya pengetahuan yang paling unggul dan bahkan paling menentukan kehidupan masyarakat. Karena masalahnya terletak pada muatan ideologis dari komunitas para ilmuwan dan pihak-pihak yang selalu berusaha menciderai kemurnian citra ilmu pengetahuan dengan kepentingan-kepentingan subyektif-individual yang menyebabkan proses idealisasi ilmu pengetahuan yang sebenarnya mengalami stagnasi. Mungkin situasi inilah yang dikatakan oleh Richard Rorty bahwa epistemology is dead, atau dalam konstruksi filsafat Feyerabend disebut sebagai anti-ilmu pengetahuan (Against Science) itu.
Relevansi pemikiran yang dapat kita pertautkan makna aktualitasnya dari dasar-dasar epistemologi Feyerabend di atas dengan fenomena budaya akademik kita saat ini adalah bahwa kita perlu mengembangkan pola pikir—dalam bahasa filsuf John Henry Newman—illative sense, yaitu bagian intelektual manusia yang dapat mengandaikan adanya kompleksitas suatu obyek, dan kemungkinan manusia mengambil sikap terhadap obyek tersebut. Mungkin illative sense ini mirip dengan konsep phronesis dari Aristoteles, yakni semacam kebijaksanaan untuk mengakui segala keterbatasan pengetahuan kita, tanpa kehilangan kepastian bahwa kita dapat bicara mengenai kebenaran. Adanya pengakuan terhadap kompleksitas berbagai persoalan kemanusiaan dan keterbatasan kemampuan manusia menguasainya yang pada akhirnya mengandaikan keterbukaan terhadap beragam persepsi, penafsiran dan perbedaan pendapat itu tidak lantas membuat kita harus kehilangan sandaran pencarian perennial tentang adanya kemungkinan bahwa kita dapat mencapai—betapapun mencapai disini mesti ditafsirkan sebagai (makin) mendekati—hakikat kebenaran yang kita maksud.
 

BAB V
PENUTUP

  1. Simpulan
Dari seluruh pembahasan tentang konstruksi epistemologis Paul Karl Feyerabend beserta persoalan-persoalan dasarnya tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penting sebagai berikut:
  1. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend disusun atas dasar protes terhadap proses pemapanan ilmu pengetahuan yang selama ini didominasi oleh aliran Positivisme Logis dari Lingkaran Wina (Vienna Circle) yang menempatkan dan merumuskan ilmu pengetahuan sebagai kalkulasi aksiomatis semata. Disamping itu, prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Feyerabend juga merupakan wujud dari ketidaksetujuannya pada empirisme kontemporer dan teori mekanika kuantum mutakhir dari Interpretasi Kopenhagen untuk menunjukkan bahwa metodologi-metodologi yang telah ada sudah tidak sejalan atau tidak cocok lagi dengan sejarah perkembangan fisika. Adapun prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh Feyerabend itu adalah apa saja boleh (anything goes), ilmu tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak mengungguli bidang pengetahuan lain, dan kebebasan individu.
  2. Feyerabend juga berhasil mengembangkan sistem ilmu pengetahuan revolusioner yang menjadi suatu analisis alternatif untuk menginterpretasi dunia dengan metode anarkisme epistemologi yang ditujukan untuk semakin menemukan hakikat ilmu pengetahuan yang selama ini secara ideologis dianggap lebih unggul daripada bentuk pengetahuan lain lewat kritik anti-metode (Against Method) dan anti-ilmu pengetahuan (Against Science)nya. Selain itu, salah satu ide penting Feyerabend lainnya sebagai penjelasan lanjutan dari tesis apa saja boleh yang diusungnya adalah bahwa tidak ada keteraturan metode atau teori dalam ilmu pengetahuan. Ia berargumen bahwa selama ini para ilmuwan cenderung memakai standar-standar universal dan baku, sehingga menghalangi berkembangnya kausalitas-kausalitas profesional kita dan menegasikan pula pluralisme metodologi yang pada hakikatnya bisa menjadi sarana kritisisme dan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Feyerabend, terlepas dari kontroversi ilmiah yang menyertainya, telah mampu memberikan perspektif baru untuk melepaskan diri dari segala bentuk otoritarianisme ilmu pengetahuan yang dianggap Feyerabend tidak ubahnya seperti sihir, mitos, magi, voodoo, dan tidak ubahnya juga seperti “agama baru” pada masa Abad Pertengahan yang memonopoli sistem kebenaran dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan yang dipropagandakan menjadi ideologi tunggal-mutlak yang menindas budaya ilmiah alternatif oleh para ilmuwan dan institusi terkait lain semisal negara itu menurut keyakinan Feyerabend mesti dilawan dengan penentangan metode yang anarkistik.

  1. Saran-saran
  1. Sebagai sebuah pemantik dan pengenalan awal dari wacana filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend, dalam skripsi ini penulis hanya sebatas ‘mengantarkan’ khalayak pembaca pada orientasi umum tentang anarkisme epistemologi Feyerabend yang oleh sebagian kalangan dianggap tidak memberikan tawaran metodologi yang jelas dan sistematis, serta tidak memiliki standar aturan yang dinilai baku untuk menentukan antara yang ilmiah dan yang non-ilmiah. Untuk itu, maka saran singkat yang bisa penulis sampaikan adalah, bahwa di masa mendatang mungkin alangkah lebih baik jika pengembangan kajian dari tulisan ini lebih difokuskan pada implikasi-implikasi sosial-praktis dari prinsip apa saja boleh (anything goes), ilmu tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak harus mengungguli bidang pengetahuan lain dan kebebasan individu Feyerabend di tengah arus liberalisasi pemikiran masyarakat kontemporer. Dengan begitu, maka perdebatan filosofis tentang Feyerabend tidak hanya berkisar pada satu sketsa pemikiran saja, sebab masih banyak padanan ide dan ragam penafsiran lain yang bisa dielaborasi secara tajam dan mendalam dari tesis-tesis utama Feyerabend yang begitu kontroversial dan ekstrem itu guna memperoleh bekal pemahaman yang lebih benar dan lengkap tentang struktur fundamental dari filsafat Feyerabend itu sendiri.
  2. Dalam mengkaji pemikiran filsafat Feyerabend ini kita dituntut untuk melakukan apropriasi, yaitu kemampuan memahami orang lain tanpa terhanyut ke dalam alam pikirannya secara total. Sebab kerapkali krisis persepsi terhadap pluralitas dan kompleksitas dari setiap dialektika pemikiran membuat kita tidak bisa menangkap dan menggali muatan-muatan filosofis yang menjadi asumsi dasar masalah tersebut, sehingga tidak jarang menimbulkan pemaknaan yang justru kontraproduktif. Bahkan yang lebih parah lagi, batas-batas yang kita paksakan atas persoalan yang sejatinya kompleks itu sering merupakan penjelmaan dari sikap-sikap subyektif-egoistik kita. Oleh karena itu, selain beresiko menghasilkan rumusan pemecahan masalah yang keliru, kita pun cenderung bersikap fanatik—mati-matian membela pendapat kita tanpa peluang menyadari bahwa pendapat kita itu salah. Namun dengan adanya unsur “relativisme saintifik”—istilah Haidar Bagir—dalam rumpun teori ilmu pengetahuan, tentu akan membuat kita tidak pernah merasa benar sendiri serta tidak mudah merasa puas dengan segala pengetahuan yang telah kita peroleh. Sebab studi filsafat sebagai pilar utama rekonstruksi pemikiran lewat metodologi berpikirnya yang ketat, mengajar kita untuk senantiasa meneliti, mendiskusikan dan menguji kesahihan serta akuntabilitas setiap gagasan—termasuk anarkisme ilmu pengetahuan Feyerabend—agar bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual dan ilmiah. Evolusi ilmu pengetahuan dan kebudayaan manusia telah sampai ke zaman yang memaksa kita untuk berpikir holistik, sistemik dan refleksif-mendalam untuk memahami realitas beserta problem-problem besar yang diakibatkannya.
  3. Di samping itu juga, perlu kecermatan dan ketelitian dalam menelaah setiap rekonstruksi filosofis yang cukup provokatif dari Feyerabend, sehingga kita mampu mencerna makna substansial dari setiap realitas yang ada. Anarkisme, sebagaimana ditegaskan Feyerabend berbeda dengan anarkisme politis maupun religius. Demikian juga, anything goes tidak berarti pula tanpa batas-batas fungsional yang mengikuti kecenderungan individual yang tidak berarti dan tidak bernilai. Juga pengertian Against Method, tidak lantas itu meniadakan atau mengganti peran dan fungsi teoretis ilmu pengetahuan yang telah dirintis oleh para ilmuwan, tetapi itu menurut Feyerabend, dipakai untuk menunjukkan bahwa ada aspek relativitas teori ilmu pengetahuan yang selalu terbatas oleh adanya ketergantungan observasi pada teori. Atau Against Science, yang tidak bermakna anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan bahwa subyektivitas para ilmuwan dalam penetapan sebuah proposisi atau hipotesis ilmu pengetahuan menyebabkan praktek ilmiah tidak bisa dijadikan sebagai simbol superioritas ilmu pengetahuan atas bentuk atau bidang pengetahuan lain. Maka saran akhir yang bisa penulis usulkan adalah dibutuhkan sikap kehati-hatian dalam memahami dan menyelidiki pokok-pokok pikiran filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dengan menghindari penafsiran yang dangkal dan terpilah-pilah.
 

DAFTAR PUSTAKA


Asdi, Endang Daruni dan A. Husnan Aksa. Filsuf-filsuf Dunia dalam Gambar. Yogyakarta: Karya Kencana, 1981.

Adisusilo, Sutardjo. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Androngi. Filsafat Alam Semesta. Semarang: Bintang Pelajar, 1986.

Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Alwaah, 1993.

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna. terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali. Bandung: Mizan, 1998.

Beerling, R.F. Filsafat Dewasa Ini. Jakarta: Balai Pustaka, 1951.

Brouwer, Martinus Anton Wesel. Psikologi Fenomenologis. Frans M. Parera (penyunting). Jakarta: Gramedia, 1984.

Brouwer, Martinus Anton Wesel dan M.P. Heryadi. Sejarah Filsafat Barat dan Sezaman. Bandung: Alumni, 1986.

Bertens, Kees. Panorama Filasafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987.

Bakker, Anton dan A. Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.

Beerling, et.al., Pengantar Filsafat Ilmu. alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

Bunge, Mario Augusto. Philosophy of Science, Volume One: From Problem to Theory, Revised Edition. New York: Transaction Publishers, 1998.

Balashov, Yuri and Alex Rosenberg (eds.). Philosophy of Science: Contemporary Readings. London: Routledge, 2002.
Bernadien, Win Usuluddin (ed.). Dance of God, Tarian Tuhan. Yogyakarta: Apeiron Philotés, 2003.

Chalmers, A.F., Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya. Jakarta: Hasta Mitra, 1982.

Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Epistemologi dan Logika. Bandung: Remadja Karya, 1985.

Epping, A., Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat Ensie: Eerste, Nederlandse, Systematisch, Ingerichte, Encyclopaedie. Bandung: Jemmars, 1983.

Feyerabend, Paul Karl. Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge. London: New Left Books, 1975.

__________________. “How to Defend Society Against Science”, dalam Ian Hacking (ed.). Structure Revolutions. New York: Oxford University Press, 1981.

__________________. Farewell to Reason. New York: Verso, 1987.

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi. Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002.

G.W., Bawengan. Sebuah Studi Tentang Filsafat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.

Gie, The Liang. Lintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna, 1998.

____________. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, 1999.

Gallagher, Kenneth T., Epistemologi (Filsafat Pengetahuan). P. Hardono Hadi (penyunting). Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Hanafi, A., Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981.

_______, Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983.

Hamersma, Harry. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1992.

Harris, James Franklin. Against Relativism: A Philosophical Defense of Method. La Salle, Illinois: Open Court, 1997.

Howard, Roy J., Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika; Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis. Ninuk Kleden-Probonegoro (ed). Bandung: Nuansa, 2000.
Kuhn, Thomas S., Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. terj. Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat. alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.

Losee, John. Philosophy of Science and Historical Enquiry. Oxford: Clarendon Press, 1974.

Laer, Henry van. Filsafat Sains Bagian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara Umum. Yudian W. Asmin (ed.). Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia, 1995.

_________. A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition. New York: Oxford University Press, 2001.

Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan, 2001.

Ladyman, James. Understanding Philosophy of Science. London: Routledge, 2002.

Lubis, Akhyar Yusuf. Feyerabend: Penggagas Anti-Metode. Jakarta: Teraju, 2003.

Magnis-Suseno, Franz von. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Melsen, A.G.M. van. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita. terj. Kees Bertens. Jakarta: Gramedia, 1992.

Mudhofir, Ali. Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Liberty, 1992.

__________. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Gadjah Mada University Press, 1996.

Popper, Karl Raimund. The Logic of Scientific Discovery. New York: Harper & Row Pub., 1968.

Prawirohardjo, Soeroso H. Meta-Teoritis atas Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya Bagi Program Pendidikan Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1984.

Peursen, Cornelis Anthonie van. Susunan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia, 1988.

Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994.

Piaget, Jean. Strukturalisme. terj. Hermoyo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Polanyi, Michael. Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan. terj. Michael Dua. Jakarta: Gramedia, 1996.

Piliang, Yasraf Amir. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKíS, 1999.

_______________. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra, 2004.

Qadir, C.A. (penyunting). Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. terj. Bosco Carvalho, et.al. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Runes, Dagobert D. (ed.). Dictionary of Philosophy. Littlefield Adams & Co., Totowa: New Jersey, 1971.

Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Suppe, Frederick (ed.). The Structure of Scientific Theories. Urbana University of Illionis Press, 1974.

Siswanto, Joko. Kosmologi Einstein. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.

Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Smith, W.H. Newton. The Rationality of Science. Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981.

Smith, Huston. Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas. terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD, 2001.

Sutrisno, F.X. Mudji dan F. Budi Hardiman (ed.). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Semiawan, Conny R., et.al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung: Rosdakarya, 1998.

Suriasumantri, Jujun Suparjan. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.

____________ (penyunting). Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Salam, Burhanuddin. Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Tim Redaksi Driyarkara (penyunting). Hakikat Ilmu dan Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia, 1993.

Tim Penulis Rosda. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.

Verhaak, Christiaan R.O.M. dan Robert Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia, 1991.

1 Jujun Suparjan Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2.

2 Beerling, et.al., Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. xii.
3 Prasetya T.W., "Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 47.

4 A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 149.
5 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 205.
6 Ibid., hlm. 253.
7 Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 119 dan 116.
8 Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 167-168.

9 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 295-6.
10 Ibid., hlm. 186.
11 Ibid., hlm. 20.
12 Ibid., hlm. 307.
13 Ibid., hlm. 187.
14 Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 130.
15 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi (Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002), hlm. 9.

16 Anton Bakker dan A. Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.
17 Ibid., hlm. 65.

18 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 98. Lihat juga dalam Anton Bakker dan A. Charris Zubair, op.cit., hlm. 63.
19 Ibid., hlm. 60.
20 W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981), sebagaimana yang dikutip oleh Endro Witj., Feyerabend: Rasionalitas Ilmu Yang Goyah, dalam Fokus, Februari 1989, hlm. 34.

21 Kees Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 17.

22 Prasetya T.W., “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend”, dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993).
23 A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982).

24 W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981).

25 Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003).
26 Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 48.
27 Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 101-102.

28 John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition (New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 177.
29 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 5. Feyerabend mempersembahkan buku ini kepada Imre Lakatos dengan menulis To Imre Lakatos, friend and fellow-anarchist.
30 Ibid., hlm. vii.

31 Prasetya T.W., op.cit., hlm. 49.
32 Yuri Balashov and Alex Rosenberg (eds.), Philosophy of Science: Contemporary Readings (London: Routledge, 2002), hlm. 141.
33 Don Cupitt, After God: Masa Depan Agama, terj. Abdul Qodir Shaleh (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. 204-205.

34 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika (Bandung: Remadja Karya, 1985), hlm. 2.
35 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 54-55.
36 Ibid., hlm. 55.

37 Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 114-115.
38 A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), hlm. 65.

39 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 116.

40 Frederick Suppe (ed.), The Structure of Scientific Theories (Urbana University of Illionis Press, 1974), hlm. 4.
41 Cornelis Anthonie van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 82.

42 Jean Piaget, Strukturalisme, terj. Hermoyo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 63.

43 Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 193.

44 Henry van Laer, Filsafat Sains Bagian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara Umum, Yudian W. Asmin (ed.), (Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia, 1995), hlm. 133.
45 I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 126-127.

46 Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 161.

47 Soeroso H. Prawirohardjo, Pengamatan Meta-Teoritis atas Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya Bagi Program Pendidikan Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1984), hlm. 9-10.
48 Roy J. Howard, Pengantar atas Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika; Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis, Ninuk Kleden-Probonegoro (ed.), (Bandung: Nuansa, 2000), hlm. 51.

49 Bawengan, G.W., Sebuah Studi Tentang Filsafat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 113.
50 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 122.

51 Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 203.
52 Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 111-113.

53 Bawengan, G.W., op.cit., hlm. 114.
54 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 59.
55 Karl Raimund Popper, The Logic of Scientific Discovery (New York: Harper & Row Pub., 1968), hlm. 40-42.

56 Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 160.
57 Conny R. Semiawan, et.al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm. 51-52.
58 Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, op.cit., hlm. 161.

59 Seperti dikutip oleh Conny R. Semiawan, op.cit., hlm. 58.
60 Huston Smith, Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. xviii.

61 I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 77.
62 Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 112.
63 Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 83-84.

64 I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 92-93.
65 Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 10.

66 Dudley Shapere, Meaning and Scientific Change, dalam Ian Hacking (ed.), hlm. 29.
67 Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 176 dan 315.
68 Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 119.
69 Prasetya T.W. op.cit., hlm. 52.

70 Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 86.
71 Soedjono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 17.

72 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 211.
73 John Losee, Philosophy of Science and Historical Enquiry (Oxford: Clarendon Press, 1974), hlm. 4.

74 Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 90.
75 Martinus Anton Wesel Brouwer dan M.P. Heryadi, Sejarah Filsafat Barat dan Sezaman (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 22.
76 Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 42.
77 Listiyono Santoso, “Sains dan Problematika Ketuhanan Abad Pencerahan (Hampiran Empirisme Radikal David Hume, 1711-1776)”, dalam Win Usuluddin Bernadien (ed.), Dance of God, Tarian Tuhan (Yogyakarta: Apeiron-Philotés, 2003), hlm. 84.

78 A. Hanafi, Filsafat Skolastik (Jakarta: Pustka Alhusna, 1983), hlm. 82.
79 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 269.

80 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 11.
81 Franz von Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 60.

82 Yasraf Amir Piliang, Hiper-Realitas Kebudayaan (Yogyakarta: LKíS, 19990), hlm. 17.

83 Nico Syukur Dister, “Descartes, Hume dan Kant, Tiga Tonggak Filsafat Modern”, dalam F.X. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 55.
84 M.A.W. Brouwer dan M.P. Heryadi, op.cit., hlm. 75-77.

85 Sebagaimana dikutip oleh Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 47.

86 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 13.
87 A.G.M. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita, terj. Kees Bertens (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 6-7.

88 Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 159.
89 Joko Siswanto, Kosmologi Einstein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 38.
90 Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 383.
91 Sutardjo Adisusilo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 43.

92 A. Epping, Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat Ensie: Eerste, Nederlandse, Systematisch, Ingerichte, Encyclopaedie (Bandung: Jemmars, 1983), hlm. 244-245.
93 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 90.

94 Karen Amstrong, op.cit., hlm. 384.

95 Ibid., hlm. 386.
96 Joko Siswanto, op.cit., hlm. 11. Baca juga dalam Androngi, Filsafat Alam Semesta (Semarang: Bintang Pelajar, 1986), hlm. 110.

97 The Liang Gie, Lintasan Sejarah Ilmu (Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna, 1998), hlm. 71.

98 Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 118.
99 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. 235.
100 A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 107-108.

101 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 33.
102 Martinus Anton Wesel Brouwer, Psikologi Fenomenologis, Frans M. Parera (penyunting), (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 83.
103 Conny R. Semiawan, et.al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung: Rosdakarya, 1998), hlm. 76 dan 80.
104 Michael Polanyi, Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan, terj. Michael Dua (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. ix-x.

105 Jika Polanyi berbicara tentang cita rasa estetis, nilai-nilai moral dan ikatan-ikatan sosial, maka yang dimaksud disini bukan prinsip-prinsip moral universal dan abstrak dalam pengertian Kant, melainkan kebiasaan atau tradisi suatu masyarakat.
106 Michael Polanyi, op.cit., hlm. xi.
107 James B. Conant, Apakah Ilmu Pengetahuan Itu?, dalam C.A. Qadir (penyunting), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, terj. Bosco Carvalho, et.al., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 41.

108 Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 265.
109 Kenneth T. Gallagher, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), P. Hardono Hadi (penyunting), (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 174-175.

110 Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 12.
111 Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 57.
112 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 18-19.
113 A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 22.

114 Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 107.
115 John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition (New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 187.
116 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 33.
117 Mario Augusto Bunge, Philosophy of Science, Volume One: From Problem to Theory, Revised Edition (New York: Transaction Publishers, 1998), hlm. 78.

118 James Ladyman, Understanding Philosophy of Science (London: Routledge, 2002), hlm. 115.
Teori relativitas atau dikenal juga dengan teori Einstein adalah teori tentang realitas fisik yang menggambarkan fenomena alam secara kuantitatif. Teori relativitas terdiri dari dua bagian, yaitu teori relativitas khusus yang diciptakan Einstein pada tahun 1905 dan teori relativitas umum yang dimunculkan Einstein pada tahun 1916. Isi pokok teori tersebut menyangkut ide-ide fundamental yang dipakai untuk menjelaskan alam, yakni ide-ide tentang ruang, waktu, massa, gerak dan gravitasi. Lihat Joko Siswanto, op.cit., hlm. 27.

119 A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 146.
120 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 285.

121 Paul Karl Feyerabend, “How to Defend Society Against Science”, dalam Ian Hacking (ed.), Scientific Revolutions (New York: Oxford University Press, 1981), hlm. 156ff.
122 Endang Daruni Asdi dan A. Husnan Aksa, Filsuf-filsuf Dunia dalam Gambar (Yogyakarta: Karya Kencana, 1981), hlm. 166.
123 Paul Karl Feyerabend, Farewell to Reason (New York: Verso, 1987), hlm. 9.
124 Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 127-128.
125 Paul Karl Feyerabend, “How to Defend Society Against Science”, hlm. 156ff.
126 Paul Karl Feyerabend, Farewell to Reason (New York: Verso, 1987), hlm. 25.

127 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 299.
128 A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 152.
129 Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 9-10.

Antinomian (bhs. Yunani, anti, melawan, nomos, hukum) 1. seseorang yang menginginkan kebebasan dari aneka peraturan dan hukum dalam masyarakat. Seseorang yang ingin hidup di luar masyarakat dalam keadaan alami atau hidup dalam masyarakat dengan ikatan seminimal mungkin oleh norma-norma sosial. (Penganut antinomi, sebgai lawan dari kaum aktivis atau anarkis, umumnya tidak langsung terlibat dalam usaha penghapusan hukum-hukum dan struktur politik suatu masyarakat. 2. dalam teologi, (a) seseorang yang percaya bahwa hanya keimanan, bukan hukum moral, yang diperlukan bagi keselamatan. (b) dalam pengertian teologis yang lebih ekstrem, seseorang yang memandang rendah hukum dan batasan-batasan sosial serta meletakkan di atas segalanya soal keimanan dan pengetahuan tertentu yang menjanjikan keselamatan. Lihat dalam Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 17.
130 Ibid., hlm. 13.

131 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 30.
132 Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy (Littlefield Adams & Co., Totowa: New Jersey, 1971), hlm. 11-12.

133 Ali Mudhofir, Kamus Istilah Filsafat (Yogyakarta: Liberty, 1992), hlm. 9.
134 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 48-49.

135 W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981), hlm. 146-147.
Istilah dadais muncul dari dunia seni di Perancis dan Jerman setelah Perang Dunia I sekitar tahun 1916-1922. Dadaisme berarti suatu gerakan protes dari dunia seni yang ditujukan bukan hanya terhadap seni yang sudah mapan, melainkan akhirnya juga menjadi gerakan protes terhadap segala bentuk kemapanan.

136 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 23.
137 Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 54.
138 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 18.
139 Prasetya T.W., op.cit., hlm. 55.
140 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 23.
141 Ibid., hlm. 23.

142 Prasetya T.W., op.cit., hlm. 56.
143 W.H. Newton-Smith, op.cit., hlm. 131.
144 Prasetya T.W., op.cit., hlm. 58.