Judul buku: Kitab
Salahuddin: Sebuah Novel
Penulis : Tariq Ali
Penerjemah: Anton Kurnia
Penerbit: Serambi,
Jakarta
Cetakan: Pertama, Januari
2006
Tebal: 592 halaman
Di
antara sekian banyak tokoh muslim terkemuka, Salahuddin al-Ayyubi
(1138-1193), yang di Barat dikenal dengan nama Saladin, memiliki
tempat yang sangat terhormat di kalangan umat Islam. Ini terutama
karena Salahuddin adalah pejuang muslim yang berhasil merebut kembali
kota suci Yerusalem pada 1187, setelah dikuasai Tentara Salib selama
hampir sembilan puluh tahun. Peran kunci Salahuddin dalam Perang
Salib itu menancapkan pengaruh yang dalam seiring dengan residu
Perang Salib itu sendiri yang hingga kini terus membayangi pola
relasi kaum muslim dan Barat pada umumnya.
Kisah
kepahlawanan Salahuddin telah banyak dicatat dalam buku-buku sejarah.
Bahkan baru-baru ini penggalan kisahnya diangkat oleh Ridley Scott
dalam film Kingdom of Heaven (2005). Lalu bagaimana jika kisah
Salahuddin disajikan dalam bentuk novel?
Tariq
Ali, seorang penulis dan aktivis Kiri Baru ateis kelahiran Pakistan,
mengangkat riwayat hidup Salahuddin al-Ayyubi dalam novel ini dengan
menggunakan pena seorang sejarawan Yahudi bernama Ibnu Yakub.
Alkisah, atas rekomendasi Ibnu Maymun (1135-1204), filsuf besar
Yahudi yang bekerja sebagai dokter pribadi Salahuddin di Mesir, Ibnu
Yakub ditunjuk untuk menjadi penulis memoar Salahuddin. Ibnu Yakub
mulai menuliskan memoar Salahuddin pada tahun 1181, ketika Salahuddin
telah menjadi penguasa paling berpengaruh di dunia Islam. Untuk itu,
Ibnu Yakub harus mundur ke belakang menggali masa kanak-kanak dan
masa remaja Salahuddin ketika masih tinggal di Baalbek dan Damaskus.
Saat itu semangat jihad sedang gencar dikampanyekan Sultan Nuruddin
(w. 1174), penerus Sultan Imaduddin Zengi (w. 1146) yang memelopori
perlawanan umat Islam menghadapi kaum Franj (Tentara Salib) dalam
Perang Salib Kedua.
Peristiwa
yang mengantarkan Salahuddin ke kejayaannya dimulai ketika ia diminta
menemani pamannya, Shirkuh, yang menjadi panglima Nuruddin, dalam
sebuah operasi militer untuk meredam gejolak politik di Mesir. Tidak
saja kemenangan yang diraihnya di Mesir, tetapi tak lama kemudian
Salahuddin dibaiat sebagai penguasa Mesir pada tahun 1169, setelah
Shirkuh meninggal dunia secara mendadak.
Pamor
Salahuddin terus melesat, sampai-sampai Nuruddin di Damaskus cemas
akan tersaingi. Tapi takdir berbicara lain. Pada 1174 Sultan Nuruddin
wafat, sehingga Salahuddin kemudian menjadi satu-satunya pemimpin
muslim yang kekuasaannya paling berpengaruh di masa itu. Puncaknya,
pada 2 Oktober 1187, Salahuddin berhasil merebut kota suci Yerusalem.
Kisah Salahuddin dalam novel yang edisi bahasa Inggrisnya terbit pada
1998 ini ditutup saat dia meninggal dunia enam tahun kemudian, pada
1193.
Salahuddin
sangat dikenal dengan sifat-sifatnya yang mulia: sederhana dan tak
gila harta, cinta pada ilmu, saleh dan taat beribadah, dan sangat
akrab serta toleran terhadap orang lain, bahkan kepada kaum Frank
yang kafir. Pemilihan Tariq Ali untuk menampilkan sosok narator utama
buku ini pada seorang yang beragama Yahudi seperti ingin menegaskan
sikap toleran Salahuddin yang memang masyhur itu. Dalam hal
penggambaran sosok pribadi Salahuddin yang lebih mendalam, Tariq Ali
banyak menggali melalui perspektif Ibnu Yakub ini dan juga melalui
Shadhi, penasihat yang juga “paman” Salahuddin. Dari dua tokoh
fiktif ciptaan Tariq Ali ini pula pembaca akan menemukan banyak sisi
alternatif dan mendalam dari setiap peristiwa, termasuk kisah-kisah
cinta Salahuddin.
Pada
titik inilah pembaca akan mendapatkan penggambaran yang cukup terang
tentang pengalaman seksual Salahuddin terutama melalui kisah
kehidupan dua orang istri Salahuddin dalam harem, Halimah dan
Jamilah. Kehadiran sosok Halimah, yang muncul di bagian awal novel
ini, mungkin akan cukup mengganggu bagi beberapa pembaca yang
sebelumnya begitu menyucikan sosok Salahuddin. Bagaimana tidak:
Halimah dikisahkan diperistri Salahuddin setelah perempuan cantik itu
diperebutkan oleh dua orang perwira tinggi Salahuddin di Mesir.
Kisah-kisah
romantika, bahkan juga skandal-skandal seksual, memang cukup banyak
ditemukan dalam novel ini. Nyaris setiap tokoh penting tak suci dari
hal semacam ini. Ibnu Maymun, yang di Barat dikenal dengan nama
Maimonides, misalnya diceritakan sempat tertangkap basah berhubungan
badan dengan istri Ibnu Yakub; Imaduddin al-Ishfahani (w. 1201),
ulama dan penasihat Salahuddin, dan juga Sultan Imaduddin Zengi,
digambarkan sebagai homoseks; ayah Salahuddin, Najmuddin Ayyub,
diceritakan menjalin hubungan gelap dengan seorang penyanyi cantik
bernama Zubaidah. Halimah dan Jamilah sendiri digambarkan sebagai
pasangan lesbian.
Hingga
tingkat tertentu, penggambaran semacam ini memang terkadang kelihatan
agak mengganggu, terutama jika dilihat dari perspektif tingkat
akurasi historis fakta-fakta tersebut. Sayangnya, tentang akurasi
historis ini Tariq Ali tidak memberi penjelasan secara cukup detail,
kecuali sekadar pernyataan bahwa sosok Ibnu Yakub, Shadhi, dan
tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini sepenuhnya rekaan belaka.
Mengangkat
penggalan sejarah dalam bentuk novel, apalagi dengan eksplisit
seperti dalam karya ini (yakni, bahwa ini adalah kisah Salahuddin
al-Ayyubi), cenderung memicu persoalan epistemologis yang cukup
serius: seberapa jauh dan seberapa mendalam aspek “fiktif” yang
dihadirkan penulis sehingga pada tingkat tertentu (tidak) mencederai
alur sejarah yang “sesungguhnya terjadi”? Meski di pengantar
singkat Tariq Ali menegaskan bahwa “semakin seseorang menjelajahi
kehidupan batin yang dibayangkan dari tokoh-tokohnya, kian penting ia
mesti bersetia pada fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa historis”
(hlm. 15), pertanyaan di atas masih akan cukup menantang untuk
dijawab dalam konteks novel ini.
Tentu
saja, pada akhirnya persoalan ini semakin memperjelas karakter
penulisan sejarah, baik dalam bentuk konvensional maupun yang
difiksikan, yang pada dasarnya memang penuh nuansa interpretasi.
Mengapa Tariq Ali berfokus pada kisah hidup Salahuddin, bukannya
tokoh penting Perang Salib lainnya seperti Imaduddin Zengi, Nuruddin,
atau Baybars (1260-1277), yang dalam sejarah Perang Salib sendiri
kurang mendapat tempat yang sebanding dengan peran penting mereka,
atau bahkan Richard si Hati Singa (1157-1199); mengapa Bahauddin Ibnu
Syaddad (1145-1234), sahabat dan penulis biografi Salahuddin, sama
sekali tidak dihadirkan dalam novel ini; mengapa momen peralihan
Salahuddin menjadi sosok yang lebih religius tidak ditelisik lebih
teliti; atau mengapa banyak skandal seksual yang dikemukakan—semuanya
menegaskan aspek interpretatif dari penulisan sejarah.
Relevan
dengan hal tersebut, maka kehadiran dan pergulatan tokoh-tokoh
perempuan (fiktif) yang dihadirkan Tariq Ali dalam novel ini akan
terlihat sangat jauh berbeda konteks dan maknanya dengan kehadiran
sosok Sibylla dalam film Kingdom of Heaven yang disutradarai Ridley
Scott, yang terkesan cenderung hanya “dieksploitasi” secara
seksual, meski sosok Sibylla sendiri secara historis memang ada.
Halimah dan Jamilah, dengan kecerdasan dan penguasaan mereka atas
pemikiran filsafat Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Farabi, dan sebagainya,
dalam novel ini seperti hendak menjadi corong Tariq Ali untuk
menunjukkan dunia patriarki Abad Pertengahan dan ketertenggelaman
peran kaum perempuan baik dalam pergaulan sosial maupun dalam
penulisan sejarah. Dalam percakapan dengan Ibnu Yakub, misalnya,
Halimah mengutip Ibnu Rusyd yang mengkritik kecenderungan
memanfaatkan perempuan secara terbatas untuk tujuan memiliki
keturunan semata (hlm. 166); Jamilah juga mengutip Ibnu Rusyd untuk
mempertegas peran penting perempuan dalam ranah sosial, bahkan juga
intelektual (hlm. 216).
Dalam
konteks historiografi, jika kita membuka catatan sejarah yang relevan
seperti buku Perang Salib: Sudut Pandang Islam karya Carole
Hillenbrand (Serambi, 2005) atau Perang Suci karya Karen Armstrong
(Serambi, 2003), kita akan cukup kesulitan menemukan penggambaran
peran dan nasib kaum perempuan dalam peristiwa sejarah Perang Salib.
Dalam buku Hillenbrand misalnya hanya ada deskripsi singkat tentang
bagaimana para perempuan kaum Franj dipandang oleh kaum muslim. Dalam
konteks ini maka sosok Halimah dan Jamilah dalam novel ini dapat
dilihat sebagai sebentuk kritik historiografis di tengah
kecenderungan pembungkaman suara kaum perempuan di balik tirai
patriarkis ilmu sejarah atau ilmu-ilmu sosial pada umumnya.
Lebih
jauh lagi, Tariq Ali, yang sangat lantang mengkritisi
kebijakan-kebijakan politik luar negeri Amerika dan Israel, terlihat
juga hendak melakukan demitologisasi dan dekonstruksi atas pensucian
tokoh-tokoh penting sejarah semacam Salahuddin, Sultan Nuruddin,
Imaduddin al-Ishfahani, dan yang lainnya. Ini tak hanya berlaku dalam
konteks skandal seksual seperti yang digambarkan di atas. Di beberapa
bagian novel yang dinarasikan secara mengalir dengan latar kota
Mesir, Damaskus, dan Yerusalem ini, tak ada semacam beban bagi Tariq
Ali untuk menegaskan bahwa di awal kekuasaan Nuruddin maupun
Salahuddin, keduanya tak segan memerangi sesama muslim untuk tujuan
konsolidasi (hlm. 278, 362). Penggambaran dan data sejarah semacam
ini sebenarnya juga dapat kita temukan dalam karya Hillenbrand (2005:
149, 207, 222) tersebut di atas, yang justru secara khusus mengolah
dari sumber-sumber yang ditulis oleh sejarawan muslim Abad
Pertengahan.
Lepas
dari itu semua, novel yang disusun dengan cukup apik dan lugas ini
layak diapresiasi, bukan karena novel ini dapat memberi pemahaman
tentang akar historis konflik Islam dan Barat, seperti yang tertulis
di sampul belakang novel terjemahan ini, karena memang novel ini
tidak terlalu mengarah ke sana, tetapi lebih karena novel ini
memotret pertemuan dan pergaulan budaya dan agama di Abad Pertengahan
dari perspektif yang unik, seperti yang menjadi tema besar tiga novel
Tariq Ali lainnya—Shadows of Pomegranate Tree (1996), The Stone
Woman (2000), dan A Sultan in Palermo (2005). Sudut pandang yang
diolah Tariq Ali dalam novel ini menempatkan tokoh dan peristiwa
dalam lintasan kehidupan Salahuddin tidak saja dalam kerangka
ideologi, teologi, atau narasi-narasi besar semata, tetapi lebih
dikembalikan ke dunia sehari-hari—dunia fenomenologis, yang oleh
Husserl disebut Lebenswelt—yang mendasar yang dihidupi oleh para
subjek yang terlibat di dalamnya. Dengan cara ini, perspektif
kemanusiaan akan sangat mungkin lebih mudah tampil ke permukaan dalam
memotret peristiwa-peristiwa besar sejarah yang sarat dengan konflik
dan tragedi, yang memang sangat membutuhkan cara pembacaan yang
cermat dan bijak.