Judul buku: Islam dan
Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia
Penulis: Hendro Prasetyo,
Ali Munhanif, dkk
Penerbit: PT Gramedia
Pustaka Utama bekerjasama dengan PPIM-IAIN Jakarta
Cetakan: Pertama, 2002
Tebal: viii + 322 halaman
Konsep civil society
memang berasal dari tradisi pemikiran politik Barat. Akan tetapi,
kehadirannya di wacana lingkungan intelektual Indonesia mulai paruh
dekade 1990-an memperlihatkan urgensi dan nilai kontekstualitas yang
dikandungnya. Hal ini terlihat dari respon kaum intelektual yang
ramai mewacanakan konsep civil society tersebut.
Buku ini berusaha
memberikan pemetaan terhadap ragam tafsir wacana civil society di
Indonesia, khususnya di kalangan para pemikir muslim. Buku ini
membagi kaum muslim Indonesia dalam dua kategori yang sudah cukup
klasik: muslim tradisionalis dan muslim modernis. Berkaitan dengan
dua kategori ini, sejak awal sudah diingatkan bahwa historisitas dua
kategori itu saat ini menunjukkan terjadinya beberapa pergeseran
makna dalam dua kategori tersebut. Penyebutan muslim tradionalis dan
muslim modernis sudah tidak terlalu berkaitan dengan wilayah
keagamaan lagi, tapi lebih dekat dalam wilayah identitas kultural dan
sosial.
***
Buku yang diangkat dari hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta dua tahun yang lalu bertema “Potensi Civil Society di Kalangan Muslim Perkotaan” ini pertama-tama mendudukkan persoalan bahwa merebaknya wacana civil society berlangsung ketika orientasi baru gerakan Islam mulai berpihak pada agenda pemberdayaan masyarakat. Strategi semacam ini ditempuh karena di satu sisi hegemoni negara Orde Baru semakin menguat, terutama dalam kehidupan sosial-politik. Pun juga ketika itu subur corak pemikiran yang lebih menekankan substansi dan fungsionalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan Indonesia modern.
Buku yang diangkat dari hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta dua tahun yang lalu bertema “Potensi Civil Society di Kalangan Muslim Perkotaan” ini pertama-tama mendudukkan persoalan bahwa merebaknya wacana civil society berlangsung ketika orientasi baru gerakan Islam mulai berpihak pada agenda pemberdayaan masyarakat. Strategi semacam ini ditempuh karena di satu sisi hegemoni negara Orde Baru semakin menguat, terutama dalam kehidupan sosial-politik. Pun juga ketika itu subur corak pemikiran yang lebih menekankan substansi dan fungsionalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan Indonesia modern.
Sedangkan masalah
kecenderungan perbedaan penafsiran dan strategi yang ditempuh oleh
dua kelompok muslim Indonesia tersebut dalam buku ini didudukkan
dalam kerangka historisitas dan pengalaman sosial-politik kedua
kelompok itu sendiri. Muslim tradisionalis yang dalam hal ini identik
dengan organisasi NU selama Orde Baru mengalami tekanan-tekanan luar
biasa dari negara sehingga tidak memiliki ruang gerak sosial-politik
yang cukup leluasa. Tokoh-tokoh NU selalu tidak mendapat tempat,
akses, dan kesempatan yang cukup memadai dalam proses-proses politik
nasional.
Dengan latar yang
sedemikian itu, muslim tradisionalis menerjemahkan konsep civil
society menjadi “masyarakat sipil”. Dalam konsep ini, masyarakat
sipil dipandang sebagai bentuk resistensi dan perlawanan sosial
terhadap ideologi negara yang begitu dominan, sehingga sebagai wahana
demokratisasi konsep masyarakat sipil diorientasikan kepada upaya
penciptaan posisi masyarakat yang berdaya vis-à-vis negara.
Konsepsi semacam ini yang
tumbuh di kalangan NU dipicu oleh dua momentum dalam tubuh internal
NU. Pertama, keputusan untuk kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar
Situbondo 1984 sehingga NU memusatkan diri pada gerakan sosial dan
budaya. Kedua, tampilnya generasi muda terpelajar NU yang secara
aktif mengembangkan tradisi intelektual-kritis.
Bertolak dari sinilah
muslim tradisionalis ini kemudian banyak terlibat dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat dan strategi oposisi melalui LSM-LSM dan
lembaga kajian strategis berbasis komunitas NU dan pesantren. Di
Jakarta ada dua LSM muslim tradisionalis, Lakpesdam dan P3M, yang
bergiat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dan studi kritis
terhadap doktrin-doktrin agama. Di Yogyakarta ada LKiS, yang kini
menjadi penerbit buku-buku Islam kritis yang cukup berpengaruh.
Sementara itu, muslim
modernis menerjemahkan konsep civil society menjadi “masyarakat
madani”. Implikasi pemikiran yang dikembangkan kelompok modernis
cenderung bersifat akomodatif terhadap negara. Negara dalam struktur
masyarakat madani dipandang sebagai aktor penting untuk membangun
demokrasi, sehingga tidak harus dimusuhi. Sikap politik terhadap
negara pada kelompok modernis ini tercermin dalam pandangan Dawam
Rahardjo, yang menjelaskan bahwa ada tiga sikap terhadap negara dalam
kerangka demokratisasi: perlawanan, pengurangan, dan pengimbangan
kekuasaan. Oleh karena itu, di samping gencar menganjurkan
nilai-nilai keadilan, egalitarianisme, partisipasi dan demokrasi,
para intelektual-aktivis muslim modernis ini memandang bahwa
kerjasama dengan pemerintah (Orde Baru) adalah salah satu upaya
mewujudkan cita-cita civil society, dengan bertolak dari asumsi
penciptaan hubungan yang imbang antara negara dan masyarakat.
Nyatanya pemerintah Orde
Baru memang cukup mengakomodasi kelompok modernis ini. Selama paruh
kedua dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an terlihat beberapa momen
peristiwa yang mengindikasikan hal ini: terbentuknya ICMI, masuknya
tokoh intelektual muslim modernis dalam struktur kekuasaan, lahirnya
produk-produk hukum yang merupakan derivasi dari perjuangan mereka,
dan semacamnya.
Sikap akomodatif negara
terhadap kelompok ini antara lain disebabkan adanya beberapa potensi
sumber daya dan pemikiran yang bersifat substansialis sehingga muslim
modernis tidak dipandang sebagai ancaman dan dijadikan mitra
pemerintah. Selain itu, asumsi muslim modernis terhadap konsep civil
society itu sendiri cukup beragam, sehingga salah satunya membuka
peluang bagi sikap terbuka terhadap negara. Substansi civil society
bagi sebagian mereka memang bukan perlawanan terhadap negara, tapi
unsur “keadaban” tatanan suatu masyarakat. Di sini civil society
diterjemahkan sebagai cita-cita pembentukan masyarakat yang islami
yang bertumpu pada nilai toleransi, inklusivitas, keadilan dan
egalitarianisme, serta partisipasi politik.
***
Pergulatan dua kelompok
muslim Indonesia dalam menafsirkan dan memperjuangkan konsep civil
society tersebut yang bermula dari atmosfer pengap Orde Baru telah
cukup memberi hasil yang lumayan dalam upaya demokratisasi di
Indonesia. Konsep civil society itu sendiri pada dasarnya adalah
bagian dari penegakan kesadaran kebebasan manusia berhadapan dengan
otoritarianisme-struktural (baca: negara) yang mengabaikan fitrah
kemanusiaan tersebut.
Bagian akhir buku ini
yang berusaha memberi kesimpulan penelitian ini mengungkapkan bahwa
potensi civil society di Indonesia memang cukup besar, baik dalam
level visi maupun dalam level institusional-sosiologis. Arah
orientasi pemikiran sebagian besar umat Islam Indonesia—baik
tradisionalis maupun modernis—yang cenderung mengarah ke model
pemikiran substansialis maupun transformatif merupakan modal awal
yang dapat menjadi pijakan kokoh landasan gagasan civil society.
Pada level sistem dan
organisasi masyarakat, secara historis di Indonesia telah muncul
banyak organisasi kemasyarakatan yang lahir dari rahim masyarakat dan
berjuang demi pembentukan civic culture yang kuat, yang tercermin
dari program-program yang dilaksanakannya. Dalam hal ini terlihat
pluralitas jalur yang ditempuh, yang tampak dari garis perjuangan
yang dilakukan organisasi seperti Muhammadiyah, NU, Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII), dan semacamnya.
Akan tetapi, arah
perkembangan sosial-politik di Indonesia dalam lima tahun terakhir
ini memang cukup lain. Genderang reformasi sosial-politik yang
ditabuh sejak penghujung 1997 pada satu sisi memang telah cukup mampu
melumerkan egoisme kekuasaan yang begitu hegemonik dan totaliter,
sehingga akses, partisipasi, dan daya tawar masyarakat vis-à-vis
negara menjadi cukup kuat. Fenomena ini pada satu sisi memang dapat
dibaca sebagai salah satu wujud keberhasilan perjuangan
kelompok-kelompok pengusung gagasan civil society.
Namun ironisnya,
belakangan masih tersisa beberapa kecenderungan untuk mengabaikan
kembali gagasan civil society tersebut. Bahkan, beberapa elit
aktivis-intelektual mulai kembali ke aksi dan pemikiran kontra-civil
society, dengan kembali lagi berkutat dalam wacana perebutan
kekuasaan. Meminjam bahasa Yasraf A. Piliang, setelah sumber
kekuasaan Orde Baru mengalami ledakan eksplosif luar biasa dan
berhasil menebar partikel-partikel kekuasaan ke seantero tubuh
masyarakat, terjadilah suatu arus balik berupa ledakan implosif yang
mengundang seluruh elemen masyarakat untuk merebut berbagai
teritorial kekuasaan yang baru saja tumbang itu.
Yang lebih mengenaskan,
ledakan implosif itu melahirkan efek domino berupa semakin
terabaikannya upaya penyadaran masyarakat dalam berpartisipasi
politik yang demokratis. Masyarakat tidak diajak untuk mencerdaskan
dirinya, tapi berusaha dimanfaatkan untuk larut dalam arus implosif
tersebut.
Dalam terang sudut
pandang inilah buku ini menunjukkan nilai kontekstual dan
aktualitasnya bagi masyarakat Indonesia. Berbagai potensi kekuatan
civil society yang telah sekian lama diperjuangkan itu tidak boleh
begitu saja dilupakan hanya gara-gara buaian kekuasaan. Sudah saatnya
para pejuang civil society di Indonesia mengingat kembali bahwa
agenda demokratisasi bukan hanya bagaimana membangun sistem kekuasaan
yang baik. Tapi kerja-kerja sosio-kultural semacam penyadaran hak-hak
asasi manusia, pendidikan politik partisipatif, penebaran wacana
sosial berbasis kritisisme, atau pemberdayaan kaum marginal adalah
kerja-kerja demokratisasi yang tidak kalah pentingnya. Malah, kalau
boleh dikatakan, yang terakhir ini memiliki daya tahan yang lebih
lama.
Kaum muslim Indonesia
dituntut komitmennya untuk menegaskan kembali perjuangan agenda
demokratisasi di level kultural yang tertunda akibat euforia
reformasi. Ini tidak boleh ditunda-tunda, sebelum keadaan bangsa ini
semakin terpuruk.