BAB. I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.
Kegiatan ekonomi dari masa ke masa terus mengalami perkembangan, yang
dahulu ada kini tidak ada, atau sebaliknya. Dulu institusi pemodal seperti bank
tidak dikenal dan sekarang ada. Maka persoalan baru dalam fiqh muamalah muncul
ketika pengertian riba dihadapkan pada persoalan bank. Di satu pihak, bunga
bank (interest bank) terperangkap
dalam kriteria riba, di sisi lain, bank mempunyai fungsi sosial yang besar,
bahkan dapat dikatakan tanpa bank suatu negara akan hancur.1
Dalam Ensiklopedia Indonesia, bahwa Bank (perbankan) ialah suatu
lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasanya
dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan mengedarkan alat
tukar baru dalam bentuk uang atau giral. Jadi kegiatannya bergerak dalam bidang
keuangan serta kredit dan meliputi dua fungsi yang penting yaitu sebagai
perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.2 Ada yang mendefinisikan bank merupakan sebuah
lembaga keuangan yang bergerak menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian
dana tersebut disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun
kelembagaan, dengan sistem bunga.3
Sistem hubungan perekonomian dan keuangan zaman sekarang ini, baik
dalam maupun luar negeri, adalah melalui saluran bank. Tidak ada suatu negara
mana pun yang tidak mempunyai perusahan bank, karena bank dapat melancarkan
segala perhubungan dan lebih menjamin selamatnya pengiriman.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan dari suatu bank adalah mencari
keuntungan dan keuntungan itu dicapai dengan berniaga kredit. Bank mendapat
kredit dari orang luar dengan membayar bunga. Sebaliknya bank memberikan kredit
dari kepada orang luar dengan memungut bunga yang lebih besar dari pada yang
dibayarkannya. Jadi sedikit penjelasan di atas, maka yang disebut bunga bank
adalah tambahan yang harus dibayarkan oleh orang yang berhutang kepada bank
atau keuntungan yang diberikan pihak bank kepada orang yang menyimpan uang di
bank dengan besar-kecil sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank tersebut.
Tetapi konsensus pendapat-pendapat menganggap bahwa bunga bank merupakan
tambahan tetap bagi modal, dikemukakan bahwa tambahan yang tetap ini merupakan
biaya yang layak bagi proses produksi.4
Jadi selisih bunga itulah keuntungan bank. Sehingga bunga merupakan suatu masalah yang tidak dapat
dilepaskan dari perusahan bank dunia (umum). Mengenai kedudukan bank tersebut,
Moh. Hatta mengatakan bahwa sampai saat ini berbagai ulama ada yang
mengharamkan pemungutan bunga. Dengan larangan itu maka hilanglah sendi tempat
bank berdiri. Kalau bunga tidak boleh dipungut, maka tidak dapat pula orang
Islam untuk mendirikan bank. Lebih lanjut ia juga berpendapat, ada pula ulama
yang mengatakan, bahwa memungut rente itu
merupakan perbuatan yang tidak terpuji, tetapi apabila masyarakat
mengkehendakinya, rente itu dibolehkan juga. Hal seperti ini menimbulkan
pemahaman masyarakat tentang sifat hukum dalam Islam mempertimbangkan buruk
dengan baik. Jika lebih besar baiknya dari pada buruknya, hukumnya menjadi
harus, pekerjaan seperti itu diperbolehkan.5
Sementara Mirza Nurul Huda sebagaimana dikutip oleh A. Chatib, memaparkan, bahwa satu segi kegiatan yang
terpenting dari bank perdagangan adalah menerima titipan uang dari orang-orang
dan meminjamkan dengan jangka pendek kepada orang lain guna menegakkan
perdagangannya yang direncanakan. Oleh karena itu, maka bunga bank berdiri dan
ada untuk mencari keuntungan. Apabila kita menghapus bunga—sebagaimana yang
diwajibkan oleh negara Islam—maka bagaimana bank akan bekerja.6
Dalam Islam telah mengharamkan adanya riba. Masyarakat masa awal Islam
belum mengenal sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga dalam
menanggapi fenomena ini, terjadi pebedaan pendapat. Beda pandangan dalam
menilai permasalahan ini menimbulkan kesimpulan–kesimpulan hukum yang berbeda
pula, dalam hal boleh atau tidaknya, halal haramnya umat Islam bermu’amalah
dengan bank. Jika kembali kepada ajaran
Islam di mana al-Quran sendiri telah melarang bentuk mu’amalah yang mengandung
unsur riba. Dasar persoalan riba dapat diketahui dengan jelas dan tegas dalam 3
( tiga ) tempat :
1.
Dalam al-Quran Surat
al-Ruum : 39, sewaktu Nabi masih di Makkah di hadapan orang Arab Musyrikin.
2.
Dalam al-Quran Surat Ali
Imran : 130-132, sewaktu Nabi sudah pindah ke Madinah.
3.
Dalam al-Quran Surat
al-Baqarah : 275-280
Fenomena yang menarik kaitannya dengan ini adalah adanya respon dua
organisasi besar Islam Indonesia dalam menyikapi masalah bunga bank tersebut,
yaitu Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya
dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya. Salah satu keputusan hukum tentang bunga bank yang selama ini
telah beredar dalam kalangan umat Islam di antaranya adalah keputusan Mu’tamar
NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No
204, dan hasil sidang Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo.
Telah menjadi sebuah pertanyaan besar masalah bunga bank ini dalam
mu’tamar NU—terjadilah pembahasan yang
begitu panjang tentang bagaimana hukum menitipkan uang dalam bank, hingga kemudian pemerintah menetapkan pajak kerena
alasan mendapatkan bunga. Halalkah bunga itu? Dan bagaimana hukumnya menitipkan
uang dalam bank karena menjaga keamanan saja dan tidak menginginkan bunga?
Jawaban dari pertanyaan tersebut diambil dengan merujuk pada keputusan Mu’tamar NU
II di Surabaya pada tanggal 12
Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28. yang memutuskan bahwa hukum
bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan hukum gadai yang telah ditetapkan
dalam mu’tamar tersebut.
Di antara hasil keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai
telah menghasilkan tiga pendapat yaitu:
a.
Haram: sebab termasuk
hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b.
Halal: sebab tidak ada
syarat sewaktu akad, menurut ahli hukum yang terkenal bahwa adat yang berlaku
itu tidak termasuk menjadi syarat.
Sebagai catatan penting dalam keputusan mu’tamar tersebut—bahwa untuk lebih berhati–hati ialah dengan
mengambil pendapat pertama—yakni yang
telah mengharamkannya. Adapun menitipkan uang dalam bank karena untuk
keamanannya saja hukumnya makruh, dengan syarat apabila telah diyakini kalau
uang tersebut akan digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
Sementara keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tanggal
21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga Bank ditempuh melalui
prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan Muktamar NU
XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :
a.
Haram, kerena bunga bank
dipersamakan dengan riba secara mutlak
b.
Boleh, kerena bunga bank
tidak dipersamakan dengan riba
c.
Subhat, kerena masih
belum jelas
Sementara itu, salah satu respon dari Muhammadiyah melalui keputusan Majlis Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur tentang
masalah–masalah fiqh kontemporer (khususnya mengenai bunga bank) telah
dilakukan dengan cara berijtihad. Dalam berijtihad Majlis Tarjih menempuh tiga metode:
1.
Ijtihad Bayani,
yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Quran dan
al-Hadis
2.
Ijtihad Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan
kasus yang hukumnya telah diatur dalam nash al-Quran dan al-Hadis
3.
Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua
sumber di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas
kemaslahatan.
Dalam menetapkan hukum bunga bank, Majlis Tarjih mangaitkannya dengan masalah riba, apakah
bunga bank identik dengan riba atau tidak?, untuk memastikan jawaban tersebut, Majlis
Tarjih menggunakan qiyas sebagai
metode ijtihadnya.8 Bagi Muhammadiyah ‘illat
diharamkannya riba adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya,
kalau ‘illat itu ada pada bunga
bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau
‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu
tidak haram.9
Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada
bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah
haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta. Adapun
bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para nasabahnya atau
sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak.10
Dari diskripsi di atas nampak bahwa kedua organisasi tersebut mempunyai
konsep yang berbeda bahkan berseberangan. Namun, keduanya mempunyai sisi
kesamaan yaitu demi kemaslahatan umat manusia, meskipun implimentasinya juga
berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya sudut pandang yang
mempenagruhinya dalam menetapkan hukum tersebut.
Oleh karena itu penyusun tertarik untuk mencoba meneliti dan
menelusuri kembali
permasalahan-permasalahan hukum bunga bank tersebut menurut pendapat Nahdlatul
Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan
Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya,
dengan titik tekan pada permaslahan dasar yang melatarbelakangi dari perbedaan
tersebut mengenai bunga bank adalah melalui metode pengambilan keputasan
hukumnya yang diambil dari segi kajian fiqhnya,
B.
Pokok Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun perlu membatasi
rumusan pokok masalah yang diteliti agar mengfokus dan tidak meluas, sehingga
menjadi jelas. Adapun pokok masalahnya sebagai berikut :
1.
Metode Istinbat hukum
apakah yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam
memandang hukum bunga bank?
2.
Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah mengenai hukum bunga bank dilihat dari segi hujjahnya?
C.
Tujuan Dan Kegunaan.
Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1.
Tujuan penelitian .
a.
Untuk menjelaskan metode
istinbat apakah yang dipakai oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam
memandang hukum bunga bank
b.
Untuk menggambarkan atau menjelaskan bagaimana
pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengenai hukum bunga bank
dilihat dari segi hujjahnya.
2.
Kegunaan dari penelitian
adalah:
a.
Bagi kehidupan secara
umum, yaitu memberikan atau membangkitkan pengertian dan kesadaran bagi kebanyakan masyarakat yang masih
beranggapan bahwa sistem perbankkan yang belaku sekarang ini masih belum tepat
atau mengena dengan ketentuan-ketentuan agama yang telah diyakini karena hukum
bunga bank masih menjadi perselisihan pendapat dan juga agar mereka memiliki
landasan yang kuat dalam menjalani aktifitas perekonomian
b.
Bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu
syariah, yaitu memberikan pemahamam yang kokoh bagi pemikiran hukum Islam
sebagai upaya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah kontemporer yang
dihadapi umat Islam, khususnya masalah hukum bunga bank.
D.
Telaah Pustaka
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, menuntut para ulama
untuk melakukan restrukturisasi terhadap hazanah keislaman ke arah yang lebih
inovatif. Termasuk di dalamnya melakukan ijtihad di bidang fiqh (hukum Islam)
secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat kedudukan dan fungsi
ijtihad dalam yurisprudensi, maka kajian
tentang fiqh yang kontemporer akan selalu menjadi aktual.
Studi tentang NU dan
Muhammadiyah telah banyak dilakukan baik dari kalangan NU dan Muhammadiyah
sendiri maupun dari luar serta telah dikodifikasikan.11 Seperti halnya Kacung Maridjan, dosen Fisip Unair, ia mengungkapkan
bahwa dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat, NU tidak
menutup kemungkinan akan melakukan pembaharuan (tajdid) bahkan islah pemikiran, dengan catatan bahwa pembaharuan tersebut tetap berakar pada
kaidah-kaidah yang telah dianutnya. Hal ini perna dilakukan dalam Munas ‘Alim
Ulama di Cilacap. Meskipun buku tersebut tidak berorientasi terhadap tema pokok
karya ini. Namun, Kacung Maridjan banyak
memaparkan mengenai hukum bunga bank menurut NU dalam beberapa kali mu’tamar.12
Kajian yang lain dilakukan oleh Sugiri. Dalam skripsinya, dia meneliti
NU sebagai organisasi kerakyatan—meminjam bahasa Dawam Raharja—dari segi
penetapan hukum secara umum. Dia juga membahas istinbat hukum. Dalam NU, kalimat istinbat tidak popular, apalagi dengan diartikan
ijtihad. Hal ini sulit dilakukan, karena adanya keterbatasan yang disadari oleh
jami’iyyah.13
Salah satu buku yang dikeluarkan PBNU, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat
Nahdatu al-Ulama. Merupakan buku yang memuat banyak tentang hasil-hasil
keputusan mu’tamar yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam merespon berbagai
masalah-masalah kontemporer mengenai hukum Islam. Di antaranya adalah tentang bunga bank14
Sementara A. Wahid Zaini, pengarang buku dan kolomnis produktif, dalam
bukunya Dunia Pemikiran Kaum Santri
secara gamblang dan detail menjelaskan hukum tentang bunga bank yang telah diputuskan
oleh Munas ‘Alim Ulama di Bandar Lampung, dan Majlis Tarjih Muhamdiyah di
Sidorajo. Dengan harapan agar forum kajian atau musyawarah yang diikuti oleh
ulama dan ahli-ahli perbankan agar kajiannya lebih komprehensip dan hasilnya
diharapkan lebih mendekati bahkan sesuai dengan realita yang ada. 15
Begitu juga dengan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang bertugas merespon
dan memutuskan persoalan–persoalan hukum Islam termasuk masalah–masalah
kontemporer dengan metode ijtihadnya., di antaranya adalah masalah yang telah
menjadi tema pokok pembahasan penyusun yaitu mengenai bunga bank. Di mana hasil
keputusan–keputusan Majlis Tarjih tersebut selanjutnya hasil
keputusan-keputusannya dibukukan dalam Himpunan Putusan Tarjih,16 di samping ada arsip–arsip
tersendiri dari setiap Mu’tamar Tarjih.
Selanjutnya kajian yang lebih lengkap membahas tentang metode ijtihad
Majlis Tarjih adalah buku karya Fathur Rahman Djamil,17 buku ini secara detail telah menyoroti ijtihad yang dilakukan oleh
Majlis Tarjih Muhammadiyah (khususnya tentang bunga bank) dengan berusaha untuk
mengungkapkan kegiatan-kegiatan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang merupakan motor
penggerak tajdid Muhammadiyah.
Adapun penelitian ini tentunya berbeda dengan beberapa penelitian dan
buku yang tersebut di atas. Dalam penelitian ini, lebih difokuskan terhadap
penulusuran kajian tentang hasil dan keputusan mu’tamar Nahdlatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah tentang bunga bank, dalam kapasitas keduanya sebagai representasi pemberlakuan hukum Islam dan merupakan organsisi Islam
terbesar di Indonesia
E.
Kerangka Teoretik.
Dewasa ini perbincangan mengenai
riba di kalangan negeri dan para pemikir Islam mulai mencuat kembali.
Sehingga upaya-upaya melakukan usaha yang bertujuan menghindari persoalan riba
mulai dilakukan. Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia
Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh
seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, bahwa riba tidak diberlakukan di negeri
Islam modern manapun. Sementara itu kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di
dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalah barang yang terlarang dalam
pandangan para teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.18
Di sisi lain, apabila dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek
riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai
penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis
pembungaan uang.19 Perdebatan panjang di kalangan ahli fiqh tentang riba belum menemukan
titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya
timbul pendapat yang bermacam-macam mengenai bunga bank dan riba.
Apakah sama persoalan “Riba” dengan “Bunga” itu? Pada lahirnya memang
sama saja rupanya, kedua-duanya adalah bunga dari pada harta yang dipinjamkan.
Akan tetapi pada sifatnya dalam kemajuan masyarakat sampai sekarang ada
perbedaan yang cukup besar.20 Pro dan kontra sekitar
hukum bunga bank bukan saja terjadi di kalangan sarjana muslim.
Sebagaimana dikatakan Charles Gide, seorang ahli politik dan filsafat,
menyebutkan, bahwa semua agama, lebih-lebih Islam, telah mengharamkan riba.
Memang sudah sewajarnya apabila riba itu diharamkan. Sebab ketika itu, orang
berhutang hanya semata-mata untuk mencukupi kebutuhan hidup kesehariannya yang
sangat mendesak, bukan untuk modal usaha, sebagaimana yang banyak dilakukan
orang masa sekarang.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan Gide, Hatta sebagaimana dijelaskan
A. Chotib, juga membedakan antara pinjaman yang terjadi di masa agraris, ketika
periode bercocok tanam, yang umumnya orang meminjamkan uang bukan untuk modal
usaha melainkan hanya karena keterpaksaan untuk menutupi kebutuhan hidup.
Sementara untuk masa sekarang, orang meminjam uang umumnya bertujuan untuk
modal usaha. Atau bunga yang semata-mata konsumtif adalah riba sedangkan bunga
yang sifatnya produktif adalah sebagian dari keuntungan yang diperoleh dengan
bantuan orang lain (bunga), jadi bunga produktif menurut Hatta adalah boleh.21
Dalam tafsir al-Manar, Abduh (w-1905 M) dan di dalam fatwa-fatwanya,
sebagaimana dicatat ‘Ammarah, menyebutkan bahwa
Muhammad Abduh membolehkan menyimpan uang di bank dan juga boleh mengambil
bunga simpanannya, dengan kata lain ia mehalalkan bunga bank.22 Hal ini menurutnya, didasarkan pada maslahah-mursalah (kesejahteraan). Larangan riba menurut
Muhammad Abduh adalah untuk menghindari
adanya unsur eksploitasi dan menghindari memakan harta orang lain secara batil
(al-Baqarah : 188).
Sementara bunga bank, menurut Abduh tidak menimbulkan adanya pemerasan
dan tidak ada persamaannya dengan apa
yang diharamkan al-Qur’an (al-Baqarah :188). Alasan lain yang menghalalkan
menabung uang dan sekaligus mengambil bunga bank, menurut Abduh ada tiga alasan
yaitu Pertama, karena dengan
keberadaan perbankan yang ada sekarang tidak menciptakan penindasan, malahan
sebaliknya mendorong kemajuan perekonomian. Kedua, bahwa menyimpan uang di bank, pada intinya
sama artinya dengan perkongsian dalam bentuk lain. Ketiga, mendorong orang untuk maju di segala
bidang, termasuk ekonomi, adalah sikap yang sangat dianjurkan dalam Islam.
Sedangkan operasi dan jasa bank yang ada sekarang tampaknya memang mendorong
kemajuan ekonomi.23
Salah satu ulama Indonesia, yang menghalalkan bunga bank, menurut
catatan Khoiruddin Nasution selanjutnya adalah H. Abdullah Ahmad, seorang ulama
yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Dia mengatakan, bunga bank boleh
diambil dengan syarat, persentase bunga tersebut diumumkan lebih dahulu,
sehingga jika bunga diumumkan sebelumnya maka berarti seorang yang meminjam
rela dengan bunga yang diumumkan.24 Di sini sebagai
tambahan, hendaknya agar prosentase bunga hendaknya selalu dikontrol oleh
pemerintah agar bank dalam menetapkan bunga tidak sembarangan, namun mengikuti
UU pemerintah
Sementara A. Hasan, pemimpin Perguruan Persis Bangil, Jawa Timur,
mengatakan bahwa riba yang haram, menurutnya, mempunyai sifat :25
1.
Terpaksa, yaitu orang
terpaksa menunda hutang karena tidak mampu membayar dan pihak si peminjam
menerima dengan syarat ada bayaran
tambahan.
2.
Darar, yaitu pinjaman
yang sekiranya digunakan untuk berdagang dengan uang tersebut tidak akan bisa
untuk yang cukup buat makan, minum dan bayar hutang.
3.
Berlipat ganda.
Adapun
yang dihalalkan sifat-sifatnya adalah:
1.
Tidak ganda-berganda.
2.
Tidak membawa kepada
ganda berganda.
3.
Tidak mahal, artinya
sekiranya orang berusaha dengan uang tersebut tidak akan membawa kepada
kerugian.
4.
Pinjaman yang produktif.
Sedangkan pada tokoh yang kontra terhadap bunga bank, di antaranya
adalah Mahmud Abu Su’ud, penasihat bank Pakistan, mengungkapkan bahwa bunga itu
ditinjau dari segi moril dan materiil adalah memberi kemelaratan, segi morilnya
ialah pengakuan dari para ahli ekonomi bahwa bunga itu memberi kemelaratan yang
besar kepada rakyat dan segi materiilnya ialah bahwa kebanyakan orang yang
meminjam uang itu orang-orang kaya, dan mengambil bunga dari orang-orang miskin
yang meminjam uang itu tidak selayaknya.
Selanjutnya, Afif Abdulfatah Tabbarah berpendapat bahwa memungut bunga
dari bank adalah haram, karena bunga itu riba. Agama Islam sudah menetapkan
bahwa modal dan usaha itu harus bersekutu di dalam untung dan rugi. Dan
memungut bunga yang tetap itu berarti bahwa modal itu selalu mendapat untung,
meskipun usahanya rugi.
Tokoh yang berpendapat bahwa bunga itu haram karena sangat berpegang
teguh pada konteks al-Qur’an (dalam arti konteksnya bukan maknanya) yang mana
al-Qur’an dan as-Sunnah—dua sumber pokok Islam melarang keras adanya bunga
karena kezalimannya (QS. al-Muzammil dan QS. al-Baqarah) dan mengatakan bahwa
beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriyah peradaban
Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Oleh karenanya Daoualibi,
seorang ahli politik dan jurnalis Syiria mengatakan, Islam semestinya
membedahkan antara bunga yang dihubungkan dengan tujuan produktif dan
konsumtif. Bagi pinjaman yang berhubungan dengan usaha dan tujuan produktif,
seperti untuk tujuan dangang atau usaha yang lainya, maka menjadi pantas untuk
mendapatkan bagian dari keuntungan yang diperoleh si peminjam. Sebaliknya,
untuk pinjaman yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
peminjam, maka tidak dipungut bunga dan digunakan prinsip saling tolong
menolong.26
Kemudian menurut M. Abdul Manan, dalam bukunya “Teori dan Praktek
Ekonomi Islam”, menyebutkan bahwa riba dengan nama bunga bank tidak akan
mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang dipinjam,
karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun peraturan hukum Islam. Dan ia
menambahkan sebetulnya, tidak ada perbedaan yang cukup mendasar antara bunga
dan riba. Islam dengan tegas melarang semua bentuk bunga betapapun hebat, dan
meyakinkannya nama yang diberikan kepadanya.27 Tetapi dalam ekonomi kapitalis bunga adalah pusat berputarnya sistem
perbankan. Dikemukan juga bahwa tanpa bunga, sistem perbankan menjadi tidak
bernyawa, dan seluruh kegiatan perekonomian akan lumpuh. Sedangkan Islam adalah
kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dibuktikan bahwa konsep Islam tentang
suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari pada perbankan modern.
Pada taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama sekali tidak ada hubungan
dengan pengaruh volume menabung.
K.H. Mas Mansur, pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah,
berpendapat, bahwa bunga bank, mendirikan bank, mengurus, mengerjakan dan
berhubungan dengan bank adalah haram. Sementara, M. Bustami Ibrahim (Medan)
adalah ulama Indonesia lain, yang mengharamkan bunga bank. Dalam upaya menolak
bunga bank, ia berkata:
“Kita
tidak usah berkilah ke sini dan kemari untuk mencari-cari jalan. Sebab Allah
Maha Tahu apa yang tersembunyi dibalik itu, yang sama sekali di luar kemampuan
manusia. Kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri tentang apa manfaat dan
kemudaratan bank. Maka walau bagaimana pun keadaan memaksanya, yang haram tetap
haram. Sejalan dengan itu, dalam hal bank, sedikit dan banyak, dengan langsung
atau perantara hukumnya adalah tetap haram.”28
Perlu dicatat, bahwa larangan adanya bunga tidak lebih dari pada sebuah
usaha proteksi terhadap orang lemah dan melawan eksploitasi yang sekaligus
mendorong penanaman modal dan buruh untuk bekerja sama dengan sebutan Mudarabah.
F. Metode
Penelitian
1.
Jenis
Penelitian
Dalam
penulisan sekripsi ini digunakan jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian
yang menjadikan bahan kepustakaan ini dijadikan sebgai sumber (data) utama,
baik data primer maupun sekunder.
- Sifat Penelitian
Sifat
dari penelitian ini adalah deskriptif,29 analitik dan komparatif. Penelitian ini berusaha
memaparkan tentang hukum bunga bank secara umum sebelum akhirnya akan
mendeskripsikan kerangka pendapat dua organisasi yang diteliti yaitu NU lewat Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah
dengan Majlis Tarjih-nya,
melalui data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis interpretasi tentang
bagaimana metode pengambilan keputusan hukum yang dilakukan oleh kedua
organisasi tersebut dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan.
Kemudian menjelaskan mengenai persamaan dan perbedaan pandangan tentang keharaman
dan kebolehan mengambil bunga bank
- Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan
dalam memperoleh data adalah menggunakan pendekatan normatif, yaitu suatu usaha
untuk menjelaskan tentang keharaman dan kebolehan mengambil bunga di bank
dengan melihat keputusan hukum yang dimiliki
NU dan Muhammadiyah dipandang dari sisi hukum Islam. Artinya, penelitian ini juga dapat
dilihat baik dari kaidah ushuliyah
maupun fiqhiyyah. Hal ini
penting, karena masalah bunga bank merupakan satu bagian dari kajian Islam (fiqh) dan merupakan salah satu
persoalan kontemporer dari sekian banyak persoalan atau masalah-masalah baru.
- Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan,
maka pengumpulan data adalah dengan mengumpulkan karya-karya dari kedua
organisasi tersebut. Adapun data primer, dalam NU adalah diambil dari hasil
Keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau
25 Maret 1937 No 204. Sedangkan Muhammadiyah, dari hasil Keputusan Majlis
Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur. Sementara data sekunder diambil dari buku-buku yang
dikarang oleh tokoh-tokoh lain yang dapat mendukung pendalaman dan ketajaman
dalam analisis penelitian ini.
- Analisis Data
Dalam menganalisis dan menginterpretasikan data yang
telah terkumpul. penyusun menggunakan cara berfikir komparasi. Komparasi, yaitu
yakni membandingkan sebuah pendapat dengan pendapat yang lain tentang hal yang
sama (hukum bunga bank), baik yang memiliki nuansa pemikiran yang hampir sama
atau bahkan yang sangat bertentangan.30 Dalam penelitian ini, Pendapat NU dikomparasikan
dengan pendapat Muhammadiyah, sehingga dapat diketahui persamaan maupun
perbedaan pendapat keduanya dan dapat ditarik suatu kesimpulan yang konkrit
tentang persoalan yang diteliti.
G. Sistematika Pembahasan.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan pokok-pokok bahasan secara sistematis yang terdiri dari lima bab
dan pada tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika
pembahasannya adalah sebagai berikut :
Bab satu (I) merupakan pendahuluan yang
berisi: pertama, latar belakang
masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang diteliti. Kedua, pokok masalah merupakan penegasan terhadap
apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Ketiga, tujuan yang akan dicapai dan kegunaan (manfaat) yang
diharapkan tercapainya penelitian ini. Keempat,
telaah pustaka sebagai penelusuran terhadap literatur yang telah ada sebelumnya
dan kaitannya dengan objek penelitian. Kelima,
kerangka teoretik menyangkut pola fikir atau kerangka berfikir yang digunakan
dalam memecahkan masalah. Keenam,
metode penelitian berupa penjelasan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam
mengumpulkan dan menganalisis data. Ketujuh,
sistematika pembahasan sebagai upaya yang mensistematiskan penyusunan.
Selanjutnya, tahap kedua yaitu isi, terdiri
dari tiga bab, yakni bab II, III, dan IV. Bab kedua mengulas tentang gambaran
umum masalah bunga bank. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang
keberadaan dan praktek bunga bank saat ini. Bab ini terbagi atas enam sub, pertama, membahas sejarah bunga bank.
Hal ini diperlukan untuk mengetahui kapan bunga bank itu ada (dari masa
pra-Islam hingga datangnya Islam). Kedua,
bagaimana Islam menilik pengertian dan landasan hukum bunga bank. Ketiga, membahas mengenai macam-macam
riba dan dampaknya. Keempat,
menjelaskan betapa pentingnya fungsi bank dalam kegiatan transaksi ekonomi dan
kehidupan modern ini. Kelima,
menerangkan sejauhmana perbedaan bank konvensional dan bank Islam dan, Kelima, mengupas mengenai riba, bunga
bank dan masyarakat Indonesia. Pemaparan ini perlu untuk memahami akibat hukum
yang timbul dari dilaksanakannya praktek bunga bank dalam masyarakat Indonesia
sekarang.
Sedangkan bab
ketiga membahas pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengenai bunga bank
ditinjau dari hukum Islam. Hal ini diperlukan karena pada dasarnya penelitian
ini terfokus pada praktek bunga bank tersebut. Bab ini terbagi menjadi menjadi
tiga sub, pertama, mengulas tentang
sejarah dan latarbelakang lahirnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ditinjau
dari segi sosial-kemasyarakatannya. Kedua,
menjelaskan pokok-pokok pikiran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kelima, mengupas pandangan Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah tentang bunga
bank. Hal ini dimaksudkan untuk memahami secara utuh atau mnyeluruh terhadap
pandangan kedua organisasi tersebut dalam merespon praktek pembungaan dalam
bank konvensional.
Selanjutnya, bab keempat, memuat pendapat
NU maupun Muhammadiyah yang berkenaan dengan segi-segi persamaan dan perbedaan
antara keduanya tentang bunga bank dalam kerangka perbandingan (komparatif) ditinjau dari segi
ketentuan hukum dan metode yang digunakan (istinbatnya). Sehingga dari ulasan ini diharapkan akan ada
kejelasan bagaimana hukum Islam memandang keberadaan bunga bank.
Bab kelima (V) sebagai bab
terakhir dari keseluruhan rangkaian pembahasan, memaparkan kesimpulan dan
pembahasan bab-bab sebelumnya sehingga memperjelas jawaban terhadap persolan
yang dikaji serta saran-saran dari penulis berkenaan dengan pengembangan
keilmuan agar dapat mencapai hal-hal yang lebih baik dan lebih maju.
1 Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan:
Sebuah Tilikan Antisipatif, cet. I (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 4.
2 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah: Zakat, Pajak,
Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Husada,
1996), hlm. 39-40
3 Djejen Zainudin dan Suparta, Fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1996), hlm. 71
4 M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,alih bahasa
Nastangin (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1997), hlm. 120
5 Fuad M Fahruddin, Riba dalam Bank: Koprasi, Perseroan dan
Asuransi, (Bandung: al-Ma’arif, 1985), hlm. 21
6 A. Chotib, Bank dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1962), hlm. 16
7 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi
al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang : Toha Putra, t.t.), I:22. sebagai
perbandingan lihat Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi
al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang : Toha Putra, t.t.), II: 71.
8 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah,
cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1995 ), hlm. 64
9 Ibid., hlm. 125-126.
10 Urain selengkapnya dapat dilihat dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta :
Persatuan, t.t), hlm 304-307
11 Studi tentang NU telah banyak dilakukan oleh banyak tokoh.
Misalnya, M. Masyhur Amin menulis tentang sejarah berdirinya NU dan pasang
surut perjalanan organisasi tersebut. Baca M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad
Politik Kenegaraan, cet. I (Yogyakarta: al-Amin Press, 1996), hlm. 55 dst.
Kemudian lihat juga Khoirul Fathoni dan Muhammad Zein, NU Pasca Khittah:
Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah, cet. I (Yogyakarta: Media Mandala
Manggala, 1992), hlm. 9. Topik ini juga dibahas dalam desertasi yang telah
diterbitkan dalam sebuah buku. Lihat M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan
Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik, cet. II (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 38-45.
13 Sugiri, Studi Perbandingan Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Hukum
antara Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Syuriah NU, skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1998.
14 Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi
al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’, (Semarang : Toha Putra, t.t.).
16 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah,, (Yogyakarta : Persatuan,
t.t.).
17 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah,
cet. I ( Jakarta : Logos Publishing House, 1995 ).
18 Muhammad, Lembaga-lembaga
Keuangan Umat Kontemporer, cet. I ( Yogyakarta :
UUI Pres, 2000), hlm. 143.
19 Ibid., hlm. 143-144.
21 Ibid.
22 Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami:
Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm.59.
23 Ibd., hlm. 61-62
25 A. Hasan. Soal-Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, (Bandung:
Diponegoro, 1983), hlm. 368-369.
27 Abdul Manan, Teori dan Praktek, hlm. 165.
28 Sebagaimana dikutip A. Chatib, Bank dalam Islam, hlm. 93.
29 ) Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet.
XIII (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), hlm. 6
30 Anton
Bakker dan Achmad Charis Zubar, Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta : Kanisius, 1992), hlm. 71.