Judul buku : Heavier Than Heaven: Biografi Kurt Cobain
Penulis : Charles R.
Cross
Penerbit : Alinea,
Yogyakarta
Cetakan : Pertama,
November 2005
Tebal : x + 540 halaman
Popularitas menjadi
impian hidup yang jamak menghinggapi kalangan muda yang menghirup
udara awal milenia ketiga. Jika kesuksesan dapat didefinisikan,
popularitas termasuk ke dalam salah satu ciri utamanya. Belakangan
ini, di berbagai stasiun televisi kita gencar sekali disajikan
tayangan-tayangan semacam reality show yang memikat kalangan muda
dengan janji pemenuhan obsesi popularitas mereka.
Tak banyak orang yang
berpikir tentang sisi gelap popularitas. Popularitas terlalu sering
diidentikkan dengan tahap pencapaian yang memungkinkan seseorang
dapat menikmati hidup dengan segala kemudahan dan kenyamanannya.
Kisah hidup Kurt
Cobain—vokalis kelompok Nirvana yang oleh majalah Rolling Stones
dimasukkan ke dalam kategori 50 artis terbaik sepanjang masa—yang
berakhir dengan tragedi bunuh diri dan dipaparkan dengan baik dalam
buku ini dari cara pandang tertentu menunjukkan kepada kita betapa
popularitas ternyata juga menyimpan sisi-sisi kelam yang kadang
terasa absurd. Dengan cara pandang semacam ini, kita akan semakin
mengerti bahwa para idola termasyhur yang dipuja-puja itu juga tak
lebih dari manusia biasa.
Kurt Cobain lahir di
Aberdeen, sebuah kota yang khas dengan industri penggergajian di
negara bagian Washington, 20 Februari 1967. Sejak kecil ia sudah
memperlihatkan berbagai bakat dan kecerdasannya, baik di bidang
olahraga maupun seni. Kurt masuk dan berperan besar dalam tim bisbol
dan gulat di sekolah. Dia juga sangat menyukai pelajaran seni dan
senang melukis.
Tapi kehidupan Kurt dalam
keluarganya begitu suram, terutama sejak perceraian kedua orang
tuanya ketika dia berusia sembilan tahun. Peristiwa ini menjadi
bencana emosional terbesar dalam hidupnya. Kurt jadi membenci kedua
orang tuanya. Apalagi ketika ayahnya menikah lagi dan ibunya
berpacaran dengan pemuda yang umurnya hanya 7 tahun lebih tua
darinya. Peristiwa ini mengubah Kurt menjadi sosok pemurung,
tertutup, dan berandal. Kurt kemudian mulai berkenalan dengan dunia
obat-obatan hingga akhirnya putus sekolah.
Jalan menuju popularitas
Kurt di jalur musik juga tak mudah diraih. Di masa-masa awal sebelum
sukses, Kurt bersama personel Nirvana lainnya kadang harus menempuh
jarak ratusan hingga ribuan mil untuk melangsungkan konser promosi
album pertamanya, Bleach. Penontonnya pun kadang cuma 20 atau belasan
orang. Bayarannya hanya cukup untuk mengganti bensin.
Tapi semua perjuangan
keras Kurt terbayar ketika album kedua Nirvana, Nevermind, hadir
dengan hentakan dahsyat sehingga menggoncang peta musik
internasional. Album yang dirilis September 1991 itu dengan cepat
berhasil bertengger di puncak teratas tangga lagu Billboard,
menggeser Dangerous-nya Michael Jackson. Seiring dengan itu pula,
popularitas Kurt dan Nirvana mencuat luar biasa.
Pada titik inilah
kemudian pelan-pelan mulai terlihat sisi-sisi suram popularitas
sebagaimana dialami Kurt. Sikap dan gaya hidup Kurt yang memang penuh
kontradiksi dan kontroversi, keterlibatannya dengan dunia narkoba,
yang menurut pengakuan Kurt juga dipicu oleh penyakit perut yang
dideritanya sejak lama, serta kisah kehidupan keluarganya dengan
Courtney Love, semua menjadi bahan menarik untuk diangkat media.
Pemberitaan dari tabloid The Globe dan majalah Vanity Fair tak lama
setelah kelahiran anaknya, Frances, misalnya, bagi Kurt dan istrinya
tampak seperti penghakiman bahwa keduanya tak berhak mengasuh anaknya
itu, dengan mengabaikan kenyataan bahwa Frances lahir dengan sehat.
Karena itulah, pada tingkat tertentu, Kurt kadang mengalami semacam
paranoid terhadap media, khawatir bila ternyata apa yang diberitakan
tentangnya justru sesuatu yang tak ia sukai—entah itu karena berupa
fitnah maupun semacamnya.
Rasa putus asa dalam
mengatasi problem kecanduannya serta untuk memperbaiki kehidupan
keluarganya, baik dalam relasinya dengan kedua orang tuanya maupun
keluarganya sendiri, mengantarkan Kurt pada satu kondisi depresi yang
luar biasa. Akhirnya, di awal April 1994, Kurt ditemukan bunuh diri
di rumahnya dengan meledakkan kepalanya sambil mengkonsumsi
obat-obatan, setelah beberapa hari sebelumnya kabur dari rumah sakit
di Los Angeles tempat ia dirawat untuk mengatasi kecanduannya.
Meninggalnya Kurt akibat
bunuh diri ini menambah daftar panjang para artis dan orang-orang
ternama lainnya yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis itu.
Sebelumnya tercatat nama Jim Morrison, Jimi Hendrix, dan Janis
Joplin, para musisi yang secara kebetulan sama-sama meninggal di usia
27 tahun—seperti juga Kurt.
Charles R Cross
menyajikan kisah hidup Kurt Cobain dalam buku ini dengan cukup detail
dan komprehensif. Dengan dibagi ke dalam dua puluh empat bab, Cross
mengimbuhkan catatan keterangan waktu dan tempat di tiap awal bab,
sehingga pembaca akan cukup mudah menelusuri alur hidup Kurt. Cross,
yang menjadi editor di majalah musik The Rocket ini, cukup berhasil
memperlihatkan berbagai segi manusiawi Kurt, seorang artis terkemuka
yang gema pengaruhnya hingga kini masih terasa, terutama di kalangan
muda. Segi-segi manusiawi yang penuh lika-liku dari jejak kehidupan
Kurt disampaikan dengan keahlian bertutur yang indah dan menawan;
tentang perjuangan Kurt yang berkreasi dengan penuh kerja keras di
dunia musik, bagaimana karya-karya musiknya itu lahir, Kurt kecil dan
remaja yang merasa terabaikan dan terbuang di keluarganya, Kurt yang
merasa dieksploitasi oleh media dan para penggemarnya, serta
hubungan-hubungan kemanusiaan yang rumit antara Kurt dengan orang di
sekelilingnya. Cross cukup berhasil menuturkan semua itu dengan
keterlibatan emosi yang mendalam, sehingga pembaca buku ini dapat
berempati dan masuk ke relung suasana setiap peristiwa.
Kelebihan utama buku ini
lebih terlihat karena Cross berhasil menghimpun dan mengolah segudang
data yang cukup berharga tentang kehidupan Kurt itu sendiri. Cross
dalam buku ini tidak sedang bergosip atau sekadar menyajikan isu-isu
murahan tak berdasar tentang kehidupan Kurt. Empat ratus wawancara
dengan berbagai pihak yang terlibat dengan kehidupan pribadi dan
karier Kurt di dunia musik dilakukan Cross selama sekitar empat
tahun. Belum lagi berbagai arsip dan dokumen penting berkaitan dengan
Kurt yang ditelusuri Cross, seperti catatan medis dan kepolisian,
serta catatan harian yang ditulis Kurt sendiri. Kegigihan menelisik
dan mengolah data inilah yang sebenarnya memang sangat dibutuhkan
seseorang dalam menulis sebuah buku berjenis biografi, karena hanya
dengan begitu sebuah buku biografi akan dapat tampil bertenaga dan
tersaji secara baik—seperti buku ini.
Meski diterjemahkan
secara keroyokan oleh tiga orang, buku ini cukup enak dibaca. Pilihan
kata dan strukturnya sengaja dibuat lebih populer, sehingga dalam
dialog-dialognya kita akan banyak menjumpai kata-kata yang tidak
baku, seperti “kalo”, “ancur”, dan sebagainya. Beberapa
ungkapan bahasa Inggris yang dalam konteks Indonesia saat ini juga
sedang populer dan sering digunakan sehari-hari, seperti ungkapan “so
what?”, oleh penerjemahnya tetap dibiarkan dalam bahasa Inggris.
Dengan cara ini, suasana dan karakter tokoh-tokoh di buku ini, yang
kebanyakan memang anak muda, menjadi lebih kental terasa.
* Tulisan ini dimuat di
Harian Media Indonesia, Sabtu, 8 April 2006