Judul Buku : Pembebasan
Tubuh Perempuan:
Gugatan Etis Simone de
Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat
Penulis : Shirley Lie
Pengantar : Karlina
Supelli
Penerbit : Grasindo,
Jakarta
Cetakan : Pertama, 2005
Tebal : xx + 102 halaman
Di kalangan para aktivis
gender, Simone de Beauvoir merupakan salah satu tokoh kunci yang
pemikirannya tak bisa dilewatkan untuk ditelaah. Magnum opusnya, Le
Deuxième Sexe (1949), dicatat sebagai karya klasik yang memberikan
uraian cukup komprehensif tentang kondisi (ketertindasan) perempuan
dan telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam
menginspirasi dan memotivasi gerakan-gerakan pembebasan perempuan.
Karya klasiknya itu, yang dalam bahasa Inggris berjudul The Second
Sex, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh
Pustaka Promethea Yogyakarta (2003).
Buku yang semula adalah
tesis di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini adalah salah
satu dari sedikit karya dalam bahasa Indonesia yang mencoba
mensistematisasi dan mengkontekstualkan pemikiran-pemikiran Beauvoir.
Gagasan-gagasan Beauvoir yang dapat dikatakan bersifat filosofis dan
merupakan kritik pedas terhadap budaya patriarkat yang menindas dalam
buku ini diletakkan dalam kerangka praksis-etis pembebasan kaum
perempuan. Untuk itu, penulis buku ini, selain mengolah dari The
Second Sex, juga banyak mengolah pemikiran filosofis Beauvoir yang
tertuang dalam The Ethics of Ambiguity.
Budaya patriarkat memulai
riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi negatif
terhadap kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh
perempuan dilekati dengan atribut-atribut patriarkat dengan cara
menegaskan bahwa tubuh perempuan adalah hambatan untuk melakukan
aktualisasi diri. Perempuan diciutkan semata dalam fungsi biologisnya
saja. Dengan cara demikian, tubuh bagi kaum perempuan tak lagi dapat
menjadi instrumen untuk melakukan transendensi sehingga perempuan tak
dapat memperluas dimensi subjektivitasnya kepada dunia dan lingkungan
di sekitarnya. Tubuh yang sudah dilekati nilai-nilai patriarkat ini
kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi serta diinternalisasikan
melalui mitos-mitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial:
keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan mungkin juga negara.
Dalam kerangka penjelasan
seperti inilah maka perempuan kemudian diposisikan sebagai jenis
kelamin kedua (the second sex) dalam struktur masyarakat. Akibatnya,
perempuan tak dapat mengolah kebebasan dan identitas kediriannya
dalam kegiatan-kegiatan yang positif, konstruktif, dan aktual. Dalam
situasi yang demikian ini, pola relasi kaum laki-laki dan perempuan
menjadi tak ramah lagi. Kaum laki-laki tak menghendaki adanya
ketegangan relasi subjek-objek, sebagaimana dijelaskan oleh
filsuf-filsuf eksistensial, dengan menyangkal subjektivitas perempuan
dan menjadikannya sebagai pengada lain absolut.
Pada titik inilah
pemikiran Beauvoir tentang etika ambiguitas menjadi penting
dikemukakan. Dengan etika ambiguitas, Beauvoir menolak sikap yang
ingin mengelak dari ketegangan relasi tersebut. Menurut Beauvoir,
ketegangan antara “kebutuhan akan orang lain” dan “kekhawatiran
dikuasai orang lain” (diobjekkan) merupakan situasi yang harus
diterima apa adanya dan ditransendensikan ke dalam situasi yang lebih
proporsional dan manusiawi.
Jalan pembebasan kaum
perempuan ditempuh dari dua jalur utama, yakni level pemikiran dan
praktik. Pada tataran pemikiran, tubuh perempuan harus dibebaskan
dari label-label yang ditempelkan oleh budaya patriarkat yang
membuatnya tak leluasa melakukan proses transendensi. Selain
menempatkan konsep subjek dengan tubuh yang berbeda dan ambigu,
Beauvoir juga menyerukan untuk mengubah pola relasi antara kaum
laki-laki dan perempuan dari ikatan biologis dan fungsional menjadi
ikatan manusawi dan etis, yang terangkum dalam semangat persahabatan
dan kemurahan hati.
Di level praktik,
Beauvoir mengusulkan pentingnya kemandirian ekonomi sebagai pintu
pembuka bagi pembebasan tubuh perempuan, yang akan semakin mantap
jika dipadukan dengan perlakuan setara terhadap perempuan di ranah
sosial, budaya, dan politik, yang dicapai melalui revolusi sosial.
Selain melakukan
sistematisasi, buku ini cukup berhasil melakukan kritik dan
kontekstualisasi pemikiran-pemikiran Beauvoir dalam konteks
problem-problem kekinian perempuan di era globalisasi. Di beberapa
bagian, misalnya, menurut penulis buku ini, Beauvoir kadang terlihat
terlalu menyederhanakan persoalan situasi perempuan dan tidak
mengakomodasi kompleksitas situasi penindasan perempuan yang cukup
rumit. Di akhir bagian, penulis buku ini menambahkan bahwa selain
ancaman nilai-nilai patriarkat sebagaimana tampak jelas dalam
pemikiran Beauvoir, perempuan kini juga ditantang oleh kekuatan pasar
bebas yang untuk beberapa hal tak jauh berbeda dengan kultur
patriarkat dalam soal menyempitkan ruang perempuan ke dalam kategori
objek belaka, di tengah kegamangan kaum perempuan untuk terjun ke
dalam ketegangan dan sifat dasar kebebasannya.
Karya ini cukup berhasil
menyajikan pemikiran-pemikiran filosofis Simone de Beauvoir tentang
praksis etis pembebasan perempuan dalam bahasa dan uraian yang cukup
mudah dicerna tanpa harus kehilangan segi kedalaman kajiannya. Buat
mereka yang terjun di level gerakan (sosial) pembebasan perempuan,
buku ini dapat menyuguhkan peta umum kondisi perempuan dengan
berbagai kompleksitas persoalannya, dan buat kaum perempuan sebagai
individu, Beauvoir melalui karya ini memberikan semangat dan seruan
untuk hidup lebih autentik dan hidup dengan menggali identitas dan
kebebasannya.
* Tulisan ini dimuat di
Jurnal Perempuan edisi 45, Januari 2006