Oleh : Burhanuddin
Dengan tawaran kunci-kunci hermeneutika bagi
hadirnya al-Quran yang inklusif, toleran dan pluralis —yang menjadi pokok-pokok
“ajaran” Islam Liberal yang ditawarkan Charles Kurzman— Esack berupaya
mendobrak klaim kebenaran ekslusif suatu agama. “Teologi pembebasan Islam yang
ditawarkan Esack, “kata Paul Knitter, “sama mempesona dan menantangnya dengan
teologi pembebasan Kristen dari Gutierrez.”
A. Potret Seorang Intelektual Organik
1. Latar Belakang Sosial-Politik Afrika Selatan
(Afsel)
Dalam diskursus dan khazanah intelektual Islam,
Afsel boleh dikatakan sebagai kawasan yang kurang—untuk mengatakan tidak sama
sekali—dipertimbangkan dalam peta pemikiran Islam. Sebagaimana Islam di Asia
Tenggara, atau kawasan-kawasan di luar jazirah Arab dan Afrika bagian utara,
Afsel seringkali ditempatkan sebagai periferi dalam studi-studi keislaman.
Wilayah Timur Tengah adalah core-nya yang pada taraf tertentu mensimplifikasi
keragaman wajah Islam —dan oleh karenanya— mengeklusi konvisinitas pemikiran
keislaman yang muncul di kawasan lain. Dengan kata lain, pemikiran keislaman
yang timbul di luar Arab selalu dianggap subordinat dari koordinat keilmuan
Islam (the centre of Islam).[1]
Justru di negeri yang tersohor dengan sistem
apartheid inilah muncul suatu pemikiran keagamaan yang sangat tipikal dengan
munculnya Maulana Farid Esack dengan organisasi The Call of Islam-nya yang
berambisi mewujudkan “Islam Afsel.”[2] Struktur penindasan yang
nyaris sempurna seperti digambarkan Esack ketika melukiskan penderitaan ibunya
yang tertindih tiga lapis penindasan (triple oppression): apartheid, patriarkhi
dan kapitalisme,[3] memang menjadi krisis
kemanusiaan yang khas Afsel, terutama hegemoni sistem apartheid yang telah sekian
lama berurat akar. Konteks lokal inilah dijadikan Esack—dengan meminjam
perspektif Aloysius Pieris— sebagai “tempat berteologi” (locus theologicus)
dengan menerjemahkan teologi sebagai wacana-praksis pembebasan kaum tertindas.
Sulit dipungkiri, peran Esack dengan perangkat
organisasi pendukungnya dalam mensosialisasikan pemikiran keagamaan yang
tipikal Afsel. Uniknya, pemikiran keagamaan yang digagas beliau langsung
merujuk pada sumber pokok ajaran Islam, yakni al-Quran, yang makin menemukan
relevansinya dengan latar belakang disiplin keilmuan Esack. Bila dirunut lebih
jauh, pemikiran beliau masih beririsan dengan konteks besar gagasan teologi
pembebasan yang dalam konteks Islam dipromotori oleh Asghar dengan kritik
sejarah dan sosialnya.[4] Ia sendiri lebih suka
menamainya Islam progaresif daripada teologi pembebasan.[5] Apa yang dirumuskan Esack
sebagai hermeneutika pembebasan al-Quran adalah merupakan catatan kaki dari
produk refleksi pemikiran teologis dan pergumulan praksis dengan hegemoni,
dominasi dan represi rezim apartheid yang menggencet rakyat Afsel pada umumnya.
Keterlibatan Esack dan komunitas muslim secara
intens dalam gerakan pembebasan di Afsel menjadi anotasi penting dalam
perjuangan meruntuhkan rezim apartheid. Sebagaimana diketahui, pada umumnya
masyarakat muslim di negeri itu adalah masyarakat urban. Kebangkitan masyarakat
urban, terutama kelompok muslim, di Afsel sendiri dimulai sekitar tahun 1986.
Embrionya bahkan telah tampak saat organisasi politik yang besar, Organisasi
Rakyat Afrika (APO), yang mewadahi aspirasi politik masyarakat Afsel dari
pelbagai kalangan, pada tahun 1910-1944 terus dipimpin muslim: Dr. Abdullah
Abdurrahman yang kebetulan cucu seorang budak.[6]
Peran signifikan komunitas muslim semakin
kentara bila dilihat dari jumlah nominalnya yang tidak terlalu seberapa, namun
mengambil posisi proaktif dalam gerakan pembebasan. Kaum Muslim menduduki
posisi-posisi kelas menengah yang menguasai sektor publik sehingga turut
mewarnai arah perkembangan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Saat ini, kaum
Muslim yang hanya berjumlah 2% dari total populasi rakyat Afsel menduduki 12%
kursi di kabinet (empat menteri beragama Islam dari 28 menteri yang ada).[7] Ketua Mahkamah Nasional juga
seorang muslim. Begitu juga di parlemen terdapat 12% anggotanya yang beragama
Islam. Menurut Esack, konstatasi politik di atas menguntungkan sekaligus
merugikan. Secara politis memang daya tawar komunitas muslim meningkat, tapi
dilihat dari diskursus Islam progresif pasca-apartheid justru terlihat menurun
frekuensinya karena semakin banyak pemikir Islam progresif yang terlalu sibuk
menjalankan pemerintahan.[8]
Menurut pengakuan Esack, peran kelompok muslim
terutama dalam perjuangan anti-apartheid bersama kelompok lain tidaklah
memancing reaksi negatif karena mereka tidak memburu agenda muslim semata, tapi
agenda pembebasan masyarakat Afsel.[9] Sebagai masyarakat yang
terbilang minoritas di negeri yang sebagian besar penduduknya memeluk agama
Kristen, kelompok muslim memang tidak bisa bertindak gegabah meskipun
perjuangan anti-aparteid yang mereka kumandangkan ditujukan untuk agenda
kemanusiaan yang bersifat universal serta melampaui batas-batas dan sekat-sekat
teologis dan etnis. Mereka harus pandai merangkul komunitas lainnya, terutama
dari agama Kristen yang mayoritas, untuk bersama-sama menegakkan aras
perjuangan yang didasarkan pada kesadaran teologis bahwa agama apa pun mengecam
penindasan atas dasar rasialisme dan sejenisnya.
Realitas menunjukkan bahwa hingga tahun 1970-an,
hampir semua gereja di Afsel mendukung apartheid.[10] Gereja hanya melayani
kepentingan orang kulit putih saja, terlebih lagi bila gereja tersebut berada
di wilayah orang kulit putih. Masyarakat berkulit hitam dan berkulit berwarna
—dalam struktur apartheid yang mendekati kesempurnaan—diharuskan membangun
gereja sendiri dan terpisah. Sebuah ironi di mana agama dipaksa berperan dalam
memelihara sistem rasialis.
Paulo Freire pernah mengatakan bahwa kelompok
yang menikmati status quo dan kepentingannya akan terganggu dengan perubahan
akan cenderung menolak perubahan. Demikian juga dengan kenyataan yang terjadi
di sana sebelumnya di mana banyak orang kulit putih yang didukung oleh
agamawan-kolaborator justru menjadi lawan pertama dari gerakan anti-apartheid
selain aparatus ideologi negara yang dijaga militer dan polisi. Kemunculan
Kongres Nasional Afrika (ANC) membawa nuansa baru dalam perjuangan
anti-apartheid yang kemudian mengantarkan Nelson Mandela menjadi Presiden Afsel
pada tahun 1992.
2. Liku-liku Kehidupan yang Pahit
Esack termasuk seorang intelektual yang
mengalami masa kecil yang sulit dan pahit. Esack lahir pada tahun 1959 di
pinggiran kota Cape Town, tepatnya di Wymberg, dari seorang ibu yang ditinggal
suaminya bersama lima orang anaknya lainnya di Wynberg. Sepeninggal sang ayah
yang raib entah kemana itulah, Esack bersama saudara kandung dan saudara seibu
hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk orang hitam
dan kulit berwarna. Ibu Esack kemudian memerankan posisi ibu sekaligus ayah
yang harus mencari nafkah hidup bagi enam orang anak yang masih kecil-kecil.
Dalam buku Quran Liberation and Pluralism,
Esack banyak mengulas kisah pahit keluarganya yang pada akhirnya sangat
mewarnai cara pandang pemikiran Esack di kemudian hari. Penghasilan sang ibu
sebagai buruh kecil tak cukup menghidupi sebuah keluarga besar yang kemudian
memaksa Esack dan saudara-saudaranya mengais tempat-tempat sampah untuk mencari
sisa-sisa makanan.[11] Tak jarang pula, mereka
mengemis meminta belas kasihan orang. Meskipun demikian, Esack tak menghentikan
aktivitas menuntut ilmu. Di tengah keterhimpitan hidup, Esack tetap rajin
bersekolah meski tanpa alas sepatu dan buku-buku yang memadai. Namun, di atas
segalanya, tiada pengalaman traumatik yang menggores luka keluarga Esack,
kecuali tatkala ia menyaksikan ibunya menjadi korban pemerkosaan.[12]
Sebuah kenyataan pahit yang dialami keluarganya
itu menjadi salah satu inspirasi penting dalam perkembangan pemikiran Esack
yang meyakini bahwa berteologi bukan berarti mengurusi “urusan” Tuhan semata:
neraka, surga dan lain-lain.[13] Bagi Esack, teologi yang
terlalu mengurusi Tuhan, sementara Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus,
adalah teologi mubazir yang terlalu banyak menyedot energi umat. Esack meyakini
bahwa teologi harus dipraksiskan, bukannya digenggam erat-erat untuk tujuan
kesalehan personal (individual piety). Dengan mendekati dan mengasihi
makh-luk-Nya, demikian Esack, maka kita sama saja telah mengabdi kepada Tuhan.[14]
Satu pengalaman eksistensial lainnya yang
berkaitan dengan berteologi praksis di atas, yang melampaui batas demarkasi
ideologis sempat dialami Esack dan keluarganya. Tatkala kesulitan hidup makin
mendera, keluarga Esack sangat bergantung kepada para tetangga Kristen yang
selalu rutin memberi makanan ala kadarnya. Esack secara khusus juga tak pernah
melupakan jasa Tuan Frankl, seorang Yahudi, yang sering memperpanjang batas
pengembalian pinjaman barang dan uang untuk waktu yang tak terbatas.[15] Hubungan sosial yang begitu
harmonis yang bahkan mengatasi sekat agama itulah yang mendorong Esack lebih
supel dalam bergaul. Selanjutnya, ketika Esack merintis perjuangan
anti-apartheid, Esack tidak lagi mempersoalkan prasangka-prasangka sempit
karena problem klaim kebenaran dan klaim keselamatan (claim of truth and
salvation) di benak Esack telah usai.
Penderitaan hidup yang dialami keluarga Esack
adalah gambaran mikro dari derita rakyat Afsel pada umumnya akibat perlakuan
diskriminatif rezim apartheid. Orang kulit putih yang secara nominal hanya
berjumlah 1/6% dari total populasi rakyat Afsel menguasai dua pertiga
pendapatan nasional, sementara bangsa kulit hitam yang hampir berjumlah ¾%
total penduduk hanya memperoleh ¼ saja. Banyak orang kulit hitam yang menjadi
“budak”, sementara kulit putih menguasai sektor publik dan kelas menengah.[16] Perlakuan istimewa terhadap
orang kulit hitam tersebut ditambah lagi dengan dua kebijakan rezim apartheid
yang makin menyingkirkan orang kulit hitam yang mayoritas dari akses-akses
ekonomi dan politik serta hukum.
Dua kebijakan tersebut adalah pemberlakuan
sistem trikameralisme yang menempatkan kulit putih sebagai penentu kebijakan
(decision maker). Trikameralisme adalah sebuah produk konstitusi yang dibuat
Dewan Kepresidenan rezim apartheid yang membagi tiga parlemen berdasarkan warna
kulit warga Afsel, yakni kulit putih, kulit berwarna dan kulit hitam. Ketiga
majelis ini mengatur urusan mereka sendiri. Setiap ada perbedaan dan
pertentangan pendapat di antara tiga majelis ini diselesaikan oleh dewan
kepresidenan dengan komposisi yang timpang: 4: 2: 1.[17]
Kebijakan lainnya adalah penerapan akta wilayah
(groups area act) yang membuat orang-orang kulit hitam tergusur dan
terpinggirkan di daerah-daerah paling tandus di Afsel. Mereka akhirnya menjadi
“pengemis” di kampungnya sendiri, untuk meminjam istilah Emha Ainun Najib yang
terkenal itu. Inilah realitas menggelikan sekaligus mengerikan yang terjadi
ketika rezim apartheid masih berkuasa di Afsel. Embargo dan pemboikotan dunia
serta ekslusi dari negara-negara internasional terhadap rezim apartheid tak
sedikitpun menggoyahkan.
Di antara tokoh-tokoh awal Islam yang terkemuka,
Esack malah mengagumi dan mengidolakan Abu Dharr al-Ghifari, bapak sosialisme
Islam.[18] Barangkali pengalaman
hidupnya yang pahit mengilhami gaya hidup Esack selanjutnya yang bersahaja.
Tatkala tampil di Auditorium Utama IAN Jakarta tanggal 23 Maret 2001, Farid
cuma mengenakan kaus berkancing dengan motif sederhana. “This is not my
picture,” kata Esack sambil tertawa ketika melihat pamflet dirinya bergambar
“George Washington” yang berjubah parlente.
3. Pendidikan dan Pergumulan dalam Aktivisme
Politik
Sebagai seorang intelektual muslim yang telah
menelurkan beberapa karya monumental, nama Esack belumlah setenar nama
Fazlurrahman, Mohammed Arkoun, Syed Naquib al-Attas dan lain-lain. Sebelum ia
menelurkan karya Qur’an Liberation and Pluralism, nama Maulana Farid Esack
belum banyak dikenal oleh masyarakat akademisi. Literatur yang membicarakan
buah karyanya belumlah banyak, apalagi informasi mengenai jatidiri dan
kiprahnya dalam dunia keilmuan dan aktivitas lainnya juga terhitung tidak
melimpah.
Dalam perkembangan berikutnya, beberapa jurnal
terkemuka di dunia mulai memuat tulisannya. Esack juga tak segan-segan
mengisahkan pengalaman pribadinya sebagai anotasi penting yang diakuinya turut
mempengaruhi kiprah perjalanan intelektualnya.[19] Esack berargumen bahwa kisah
nyata yang ia alami bersama keluarganya adalah sebuah pijakan yang tidak
terlepas dengan realitas serta membentuk struktur epistemologis tafsir
hermeneutika pembebasan.
Akan tetapi ada juga penilaian yang muncul yang
mengatakan bahwa pernyataan Esack terlalu hiperbolik. Tak jarang keluar
penilaian sinikal, yang menyatakan bahwa Esack terlalu berlebihan mengangkat
kisah hidup dan perjuangannya dalam usaha melepaskan diri dari sistem
apartheid. Terlepas dari itu, Esack sendiri lebih suka menyebut dirinya sebagai
seorang aktivis ketimbang pemikir. Seperti diakuinya ketika ia berbicara dalam
Orasi Al-Qur’an dan Pembebasan di Auditorium IAIN Syarif Hidaya-tullah yang
diselenggarakan BEM IAIN Jakarta tanggal 23/3/ 2001. Pengakuannya tersebut tak
terlalu berlebihan. Ia dikenal sebagai sedikit tokoh muslimin di Afsel yang berjasa
dalam membebaskan rakyat Afsel dari belenggu apartheid.
Bila dilihat dari karya-karyanya, ia juga tak
berpretensi terlalu ilmiah dalam mengungkapkan gagasan-gagasan besarnya. Para
pengkaji yang relatif baru berkenalan dengan pemikiran Esack, tidak akan
menemui banyak kesulitan bila berlatar belakang Quranic studies. Ia sadar bahwa
ilmu bukan semata-mata untuk ilmu sendiri, namun punya agenda liberatif untuk
masyarakat umumnya. Esack juga bukan tipikal intelektual menara gading yang
beruzlah di ruang-ruang perpustakaan, namun kehilangan sentuhan dengan realitas
di sekelilingnya. Esack adalah model intelektual organik —untuk memakai
kategori Antonio Gramsci— yang berani berhadapan dengan realitas. Dengan
meminjam istilah Karl Marx, Esack adalah tipe intelektual yang memahami dunia
untuk mengubahnya.
Sebagaimana telah dinyatakan di muka, di tengah
kesulitan yang mendera hebat, Esack masih sempat mengecap dan menyelesaikan
pendidikan pendidikan dasar dan menengahnya di Bonteheuwel Afsel. Pada waktu
itu, ia memperoleh pendidikan berdasarkan pendidikan nasional Kristen.[20]
Dari berbagai informasi diperoleh data menarik
di mana Esack sejak usia 9 tahun telah menceburkan diri dalam aktivitas
keagamaan secara intens. Ia aktif di Jamaah Tabligh, sebuah organisasi
keagamaan yang memiliki jaringan internasional dan berpusat di Pakistan. Di
dalam organisasi yang menekankan imitasi ke masa awal Islam (salaf) inilah,
Esack memahami makna persaudaraan (brotherhood).[21] Ia mengakui bahwa figur sang
ayah yang tak ketahuan rimbanya tergantikan dengan rekatnya hubungan
persaudaraan antar-anggota Jamaah Tabligh.
Yang menarik adalah kesempatan menuntut ilmu
menuju Pakistan untuk meneruskan studinya di Jami’ah Ulum al-Islamiyah. Di sini
Esack muda mendapat gelar Bachelor of Art (BA) dalam bidang hukum Islam. Dalam
literatur yang penulis peroleh, tidak didapat informasi yang meyakinkan soal
keberangkatan ke Pakistan untuk menekuni studi lanjut, sementara secara
finansial, Esack sangat kekurangan.
Penulis hanya bisa menduga kemungkinan beasiswa
dari Jamaah Tabligh atau simpatisannya karena Jamaah Tabligh itu sendiri
berpusat di negeri sang penyair Mohammad Iqbal. Bisa juga ada bantuan beasiswa
dari orang atau lembaga yang berempati dengan kepandaian Esack dan ia memilih
Pakistan karena ia merasa telah mendapat informasi yang memadai tentang situasi
akademis di negeri itu berkat aktivitasnya di Jamaah Tabligh. Intinya, tempat
Esack menuntut ilmu di Pakistan ada kaitannya dengan Jamaah Tabligh, meskipun
dalam buku Qur’an Liberation & Pluralism, ia tak menyebutkan beasiswa yang
ia dapatkan dari lembaga mana. Kisah Derrick Dean, kawan Esack yang beragama
Kristen, yang diminta mengucapkan dua kalimah syahadat oleh pemimpin Jamaah
Tabligh Afsel,[22] Haji Bhai Padia, juga
menunjukkan bukti keterkaitan tersebut. Kita tahu, kejadian tersebut terjadi di
Pakistan, tempat Esack menuntut ilmu.
Pengakuan Esack bahwa institut yang ia tuju
sangatlah konservatif bisa jadi mengukuhkan dugaan di atas bahwa jamiah tempat
ia kuliah adalah milik atau ada kaitannya dengan Jamaah Tabligh. Ini terutama
bila dikaitkan dengan reaksi Bhai Padia. Kasus Abdul Khaliq Ali yang dirawat di
rumah sakit juga makin menambah diskrepansi pemahaman teologis Esack dengan
konservatisme Jamaah Tabligh.[23] Namun, di atas segalanya,
kuliah adalah peluang berharga untuk seorang anak miskin seperti Esack. Ia yang
beruntung mendapat kesempatan berharga menuntut ilmu di negeri Pakistan lantas
tak menyia-nyiakan peluang ketika ada celah untuk mendalami teologi di Jamiah
Alimiyyah al-Islamiah, Karachi. Di sinilah ia memperoleh gelar maulana yang makin
menambah “gagah” namanya.
Semakin lama persentuhan emosional dan teologis
Esack dengan Jamaah Tabligh makin meluntur seiring dengan makin melebarnya
jurang pemisah dalam banyak pemahaman agama. Latar belakangnya yang berasal
dari keluarga muslim yang menjadi minoritas menyadarkan Esack betapa tidak
enaknya menjadi minoritas: sering dilecehkan dan ditindas. Pada titik inilah,
ia bisa merasakan kecemasan kaum Hindhu dan Kristen yang minoritas di negeri
Pakistan dan sering mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama.
Pengalaman eksistensial sewaktu kecil banyak berhutang budi kepada tetangga
Kristen dan “tukang kredit” berdarah Yahudi, membuatnya sadar bahwa
persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang
tertindas.
Akhirnya, jurang antara teologi konservatif yang
masih melekat di dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin terang
benderang. Esack lantas menetapkan pilihan menanggalkan konservatisme. Ia makin
sering mangkir dari pertemuan-pertemuan rutin Jamaah Tabligh dan kerap
mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian dinamai
Breakthrough).[24] Tokoh kelompok tersebut yang
paling inspirasional adalah Norman Wray yang mentaji mitra Esack untuk memulai
proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai mengajar studi Islam di
sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas paramedis di Penjara Pusat Karachi juga
dikerjakan bersama serta terjun sebagai pengajar di perkampungan kumuh Hindhu
dan Kristen.[25]
Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah
pandangan teologis Esack dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan
praksis di Afsel. Pengalaman di Pakistan menunjukkan adanya titik temu
pandangan seksis dan rasialis di mana Pakistan ia sering menemui penindasan
terhadap wanita, sementara Afsel sarat dengan sistem apartheid. Esack menempuh
studi di Pakistan tatkala Pakistan berada di bawah masa pemerintahan Ayub Khan
dan Zulfikar Ali Butto (1956-1977). Pada tanggal 5 Juli 1977,[26] Jenderal Zia ul-Haq yang
berpandangan konservatif dalam pemikiran keagamaannya melakukan kudeta tak
berdarah.
Zia ul Haq yang disokong oleh Pemerintah Amerika
Serikat dan CIA —meskipun pada akhirnya ia diduga dibunuh oleh CIA setelah
pesawat yang ditumpanginya meledak— karena dianggap sebagai patner utama untuk
membantu mujahidin Afghanistan menggulingkan pemerintahan boneka Uni Soviet di
Kabul. Zia ul-Haq dikenal dekat dengan kalangan konservatif karena melalui
merekalah pemerintah Zia mendapatkan sumberdaya politik utama selain dari
militer.
Pada masa pemerintahannya, marginalisasi
terhadap kaum minoritas dan perempuan dalam kehidupan sosial politik mencapai
puncaknya. Segregasi laki-laki dengan perempuan di sektor publik terjadi secara
kasat mata, perempuan juga dilarang tampil di televisi serta kewajiban
mengenakan duppata yang kemudian memancing reaksi balik dari kaum perempuan.[27] Seperti biasa pemerintahan
Amerika menerapkan standar ganda. Mereka tak berani mengusik kebijakan Zia yang
non-demokratik tersebut karena saat itu Amerika Serikat masih membutuhkan peran
dan jasa pemerintahan Zia untuk mempermalukan Uni Soviet dalam perang
Afghanistan.
Di tengah situasi yang penuh dengan kebijakan
diskriminatif ini, Farid justru merasa betah dengan iklim akademis di Pakistan
—dan oleh karenanya— ia melanjutkan pendidikannya di Jami’ah Abi Bakar Karachi
dalam bidang ulum al-Quran.[28] Farid malah merasa
mendapatkan pengalaman berharga serta dapat menarik pelajaran tidak hanya di
bangku kuliah saja, tapi juga secara langsung dari dua negeri yang menerapkan
kebijakan diskriminatif. Hal-hal inilah yang nantinya berguna bagi pematangan
konstruksi epistemologis pemikiran Esack yang mampu menubuhkan semangat
teologis dan praksis melawan penindasan.
Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya
belajar teologi dan ulum al-Qur’an di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun
1982. Bersama tiga sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel
Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of
Islam pada tahun 1984[29]. Ia menjadi koordinator
nasionalnya.[30] Organisasi ini berafiliasi
kepada Front Demokrasi Bersatu (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun
1983 untuk menentang rezim apartheid.
Perlawanan terhadap rezim apartheid mencapai
puncaknya pada dekade 1980-an. Sebagai komponen inti dari UDF, The Call of
Islam memainkan peran penting dalam menggalang solidaritas interreligius dan
lintas agama untuk mendobrak status quo. Di bawah naungan UDF, kaum Yahudi,
Kristen dan Islam mentahbiskan perlawanan kaum beriman terhadap penindasan
dalam bentuk apapun.[31]
Meskipun demikian, gerakan The Call Of Islam
bukannya sepi dari hambatan. Kelompok-kelompok Islam konservatif seperti
al-Qibla, MYM, MSA[32] melalui tabloid Majlis
mengumandangkan kebencian dan penentangan terhadap mereka yang bekerja sama
dengan kaum Yahudi dan Kristen atas nama pluralisme. Atas dasar penafsiran
sempit terhadap al-Quran, tabloid tersebut tak henti-hentinya mengecam The Call
of Islam yang disebutnya telah melakukan kolaborasi dengan kaum kafir. Namun
demikian, The Call of Islam terus berkiprah untuk menelurkan ambisi mewujudkan
Islam Afsel yang tidak menafikan pluralitas masyarakat serta berdasar pada “a
search for an outside model of Islam.”[33]
Farid Esack ternyata masih menyimpan semangat
untuk belajar lagi. Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding
Esack dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali
bersedih mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai
dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap
kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nasrani meskipun untuk mencapai
tujuan mulia. Ayat-ayat yang sering dipakai sebagai justifikasi adalah:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah “Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar.” Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak
lagi menjadi pelindung dan penolong kamu”[34] (Q.s: al-Baqarah: ayat 120):
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin di antara kamu”
(al-Ma’idah (5): 51).
Hal inilah yang mendorong Esack untuk
mempelajari al-Quran dan Injil. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci
seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan
adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya
lagi untuk belajar hermeneutika al-Qur’an di Inggris dan hermeneutika Injil di
Jerman. Di Universitas Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack
menekuni studi Bibel selama satu tahun. Adapun di University of Birmingham di
Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir.
Saat ini, aktivitas Esack sangatlah padat. Ia
tak pernah membuang waktunya secara cuma-cuma kecuali untuk mengajar secara
aktif di University of Wetern Cape serta menulis karya-karya ilmiah dan
menghadiri seminar-seminar di dalam maupun luar negeri. Ia juga mengajar
sebagai dosen tamu di beberapa perguruan tinggi papan atas seperti Oxford,
Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Cambridge, Birmingham, Amsterdam dan
CSUN (California State University Nortridge).[35] Tak sekadar itu, Esack juga
masih aktif di Comission on Gender Equality dan World Conference for Religion
and Peace (WCRP). Sebuah gabungan apik antara intelektualisme dan aktivisme.
B. Perkembangan Pemikiran Farid Esack dan Anotasi Karya
Intelektual
Untuk mengetahui pemikiran Esack, menurut hemat
penulis, perlu dijelaskan perkembangan pemikirannya yang didasarkan pada
karya-karya yang telah ditulisnya. Sebagai seorang intelektual-organik dan
seorang aktivis cemerlang, Esack lebih dari cukup produktif dalam menulis
banyak artikel ilmiah.
Oleh karena itu, penulis akan melakukan ulasan
sederhana terhadap beberapa bukunya yang telah diterbitkan, yakni:
1. But Musa Went to Fir’aun!
Buku ini, secara lengkap, berjudul But Musa Went
to Fir’aun!: A Compilation of Questions and Answers about The Role of Muslims
in the South African Struggle for Liberation. Buku yang berukuran kecil ini
diterbitkan oleh Clyson Printers, Maitland tahun 1989. Jumlah halaman buku ini
hanya 84 halaman, memang tak terlalu tebal untuk ukuran buku pada umumnya. Buku
ini berisi tanya jawab.
Buku ini tidak dilengkapi daftar isi, tapi
secara umum terdiri dari 6 bab dilengkapi pengantar, pendahuluan, catatan
penjelas dan glosari. Bab pertama berisi identitas muslim, kepentingan dan
urgensi keterlibatan kaum muslim dengan realitas sosial di sekitarnya. Bab
kedua berisi partisipasi, negosiasi dan konfrontasi. Dalam bab ini, Esack banyak
mengutip kisah perlawanan Nabi Musa terhadap penguasa tiran saat itu, Fir’aun.
Adapun bab ketiga berisi tentang Islam, Iman dan Politik. Esack menekankan
pentingnya politik sebagai medium untuk menyampaikan aspirasi serta mengubah
struktur eksploitatif melalui prosedur-prosedur demokratis.
Pada bab empat, Esack menulis pentingnya
kerjasama kaum muslim secara lintas agama (inter-faith) untuk melawan tirani
atas nama apapun. Sedangkan bab lima, masa depan serta tujuan yang hendak
dicapai diulasnya secara detail. Setelah menulis masa depan serta tujuan yang
hendak dituju, Esack menandaskan tugas penting serta kewajiban yang harus
dilakukan dalam bab enam. Esack sebenarnya menulis buku ini untuk keperluan
organisasi The Call of Islam yang waktu itu sedang gencar-gencarnya
mengkampanyekan ide-ide perlawanan terhadap rezim apartheid dengan mengutip
kisah-kisah nabi masa lalu yang telah dihidangkan al-Quran dan disirahkan Nabi
Saw.
Sebagaimana dinyatakan dalam kata pengantar,
buku ini dimaksudkan untuk mencari ruh pembebasan untuk melepaskan diri dari
penjajahan para tiran. Fatima Meer, aktivis perempuan yang memberi pengantar
buku ini, mengidolakan revolusi damai di Iran yang dipelopori oleh para ulama.[36] Fatima sangat percaya bahwa
Islam sebagai esensinya adalah teologi yang sarat dengan nilai-nilai
pembebasan. Dalihnya adalah Islam di dalam dirinya adalah seperangkat gugusan
norma yang anti-penindasan atas nama apapun.
2. Qur’an Liberation and Pluralism
Buku yang diterbitkan oleh Oneworld Publication
England pada tahun 1997 berjudul asli Qur’an, Liberation and Pluralism: An
Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression ini telah
diterjemahkan dalam pelbagai bahasa. Dalam edisi bahasa Indonesia, para
pencinta ilmu kita dapat memperolehnya berkat jerih payah Penerbit Mizan yang
telah menerbitkan buku tersebut dengan judul Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme:
Membebaskan yang Tertindas (2000).
Dalam edisi bahasa Indonesia, buku tersebut
dilengkapi surat Nelson Mandela dari penjara tentang kunjungannya ke makam
Syaikh Madura.[37] Diterjemahkan oleh Watung
Budiman, buku yang disunting Samsurrizal Panggabean dan Yuliani Liputo ini
tidak jadi diberi pengantar oleh Samsurrizal Panggabean yang dikenal sebagai
pemikir muda dari CSPS UGM Yogyakarta yang aktif mengamati Afsel. Sewaktu mengisi
diskusi tentang buku Qur’an Liberation and Pluralism sebelum edisi bahasa
Indonesia terbit di FORMACI, Ihsan Ali-Fauzi menyatakan bahwa Rizal sedang
menulis pengantarnya. Dengan demikian, para pembaca agak kesulitan menangkap
konteks dan relevansinya dengan situasi di tanah air.
Dalam edisi bahasa Inggris, buku tersebut berisi
pendahuluan, tujuh bab, dan kesimpulan serta dilengkapi apendiks, glosari,
bibliografi dan indeks. Buku ini tidak sekadar merumuskan perspektif baru dalam
hubungan antaragama, tapi juga meletakkan dasar bagi sikap yang obyektif dan
kritis terhadap peganut agama yang sama. “Pemahaman agama yang lebih signifikan
selalu datang dari pengalaman baru, “ungkap Jonh Hick seolah ingin mengafirmasi
titik balik pengalaman eksistensial Esack dari seorang minoritas yang tertindas
menjadi seorang pemikir liberatif-progresif.[38]
Buku tersebut sampai saat ini diyakini sebagai
magnum opus Esack. Dengan tawaran kunci-kunci hermeneutika bagi hadirnya
al-Quran yang inklusif, toleran dan pluralis —yang menjadi pokok-pokok “ajaran”
Islam Liberal yang ditawarkan Charles Kurzman— Esack berupaya mendobrak klaim
kebenaran ekslusif suatu agama. “Teologi pembebasan Islam yang ditawarkan
Esack, “kata Paul Knitter, “sama mempesona dan menantangnya dengan teologi
pembebasan Kristen dari Gutierrez.”
3. On Being A Muslim
Buku yang ditulis Esack ini juga diterbitkan
oleh Oneworld Publication Oxford tahun 1999 dengan judul asli On Being A
Muslim: Finding a Religious Path in the world Today. Penerbit yang berpusat di
Inggris ini terkenal dengan terbitan buku-buku yang ditulis oleh sarjana kelas
dunia. Selain menerbitkan karya-karya Esack, Oneworld juga mempublikasikan
buku-buku tentang studi Islam yang ditulis Montgomerry Watt, Mark R. Woodward,
Richard Martin, Reynold Nicholson, Majid Fakhry dan lain-lain.
Buku ini terdiri dari pendahuluan, tujuh bab,
kesimpulan dan dilengkapi catatan, bibliografi terpilih dan indeks. Ketika ia
meluncurkan buku tersebut, sempat muncul tudingan dari sebagian akademisi yang
menganggapnya terlalu hiperbolikal dan melodramatis dalam mengangkat
kisah-kisah hidupnya. Memang benar bahwa Esack banyak mengisahkan pengalaman
hidupnya dalam buku yang berjumlah 212 halaman.
Bagi Esack, setiap karya adalah cerminan dari
otobiografi sang penulis. Dan buku yang ditulis setelah ia menerbitkan Quran
Liberation and Pluralism ini memotret rangkaian perjalanan dan pengalaman
hidupnya sebagai seorang muslim berhadapan dengan realitas sosial. Di sinilah
titik balik pengalaman eksistensial Esack yang hidup di tengah struktur
eksploitatif dan dominasi serta hegemoni rezim penindasan dieksplorasi secara
mendetail dan lugas.
Buku ini memang mirip otobiografi intelektual
yang merekam perjalanan panjang Esack yang lahir di masa pemerintahan
apartheid, belajar di Pakistan yang sarat dengan penindasan terhadap kaum
minoritas dan perempuan serta pengalaman melanglang buana di Eropa dan Timur
Tengah. Pada awal buku, Esack menulis bahwa buku ini lahir dari sejarah yang
panjang (a long history),[39] sepanjang sejarah hidup
pengarangnya sendiri. Jadi, ia tak ditulis ketika Esack menurunkan buah
pemikirannya melalui sebuah pena di atas kertas atau ketika jari-jemarinya
mengetik tuts demi tuts di atas keyboard komputernya, namun telah terjalin
dalam rangkaian hidupnya.
C. Solidaritas Lintas Agama: Manifesto Pluralisme Al-Quran
Pada bab I buku Qur’an Liberation and Pluralism,
Esack menjelaskan wacana pluralisme agama yang bertemu dengan praksis
pembebasan yang konkret. Ia memahami pluralisme tak sekadar mengakui dan
menghormati perbedaan. Esack mencontohkan bila orang Jawa berdagang obat
terlarang, orang Ambon juga berdagang obat terlarang, kemudian mereka membentuk
kartel di Jakarta yang diperdagangkan ke Malaysia itu juga termasuk pluralisme.
Nilai pluralisme dalam al-Quran ditujukan pada tujuan tertentu yang berujung
pada humanisme universal.
Pluralitas agama, suku dan golongan adalah
sunnatullah bila kita kembalikan pada al-Quran surat al-Hujurat: 13.[40] Pengertian pluralisme Esack
mirip dengan Nurcholish Madjid yang membedakan pluralitas dengan pluralisme.
Menurut Cak Nur, demikian beliau disapa, pluralisme tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama, yang justru mengesankan fragmentasi. Ia juga tidak
dipahami sebagai “kebaikan negatif” (negative good) sekadar untuk merontokkan
fanatisme buta. Pluralisme adalah “pertalian sejati kebhinnekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of
civility).[41]
Pada wilayah yang rawan konflik, pluralitas
memang dimaknai sebagai sumbu perpecahan karena hilangnya faktor kepercayaan
(trust) akibat pengelompokan segregatif atas dasar simbol agama dan kesukuan.
Di Maluku, pasien Kristen misalnya, enggan berobat kepada dokter muslim karena
takut bukan diberi obat, tapi justru racun mematikan. Sebaliknya, sang dokter
juga tak sudi mengobati pasien tersebut karena bila terjadi hal-hal yang tak
diinginkan, ia dituduh sengaja membunuh.
Padahal dalam al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 48
ditegaskan “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami tetapkan syariah dan
jalan yang terang. Kalau seandainya Allah menghendaki, kamu dijadikan sebagai
satu umat saja. Namun Allah ingin menguji kamu mengenai hal-hal yang
dianugerahkan kepadamu itu. Berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali semuanya, lalu Allah akan menerangkan mengapa dulu kamu
berbeda-beda.”
Inilah yang menguatkan pluralisme sebagai fakta
teologis, dimana barangsiapa menentang pluralisme berarti ia menentang kehendak
Tuhan dan menyangkut soal agama sama sekali tidak ada paksaan di sana (la
ikraha fi al-diin).[42]
Hal inilah yang sedari awal ditegaskan oleh
Esack akan pentingnya menjalin solidaritas antaragama untuk pembebasan.
Pluralisme dimaknainya sebagai modal awal bagi tumbuhnya gerakan interreligius
yang meneriakkan semangat pembebasan bagi kaum yang tertindas. Sejarah para
nabi ialah lembaran sejarah orang-orang tertindas. Kata Esack, semua nabi
datang dari kalangan tertindas, kecuali Nabi Musa yang dibesarkan di istana
Fir’aun tapi kemudian berjuang bersama kaum tertindas melawan tiranisme
Fir’aun. Pada umumnya, tantangan yang pertama kali muncul ketika utusan Tuhan
menyampaikan dakwah, selalu datang dari para penguasa yang menari di atas
penderitaan rakyat yang papa dan tertindas.
Uniknya, Esack mengartikan konsep mustad’afun
(kaum tertindas) secara elastis. Rakyat Palestina yang diusir dan diperlakukan
semena-mena oleh Israel adalah tertindas. Namun Esack pernah duduk di hotel
bintang lima di Paris. Di sana ada tiga orang Palestina yang duduk kemudian
mengamuk pada seorang pelayan kulit hitam. Maka yang menjadi penindas adalah
tiga orang Palestina itu.[43] Penindasan inilah yang
menjadi “musuh bersama” kemanusiaan, yang oleh Esack harus dilawan dengan
praksis pembebasan yang berbasis pada pluralisme dan solidaritas antaragama
(the basis of pluralism being postulated in the Qur’an is, one may say,
liberative praxis). Inilah yang dimaksud Esack dengan proyek hermeneutika
pembebasan al-Quran.[]
Footnote :
[1]Perspektif yang dipakai disini
memang sangat kental nuansa postmodernismenya dengan pemilahan narasi besar
(grand narasi) dan narasi kecil. Cara pandang oposisi biner semacam ini menjadi
kritik postomodernis terhadap kreasi modernitas yang menegasi satu pihak untuk
mengangkat pihak lain. Namun pemikiran Theodore Adorno mengritik kecenderungan
periferi yang ingin membalik keadaan. Core-nya tetap ada, hanya ganti
posisi. Bagi Adorno, kecenderungan posisional itulah yang harus ditiadakan
karena cenderung tidak adil.
[2]Penulis sengaja memakai
konteks lokal Afrika Selatan sebagai relasi penanda dan petanda (siginifiant
dan signifier). Banyak pemikir Islam yang melakukan proses
perkawinan antara ortodoksi dengan tradisi lokal di mana ia mengembangkan
gagasannya. Thariq Ramadhan, cucu Hasan al-Banna, yang sedang menekuni filsafat
Nietze di sebuah universitas di Jerman, juga berambisi menegakkan pemikiran
“Islam Eropa. “ Abdurrahman Wahid juga terkenal dengan pemikiran pribumisasi
Islam yang meniscayakan akulturasi Islam yang dibawa dari Timur tengah dengan konteks
lokal Indonesia yang sebelumnya telah dihuni budaya Hindhu Budha. Inilah yang
oleh Cak Nur disebut sebagai budaya hibrida. Cak Nur bahkan mengatakan bahwa
al-Quran sendiri banyak mengandung unsur non Arab dilihat dari kosakata yang
ditampilkan. Lihat Orasi Ilmiah Nurcholish Madjid dalam Islamic Culrural
Center, dimuat di Jawa Pos, “Islam Agama Hibrida,” 11-12 Desember
2001.
[3]Farid Esack, Qur’an
Liberation, Op.Cit, dalam acknowlegement. Dalam makalah yang
disajikan pada seminar tentang HAM dan Aplikasi Hukum Islam di Dunia Modern
yang diselenggarakan Norwegian Institute of Human Rights (NIHR), Oslo,
14-15/2/1992, Esack juga mengawali tulisannya dengan perkataan ini. Setelah
direvisi, kumpulan makalah dalam pertemuan tersebut dibukukan dengan judul
“Islamic Law Reform and Human Rights Chalenges and Rejoinders.” Lihat Farid
Esack, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan,” dalam Dekonstruksi Syariah
II, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996), h. 189.
[4]Lihat buku Asghar Ali
Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), terutama bab I, II dan III.
[5]Farid Esack, “Negeri Ini Perlu
Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran,” dalam Tabloid Detak No. 132 tahun ke-3
April 2001, h. 26-27.
[6]“Wawancara dengan Farid
Esack.” dalam http//www.tempo.co.id
[7]Farid Esack, Tabloid Detak,
Op.Cit., h. 27.
[8]Ibid.
[9]“Wawancara dengan Farid
Esack,” Op.Cit.
[10]Inilah kritik utama Karl Marx
terhadap agama. Agama yang didukung agen agama (pastur, romo, kiai dan
lain-lain) seringkali dijadikan alat kaum borjuasi untuk melanggengkan
penindasan. Agama adalah candu karena merekomendasikan kesadaran palsu (false
consciousness). Kritik Marx terhadap agama ini sebenarnya berdasar pada
pemikiran Ludwig Feurbach tentang teori proyeksi ilutif.
[11]“Aduk-aduk Tempat Sampah agar
Bisa Makan,” dalam Tabloid Detak, Op.Cit.
[12]Irwandi, “Membaca Reception
Hermeneutik Maulana Farid Esack,” dalam Skripsi (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, tidak diterbitkan).
[13]Pernyataan Esack yang dimuat
dalam wawancara dengan Tempo tersebut menarik disimak karena pandangan semacam
ini jelas bertentangan dengan arus umum (mainstream) di kalangan umat
Islam. Teologi dalam Islam lebih didominasi paham Asyariyah yang menekankan
konsep tanzih (kemahakuasaan Tuhan), dan kurang menaruh perhatian pada
konsep teologi keadilan dan cinta kasih Tuhan sebagaimana dipraktikkan kaum
Mu’tazilah dan sufi. Karena dominasi konsep tanzih inilah yang kemudian
mendorong umat Islam untuk melakukan sesuatu demi semata-mata melayani Tuhan.
Padahal, seperti dikatakan Gus Dur, Tuhan tidak perlu diurus dan dibela. Lihat
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta, LkiS, 2001).
[14]“Wawancara dengan Farid Esack,”
Op.Cit.
[15]Farid Esack, Qur’an
Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
against Oppression, (London: One World Oxford, 1997), h. 2.
[16]Ibid., h. 36 dan 47.
[17]Ibid.
[18]“Wawancara dengan Farid
Esack,” Op.Cit.
[19]Lihat buku-bukunya, On
Being Moslem, Quran Liberation and Pluralism atau bahkan makalahnya dalam
seminar HAM Internasional di Oslo dalam Dekonstruksi Syariah II, Op.Cit.
[20]Helen Suzman Foundation,
“Profile of Farid Esack,” dalam hsfound@iafrica.com.
[21]Irwandi, Op.Cit.
[22]Farid Esack, Quran
Liberation, Op.Cit., h. 5
[23]Ibid., 4-5.
[24]Ibid., 5.
[25]Ibid.
[26]Irwandi, Op.Cit.
[27]John L. Esposito dan John O.
Voll, dalam Demokrasi di negara-negara Muslim, terj. Rahman Astuti
(Bandung: Mizan, 1995), h. 149 mencatat perkembangan menarik ini di mana kaum
perempuan Pakistan bersatu padu menentang kebijakan diskriminatif Zia ul-Haq
terhadap perempuan. Pada masa itu, muncul partai-partai dan asosiasi kaum
perempuan seperti Perhimpunan Perempuan seluruh Pakistan (APWA), Perhimpunan
Perempuan pengacara Nasional dan Forum Aksi Perempuan (WAF) dan lain-lain.
[28]Farid Esack, “Spektrum
Teologi Progresif,” Op.Cit., h. 311.
[29]Selain The Call of Islam,
sebelumnya di Afsel telah muncul organisasi Islam seperti Gerakan Pemuda Muslim
(MYM) tahun 1957, Asosiasi Pemuda Muslim Claremont (CMYM) tahun 1958 dan
lain-lain. Pada tahun 1970-an, muncul pula Asosiasi Mahasiswa Muslim (MSA) yang
mendukung lahirnya al-Qibla. Sayangnya, kelompok dan gerakan Islam ini lebih
terlihat didominasi kepemimpinan yang ekslusif dan konservatif.
[30]Farid Esack, “Contemporary
Religious Thought in South Africa and the Emergence of Quranic Hermeneutical
Notion,” Op.Cit., h. 214-223.
[31]Sebenarnya UDF bukanlah
satu-satunya organisasi rakyat yang melakukan perlawanan terhadap rezim
apartheid. Setelah Kongres Rakyat Afrika (ANC) yang didirikan pada tahun 1912
dibubarkan pada tahun 1962, gerakan anti apartheid mengalami lesu darah.
Apalagi setelah para pimpinannya ditankap dan dihukum seumur hidup pada tanggal
11 Juli 1963 (Nelson Mandela dan Walter Sisula), gerakan anti apartheid
mengalami demoralisasi hebat. Pasca-melemahnya ANC, muncul organisasi Black
Consciousness yang meneruskan perlawanan terhadap rezim apartheid di Arika
Selatan, meskipun pada ujung-ujungnya menghadapi represi dan pembung-kaman yang
sama dari pemerintah.
[32]Gerakan-gerakan Islam ini
sebenarnya memiliki semangat yang sama untuk melawan rezim apartheid. Hanya
saja, mereka relatif ekslusif dan enggan bekerjasama dengan elemen di luar
agama Islam. Padahal, kita tahu, komunitas Muslim menjadi minoritas di Afsel
sehingga sulit menggalang perlawanan yang masif jika melupakan komunitas
lainnya di luar Islam.
[33]Louis Brenner, “Introdution,”
dalam Louis Brenner (ed.), Moslem Identity and Social Change in Sub-Saharian
Africa (London: Hurst and Company, 1993), h. 5-6.
[34]Al-Quran dan Terjemahnya,
Khadim al-Haramaian Raja Fadh. Diterjemahkan oleh Yayasan Penyeleng-gara
Penterjemaentafsir al-Quran yang ditunjuk Menag dengan SK N. 26 tahun 1967.
Yayasan ini diketuai Prof. Dr. RHA Soenarjo, SH. Anggota-anggotanya adalah
Prof. Hasbi Asshiddiqi, Prof. Bustami Ghani , Muhtar Yahya, Toha Jahya Omar,
Prof. Mukti Ali, KH Musaddad, KH Ali Maksum dan lain-lain.
[35]Farid Esack, “Aduk-aduk
Tempat Sampah,” Tabloid Detak, Op.Cit.
[36]Fatima Merr, Foreword, dalam
Farid Esack, But Musa Went to Fir’aun, (Maitland, The Call of Islam,
1989), halaman formalitas.
[37]Farid Esack, Al-Quran,
Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung Budiman,
(Bandung: Mizan, 2000), h. 325-327.
[38]Ibid., pada kulit buku
bagian belakang.
[39]Farid Esack, On Being A
Muslim: Finding a Religious Path in the world Today, (Oxford, Onerworld
Publication, 1999), h. ix.
[40] Artinya: “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal” (Q.s al-Hujurat (49): 13).
[41] Nurcholish Madjid,
“Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: tantangan dan Kemungkinan,”
Republika, 10 Agustus 1999. Budhy Munawar-Rahman, dalam bukunya Islam
Pluralis: wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001) h, 31,
Cak Nur juga mengatakan hal yang sama.
[42]Rangkaian ayat di atas
berawal dari sebuah kisah keluarga Yahudi di Madinah yang telah memeluk agama
Islam. Di antara anak keluarga tersebut ada yang enggan masuk Islam sehingga
memicu orang tuanya untuk melapor kepada Nabi Saw. Menurut Cak Nur, Nabi Saw
sempat tergiur untuk menyarankan agar orang tuanya “memaksa” anaknya masuk
Islam. Kemudian turunlah ayat tersebut. Lihat Nurcholish Madjid, “Dalam Hal Toleransi,
Eropa Jauh Terbelakang,” Kajian Islam Utan Kayu, Jawa Pos, Minggu, 19
Agustus 2001.
[43]Farid Esack, Tabloid
Detak. Op.Cit.