Tesis ini
mengkaji gaya bahasa Al-quran periode Mekah, dengan pendekatan struktural-semiotik.
Gaya bahasa, secara sederhana, adalah cara pengarang dalam mengungkapkan
sesuatu. Gaya bahasa memiliki beberapa unsur, mencakup antara lain: unsur
leksikal, unsur gramatikal, retorika (pemajasan, penyiasatan struktur dan pencitraan)
dan kohesi.
Pendekatan
struktural digunakan unt uk menunjukkan bahwa Alqur’an, khususnya surat-surat Makkiyyah, memiliki totalitas dan koherensi
antar bagian yang menyusunnya. Dalam penelitian ini, totalitas dan koherensi
tersebut diasumsikan mula-mula pada surat secara individual, sebelum pada
surat-surat Makkiyyah secara keseluruhan. Pendekatan semiotik
digunakan untuk memaknai fenomena kebahasaan Alquran, tidak hanya pada makna literalnya melainkan juga makna tingkat
lanjut yang mampu mengabstraksikan lebih jauh struktur wacana Alqur’an. Kajian
gaya bahasa demikian pada gilirannya dapat menuntun pada ditemukannya nada
kepengarangan Alquran (auhorial tone) hingga akhirnya menunjukkan pula kekhasan
kepengarangannya (idiosyncrasy) di
hadapan kepengarangan lain.
Mengingat
luasnya fakta kebahasaan Alqur’an periode Mekah, penelitian ini hanya memfokuskan
kepada gaya bahasa pendahulua n surat yang menonjol sepanjang periode dimaksud.
Menggunakan skema kronologis surat yang
ditawarkan Theodor Noeldeke yang disempurnakan berikutnya oleh Schwally, dari
90 surat Makkiyyah, ditemukan tiga gaya
bahasa pendahuluan surat yang menonjol, yaitu sumpah (17 surat), pertanyaan (8 surat)
dan huruf muqatta‘ah (27 surat). Kecuali
satu surat yang berada dalam periode pertengahan, gaya bahasa sumpah menjadi
pendahuluan surat-surat Makkiyyah periode awal. Hal yang sama terjadi pada gaya
bahasa Pertanyaan. Selain satu surat Makkiyyah awal, gaya bahasa huruf muqatta‘ah banyak
didapati dalam surat-surat Makkiyyah
periode pertengahan (10 surat), dan
semakin mendominasi pada periode Mekah akhir (16 surat).
Penggunaan
ketiga gaya bahasa di atas mengindikasikan
bahwa tema sentral (mihwar) Alqur’an periode Mekah adalah otentikasi
wahyu dan risalah Muhammad. Jika skema kronologis Noeldeke-Schwally benar, maka
ketiga gaya bahasa di atas dapat menggambarkan tahapan dakwah Muhammad yang
sangat polemis, sejak awal kenabiannya hingga mendekati masa transisi, hijrah.
Sumpah merefleksikan masa-masa awal dakwah Muhammad ketika Tuhan berusaha
meyakinkan manusia untuk menerima otentisitas Alqur’an dan Muhammad. Sumpah
digunakan untuk meneguhkan otentisitas dimaksud di tengah penolakan masyarakat.
Pada saat yang sama, di bagian
tertentu dari periode Mekah awal
ini, Alqur’an juga menggunakan gaya
bahasa pertanyaan yang memuat sindiran
dan peringatan kepada manusia yang
ingkar. Memasuki periode Mekah pertengahan, penolakan terhadap otentisitas
wahyu dan risalah Muhammad meningkat menjadi permusuhan yang semakin intens.
Hal itu ditengarai dari makin keras dan emosionalnya bahasa
yang digunakan Alqur’an. Pada periode ini, penggunaan sumpah dan
pertanyaan pendahuluan surat menurun secara dramatis, dan mulai digantikan oleh
huruf muqatta‘ah. Jika dalam periode
tengahan, meski dengan nada yang muram dan penuh keputusasaan,
huruf-huruf misterius tadi masih menyisakan harapan akan keimanan manusia, maka
dalam periode Mekah akhir, fawatih al-suwar yang sama mengandaikan klimaks dari
perseteruan yang tak terdamaikan antara Muhammad dan mereka yang memusuhinya.
Pada titik ini, surat-surat Makkiyyah
menampilkan perasaan heran dan keputusasaan yang sangat mendalam terhadap
kekafiran manusia. Berbagai cara yang sudah ditempuh untuk meyakinkan manusia
diantaranya melalui penggunaan sumpah dan pertanyaan untuk menyampaikan
argumentasi kebenaran Alqur’an dan
Muhammad yang menyoal naratif, kosmologi dan eskatologi terbukti tidak cukup
ampuh untuk meluruskan manusia. Dalam kondisi demikian, Tuhan pun seolah
kehabisan kata-kata.
Ketika modus komunikasi normal tidak lagi efektif,
Alqur’an semakin intens menggunakan huruf
muqatta‘ah yang menengarai kegagalan bahasa yang wajar di satu sisi, dan
keputusasaan di sisi yang lain . Surat-surat dengan pendahuluan huruf muqatta‘ah yang emosional dan keras itu mengintrodusir
perintah Tuhan agar Muhammad menarik garis demarkasi yang jelas dari manusia
yang ingkar, penyempitan tugasnya untuk hanya membimbing mereka yang mau
beriman, dan ancaman hukuman yang pedih bagi orang kafir di akhirat kelak. FILE COMPLETE