UPAYA TRANSFORMASI PENDIDIKAN AGAMA YANG MENCERAHKAN

A.      Pendahuluan
Fenomena pendidikan agama kembali lagi menjadi wacana yang mengglobal dan aktual di kalangan masyarakat, baik lingkungan akademisi, pesantren, keluarga, sekolah, pemerintah dan lain sebagainya, seiring dengan rentetan peledakan bom yang pernah meneror masyarakat di negeri ini sejak tahun 2000 sampai tahun 2005 yang diakhiri dengan peledakan bom di Bali II (1 Oktober 2005). Dalam peristiwa tersebut, sedikitnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka. Dalam kaca mata hukum, aksi terorisme tersebut termasuk tindak pidana yang berat karena berkaitan dengan aspek kemanusiaan, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas Internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.[1]
Meskipun tidak sepenuhnya tindakan tersebut dihubungkan dengan realitas keagamaan, namun, seringkali terjadinya aksi para teroris disinyalir karena terkait erat dengan pemahaman tentang agama yang kurang benar ataupun gerakan politik yang mengatasnamakan jihad,[2]. Implikasi nyata dari peristiwa tersebut adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren yang dicurigai menjadi persembunyian para teroris juga ikut diperika,[3] dan beberapa pondokan yang ada di kota besar juga akan diperiksa.[4]

 B.       Menuju Pendidikan Agama yang Mencerahkan

1.      Realitas Pendidikan Agama

Dalam upaya menciptakan pendidikan agama yang mencerahkan, sebelumnya perlu adanya pemahaman secara komprehensif tentang realitas keagamaan yakni; agama, pemahaman keagamaan, dan sikap keagamaan. Agama pada dasarnya adalah persoalan ketuhanan yang diturunkan kepada umat manusia, untuk dijadikan way of life (pegangan hidup), yang mencakup norma-norma, prinsip-prinsip dalam menjalankan kehidupan dengan nilai-nilai moral dan nilai kemanusiaan yang sangat mulia. Agama seringkali diartikan sebagai teks suci yang penuh dangan nilai kemaslakhatan umat, namun dalam kenyataannya pemahaman setiap orang cukup beranekaragam sehingga menimbulkan pemahaman agama yang berbeda.
Meskipun dalam agama perbedaan merupakan bagian dari rahmat, namun kadang-kadang justru dapat menjadi sumber pemicu yang berimplikasi pada perpecahan. Dalam konteks sosial-keagamaan, analisis yang dikemukakan Fanani, dalam sebuah artikel di koran nasional “Menyoal Pendidikan Agama Islam”, (Kompas, 5/12/2001), barangkali sejalan dengan pemikiran ini. Menurutnya, bahwa masalah mendasar menyangkut persoalan keagamaan saat menjadi sikap keberagamaan, adalah masalah hubungan antar pemeluk agama satu dan lainnya. Wilayah kebenaran penafsiran agama sering menggunakan standar ganda, kebenaran dianggap menjadi otoritas kelompok agamanya sendiri, sedangkan umat agama lain dianggap jauh dari kebenaran.
Padahal kebenaran sejati adalah Tuhan. Berangkat dari pemahaman ini, maka kebenaran yang ditafsirkan selama ini hanyalah kebenaran yang relatif. Benar bahwa dalam masing-masing agama diajarkan untuk membela, menyebarkan, dan patuh pada kebenaran agama. Tetapi, hal itu harus disesuaikan dengan kondisi sosiologis, antropologis, historis, di mana umat beragama itu itu berada. Jika ia berada dalam masyarakat yang beranekaragaman maka itu tidak menjadi soal. Namun ketika agama ada dalam masyarakat yang multireligius dan multikultur, tentu menjadi problem yang membutuhkan penyelesaian. Jika tidak, akan tercipta klaim kebenaran yang mengarah pada pengkultusan dan pembelaan buta yang akan membahayakan pada kehidupan sosial.
Persoalan yang cukup dilematis adalah model pembelajaran pendidikan agam di sekolah-sekolah, madrasah, pondok pesantren yang lebih menekankan pada pendekatan yang bersifat material, mencoba memateriilkan keberadaan Tuhan, agama itu jumlahnya banyak dan yang benar adalah agama yang di anut oleh si-A, si-B. Materi-materi yang disampaikan terlalu membebankan peserta didik, sebab pengetahuan-pengetahuan kognitif yang cenderung diberikan, sehingga kurang memperhatikan aspek spiritual yang memadai dan aspek sosial sebagai bentuk dari kesalehan sosial yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik. Dengan demikian pendidikan agama cenderung meninggalkan spirit sosialnya. Wajar saja apabila peserta didik kurang memiliki sensitifitas sosial yang tinggi terhadap fenomena sosial, peristiwa-peristiwa kemanusiaan, bencana alam, dan lain sebagainya.
Pola pendidikan agama seperti itu menurut Abd. A’la menjadikan manusia menjadi “terasing” dengan agamanya, bahkan dengan kehidupan itu sendiri. Mereka mengenal agama sebagai persoalan yang hanya penuh klaim-klaim kebenaran sepihak. Mereka terperangkap pada pemahaman ajaran agama yang bersifat permukaan dan bersifat legal-formalistik yang hanya berkait dengan persoalan halal-haram, iman-kafir, surga-neraka, dan persoalan-persoalan lain yang seumpama dengan itu. Sedang ajaran dasar agama yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, semisal kedamaian dan keadilan, menjadi terbengkalai dan tidak pernah disentuh secara serius. Akibatnya, pesan dan misi agama yang bersifat perrenial terbenam di balik keberagaman eklusif. Teks-teks suci dibaca tiap hari, namun maknanya yang hakiki tidak berwujud dalam kehidupan.[5]
Implikasi pemahaman agama yang meninggalkan aspek nilai-nilai universal, dan tidak secara komprehensip, maka berakibat fatal terhadap sikap keagamaan yang kemudian akan mengganggu keharmonisan kehidupan beragam dan tidak menghargai harkat dan martabat manusia, serta sikap eklusivisme agama yang kental. Terlebih kondisi ini berpengaruh terhadap realitas pendidikan agama yang selama ini berjalan mapan. Kondisi yang sudah mapan bernuansa tidak adanya keseimbangan antara aspek individual dan aspek sosialnya.
Seperti dilema peledakan bom yang disinyalir atas nama jihad, padahal yang sebenarnya gerakan politik atau memiliki kepentingan lainnya yang dilaksanakan melalui aksi teror tersebut. Perjuangan tersebut bukan jihad, tetapi terorisme dan kebrutalan dengan meminjam nama Tuhan. Jihad bukan perjuangan untuk membunuh orang-orang tak berdosa, bukan pula usaha yang menyebabkan penderitaan bagi umat manusia dan menghancurkan peradaban. Dalam konteks agama Islam, al-Qur’an tidak pernah mengajarkan umatnya menggunakan cara kekerasan untuk membangun peradaban.
Penafsiran jihad oleh kelompok fundamentalis sebagai kekerasan yang dilegalkan agama adalah bertentangan dengan konsep jihad yang dikenal dalam Islam. Jihad adalah bekerja keras untuk menegaskan keadilan bagi sesama, seperti memerangi kemiskinan, menolong kaum lemah, dan memberdayakan umat manusia.
Oleh sebab itu, harus ada upaya pencerahan pendidikan agama dalam mendapatkan agama yang benar dan sikap agama yang sensitif dengan nilai-nilai universal agama serta nilai-nilai kemaslahatan umat manusia. Sehingga, cita-cita agama untuk kemaslahatan manusia melalui model pendidikan dapat diraih, atau setidaknya persoalan-persoalan yang mengatasnamakan agama dan agama dicipta menjadi sumber persoalan dalam kehidupan umat dapat diminimalisir.

2.      Upaya Pencerahan Pendidikan Agama

Untuk merekonstruksi praktik pendidikan agama yang telah mapan, tentu membutuhkan telaah secara kritis tentang agama. Telaah ini dimaksudkan supaya peserta didik, guru, orang tua, memahami teks keagamaan serta kenyataan historis yang melatarbelakanginya. Sejarah agama berhubungan erat dengan sejarah umat manusia. Karena selain memiliki sisi teologis yang bersifat ubudiyah agama juga memiliki ajaran-ajaran kemanusiaan dalam konteks soial, politik, masyarakat dan lain sebagainya. Pemahaman yang telah dikemukakan di atas barangkali sedikit telah memberikan gambaran. Yakni agama semestinya digunakan untuk rahmat seluruh alam. Karena itu nilai-nilai universal dalam agama seperti nilai keadilan, kebersamaan, solidaritas sosial, dan lain sebagainya, harus ditekankan dalam pola pendidikan agama sejak dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan prananata sosial yang ada di sekitarnya. Dalam konteks ini rahmatan lil alamin pada dasarnya adalah untuk kemaslahatan umat manusia dengan menghargai hakekat kemanusiaan itu sendiri.
Nurcholis Madjid mengutip QS. 30. 30, bahwa agama itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci. Kecenderungan alami manusia kepada kebenaran merupakan agama yang benar dan kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Keberagaman yang hakiki sebenarnya menekankan proses kemerdekaan terhadap diri manusia. Penyembahan manusia terhadap Tuhan bukanlah dalam pengertian ketidakmampuan manusia sehingga menjadikan dirinya bersikap fatalistik dan pasrah. Penyembahan sesungguhnya yang paling utama dimaksudkan sebagai refleksi dari tuntunan spiritualitas manusia dengan kodrat penciptaannya telah menjadikan dirinya sebagai makhluk spiritual. Ia bukan sekedar homo sapiens, tetapi yang paling penting lagi ia homo religius.[6]
Dalam konteks ke-Indonesiaan, maka yang harus diupayakan adalah bagaimana menciptakan pendidikan agama yang bisa memberikan pencerahan kepada peserta didik, sebab negara kita adalah negara yang beranekaragam agama. Untuk itu, menurut Suhadi (2001), ada beberapa hal yang bisa diusahakan untuk memperbaiki pendidikan agama yang lebih bisa mengiliminir prasangka-prasangka sosial keagamaan. Pertama, bagaimana mencari format penanaman nilai agama di keluarga yang secara bersamaan dengannya tidak menanamkan prasangka-prasangka terhadap agama lain kepada diri anak. Kedua, harus ada perubahan dalam sistem pendidikan agama di sekolah. Sekolah sebagai media belajar dan bermain bagi anak sebenarnya amat efektif memberi ruang kesadaran pluralisme kepada anak. Di sekolah anak diberi ruang yang luas untuk mengenal “yang lain”, sementara transfer nilai dan ajaran normatif keagamaan bisa diberikan di keluarga. Selama ini pendidikan keluarga dan sekolah tumpang tindih. Di sekolah juga diajarkan normativitas keagamaan, padahal waktu yang tersedia juga amat minim (dua jam seminggu) sehingga inipun tidak tuntas.
Ketiga, melihat maraknya berdiri institusi pendidikan anak berbasis agama yang sejak dini menanamkan stereotipe dan membuat anak terasing dari kenyataan lingkungannya yang plural, kiranya amat mendesak didirikan pendidikan-pendidikan alternatif bagi anak yang berparadigma pluralis, semisal di tingkat play group, taman kanak-kanak (TK), dan SD. Upaya-upaya ini semua dilakukan untuk investasi ke depan melihat pengalaman generasi bangsa ini yang pada tahun-tahun belakangan dipicu konflik keagamaan.
Selanjutnya, dalam menyikapi pertentangan antara sekularisasi, di mana dalam tataran global, sekularisme merupakan pola yang efektif untuk menjamin tidak adanya dominasi suatu agama terhadap penganut agama lain secara sewenang-wenang sehingga “minoritas” harus di taklukkan atau dijadikan penganut “agama mayoritas”. Sebab bila rezim global yang mengandalkan kekuasaan atas agama tertentu kemudian ingin membantai habis umat manusia agama lain dengan mengandalkan kekuatan fisik, politik, militer ekonomi finansial dan sebagainya, maka dunia yang realitasnya plural ini pasti akan memberikan reaksi yang tidak nyaman bagi rezim ambisius “pembajak Tuhan”.[7] Oleh karena itu, dalam menyikapi permasalahan sekularisasi dan permasalahan global yang  terjadi saat ini, upaya-upaya pemikiran ke arah perbaikan pendidikan agama harus dilakukan, supaya pendidikan agama menjadi lebih peka terhadap persoalan-persoalan global, seperti kemiskinan, bencana alam, terorisme, narkoba, HAM, dan lain sebagainya. Serta berbagai ancaman umat manusia atas adanya krisis kepercayaan terhadap agama.
UU Sistem Pendidikan Nasional telah memberikan batasan-batasan secara jelas berhubungan dengan hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan ajaran yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Muncul kekhawatiran dengan pembelajaran seperti ini kalau pendidik tidak memiliki wawasan yang pluralis maka ekstrimisme agama tertentu akan menonjol. Dalam hal ini fungsi pendidikan keagamaan yang diberikan dalam setiap satuan dan jenis pendidikan harus diorientasikan pada mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami  dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi agamawan, yakni seorang yang menebarkan benih dan buah manis agama dalam kehidupan umat manusia.
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam mengupayakan pendidikan agama ke depan yang mencakup segala komponen yang ada, sehingga kondisi sinergis dan harmonis dalam bingkai antar umat beragama dapat berjalan dengan baik. Diantaranya ialah: pertama, aspek materi pelajaran (bahan pelajaran) atau yang lebih umum lagi adalah desain kurikulum yang ada. Materi pelajaran untuk pendidikan agama barangkali diperlukan keseimbangan antara aspek vertikal yang bersifat ilahiyyah dan aspek horizontal yang bersifat insaniyah. Materi yang menekankan pada penanaman dan upaya untuk meningkatkan ketaqwaan peserta didik menjadi bahan yang penting, berdasarkan pada teks-teks agama yang ada. Sedangkan, materi-materi yang bersifat pengalaman, peristiwa atau kejadian-kejadian yang ada di sekitar peserta didik perlu dikaji menjadi pokok bahasan dalam pembelajaran. Materi ini dimaksud memberikan pengkayaan pemahaman peserta didik supaya memiliki kesadaran ilahiyyah dan kesadaran insaniyyah serta memiliki sensitifitas sosial yang tinggi dan menjadi problem solving atas persoalan yang ada.
Kedua, terkait erat dengan lingkungan belajar. Baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah/madrasah, pondok pesantren, asrama, dan lingkungan sekitar, diciptakan kondisi yang menghargai keberagamaan dan bersikap toleran terhadap antar pemeluk agama, dan intra agama masing-masing. Sehingga adanya kesadaran pluralitas agama yang bersifat religiusitas yang mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai agama sebagi ruh agama itu sendiri. Maka komponen belajar memahami kemajemukan, pluralis, rasa hormat menghormati, dan lain sebagainya.
Ketiga, komitmen pendidik dan peserta didik, Kontroversi pasal agama dalam RUU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 yang kemudian menjadi UU, barangkali menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat kita. Pasal 12 ayat 1 (a), yang berbunyi ”setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, serta diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Muncul banyak kekawatiran baik persoalan adanya doktrinasi atas agama yang dianut peserta didik oleh pendidiknya bahkan persiapan sekolah yang harus menyediakan pendidik agama Islam bagi peserta didik yang beragama Islam, pendidik katolik bagi siswa yang beragama katholik, dan seterusnya. Dengan demikian, hal ini mengharuskan pihak sekolah merekrut ratusan pendidik sesuai dengan kebutuhan. UU tersebut sudah menjadi pegangan dalam penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah.
Maka di sini komitmen pendidik dan peserta didik dalam membina kondisi plural (keberagaman), menghargai agama yang dianut oleh peserta didik menjadi niscaya. Baik dalam berfikir atau berpendapat, sikap dalam lingkungan sekolah, dan menciptakan kondisi yang religius serta memanifestasikan nilai-nilai agama dalam lingkungan sekolah.[8]

3.      Menuju Pendidikan Agama yang Mencerahkan

a.      Pendidikan Agama untuk Rahmatan lil alamin

Sebagaimana halnya al-Qur’an, kitab-kitab suci agama lain juga memiliki dimensi kemanusiaan. Tanpa keterlibatan dan interaksi manusia dengan teks-teks keagamaan tersebut, pesan-pesannya tidak akan dimengerti, dicerna, dihayati, apalagi diamalkan. Namun, karena tingkat inteletualitas dan kedalaman spiritualitas manusia berbeda, dengan sendirinya kadar pemahaman dari hasil interaksi tersebut berbeda pula.[9] Pendidikan agama yang mencerahkan ini diharapkan mampu menyingkap dimensi eklusivisme yang tinggi menuju dimensi yang inklusif yang proporsional, meninggalkan kehidupan yang penuh dengan prasangka dengan agama lain menuju kondisi kebersamaan yang berdasarkan pada sikap toleransi dan saling menghormati antar pemeluk agama masing-masing, menciptakan nuansa keseimbangan antara kehidupan spiritual yang bersifat vertikal dengan kehidupan sosial yang bersifat kemanusiaan.

Sikap ini didasari atas semangat agama sebagai ruh dalam menciptakan perdamaian dunia, nilai agama untuk kehidupan umat manusia yang maslahat, spirit agama dalam menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Kehidupan umat beragama tidak terlepas dari konteks sistem sosial yang ada, baik politik, negara, lembaga sosial, dan lainnya.

Menurut Dr. Alwi Shihab, walaupun tradisi penggunaan kekerasan dalam bentuk perang merupakan sarana ampuh untuk membangun suatu bangsa dalam sejarah peradaban manusia, namun sejarah membuktikan pula bahwa tidak satupun agama yang meligitimasi apalagi menganjurkan kekerasan. Sebagaimana agama Kristen, Islam juga tampil sebagai gerakan reformasi, bukan agama ekspansionis.[10] Maka perlu adanya pemahaman agama masing-masing baik secara teks maupun konteksnya. Meminjam istilah yang digunakan Prof. Amin Abdullah, maka perlu memahami agama dari sisi normativitas dan historisitasnya. Inilah kemudian yang disebut dengan pendidikan agama memberikan pencerahan bagi umat manusia dan realitas kehidupan yang melingkupinya (rahmatan lil alamin).

Pencerahan ini dapat diperoleh apabila sensitivitas sosial dalam praktek pendidikan agama terhadap realitas kehidupan manusia telah dirasakan, misalnya adanya kemiskinan yang merajalela, kekerasan sosial, terorisme yang meresahkan, bencana alam, maka proses ini juga sangat ditentukan dengan kondisi kesejahteraan, kenyamanan, dan keadilan seluruh umat manusia.

b.      Pendidikan Agama Untuk Kebersamaan dan Toleransi
Dalam sebuah diskusi yang bertema “tantangan pendidikan multikultural” di Universitas Atmajaya Yogyakarta (2/04/2005) Bambang Prihandoko (salah seorang narasumber) memberikan pemikiran yang cukup relevan, bahwa kondisi masyarakat Indonesia yang kental dengan pluralitasnya maka dibutuhkan pendidikan alternatif. Maka pendidikan multikultural yang coba di kembangkan di Indonesia tidak bisa dilepas dari masyarakat yang penuh prasangka sosial antar kelas, golongan, agama, dan suku. Berbagai pengalaman kekerasan sosial dan politik di masa lalu dapat menjadi bahan refleksi untuk menciptakan masyarakat yang terbuka, dan saling menghargai di antara berbagai kelas sosial, suku, golongan, dan termasuk agama. Pendidikan model ini akan memiliki akar sejarah sebagai proses dekolonialisasi dan pembentukan masyarakat yang demokratis.
Tujuan dari strategi pengembangan pendidikan ini ialah penciptaan dekolonisasi melalui pengembangan sistem sosial. Peran penciptaan komunikasi itu sering dengan gerakan masyarakat si perubah diri, perubahan sekolah dan perubahan sistem sekolah dan perubahan masyarakat. Maka proses transformasi atau perubahan diri adalah proses perubahan diri para pendidik dan siswa. Pengalaman dalam proses belajar akan membawa pada pengeliminasian prasangka dan menuju pada konstruksi komunikasi interkultural secara subyektif. Dengan demikian, pendidikan agama ke depan diharapkan mengarah pada sikap kebersamaan dan toleransi dengan berpegang pada prinsip pluralisme.[11]
Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dapat dijumpai di mana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat kita bekerja, di sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar di mana kita berbelanja. Tapi seseorang dapat menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama dituntut bukan saja mengikuti keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan.[12] Sikap tersebut menjadi sesuatu yang mendasar bagi peserta didik sebagai garda depan dalam melakukan transformasi atau perubahan dalam membangun sebuah peradaban baru yang lebih baik.
c.       Pendidikan Agama Untuk Mengawal Aspek Moralitas
Sejalan dengan pemikiran Prof. Dr. Said Agil, krisis moneter dan diikuti krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia, boleh jadi berpangkal pada krisis akhlak. Banyak kalangan menyatakan persoalan bangsa tersebut akibat merosotnya moral bangsa dengan mewabahnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, semenjak awal reformasi, tuntutan untuk melakukan reformasi secara menyeluruh harus menyentuh pada aspek yang berkaitan dengan bidang akhlak. Sebab akhlak yang buruk serta rendahnya kualitas keimanan dan ketaqwaan masyarakat bangsa Indonesia merupakan faktor utama tumbuhnya suburnya praktek-praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme. Tidak hanya itu, bahkan dimungkinkan berkembangnya kecenderungan sadisme, kriminalitas serta merebaknya pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah masyarakat.[13]
Kehidupan masyarakat global secara tidak langsung menciptakan batas-batas moralitas kehidupan semakin tipis. Semisal agama yang sejak awal dijadikan sebagai pegangan hidup umat manusia dengan segala prinsip-prinsip kehidupan yang berupa pola tingkah laku di masyarakat, tradisi menghargai orang lain dengan cara berpakaian, sikap saling tolong menolong sesama, menghargai perbedaan, dan lainnya, saat ini terasa terasing. Karena semakin menguatnya tradisi dan pola hidup global yang selalu berubah dengan perkembangan mode secara pelan-pelan telah menciderai aspek moralitas manusia. Oleh karena itu, reformasi akhlak jilid kedua perlu diwacanakan dalam upaya menciptakan kondisi moral bangsa sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama yang ada. Di antara strategi untuk membangunnya adalah pendidikan agama perlu ditegaskan kembali akan tanggung jawabnya dalam mengawal aspek moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan kultur bangsa yang ada.
Hal ini sesuai dengan pelaksanaan pendidikan nasional yang dalam prinsip penyelenggaraannya harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.[14] Untuk mewujudkan prinsip ini maka dibutuhkan bingkai yakni aspek moralitas yang harus dipahami, dimengerti, diamalkan oleh seluruh komponen penyelenggara pendidikan (pendidikan agama), baik pemerintah (pusat), pemerintah daerah, orang tua, pendidik, peserta didik, tokoh agama, tokoh adat, dan masyarakat luas.

d.      Pendidikan Agama Spirit Dalam Dinamika Keilmuan

Perkembangan dan dinamika keilmuan manusia tidak terlepas dari perkembangan situasi perkembangan zaman yang ada. Kenyataan masyarakat yang selalu berubah tidak dapat dipungkiri lagi, seiring pemikiran manusia yang dinamis. Semangat keilmuan dalam pendidikan agama harus senantiasa merespon perkembangan global. Sehingga pendidikan agama bukan semata aspek moralitas, sikap toleransi dan kebersamaan, tujuan jangka panjang rahmatan lil alamin, namun kesemuanya itu perlu proses pengawalan terhadap semangat keilmuan yang akan dibangun di masa mendatang dengan bertitik pangkal pada spirit agama, etos kerja keilmuan yang telah diajarkan dalam setiap agama.
Pengalaman Prof. Suyanto dan Djihad Hisyam, M.Pd., dalam menggunakan strategi Values clarification yang berprinsip pada keyakinan dan nilai-nilai agama, karena melihat baik secara kelompok mahasiswa atau secara individual memiliki persoalan rendahnya menggali keilmuan, disebabkan rendahnya etos belajar, rendahnya etos kerja, dan minimnya tanggung jawab, ternyata mendapatkan hasil yang menakjubkan. Sebagaimana yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul “Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III” Ternyata, mahasiswa mampu mengungkapkan prinsip yang bagus dalam mengembangkan etos belajar dan etos kerja yang dimilikinya.[15]
Bagi yang beragama Islam mereka menampilkan beberapa ayat al-Qur’an semisal surat Al-Mujadalah ayat 11, yang artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu denagan beberapa derajat.” Surat Ar-Rahman ayat 33, yang artinya: “hai sekalian jin dan manusia, jika kamu kuasa menembus dari jurusan-jurusan langit dan bumi (ruang angkasa) maka tembuslah. Tetapi kamu tidak dapat menembus melainkan dengan kekuatan.” Kekuatan di sini ditasfirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mereka yang beragama Protestan mengemukakan banyak sekali ayat-ayat kitab suci mereka berkaitan dengan ilmu dan etos kerja. Beberapa ayat itu antara lain: “Buanglah kebodohan maka kamu akan hidup dan ikutlah  jalan pengertian”(Amsal 9:6); “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak, biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim padas dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring. Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu. “Jadilah orang kristen dilarang malasan” (Amsal 6:6-9). Nilai-nilai dan ajaran agama tersebut dalam agama lain juga diajarkan seperti Katholik dan lainnya.
Ternyata dalam agama mengandung nilai-nilai yang menggugah semangat untuk menggali keilmuan secara mendalam. Dengan demikian, pendidikan agama diharapkan mampu menggali nilai-niali tersebut sehingga pendidikan agama dapat memberikan pencerahan keilmuan, sehingga perkembangan global ini dapat dijadikan asumsi dasar dalam mengembangkan keilmuan supaya pendidikan agama tidak mandek atau selalu responsif dengan perkembangan. Saya rasa universalitas dalam spirit keilmuan setiap agama dapat didialogkan menuju perkembangan keilmuan yang inklusif.
Demikian uraian terkait dengan upaya transformasi pendidikan dalam kontek membangun pendidikan agama yang mencerahkan dalam konteks global. Sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang pluralistik dan multikultur ini maka pendidikan agama sangat relevan kiranya diciptakan sebagai bagian dari proses pencerahan umat manusia, seiring dengan kehidupan global yang sarat dengan tantangan yang ada. Maka dari itu pemahaman kembali akan adanya pluralisme agama dalam konteks ke-Indonesiaan merupakan bagian mendasar dalam memberikan pendidikan agama yang mencerahkan untuk peserta didik.
Pemahaman yang kurang tepat tentang agama akan menciptakan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, wajar saja apabila terjadi politisasi agama, agama menjadi kedok aksi terorisme, berkurangnya batas-batas moralitas manusia, dan lainnya. Maka menjadi relevan apabila pendidikan agama dalam konteks global ini perlu dikuatkan kembali dalam membangun peradaban umat manusia yang berdasarkan pada nilai-nilai agama yang ada, sehingga kemaslahatan, keharmonisan, sikap toleransi dapat dirasakan bersama.
Oleh karena itu, diperlukan pencerahan proses pendidikan agama itu sendiri, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat sehingga prasangka-prasangka buruk terhadap kelompok lain dan tindakan kekerasan atas nama agama sedikit dapat diminimalisir. Dengan demikian, proses pendidikan ini diharapkan akan menegaskan kembali bahwa agama adalah untuk rahmatan lil alamin, pendidikan agama untuk kebersamaan dan toleransi, pendidikan agama untuk mengawal moralitas umat manusia, dan pendidikan agama dijadikan spirit menggali dan proses dinamika keilmuan sesuai dengan perkembangan zaman yang sedang terjadi. Melalui upaya ini semoga kondisi umat manusia dalam kehidupan global ini dapat berjalan secara humanis dan harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
UU Nomor 1 Tahun 2002, Tentang: Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal. 7, CV. Mini Jaya Abadi, Jakarta.
Abd A’la, “Pendidikan Agama yang Mencerahkan”, Kompas, 22 April 2002.
Wijdan, Aden. “Pendidikan Agama dan RUU Sisdiknas”, Jawa Pos, 04/04/2003.
Darmaningtyas, dkk., 2004, Membongkar Ideologi Pendidikan; Jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Resolusi Press & Arrus, Yogyakarta.
Shihab, Alwi. 1999, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan, Bandung
Agil Husin Al Munawar, Said. 2005, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat Press, Ciputat.
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Pasal 4. Bandung: Citra Umbara, 2003
Suyanto dan DjihanHisyam,  2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium II Adicita Karya Nusa, Yogyakarta


[1] UU Nomor 1 Tahun 2002, Tentang: Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal. 7 (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi, 2002), hal. 10.

[2] Ahmad Syafi’i Ma’arif (Mantan Ketua PP Muhamadiyah) memberikan argumentasi yang menarik untuk dikemukakan, terkait dengan persoalan peledakan bom oleh para teroris. Beliau mengemukakan bahwa membunuh orang tak berdosa adalah ajaran setan yang biadab. Itu tidak pernah  ada dalam tuntunan agama manapun. Tidak pula bisa dibenarkan, teror mengatasnamakan agama dan Tuhan. Dalam kacamata intelektualnya terorisme dipandang sebagai tindakan kriminal murni, tidak ada sangkut pautnya dengan apa pun. Bahkan kalaupun pelaku peledakan bom mengaku beragama sebenarnya mereka melecehkan agama karena tindakannya menciderai rasa kemanusiaan. Fundamentalisme agama yang sering dijadikan pembenaran bagi kelompok-kelompok yang beranggotakan anak-anak muda yang berani mati, dinilai sebagai sebuah gerakan politik yang didasari kepentingan parsial. Misalnya, merebut kekuasaan, pemberontakan, sabotase, atau sekadar membuat kekacauan dengan mencari pembenaran agama. Konsep fundamentalisme awalnya merupakan gerakan kaum Kristen  di Amerika yang ingin kembali pada dasar-dasar agama. Lalu konsep itu diadopsi kelompok-kelompok yang mengakui Islam. Sebenarnya, kelompok ini adalah orang-orang yang telah putus asa melawan arus modernisasi dan perkembangan zaman. Mereka tak bisa lagi berfikir sehat dengan rasio dan mempertimbangkan naluri kemanusiaan. Kelompok itu telah terindoktrinasi oleh gagasan untuk menempuh jalan pintas melawan modernisasi dan peradaban melalui kekerasan. Mereka menafsirkan kitab suci sesuai kepentingan mereka sebagai pembelaan dalam menjalankan misi merusak tatanan kehidupan. “Mereka menafsirkan agama untuk kepentingan kelompok. Mereka adalah anak-anak muda yang berani mati, tetapi tidak berani hidup”. Lihat, juga, Kompas, 8/10/2005.
[3] “Sejumlah Pondok Pesantren di DIY Akan diperiksa; Bagian dari Pelacakan Jaringan Noordin M Top”, Kompas 19/11/2005.
[4] Polisi Akan Memeriksa Pondokan di Yogyakarta” Kompas 16 November 2005., “Polisi Mulai Periksa Pondokan”, Kompas 23/112005.
[5] Abd A’la, “Pendidikan Agama yang Mencerahkan”, Kompas, 22 April 2002.
[6] Aden Wijdan, “Pendidikan Agama dan RUU Sisdiknas”, Jawa Pos, 04/04/2003.
[7] Darmaningtyas, dkk., Membongkar Ideologi Pendidikan; Jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Resolusi Press & Arrus, 2004), hal 109.
[8] Kiranya dalam membangun kesatuan pemahaman tentang pendidikan agama yang berwawasan masa depan (pluralis-multikultural), perlu adanya proses pembinaan dan pelatihan-pelatihan yang intensif baik pemerintah, LSM, maupun organisasi kemasyarakatan. Mengutip intisari kegiatan belajar bersama Islam transformatif dan toleran IX, yang diselenggarakan oleh LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) Yogyakarta, tahun 2005. Bahwa kegiatan tersebut diharapkan akan membongkar sekaligus memperbaharui konsep berfikir para pendidik ke arah keterbukaan pada wacana Multikulturalisme. Kegiatan tersebut diharapkan pula dapat menelurkan rekomendasi baru, yaitu wacana multikulturalisme masuk dalam kurikulum pendidikan berbasis Islam. forum ini memang untuk memperkenalkan wacana multikulturalisme, dan harapannya adalah wacana ini bisa masuk dan berkembang dalam pemikiran dan kebijakan mengenai pendidikan.
[9] Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999), hal. 61.
[10] Ibid., hal. 282.
[11] Menurut Prof. Dr. H. Said Agil Husin al-Munawar, dunia saat ini adalah dunia pluralistik dengan pengaruh globalisasi yang telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Kehidupan umat beragama di dunia yang transparan ini harus mempunyai visi yang tepat tentang agama mereka dan komunitas lainnya dengan kesadaran positif dengan adanya perbedaan. Suasana inilah yang dibutuhkan pendidikan yang bersifat terbuka dan akomodatif terhadap semua pluralisme beragama itu. Karena diakui bahwa secara umum pendidikan itu dapat dijadikan sebagai bentuk transformasi nilai-nilai yang mempengaruhi tingkah laku seseorang dan berpengaruh pula pada kemajuan suatu bangsa. Lihat, Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hal. 122.
[12] Alwi Shihab, Islam Inklusif…, hal. 41.
[13] Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hal. 25.
[14] UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Pasal 4 (Bandung: Citra Umbara, 2003), hal. 7.
[15] Suyanto dan DjihanHisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium II (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hal. 158.