A.
Pendahuluan
Seringkali ada perasaan takut dan
khawatir ketika pemikiran alternatif itu dimunculkan. Pemikiran alternatif ini
muncul sebenarnya diikuti dengan perasaan yang sama juga, terlebih jika kita
sebagai penyelenggara pendidikan; kepala sekolah, guru, karyawan, dan lain
sebagainya, takut gagal atau khawatir dipecat. Kita belum bisa menerima
sepenuhnya pemikiran-pemikiran yang inovatif karena itu akan dianggap menentang
yang sudah ada. Tugas transformasi ini memang berat, ibaratnya kita sedang
berenang melawan arus. Namun pemikiran alternatif ini akan menjadi kenyataan
apabila kita menjadikan sebagai ideologi besar yang kemudian mampu melawan
ideologi dominan yang selama ini mendominasi dunia pendidikan kita. Pendidikan
transformatif yang meniscayakan emansipatif tentu akan menggeser kekuatan
ideologi pendidikan yang hanya sekedar pengalihan ilmu pengetahuan.
Pendidikan
transformatif di sini menjadi penting karena melihat adanya tantangan yang kuat
dalam era globalisasi saat ini. Salah satunya adalah transformasi nilai yang
besar-besaran yang menciptakan konsekuensi logis munculnya budaya-budaya baru
dan penguatan etos kerja sumber daya manusia (SDM) kita. Kalau pendidikan masih
mengandalkan pada aspek kognitif semata, maka dunia pendidikan kita tentu akan
ketinggalan jauh dengan bangsa-bangsa lain. Secara makro, era global adalah
tantangan untuk merebut kompetensi SDM antar bangsa. Peluang pendidikan yang
disebut terakhir adalah berlaku bagi penyelenggara pendidikan yang menyiapkan
SDM untuk membangun kualitas bangsa. Kualitas bangsa dibangun dari kualitas
individu, yang memiliki tanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap
masyarakatnya, menghayati jati diri bangsa dan tanah airnya.
Tugas
utama bagi penyelenggara pendidikan adalah menyusun perencanaan pendidikan yang
diatur dalam sistem perundang-undangan pendidikan sehingga penerapan dari
sistem perundang-undangan itu dapat digunakan para pelaksana atau oleh para
pelaku pendidikan, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai. Tetapi apakah
penyelenggara pendidikan memahami akan adanya peluang ini. Jawabannya sangat
tergantung, pada kemampuan memberdayakan potensi masyarakat profesional
pendidikan untuk menyusun format dari sistem pendidikan itu.
Pendidikan
transformatif pada dasarnya adalah model pendidikan yang bersifat kooperatif
terhadap segenap kemampuan anak didik menuju proses berfikir yang lebih bebas
dan kreatif. Model pendidikan ini menghargai potensi yang ada pada setiap
individu. Artinya potensi-potensi individual itu tidak dimatikan dengan
berbagai bentuk penyeragaman dan sanksi-sanksi, tapi dibiarkan tumbuh dan
berkembang secara wajar dan manusiawi. Pendidikan transformatif menjelaskan
adanya relasi sosial yang timpang, menindas, mendominasi, dan mengeksploitasi.
Relasi-relasi itu perlu diubah agar menjadi setara, saling menghargai, dan
memiliki peran yang tidak diskriminatif dan memanusiakan.
Ada
beberapa prinsip umum sebagai upaya reorientasi pemikiran pendidikan
transformatif dalam konteks masyarakat global saat ini, diantaranya;
1. Tumbuhnya
Kesadaran kritis peserta didik
2. Berwawasan
futuristik (masa depan)
3. Pentingnya
skill/keterampilan
4. Orientasi
pada nilai-nilai humanis
5. Adanya
jaminan kualitas
B. Pembahasan
1.
Tumbuhnya Kesadaran kritis
peserta didik
Apabila
pendidikan kita menghasilkan manusia yang memiliki kesadaran kritis, maka
perubahan sosial di masyarakat tentu akan berjalan dengan cepat. Tetapi,
betulkah pendidikan kita sudah mengarah pada pemikiran tersebut? Penyusun
merasa yakin bahwa pertanyaan ini akan mengusik kesadaran naif bahkan magis
yang telah kita bangun sebelumnya. Realitanya ternyata dunia pendidikan masih
didominasi pada proses pengalihan ilmu pengetahuan semata, dengan menghasilkan
produk manusia mekanik yang tidak memiliki kesadaran kritis terhadap kondisi
riil yang terjadi di masyarakat, dan terkait dengan fitrah manusia sebagai
makhluk yang merdeka. Kesadaran Kritis ialah
kesadaran yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih
menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan
budaya dan bagaimana kaitan tersebut berakibat pada keadaan masyarakat.
paradigma kritis dalam teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat
untuk mampu mengidentifikasi ”ketidakadilan” dalam sistem dan struktur yang
ada, kemudian mampu menganalisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja,
serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma
kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat terlibat dalam
suatu proses dialog “penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih
baik atau lebih adil”. Dalam kerangka pendidikan transformatif kesadaran ini
sangat penting untuk ditumbuhkan dalam setiap peserta didik sebagai aktor
perubahan sosial.
Sebagai
konsekuensi logis, proses pendidikan dalam konteks transformasi ini harus
diorientasikan pada pola-pola pendidikan kritis. Pengertian pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran,
faham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan. Perdebatan mengenai
peran pendidikan di lingkungan teoritisi dan praktisi yang menurut paham dan
tradisi dari pemikiran kritis terhadap sistem kapitalisme dan dari tradisi
pemikiran mereka yang mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju
masyarakat yang adil dan demokratis, suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan
penindasan, yakni seperti para penganut aliran gerakan sosial untuk keadilan
maupun golongan penganut paham dan teori kritik lainnya. Ada pijakan dasar
tradisi pendidikan kritis yakni pemikiran dan paradigma kritik ideologi
terhadap sistem dan struktur sosial, ekonomi dan politik yang tidak adil.
Dengan demikian pendidikan dalam perspektif paham ini merupakan media untuk
resistensi dan aksi sosial.
Maka pendidikan kritis merupakan proses perjuangan
politik. Ketidakadilan kelas, diskriminasi gender, serta bagaimana bentuk
ketidakadilan sosial lainnya seperti hegemoni kultural; dan politik serta
dominasi melalui diskursus pengetahuan yang merasuk di dalam masyarakat, akan
terefleksi dalam proses pendidikan, dan harus menjadi cermin kondisi sosial
dalam dunia pendidikan.
Dalam perspektif kritis, proses pendidikan merupakan
proses refleksi dan aksi (praksis) terhadap seluruh tatanan dan relasi sosial
dari sistem dan struktur sosial dan bagaimana perannya, cara kerjanya dalam
menyumbangkan ketidakadilan dan ketidakseteraan sosial. Karena tugas utama
pendidikan dalam menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan
struktur yang diskriminatif terhadap kaum tertindas dan kaum yang tersingkirkan
seperti kaum miskin, kaum buruh, para penyandang cacat atau mereka yang
memiliki kemampuan berbeda, kaum perempuan, anak-anak, serta bagaimana
melakukan proses dekonstruksi dan berbagai aksi praktis maupun strategis menuju
sistem sosial yang sensistif dan non diskriminatif.
Tujuan pendidikan bukan menyetor pengetahuan
(apalagi mendapat gelar tertentu). Tetapi memecahkan masalah-masalah nyata.
Oleh karena itu PMMS (pendidikan yang menonjolkan masalah sosial) tidak hanya
memulai dengan asumsi tentang kemampuan murid-murid, tetapi juga dengan
kesadaran bahwa mereka berada dalam dunia yang bermasalah. Selanjutnya dalam
konteks pendidikan kritis peserta didik dibimbing supaya struktur sosial,
ekonomi, budaya, agama dan politik tidak diterima begitu saja tetapi justru
dipersoalkan, pendidikan menolong peserta didik mengkritik kenyataan struktural
yang tidak adil. Perlu dipahami bahwa pendidikan kritis itu merupakan revolusi
teori dan praktik dalam pendidikan.
Sehingga di sini dikemukakan beberapa ciri-ciri umum
pendidikan kritis, diantaranya;
a.
Adanya
Dialog
Berdasarkan pada pemikiran para tokoh pendidikan
kritis, dialog merupakan prinsip utama dalam pendidikan kritis. Tanpa berdialog
manusia tidak dapat mewujudkan dirinya. Manusia tidak dapat beremansipasi baik
terhadap dirinya sendiri maupun dengan orang lain serta terhadap dunia yang
luas. Pendidikan pembebasan hanya dapat terwujud apabila terjadi dialog dengan
dirinya sendiri melalui proses penyadaran atau konsientisia. Kemampuan
berdialog menuntut kemampuan pemahaman dan tindakan melalui kritisisme terhadap
realitas. Realitas yang dihadapi dan yang dipahami adalah realitas yang
membutuhkan transformasi.
Semua hal tersebut, yaitu memahami
kemungkinan-kemungkinan dan hambatan yang ada di dalam lingkungan, maka segala
ketidakadilan yang menghambat emansipasi individu tidak dapat diketahui.
Seperti yang telah dijelaskan, teori tindakan revolusioner bersumber dari
lahirnya kesadaran. Inilah fungsi pemberdayaan yang terkenal itu (empowerment).
Dialog dengan realitas akan menghasilkan sikap kritis manusia atau peserta
didik (siswa atau mahasiswa), apabila sudah diperolehnya kesadaran kritis dalam
dirinya. Sehingga mampu membaca dan menganalisis dengan kesadaran kritis.
b. Kontruksi Sosial sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan.
Ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar didapatkan dari tempat belajar yang terbatas atau ruang sekolah, yang berukuran sempit semata. Melainkan bangunan sistem sosial yang beraneka ragam (plural), multi karakter, multi etnis dan lain sebagainya. Manusia dilahirkan memiliki sejarah yang berbeda-beda, mulai sejak proses dan kandungan, semasa dalam kandungan, hingga lahir, mereka memiliki posisi sosial yang berbeda-beda. Di sinilah letak sesungguhnya sumber ilmu pengetahuan.
Contohnya, seorang siswa yang berbeda-beda tempat tinggalnya, ada yang jauh dan ada juga yang dekat, di samping itu, pada siswa yang berdomisili beraneka ragam tersebut ketika berangkat ke tempat belajar tertentu akan membawa pengalaman-pengalaman yang berbeda. Adanya hubungan sinergis tukar pengalaman sesama, maka pengetahuan akan didapat oleh siapa pun. Ilmu pengetahuan tidaklah terbatas pada ruang yang sempit, seperti ruang perpustakaan, ruang kelas. Realitas ini menjadi penting untuk dikenalkan kepada peserta didik karena sesungguhnya apa yang terjadi di dalam kelas belajar justru sangat bertentangan dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat. Neil Postman, penulis buku The End of Education; Redenifing The Value of School (Vintage Books, NewYork, 1995) dalam memberikan pengantar bukunya, ia menyadari bahwa pendidikan adalah suatu yang tidak sama dengan pendidikan yang diterima di sekolah. Pada kenyataannya pendidikan kita tidak banyak berlangsung si sekolah. Pendidikan yang di sekolah mungkin menjadi suatu aktivitas yang subversif atau konservatif, di mana sekolah memang bisa menjadi sesuatu yang membatasi. Sekolah menjadi awalan yang terlambat dan akhir yang terlalu dini.
Di antara masa-masa sekolah, proses pendidikan akan berhenti selama masa liburan. Serta sangat bermurah hati untuk memaklumi kita manakala kita sakit, sekolah memang cukup terbatas dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat praktis dan teknis, sedangkan apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan emansipatoris kurang diperhatikan. Jenis pengetahuan emansipatoris merupakan jembatan antara ilmu pengetahuan teknis dengan praktis. Ilmu pengetahuan emansipatoris membantu manusia untuk mengetahui mengenai hubungan-hubungan sosial (social relationship), misalnya manipulasi terhadap hubungan-hubungan kekuasaan dan hak-hak istimewa dari suatu golongan. Demikian pula jenis pengetahuan akan membawa pengertian hal-hal yang irasional, dominasi kelas, dan penindasan, sehingga dapat mengetahui bagaimana mengatasinya. Dengan singkat, jenis pengetahuan emansipatoris merupakan dasar dari keadilan sosial, persamaan dan pemberdayaan.
c. Pendidikan dan Perjuangan Politik.
Ada anggapan bahwa pendidikan tidak memiliki sasaran puncak atau tujuan tertinggi selain tujuan pendidikan itu sendiri, yakni memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik, sehingga ia dapat mengembangkan dan menyesuaikan kehidupan dirinya baik secara pribadi, dalam masyarakat, warga negara bahkan sebagai anggota manusia. Dalam perspektif pendidikan kritis, yang bermula dari tradisi kritis bahwa pendidikan sebagai jalan menuju pencapaian tujuan yang terletak di luar proses pendidikan itu sendiri. Bagi Aristoteles; pendidikan adalah untuk membantu mencapai kehidupan yang lebih baik, kebahagiaan, keadaan yang final. Bukan hanya pendidikan yang menjadi penopang upaya mencapai tujuan itu. Aristoteles mencanangkan tujuan yang sama bagi kegiatan-kegiatan lain yang bersifat politis. Anggapan bahwa pendidikan adalah cara atau alat menyebabkan diaturnya unsur-unsur pendidikan mengikuti arus zaman dan tempat, seperti kini pendidikan dianggap sebagai cara mencapai penyesuaian sosial, mencapai profesi yang memadai, atau mencapai kepemimpinan dalam masyarakat.
Pendidikan merupakan media untuk melakukan transformasi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, demokrasi dalam memperjuangkan sistem sosial yang tidak adil, tidak humanis, dan sistem yang bertentangan jauh dengan nilai-nilai demokrasi. Bagaimana pendidikan mampu dijadikan garda depan memperjuangkan sistem sosial yang mapan sekarang. Peran hegemoni negara terhadap berbagai aspek kehidupan manusia merupakan sasaran perjuangan bagi pendidikan kritis. Dalam aspek yang kecil praktik pendidikan yang sedang berjalan tidaklah terlepas dari kepentingan-kepentingan politik yang tidak akomodatif dan emansipatoris. Pendidikan sendiri diorientasikan secara teknis dan praktis dalam mempersiapkan lulusannya demi kepentingan politik pasar. Tuntutan steakeholders (masyarakat), tuntutan profesional, dan semacamnya menandaskan bahwa selama ini pendidikan semata-mata diorientasikan pada persoalan yang pragmatis dan materiil.
Nasib pendidikan bagi rakyat miskin yang semakin terpuruk, bukanlah kehendak mereka, melainkan korban sistem yang telah merampas hak-hak politik mereka secara kurang wajar. Amanat UU Sisdiknas 2003 pasal 4, poin (1), mengemukakan; bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Dengan demikian, sistem pendidikan akan berjalan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, humanisme, dengan menghargai hak-hak politik masyarakat yang beranekaragam, karena memperoleh pendidikan yang bermutu adalah hak bagi warga negara, meskipun mereka berada di daerah terpencil atau terbelakang sekalipun.
d. Pendidikan untuk Pembebasan.
Upaya pendidikan yang diselengarakan harus berprinsip pada pendidikan sebagai media melakukan pembebasan, membebaskan kelompok masyarakat yang selama ini tertindas atau membebaskan kelompok masyarakat yang menindas sekalipun. Manusia adalah bebas dan tidak ada pihak lain pun yang bisa menghalangi kebebasan mereka untuk berekspresi, aktualisasi, menyalurkan pendapat dan sejenisnya. Membebaskan masyarakat sekitar yang tengah dibelenggu oleh sistem sosial yang hegemonik yang mengakibatkan kreatifitas dan sikap kritis mereka terancam. Baik secara internal dunia pendidikan sendiri maupun dalam konteks melakukan transformasi di masyarakat. contohnya, dalam praktik pendidikan masih adanya kesan bahwa guru selalu saja menganggap yang paling hebat, gudangnya ilmu pengetahuan, dan segala-galanya sedangkan siswa dianggap individu yang harus selalu belajar dan memiliki pengalaman yang minim.
Kondisi demikian menjadi masalah tersendiri bagi dunia pendidikan. Membebaskan peserta didik sebagai kelompok tertindas dan guru sebagai penindas, bukanlah pekerjaan yang gampang. Rekonstruksi pola pikir seluruh komponen pendidikan harus dilakukan secara sinergis. Seperti yang telah mapan; dunia pendidikan seakan-akan sebagai dunia yang cukup menakutkan dan berada dalam aturan-aturan yang sangat membelenggu. Bayangkan saja, seperti siswa sekolah dasar (SD) hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) setiap hari harus melakukan rutinitas yang sangat menjenuhkan. Mulai bangun tidur, mandi, sarapan pagi, berangkat sekolah, dan saat di sekolah pun mereka diharuskan mengikuti aturan-aturan yang memberatkan. Praktik pendidikan persekolahan bagaikan sebuah penjara. Belum lagi kalau ada siswa yang terlambat, hukuman yang berat pastilah menimpa dirinya. Tanpa mengetahui mengapa ia terlambat? Seperti inilah, fenomena ketika dominasi dan legitimasi menurut Giddens, ketika sudah merambah pada sistem dan strukturasi di sekolah.
Prinsip pendidikan sebagai arena pembebasan bukan hanya pada wilayah pendidikan secara internal, dalam konteks global, pendidikan harus mampu mengawal secara kritis manusia global sekarang yang sedang mengalami tantangan karena adanya arus globalisasi. Di samping itu, fenomema kemiskinan, masyarakat korban bencana alam, masyarakat terpencil yang susah dalam mengakses informasi dan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama dalam menjalankan prinsip tersebut.
1.
Berwawasan futuristik
(orientasi masa depan)
Untuk
menghadapi kehidupan di masa mendatang, berhubungan erat dengan peran dan
posisi pendidikan dalam menghadapi realitas masyarakat pada masa mendatang.
Kondisi mayarakat selalu dinamis, seiring dengan perkembangan pola pikir
kehidupan dan perkembangan budaya yang ada. Berangkat dari tujuan dan fungsi
pendidikan nasional sebagaimana yang dijelaskan dalam UU Sisdiknas nomor 20
tahun 2003, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan sebagai
prinsip penyelenggaraan pendidikan salah satunya ialah; pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat.
Orientasi
pendidikan kedepan tentu dalam proses menggali kemampuan dan segala potensi
yang dimiliki bangsa ini yang semua itu sebagai bagian agenda pencerdasan
kehidupan bangsa sebagai amanat perjuangan nasional. Fungsi ini perlu adanya
sebuah pemikiran-pemikiran yang mengarah kehidupan bangsa yang memiliki
orientasi masa depan. Orientasi masa depan, berarti menyusun tindakan dan
pengalaman yang sedang berpartisipasi dan sedang membangun identitasnya,
memilih nilai-nilai masa depan yang sesuai dengan arah hidupnya. Berorientasi
kepada masa depan meskipun masih berupa kemungkinan-kemungkinan tetapi tetap
terarah. Apabila orientasi tindakan pendidikan hanya terbatas kepada masa lalu
dan masa kini, maka realitas yang dihadapi adalah realitas yang tidak dapat
diubah. Lingkungan yang dihadapi oleh perkembangan individu ialah lingkungan
yang statis, bahkan cenderung ke masa lalu. Pribadi yang hidup di dalam dunia
kehidupan yang statis seperti ini, tidak akan berubah dan cenderung menjadi
beku dan tidak kreatif. Diakui atau tidak pola pikir masyarakat kita masih
dimanipulasi oleh pemikiran yang dominatif, akibat adanya dominasi budaya yang
kita miliki. Kebudayaan sering dimaknai berjalan ditempat atau statis dan tidak
membuka ruang perkembangan dalam konteks perkembangan zaman, sehingga ada
kekhawatiran tersendiri bila kita menemukan pemikiran kreatif yang sekiranya
justru memupuk kekuatan budaya kita.
Kebudayaan
dan kekayaan lain yang kita miliki merupakan aset bagi kita untuk pembangunan
dan mencapai bangsa yang bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain. Namun,
kondisi ideal tersebut bertentangan jauh dengan realita yang ada. Dengan
demikian, dalam membangun bangsa ini ke depan sektor pendidikan yang diyakini
sejak awal akan membantu mengangkat peradaban dan martabat manusia melalui
penyiapan kualitas SDM, dunia pendidikan sendiri perlu diorientasikan tidak
sekedar sebagai kontrol maupun upaya pemberdayaan, akan tetapi dunia pendidikan
perlu diorientasikan pada penemuan sosial (social engineering).
Penemuan-penemuan ini berdasarkan pada kondisi manusia yang selalu dinamis, dan
dalam kondisi yang dinamis ini tersebut ditemukan berbagai problematika dan
tantangan yang mengancam kehidupan mereka. Sebagimana pada situasi konstalasi
global dewasa ini, masyarakat semakin menyadari akan peran penting kualitas
SDM, di sini dimaksudkan kualitas SDM yang ada mampu memberikan kontribusi
terhadap perkembangan zaman ini, baik memberikan suatu pemikiran yang baru,
ataupun memberikan solusi-solusi terhadap berbagai problematika masyarakat
global ini.
Sedangkan
pada sisi lain, orientasi pendidikan yang memiliki wawasan masa depan (future
oriented) sebagai bagian prinsip pendidikan transformatif, dunia pendidikan
harus diorientasikan pada berkembangnya potensi peserta didik. Perkembangan
potensi peserta didik dapat dilaksanakan sepanjang hayat. Artinya, potensi-potensi
yang ada ini dikembangkan supaya memiliki kontribusi terhadap kehidupan masa
mendatang, bukan semata-mata untuk kehidupan hari ini. Dalam konteks ini, perlu
adanya pergeseran pola pendidikan, berarti pendidikan yang menghasilkan
manusia-manusia kreatif menjadi tuntutan dalam pola pendidikan umum saat ini.
Banyaknya media yang berperan sebagi sumber informasi pendidikan bagi generasi
bangsa saat ini, maka konsep pendidikan perlu mengalami pergeseran, pendidikan
bukan lagi sebagai usaha yang disengaja lagi akan tetapi pendidikan menjadi
kondisi apapun yang dampaknya dapat menyebabkan terjadinya perubahan
nilai-nilai manusia. Kondisi dalam kehidupan keluarga, kondisi yang terjadi
dalam masyarakat luas sebagai panggung pentas budaya bangsa, kondisi yang yang
ditampilkan oleh berbagai media baik cetak maupun elektronik, kondisi yang
terjadi di sekolah kesemuanya secara bersama-sama mewujudkan terjadinya proses
pendidikan bagi generasi bangsa kita. Maka di sini pendidikan perlu lebih
banyak memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengaktualisasikan
potensi yang mereka miliki dalam kehidupan saat ini dan mendatang.
2.
Orientasi pada Nilai-Nilai
Humanis
Disadari
atau tidak manusia tidak dapat menghindari terjadinya perkembangan zaman,
sebagaimana era globalisasi saat ini.
Tanpa adanya sebuah refleksi kiritis dan sikap yang tidak tegas maka
kehidupan umat manusia akan mengalami kondisi yang tidak menentu. Secara
sederhana “globalisasi” berarti segala sesuatu yang terjadi di manapun yang
dapat mempengaruhi kejadian-kejadian lain di belahan dunia lainnya. Ketika kita
berbicara tentang percepatan globalisasi, maka pengertian dan kesan yang
kemudian muncul dalam pikiran kita adalah bahwa dampak-dampak independensi
transnasional (saling ketergantungan antarbangsa) sekarang terbukti dengan
jelas. Hal ini dapat dilihat dengan semakin pendeknya jarak ruang dan waktu
sehingga tidak lagi menjadi permasalahan yang berarti bagi aktivitas manusia.
Gambaran Willy Brandt tentang dunia yang satu sekarang terbukti semakin nyata.
Seluruh dunia tumbuh secara bersama-sama, namun pada saat yang sama dunia juga
berada dalam bahaya kehancuran karena peluang dan resiko yang ditimbulkan oleh
globalisasi tumbuh secara tidak seimbang. Salah satu ciri dari pada era ini
ialah: adanya globalisasi informasi, yang melakukan perubahan-perubahan radikal
dalam bidang komunikasi sehingga memperpendek jarak dan waktu, telah
memungkinkan terjalinnya kontak-kontak antar bagian dunia dalam berbagai
masalah dengan jangka waktu yang sama. Kontak-kontak tersebut terbukti
berlangsung dalam satu arah, tanpa kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan
si penerima kontak sehingga mendorong munculnya reaksi kultural di banyak
negara, misalnya dengan munculnya penguatan identitas-identitas nasional dalam
menghadapi ancaman bersama.
Perkembangan
informasi yang pesat saat ini, secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
kehidupan umat manusia, baik dalam berpikir maupun cara bertingkah laku
keseharian dan memiliki peluang besar bagi pergeseran nilai. Terlebih dalam
kondisi masyarakat yang tak terbatas yakni era globalisasi, kondisi seperti ini
tentu akan mengancam eksistensi manusia, eksistensi suatu bangsa, dan
eksistensi suatu nilai-nilai sosial yang ada dalam menjalankan keberlangsungan
hidupnya. Bagimana kondisi nilai-nilai kemanusiaan dalam konteks sekarang?
Pasar bebas sebagai proyek dari adanya globalisasi ternyata tidak memberikan
jaminan ketidakadilan secara penuh, karena masih adanya dominasi ideologi yang
selama ini menguasai pasar. Sehingga nasib negara-negara berkembang terutama
negara bekas jajahan seperti Indonesia tentu akan mendapatkan tantangan yang
dahsyat ditambah dengan kondisi bangsa yang dalam proses menuju tatanan yang
demokratis dan terpenuhinya kesejahteraan sosial.
Dalam
kondisi apapun nilai-nilai kemanusiaan harus tetap dijaga, agar dalam kehidupan
umat manusia ini tidak terjadi praktik dominasi bahkan manipulasi. Meminjam
pernyataan Freire, bahwa di dalam budaya dan kehidupan sehari-hari, terjadi
banyak manipulasi. Ada banyak pesan dan pengarahan tentang apa yang harus anda
lakukan, apa yang harus anda beli, juga apa yang harus anda percayai. Budaya
tersebut juga memiliki banyak mitos tentang kebebasan, kebahagiaan dan tentang
kehidupan di dunia lain, yang misalnya anda dengar setiap hari sebagai “cara
hidup Amerika” (The American Way Of Life) yang sering disajikan sebagai
satu-satunya gagasan politik terbaik di dunia. Mitos lain adalah menjadi tugas
utama Amerika untuk mengajari seluruh dunia bagaimana menjadi bebas. Saya tahu
bahwa di sini memang ada aspek kehidupan yang baik serta ada sisi-sisi baik
dari demokrasi Amerika. Akan tetapi, ketika mitos tersebut kemudian diwujudkan
lewat “perang suci” (crusade) global, maka ia telah berubah menjadi
piranti manipulasi.
Kini,
pandangan umat manusia tentang nilai-nilai kemanusiaan telah bergeser menuju
pada sesuatu yang bersifat materialistik, sehingga sangat wajar apabila
nilai-nilai tersebut hampir punah. Berbagai macam persoalan yang terjadi di
masyarakat, seperti pemiskinan, korupsi, aksi terorisme, perdagangan anak,
merupakan akibat secara tidak langsung bahwa nilai-nilai kemanusiaan dalam
kehidupan manusia sendiri semakin menipis. Dalam dunia pendidikan, seringkali
ditemukan peristiwa tawuran antar pelajar, tindakan-tindakan a moral di
sekolah maupun proses pembelajaran yang tidak humanis, yakni masih adanya
dominasi oleh seorang guru atau dosen.
Melihat
kenyataan ini, dunia pendidikan memiliki peranan penting dalam proses
transformasi nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Pendidikan pada dasarnya proses
yang memanusiakan manusia dari sistem kehidupan yang masih membelengu.
Humanisasi ini bukan hanya semata terkait dengan individu peserta didik semata,
melainkan terkait erat dengan realitas masyarakat yang ada di sekitarnya.
Sehingga situasi humanis yang berbasis pada moralitas tertanam dalam kehidupan
manusia. Tujuan pendidikan seharusnya dirancang agar para murid nanti secara
kreatif mampu mengkonstruksi nilai moral dan teori iptek yang fungsional bagi
masalah hidupnya sendiri, bukan pengalaman di masa lalu dari sang guru, orang
tua, penguasa. Pengalaman sang guru, orang tua dan penguasa pendidikan di masa
lalu itu hanya penting jika dihadirkan kembali dalam suasana pembelajaran.
Bukan teknik pemecahan masalah atau teori dan nilai yang penting diajarkan,
tapi proses pengalaman perumusan teknik pemecahan masalah, teori iptek
pemilihan nilai itu sendiri. Tidak ada satu sistem nilai, teori, pembelajaran
dan evaluasi yang berlaku di semua zaman, bagi semua masyarakat dan semua murid
di kelas, apalagi secara nasional. Setiap murid, masyarakat, zaman, dan setiap
orang atau keluarga memiliki pengalaman khas dan unik yang hanya bisa
dipecahkan dengan cara yang unik dan khas pula.
Selanjutnya berhubungan dengan transformasi sosial,
pendidikan yang semestinya dilaksanakan sebagai proses humanisasi dan
peningkatan kualitas SDM suatu bangsa, seringkali dimaknai secara parsial dan
pragmatis, diantaranya; (1). Pendidikan sebagai transfer of knowledge.
(2). Pendidikan untuk perubahan sosial, dan (3). Pendidikan untuk penyediaan
lapangan kerja. Namun demikian, manusia Indonesia seutuhnya yang
diidealisasikan menjadi titik puncak capaian tujuan pendidikan nasional sebagai
proses kemanusiaan dan pemanusiaan sejati masih terus menjadi dambaan kita,
ketika sosok yang sesungguhnya belum ditemukan pada saat arus globalisasi dan era pasar bebas terus menerpa secara
keras. Di sinilah kita harus menerima secara taat asas bahwa pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya melalui pendidikan dan pelatihan dengan beragam
jenis, jenjang, sifat, dan bentuknya sebagai sebuah proses yang tidak pernah
akan selesai. Pada sisi lain, pendidikan transformatif harus berorientasi pada
eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang semakin tereduksi oleh perkembangan
zaman. Karena itu, sebagai langkah awal perlu dilakukan melalui proses
pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai tersebut, dengan membentuk
kesadaran kritis peserta didik atas kondisi yang sedang mereka hadapi.
e. Adanya Jaminan Kualitas
Salah satu diantara permasalahan subtansial dalam dunia
pendidikan kita yang hingga saat ini menjadi bahasan yang menarik adalah
“jaminan kualitas pendidikan”. Para pakar pendidikan atau manajemen memahami
kualitas adalah dinamis, sehingga meniscayakan adanya kontekstualisasi pada
situasi atau perkembangan zaman yang kita hadapi saat ini. Perkembangan zaman
yang kita sebut sebagai era kompetisi bebas membutuhkan sumber daya manusia
yang memadai yang perlu dibentuk melalui kondisi dunia pendidikan yang memiliki
jaminan kualitas. Sebab pendidikan merupakan media yang strategis dalam
mempersiapkan “out-put” sumber daya manusia yang berkualitas serta mampu
bersaing dalam kancah kompetisi bebas.
Dalam dimensi baru tersebut
kompetisi bebas yang merupakan simbol “globalisasi”, manusia dihadapkan
pada perubahan-perubahan yang tidak menentu. Ibarat nelayan di “lautan lepas”
yang dapat menyesatkan jika tidak memiliki “kompas” sebagai pedoman untuk
bertindak dan mengarunginya. Hal tersebut, telah mengakibatkan hubungan yang
tidak linier antara pendidikan dan lapangan kerja atau “one to one
relationship”, karena apa yang terjadi dalam lapangan kerja sulit diikuti
oleh dunia pendidikan, sehingga terjadi kesenjangan. Dengan demikian, dalam
rangka mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang siap menghadapi
globalisasi yang penuh tantangan, diperlukan sumber daya manusia yang
berkualitas, sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dan
berdasarkan pada kebutuhan nyata di lapangan (stakeholders pendidikan).
DAFTAR PUSTAKA
M. S, Djohar,
2003, Pendidikan Strategik; Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakata:
LESFI, Yogyakarta.
Freire, Paulo,
2001, Pedagogy of The Oppressed (NewYork: Praeger, 1986), lihat juga,
dalam Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSIST
Press&Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fakih, Mansour
Dkk., 2001, Pendidikan Popular; Membangun Kesadaran Kritis, Read Book,
Yogyakarta.
Risakota,
Bernhar Adeney, 2001, “Pendidikan Kritis
yang Membebaskan” Majalah BASIS, Edisi Januari-Pebruari, Yogyakarta.
Tilaar, H.A.R.,
2001, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Untuk Indonesia, PT.
Grasindo, Jakarta.
Postman, Neil,
2002, Matinya Pendidikan, Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah, Siti farida
(Alih Bahasa), Jendela, Yogyakarta.
Danim,
Sudarwan, 2003, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Mulyasa, E.,
2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, Implementasi dan
Inovasi, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sarbiran, 2004,
“Pendidikan Islam dan Tantangan
Globalisasi Perspektif Sosial dan Politik”, dalam Musthofa & Imam
Machali (ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi Presma F.T UIN
Sunan Kalijaga & Arruz Press, Yogyakarta.