TERAPI PSIKOPROBLEM MELALUI SHALAT

BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Suatu tulisan tidak dapat diikuti dengan tepat dan sempurna sesuai dengan maksud penulisnya apabila tidak ada kesepakatan tentang makna atau pengertian peristilahan yang dipakai dalam tulisan tersebut. Oleh karena itu, selalu diperlukan batasan tentang pengertian-pengertian tersebut demi menghindarkan salah tafsir termaksud, maka pada bagian awal karya ini diberikan batasan pengertian istilah-istilah yang dipakai.
1. Terapi
Terapi dapat diartikan sebagai usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit; pengobatan penyakit; perawatan penyakit.[1] “therapy” dalam bahasa Yunani berarti merawat atau mengasuh. Sedang terapi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berarti “mengatasi” dan “mencegah”.
2. Psikoproblem
Psikoproblem terdiri dari dua kata; yakni psikis (Psyche) yang berarti berhubungan dengan jiwa[2] dan problem yang berarti masalah, persoalan.[3] Jadi psikoproblem bisa diartikan sebagai persoalan atau masalah yang dihadapi manusia yang berhubungan dengan jiwa[4] atau permasalahan-permasalahan psikologis. Persoalan-persoalan yang dimaksudkan di sini adalah kecemasan dan keresahan yang berangkat dari masalah-masalah seperti kehidupan rumah tangga (gangguan komunikasi antara suami istri, kekecewaan terhadap partner, perselingkuhan dll), lingkungan kerja (lapangan pekerjaan, relasi atasan dan bawahan, suasana kerja, dll), dan masalah kepribadian (proses perkembangan dan pendewasaan pribadi) dipandang dari sisi psikologis.
Terminologi “terapi psikoproblem” dalam penelitian ini berbeda dengan terminologi “psikoterapi” yang dikenal dunia terapi dalam psikologi. Kalau dalam psikoterapi merupakan cara pengobatan gangguan kejiwaan dengan mempergunakan kekuatan batin dokter/psikoterapis atas jiwa penderita melalui metode sugesti, nasihat, menghibur, atau hipnotis.[5] Sedangkan penyusun menggunakan terminologi “terapi psikoproblem” adalah lebih pada dataran pembedaan istilah. Sehingga diharapkan akan memberikan istilah tersendiri dalam dunia terapi psikis.
3. Shalat
Shalat secara bahasa berarti berdo’a. dengan kata lain, shalat secara bahasa mempunyai arti mengagungkan. Sedangkan pengertian shalat menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ucapan di sini adalah bacaan-bacaan al-Qur’an, takbir, tasbih, dan do’a. Sedang yang dimaksud dengan perbuatan adalah gerakan-gerakan dalam shalat misalnya berdiri, ruku’, sujud, duduk, dan gerakan-gerakan lain yang dilakukan dalam shalat.[6] Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddieqy shalat yaitu beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.[7]
Yang dimaksudkan shalat dalam penelitian ini adalah tidak hanya sekedar shalat tanpa adanya penghayatan atau berdampak sama sekali dalam kehidupannya, akan tetapi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah shalat fardlu yang didirikan dengan khusyu’ yakni shalat yang nantinya akan berimplikasi terhadap orang yang melaksanakannya. Pengertian shalat yang dimaksudkan lebih kepada pengertian shalat menurut Ash Shiddieqy[8] dari ta’rif shalat yang menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat); yaitu berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ dihadapan-Nya dan berikhlas bagi-Nya serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a dan memuji.
Inilah ruh atau jiwa shalat yang benar dan sekali-kali tidak disyari’atkan shalat karena rupanya, tetapi disyari’atkan karena mengingat jiwanya (ruhnya).
Khusyu’ secara bahasa berasal dari kata khasya’a-yakhsya’u-khusyu’an, atau ikhta dan takhasysya’a yang artinya memusatkan penglihatan pada bumi dan memejamkan mata, atau meringankan suara ketika shalat.[9] Khusyu’ secara bahasa juga bisa diartikan sungguh-sungguh penuh penyerahan dan kebulatan hati; penuh kesadaran hati.[10] Arti khusyu’ itu lebih dekat dengan khudhu’ yaitu tunduk, dan takhasysyu’ yaitu membuat diri menjadi khusyu’. Khusyu’ ini dapat terjadi baik pada suara, badan maupun penglihatan. Tiga anggota itulah yang menjadi tanda (simbol) kekhusyu’an seseorang dalam shalat.
Khusyu’ menurut istilah syara’ adalah keadaan jiwa yang tenang dan tawadhu’ (rendah hati), yang kemudian pengaruh khusyu’ dihati tadi akan menjadi tampak pada anggota tubuh yang lainnya.[11] Sedang menurut A. Syafi’i khusyu’ adalah menyengaja, ikhlas dan tunduk lahir dan batin; dengan menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya, serta memenuhinya dengan kehadiran hati, kesadaran dan pengertian (penta’rifan) segala ucapan bentuk/sikap lahir itu.[12]
Jadi secara utuh yang dimaksudkan oleh penyusun dalam judul penelitian ini adalah mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan psikis sehari-hari seperti masalah rumah tangga, perkawinan, lingkungan kerja, sampai masalah pribadi dengan membiasakan shalat yang dilakukan dengan khusyu’. Dengan kata lain dalam penelitian ini akan dibahas tema shalat sebagai mediator untuk mengatasi segala permasalahan manusia sehari-hari yang berhubungan dengan psikis, karena shalat merupakan kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem keagamaan Islam.

B. Latar Belakang Masalah
Dunia modern dengan mobilitas yang cukup tinggi telah mengukir kisah sukses secara materi. Namun, agaknya kamakmuran secara materi itu tidak cukup membuat makmur kehidupan spiritualnya, ini akibat dari keterlepasan dunia modern terhadap nilai-nilai etika, moral, tradisi, dan agama yang telah dianggap usang. Manusia modern telah kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung sangkar materi.
Modernisme gagal karena ia telah mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya manusia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Mereka goyah dan pada akhirnya akan runtuh.
Manusia dengan seluk beluk dan kompleksnya kebutuhan hidup ini sering menemui berbagai kendala dan persoalan. Karena memang hidup ini penuh dengan kegembiraan, kesenangan, gemerlapan yang fatamorgana yang semuanya akan menipu manusia itu sendiri, bahkan akan menjadikan traubeling dalam kehidupannya tatkala manusia tidak mampu menerima atau memanajnya dengan baik.
Persoalan yang manusia hadapi dari waktu ke waktu tampaknya makin lama makin kompleks, baik persoalan yang berhubungan dengan pribadinya, keluarganya, pekerjaan, dan masalah kehidupan secara umum. Kompleksitas masalah itu telah mengarahkan sebagian dari manusia mengalami konflik dan hambatan dalam memenuhi apa yang manusia harapkan, bahkan sampai dapat menimbulkan tekanan yang sangat mengganggu. Kompleksitas masalah demikian inilah yang diantaranya menuntut adanya media yang dapat membantu mengatasi segenap permasalahan kehidupan manusia sehari-hari.[13]
Sejumlah rasa pesimis dan takut dalam menghadapi hidup melanda kebanyakan masyarakat, beriringan dengan persoalan hidup yang kian rumit dan senantiasa berubah bentuk dan coraknya.[14]
Tanpa pegangan apapun dan hanya mengandalkan materi belaka, manusia semakin kehilangan arah dalam kehidupannya dan kehilangan arti dan tujuan hidup[15] dengan membawa sejuta persoalan psikologisnya. Hal ini membuat ketidakseimbangan dalam kepribadiannya[16] sehingga rentan dan mudah terserang penyakit kehidupan yang akhirnya banyak manusia yang mengalami gangguan kejiwaan.
Lalu bagaimana dengan psikoterapi yang merupakan ilmu terapan yang membantu mengatasi gangguan kejiwaan pada diri manusia, dimana psikoterapi merupakan bagian dari ilmu kesehatan jiwa yang dimaksudkan untuk meningkatkan kepribadian dan perbaikan jiwa (mental) yang terganggu kesehatannya akibat problem emosional semacam kecemasan, rasa tertekan, dan gangguan-gangguan kejiwaan yang lain. Psikoterapi juga digunakan untuk menumbuhkan kepribadian dan aktualisasi diri.[17]

[1] Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1989), hlm. 935
[2] Ibid, hlm. 704
[3] Ibid, hlm. 701
[4] Pada dasarnya Psikologi Islami menempatkan istilah jiwa dengan nafs, qalb, roh dan aql. Jadi jiwa dalam psikologi islami meliputi keempat unsur tersebut
[5] Lihat Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991)
[6]Misa Abdu, Menjernihkan Batin dengan Shalat Khusyu’, Terj: Jujuk Najibah Ardianingsih, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hlm17
[7]T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 62
[8] Ibid, hlm. 65
[9] Misa Abdu , loc. Cit
[10] Departemen Pendidikan & Kebudayaan, op. Cit, hlm. 437
[11] Misa Abdu, op. Cit, hlm. 18
[12] A. Syafi’i MK, Pengantar Shalat yang Khusyu’, (Bandung: Rosdakarya, 1999), hlm. 2
[13] Latipun, Psikologi Konseling (Malang: UMM Press, 2001), hlm. 3
[14] Sebagaimana yang diungkap oleh Siti Nurul Indiyati dalam Skripsinya: Integrasi Psikoterapi dan Ajaran Islam, pada halaman Abstraksinya
[15] Al-Qur’an al-Karim telah menerangkan kepada manusia bahwa tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Adz-Dzariyat (51): 56 الا ليعبدون وماخلقت الجن و الانس yang artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
[16] Kepribadian yang normal dalam Islam adalah kepribadian yang memiliki keseimbangan antara tubuh dan jiwa; didalamnya telah terpenuhi kebutuhan-kebutuhan tubuh dan jiwa. Sesungguhnya pribadi yang normal adalah yang memberikan perhatian pada tubuh, yang kesehatan dan potensinya, serta memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam batas-batas yang ditentukan oleh syari’at. Dan pada waktu yang sama ia berpegang teguh dengan beriman kepada Allah, menunaikan ibadah-ibadahnya, melaksanakan segala apa yang diridlahi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjahui yang dimurkai-Nya. Selanjutnya lihat Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa Manusia: Dalam Sorotan al-Qur’an, Terj: Ibn Ibrahim, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001), hlm. 261
[17] Sebagaimana yang dikutip oleh Siti Nurul Indriyati dalam Skripsinya: Integrasi Psikoterapi dan Ajaran Islam, dari John F Dashiell “Psychology” dalam Bernand S (ayne Ced. In Chief), The Encyclopedia Americana, (New York: Americcana Corporation, 1974), hlm. 734