ANAK YANG LAHIR KARENA ZINA



Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki dan wanita. Anak yang lahir karena perbuatan zina, status keturunannya adalah hanya dari ibunya, bukan dari ayahnya, karena laki-laki yang menggaulinya bukan sebagai suaminya yang sah.

Untuk menentukan laki-laki yang mempunyai hubungan nasab dengannya, dapat dilakukan jika ada seorang laki-laki yang mengakuinya sebagai anak. Tetapi dengan syarat bahwa laki-laki itu tidak mengakuinya lahir dari perbuatan zina dengan ibu si anak. Maka dalam hal ini, anak itu dapat dinasabkan kepadanya, jika syarat-syaratnya terpenuhi.

Namun, jika laki-laki itu berkata dan mengakui bahwa anak itu adalah anaknya dari perbuatan zina, menurut jumhur ulama, anak itu tidak bisa dinasabkan kepadanya. Sebab, nasab atau keturunan adalah sebuah karunia, dan itu tidak bisa diperoleh dari perbuatan tercela. Akan tetapi, balasan yang sesuai untuk perbuatan zina adalah azab.

Sedangkan Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat lain, mereka berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan itu dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat mudharat, dan tidak terkena aib karena perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab, orang yang tidak berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

Perbedaan pendapat itu terjadi karena wanita yang berzina itu, ketika hamil, tidak menjadi istri seseorang atau dalam masa 'iddah. Kalau wanita itu menjadi istri seseorang atau sedang dalam masa 'iddah, anak yang ada dalam kandungannya adalah anak suaminya, karena anak adalah milik orang yang mempunyai ranjang (suami). Oleh karena itu, pengakuan seseorang atas anak itu tidak bisa diterima. Ini merupakan ijma ulama.

Adapun dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, yaitu sabda Nabi saw. "Anak milik orang yang memiliki ranjang (suami) dan wanita pezina mendapatkan sanksi." Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim menakwilkan sebab Nabi saw. bersabda demikian, yakni karena terjadi perdebatan antara wanita pezina dengan pemilik ranjang (suaminya).

Meskipun demikian, kita bisa melihat bahwa pendapat jumhur ulama lebih kuat, karena ada riwayat lain dari 'Amr bin Syu'aib, yaitu Nabi saw. bersabda, "Lelaki mana pun yang berbuat zina dengan seorang wanita merdeka atau budak, maka anak yang lahir adalah anak zina, tidak bisa mewarisi atau diwarisi." (HR Turmudzi)

Dengan demikian anak hasil zina tidak bisa mewarisi dari ayahnya atau dari ibunya yang melakukan zina, dan juga dari kerabatnya, selain itu mereka juga tidak bisa mewarisi dari anak hasil zina tersebut. Syaukani berkata, "Demikian juga halnya dengan anak yang lahir karena perbuatan zina. Ini sudah disepakati. Harta warisnya diberikan untuk ibu dan kerabat ibunya."

Anak Li'an

Anak li’an adalah anak yang dilahirkan dari seorang istri yang sah, dimana suami tersebut tidak mengakuinya sebagai anaknya, karena suami tersebut telah menuduh sang istri telah berzina dengan lelaki lain. Sang suami telah bersumpah bahwa istrinya telah berzina dengan lelaki lain di depan hakim, begitu pula istrinya telah bersumpah dengan tujuan membela diri, bahwa tuduhan suaminya adalah dusta. Maka jika sang istri mengandung, anak tersebut disebut sebagai anak li’an.

Li'an suami-istri disyariatkan dalam Islam, apabila suami menuduh istrinya berzina, atau suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya. Allah swt. berfirman, "Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]: 6-9)

Sebab turunnya ayat ini dan kekhususan hukum li'an kepada dua suami istri adalah firman Allah yang menyebutkan tentang sanksi orang yang menuduh wanita mukminah, yaitu, "Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (an-Nuur [24]: 4)

Terkait dengan permasalahan ini, ada satu riwayat yang cukup panjang, yakni sebagai berikut: Sa'ad bin Ubadah yang menjadi sesepuh orang Anshar berkata, "Apakah hanya seperti ini, wahai Rasulullah? (maksudnya adalah apakah solusinya hanya seperti tertera pada surat An-Nuur ayat 4 diatas, atau apakah tidak ada jalan lain)" Rasulullah saw. bersabda, "Apakah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh sesepuh kalian, wahai kaum Anshar?" Mereka menjawab, "Dia adalah manusia paling besar cemburunya. Demi Allah, dia hanya menikah satu kali dengan perempuan perawan dan dia tidak pernah mencerai istrinya. Dia lelaki paling berani menikahi perempuan perawan, karena cemburunya yang demikian besar itu."

Kemudian Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, aku yakin firman Allah itu benar, dan aku juga yakin ayat itu dari Allah. Namun, aku hanya merasa heran, seandainya aku menemukan pergelangan tangan (istri) diperkosa, aku tidak boleh berbuat apa-apa, tidak boleh membentak, dan tidak boleh mengusirnya sampai aku dapat menghadirkan empat orang saksi. Demi Allah, jika aku menghadirkan mereka, pastilah pemerkosa itu telah memuaskan nafsunya."

Tidak berapa lama setelah kejadian itu, pada suatu sore, ketika Hilal bin Umayyah datang dari kampung halamannya, dia mendapati istrinya bersama seorang laki-laki. Dia melihat dan mendengarnya sendiri, namun dia tidak membentak atau mengusirnya sampai waktu pagi tiba.

Pagi itu juga, Hilal menemui Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, kemarin, ketika aku pulang di sore hari, aku mendapati istriku bersama seorang laki-laki. Aku melihat dan mendengarnya sendiri."

Mendengar cerita itu, Rasulullah tidak senang dan marah. Sa'ad bin Ubadah berkata, "Sekarang, Rasulullah mendapat contoh langsung dari peristiwa Hilal bin Umayyah. Kesaksian Hilal pun tidak dapat diterima oleh kaum muslimin."

Hilal berkata, "Aku berharap, Allah akan memberikan jalan keluar untukku." Kemudian Hilal berkata kembali, "Ya Rasulullah, aku mengerti engkau marah karena cerita yang aku sampaikan. Allah mengetahui bahwa aku berkata jujur."

Demi Allah, sesungguhnya, Rasulullah saw. ingin memberikan perintah agar Hilal didera, namun saat itu wahyu turun. Allah swt. berfirman, "Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]:6-9).

Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, "Bergembiralah, hai Hilal, Allah telah memberikan jalan keluar dan kelapangan." Hilal menyahut, "Sungguh, itulah yang aku harapkan dari Tuhanku."

Demikianlah asbabun nuzul turunnya ayat 6 hingga 9 dari surat An-Nuur di atas. Bentuk li'an, sebagaimana yang bisa kita ambil dari ayat di atas, adalah seorang laki-laki yang menuduh istrinya berbuat zina atau tidak mengakui bahwa anak itu sebagai keturunannya, atau menuduhkan kedua-duanya kepada istrinya dan ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat orang saksi. Kalau suami tetap pada tuduhannya, ia dituntut untuk bersaksi dengan nama Allah. Bentuk persaksiannya, yaitu bersumpah sebanyak empat kali bahwa apa yang dituduhkannya adalah benar. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima, jika tuduhannya bohong, laknat Allah akan menimpa dirinya.

Istrinya pun dapat terbebas dari tuduhannya, jika ia bersedia bersaksi sebanyak lima kali. Empat dari lima kesaksiannya berisi sumpah bahwa apa yang dituduhkan suaminya adalah bohong, dan pada kesaksian yang kelima dia harus mengucapkan bahwa jika apa yang dituduhkan suaminya benar, laknat Allah akan menimpa dirinya.

Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan, maka hakim akan menceraikan mereka, menafikan ikatan nasab anak itu dari suaminya, dan menjadikan anak itu bernasab pada ibunya. Anak inilah yang dinamakan anak li'an.

Hak Waris untuk Anak yang Lahir karena Zina dan Anak Li'an

Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir karena perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagai berikut:

Pendapat Pertama

Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'i berpendapat bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui. Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat dari Ali r.a..

Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap, dan sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya pengembalian (ar-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.

Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'du sebagai dalil. "...Sunnah menetapkan bahwa anak li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah." (Nail al-Authar, juz VI, hlm.184)

Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari 1/6.

Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat, meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris: ibu, ayah, paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini, seluruh warisan hanya diberikan kepada ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (ar-radd). Hal ini disebabkan paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam kelompok dzawil arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya terputus.

Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8, anak perempuan 1/2, dan sisanya untuk anak perempuan tersebut. Sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi ketika ada bersama pokok atau cabang yang mewarisi.

Pendapat Kedua

Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat diwarisi dengan cara ashabah. Ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya atau mereka yang mewarisi dari ibunya. Sebagian orang berkata, "Jika Anda ingin mengetahui ashabah anak li'an, lihatlah ashabah ibunya kalau ibunya wafat. Itulah yang menjadi ashabah anak li'an."

Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar pun berpendapat demikian. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar dari kalangan tabi'in, seperti 'Atha, Mujahid, an-Nakha'i, dan asy-Sya'bi. Hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat demikian adalah sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan mengenai hal ini, "Ashabah-nya adalah ashabah ibunya."

Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, "Ibu mendapatkan bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian tersebut dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan kerabatnya, misalnya anak laki-laki atau istri si mayit. Jika si mayit mempunyai anak laki-laki atau istri, mereka berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya dalam masalah waris-mewarisi."

Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda Nabi saw., "Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika ada sisa, pertama-tama untuk ahli waris laki-laki yang terdekat."

Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki yang paling dekat dengan anak li'an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan kepada ibunya, setelah bagian ashhabul furudh diberikan. Jikalau nasab anak li'an berpindah dari ayahnya kepada ibunya, maka berpindah juga ashabahnya dari kerabat ayah kepada kerabat ibu.

Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah.

Jika seorang anak li’an wafat, meninggalkan ibu dan paman dari pihak ibu, maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari pihak ibu mendapatkan 2/3 sebagai ashabah.

Pendapat Ketiga

Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah ibunya karena ibu bagi mereka sama seperti kedua orang tua, yakni ayah dan ibu. Jika tidak ada ibu, ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibu. Pendapat ini juga disampaikan oleh beberapa tabi'in, di antaranya Hasan dan Ibnu Sirin.

Di sini ada perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan mazhab sebelumnya. Pada pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya. Kalau sang ibu hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya (fardh) dan sisanya diambil oleh ashabah ibunya.

Sedangkan pendapat yang ketiga ini, menerima mereka yang menjadi ashabah ibunya sebagai ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina, dengan syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang menjadi ashabah-nya, atau dengan kata lain, sang ibu akan mengambil seluruh harta warisan anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina. Dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang pendapat seperti ini adalah sabda Rasulullah saw., "Perempuan menguasai tiga warisan, warisan budak yang dimerdekakannya, barang yang ditemukannya, dan warisan anak li'an-nya." (HR Abu Daud, Turmudzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)

Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ashabah, ibu pun mewarisi dari anak li'an-nya dengan cara ashabah juga, karena ibu sama derajatnya dengan ayah dan ibu si anak li'an. Sebagai bukti, Ibnu Abbas pernah berkata, "Ibu anak li'an adalah ayah dan ibunya."

Dengan demikian, jika seorang anak li'an wafat meninggalkan istri, ibu, dan saudara perempuan seibu, maka istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap, dan ibu mendapatkan seluruh sisanya, sebagai bagian tetap dan sekaligus sebagai ashabah. Apabila ibu tidak ada, istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap dan saudara perempuan mendapatkan sisa sebagai ashabah dan bagian tetap.

Jika ia wafat, meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu, maka saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Cara pembagian yang demikian sesuai dengan dua pendapat tersebut.

Setelah kita memaparkan beberapa pendapat ulama fiqih di atas, tampaklah bagi kita bahwa pendapat ketiga lebih kuat dan dapat diterima, karena memang asal nasab itu dari ayah. Apabila nasab dari pihak ayah terputus, maka secara otomatis seluruh nasabnya berpindah ke ibu, sebagaimana asal ketaatan itu untuk orang yang memerdekakan ayah, kalau ayah budak. Ketaatan dapat kembali berpindah ke ayah sebagai asal, jika ayah dimerdekakan setelah ketaatan pindah ke ibu.

Mazhab ini merupakan mazhab Abdullah ibnu Mas'ud, Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Ibnul Qayyim berkata, “Berdasarkan pendapat di atas, Al-Qur'an telah menunjukkan dengan isyarat yang sangat indah dan halus. Allah menjadikan Isa dari anak-cucu Ibrahim lewat perantara Maryam, ibunya. Maryam pun berasal dari anak cucu Ibrahim. Jika ada yang bertanya, 'Kemudian, bagaimana dengan riwayat dari Sahl yang menjelaskan bahwa Sunnah yang berlaku adalah anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya dapat mewarisi darinya sesuai bagian yang telah ditetapkan Allah?' Kita jawab, 'Kita terima itu karena ketika ibu menjadi ashabah, tidak menggugurkan bagian yang telah ditetapkan Allah. Sesungguhnya, ibu anak itu seperti ayah, yang terkadang dapat mewarisi bagian tetap dan terkadang mewarisi bagian ashabah. Ibu pasti mengambil bagian tetap-nya, dan jika ada sisa, ia dapat mengambilnya dengan cara ashabah.'
Hikmah Allah telah menetapkan, setiap orang di dunia pasti akan mati dan harta 
yang ditinggalkannya pasti beralih kepada lainnya. Di sinilah jalan itu 
bercabang. Di persimpangan jalan ini terpampang jelas jalan Islam dan jalan 
jahiliyah. Persoalannya kini, apakah jalan Islam masih relevan seperti dulu? 
Ataukah harus digugat dan direvisi karena tuduhan diskriminasi, bias 
masculine-centris dari warisan budaya patriarkhi?
 
Disinilah orang yang bekal ilmunya dangkal dan pandangannya kabur, tanpa terasa 
akan terjebak dalam jalan jahiliyah. Bahkan tidak jarang, di antara mereka ada 
yang bangga, menyuarakan secara keras, menganggap dirinya sebagai pembaharu dan 
pemikir progresif. Padahal tidak lain, “pembaharuan” tersebut hanyalah 
mengulang dan menirukan nenek moyangnya dalam pemikiran, bahwa hukum waris 
Islam tidak lagi relevan di tengah masyarakat madani yang demokratis dan 
berperadaban tinggi ini. Sebab –katanya- fiqih Islam yang kini berkembang 
merupakan warisan fiqih purba yang rigid (kaku) dan diskriminatif.
 
Maka melalui makalah ini, Insya Allah akan saya paparkan kedudukan hukum waris 
dalam Islam, pandangan jahiliyah klasik dan pemikiran modern yang kini 
berkembang tentang hukum waris Islam, dan jawaban Islam terhadap 
syubhat-syubhat (kerancuan berfikir) mereka.
 
KEDUDUKAN HUKUM WARIS ISLAM
Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh 
karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian fara’idh 
ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling 
dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang 
seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini 
berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan 
lain-lain yang nash-nashnya bersifat global.
 
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjamin surga bagi kaum muslimin yang melaksanakan 
hukum waris Islam ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
 
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa 
taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang 
mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya ; dan 
itulah kemenangan yang besar” [An-Nisa : 13]
 
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam dengan neraka dan adzab yang pedih bagi 
orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Allah 
Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
 
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar 
ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang 
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14]
 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar umat Islam 
mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam bersabda.
 
“Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah, sebab ia dalah separuh ilmu dan ia akan 
dilupakan. Dan ia adalah sesuatu yang pertama kali tercabut dari umatku” [HR 
Ibnu Majah dan Daruquthni. Suyuthi memberi tanda shahih]
 
Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Pelajarilah 
fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam juga berkata : “Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu 
mempelajari Al-Qur’an”
 
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia 
menyatakan : “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh 
Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.
 
Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Perumpamaan orang yang 
membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang 
tidak memiliki kepala.
 
Para ulama Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu 
ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan 
menuliskannya dalam literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh 
merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan 
dijelaskan serta dipraketkkan oleh Rasululillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
[Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits 
Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16]
 
RESPON MASYARAKAT MODERN TERHADAP HUKUM WARIS ISLAM
Masyarakat modern yang dimaksud disini ialah paham sekulerisme, liberalisme dan 
pluralisme yang sangat memusuhi Islam. Tokoh-tokoh mereka baik dari kalangan 
orientalis maupun oksidentalis (kebarat-baratan) sangat kukuh dan gigih dalam 
“mengkritisi” syariat Islam, guna mengadaptasikan syari’at Islam dengan 
kehidupan demokrasi yang sekuler. Oleh karena itu, dengan jiwa militan dan 
semangat radikal, mereka melakukan teror terhadap Islam dan umat Islam. Mereka 
dengan congkak menyalahkan Islam yang benar, dan memaksanya untuk mengkaji 
ulang dengan pendekatan utama : gender, pluralisme, hak asasi manusia dan 
demokrasi.
 
Semua itu hanya didasarkan pada perspektif yang sangat sederhana dan kuno, 
yaitu demi merespon masyarakat pluralistic (multi etnik dan multi cultural) 
agar terwujud masyarakat yang adil, egaliter, dan demokratis.
 
Dalam rumusan mereka tentang syariat Islam, bahwa semua warga negara, apapun 
agamanya dan sesembahannya memiliki kedudukan yang sama dan memperoleh 
perlakuan yang adil (sama), kaum minoritas dan perempuan dilindungi dan dijamin 
hak-haknya secara setara. [Lihat Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Bab 
I]
 
Menurut hasil penelitian mereka, syariat Islam yang “purba” itu, secara jelas 
sangat menyalahi prinsip dasar universal, yaitu : prinsip persamaan 
(al-mursawah), persaudaraan (al-ikha) dan keadilan (al-adl), serta gagasan 
dasar bagi pembentukan masyarakat modern, seperti pluralisme, kesetaraan 
gender, HAM, demokrasi dan egalitarianisme. Bahkan menurut keyakinan mereka, 
hukum Islam bertentangan dengan hukum nasional dan konversi internasional. Oleh 
karena itu, mereka berpendapat syariat Islam adalah diskriminatif, anti 
demokrasi, usang, formalistic, radikalistik, fundamentalistik, teosentris, 
berwajah keras, kaku dan rigid, intoleran, tidak relevan dan bernuansa 
konfliktual. [Lihat Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Bab 2, Fiqih 
Lintas Agama, Mukaddimah dan penutup ; Koreksi Total Fikih Lintas Agama, hlm 
9-55]
 
Diantara syariat Allah yang dianggap diskriminatif adalah hukum perkawinan dan 
hukum kewarisan. Mereka mengatakan, agama Islam yang menafikan adanya hak 
saling mewarisi antara muslim dan non muslim bertentangan dengan prinsip 
demokrasi. Yaitu sebuah gagasan yang percaya pada prinsip kebebasan 
(al-hurriyyah, liberti), kesetaraan (al-musawah, egalitarianisme), dan 
persaudaraan (al-ukhuwah), keadilan (al-adalah), pluralisme (al-ta’addudiyyah) 
dan kedaulatan manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik. 
[Lihat pendapat mereka dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Bab II, 
Pembahasan VII]
 
Mereka mengatakan, fiqih Islam sangat tidak toleran terhadap agama lain. 
Padahal ayat.
 
“..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir 
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” [An-Nisa : 141]
 
Yang mereka gunakan tidak menujukkan langsung pada pengharaman waris beda 
agama, dan yang ada hanyalah hadits yang bersifat umum. Maka menurut mereka, 
hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya, yaitu dalam konteks 
keluarga (ulul arham), keturunan (nasab) dan menantu (shihr) apapun agamanya. 
[Lihat Fikih Lintas Agama, lm. 165-167]
 
Mereka juga mengatakan, hukum Islam yang memberikan hak waris kepada anak yang 
lahir dari zina (anak di luar pernikahan) hanya dari ibunya sebagaimana yang 
dibakukan dalam kompilasi hukum Islam Indonesia. Pasal 186, bertentangan dengan 
prinsip perlindungan anak dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, mereka 
mengusulkan agar anak tetap memiliki hak waris dari ayah biologisnya. [Lihat 
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Bab II, Pembahasan V, Pasal 16 dalam 
Draft KHI Liberal]
 
Mereka juga mengatakan, pembagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan 2 : 1 
adalah diskriminatif, bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender (al-musawah 
al-jinsiyah) dan keadilan sosial. Hukum yang seperti ini hanya akan 
memarginalkan dan mendehumanisasi perempuan, mendiskriminasi dan mensubordinasi 
perempuan. Hukum yang dilahirkan oleh masyarakat dan budaya patriarkhis, dimana 
laki-laki selalu menjadi pusat kuasa dan misoginis (kebencian terhadap 
perempuan) sering dianggap wajar dalam penafsiran
 
Oleh karena itu mereka mengusulkan, agar proporsi pembagian laki-laki perempuan 
sama 1 : 1 atau 2 : 2, seperti yang mereka tuangkan dalam pasal 8 Kompilasi 
Hukum Islam mereka. Untuk tujuan ini –menurut mereka- tidak cukup sekedar 
melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekonstruksi (pembongkaran) 
terhadap bebatuan idiologi yang melilitnya berabad-abad. [Lihat Counter Legal 
Draft Kompilasi Hukum Islam, Bab II, Pembahasan VII, poin kesetaraan gender ; 
Neo Ushul Fiqh ; Menuju Ijtihad Kontekstual. Hlm. 271]
 
Inilah kondisi syariat Islam yang menurut mereka bias masculine-centris yang 
didominasi oleh fiqh dan tafsir maskulin. Artinya sudah terjadi semacam operasi 
kelamin atas ayat-ayat suci. [Lihat Gugatan Amina atas tafsir dan fiqih 
maskulin, islamlib.com, diambil pada 08-04-2005]
 
Kini, tibalah saatnya –menurut mereka- untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat 
hukum yang praktis-temporal, particular atau teknis operasional (juz’iyyah) 
agar sesuai dengan nilai-nilai universal dan terbebas dari muatan local 
arabisme.
 
JAWABAN ISLAM ATAS BEBERAPA SYUBHAT MEREKA
Pada bagian ini, saya akan mengulas tiga syubhat yang dilontarkan para pemikir 
liberalis berkaitan dengan hukum waris.
 
[1]. Ungkapan Mereka : Bahwa Al-Qur’an telah datang untuk suatu tempo tertentu 
yang sudah lewat, sehingga tidak relevan (cocok) untuk segala zaman. Artinya 
tidak sesuai lagi dengan masa sekarang ini. Mereka mengatakan : “Untuk itu 
wajib diinterpretasi ulang agar sesuai dengan masa modern ini”. Mereka 
mengambil contoh hukum waris bagi perempuan. Menurut mereka, sesungguhnya ayat 
“bagi laki-laki adalah seperti bagian dua orang wanita” telah datang pada waktu 
tertentu dan konteks sejarah tertentu, maka ia wajib dirubah agar sesuai dengan 
semangat modern, hingga wanita setara dengan laki-laki dalam hal waris.
 
Bantahan Terhadap Syubhat.
Sesungguhnya klaim bahwa Al-Qur’an telah kehilangan relevansinya pada masa 
sekarang bukanlah barang baru. Mereka ini telah didahului oleh para filosof 
‘pencerahan’ yang sekularis di dunia Barat. Mereka telah menyerang Taurat dan 
Injil sebelum Al-Qur’an. Mereka melihat, bahwa kisah-kisah Taurat dan Injil 
hanyalah symbol. Agama dan beragama hanyalah ‘fase sejarah’ dalam usia evolusi 
manusia. Sedangkan selain daripada itu, hukum dan syariat hanyalah ‘iman’, 
seperti tahapan sejarah menurut teori evolusi rasio, jadi tidak lagi relevan 
dengan abad ilmu profane
 
Begitulah kritik historisitas teks keagamaan, yaitu bermula dalam pemikiran 
‘pencerahan’ Barat yang sekuler dan dalam kebangkitan Eropa modern ini. 
Meskipun ide ini sah dan telah mendapatkan tempat di Barat, terutama terhadap 
kitab-kitab agama yang khusus berkaitan dengan Bani Israil yang dibawa orang 
Yahudi dan Nashrani, dan telah menempatkan Taurat dan Injil pada waktu tertentu 
dan dengan rincian syariatNya, terutama dalam Taurat yang telah dilewati oleh 
perkembangan realitas. Maka pikiran seperti ini tidaklah dapat diterapkan pada 
Islam dan kitab suci Al-Qur’an yang mulia. Karena Al-Qur’an adalah kitab 
syari’at penutup dan risalah yang menutup kenabian dan kerasulan. Kalau kita 
terapkan teori “Historisitas teks agama” kepada Al-Qur’an, tentu akan terjadi 
kekosongan dalam referensi agama, karena tidak ada risalah setelah risalah 
Muhammad, dan tidak ada wahyu setelah Al-Qur’an. Apabila terjadi kekosongan di 
dalam referensi agama dan hujjah Ilahiyyah atas manusia, maka hilanglah hujjah 
Allah atas hamba-hambaNya dalam hisab dan jaza (balasan), karena mereka akan 
mengatakan “Wahai Tuhan kami, Engkau telah menurunkan atas kami sebuah kitab 
suci yang kini telah dinasakh (dihapus) oleh perkembangan zaman. Maka apa yang 
harus kami terapkan setelah realitas yang dinamis melampaui ayat-ayat dan 
hukum-hukum Al-Qur’an yang telah Engkau turunkan sebagai hidayah bagi kami”?
 
Kemudian masalah waktiyyah (temporalitas) hukum-hukum dan mahalliyah 
(lokalitas)nya tidak pernah disuarakan dalam masalah hukum-hukum ibadah (karena 
dianggap urusan privat). Akan tetapi mereka suarakan dalam ayat-ayat hukum 
muamalat (urusan publik). Mereka telah salah ketika menyangka bahwa 
temporalitas itu diperlukan dalam hukum muamalat yang hadir di dalam Al-Qur’an. 
Karena Al-Qur’an dalam masalah muamalat telah bediri tepat di atas falsafah, 
kaidah, teori dan paradigma tasyri. Hal ini dibahas oleh Al-Qur’an dalam porsi 
yang lebih banyak daripada rincian hukum-hukum muamalat itu sendiri
 
Al-Qur’an telah merinci perkara-perkara yang konstan dan permanen (tsawabit), 
tidak berubah dengan perubahan zaman dan ruang, seperti sistem nilai dan ahlak, 
kaidah-kaidah syar’i yang menjadi acuan berjtihad dalam hukum-hukum amali 
tafsili (yang detail), hudud (hukum pidana) yang berkaitan dengan perlindungan 
terhadap maqasid syar’iyah yang kuliyyah (total). Sedangkan rincian hukum-hukum 
muamalat diarahkan kepada ilmu fikih yang merupakan hasil ijtihad yang ada 
dalam bingkai syari’at Ilahiyyah yang sudah konstan (tsawabit). Hal ini 
dimaksudkan agar fikih muamalat ini senantiasa dinamis seiring dengan dinamika 
kehidupan sepanjang waktu, agar selalu relevan dengan perkembangan realitas dan 
peristiwa-peristiwa kontemporer. Namun semua itu dalam koridor prinsip-prinsip 
syariat, kaidah dan batasan-batasannya yang berfungsi melestarikan keislaman 
hukum-hukumnya yang dinamis.
 
Format Islam yang unik dalam teks Ilahi yang konstan ini –syari’at yang baku 
yang ditetapkan oleh Allah- melestarikan sifat keislaman (Islamiyah) dan 
ketuhanan (Ilahiyah) demi referensi dan sumber selamanya. Sedangkan 
perkara-perkara yang bersifat berubah (mutaghayyirat), diserahkan kepada fiqih 
(pemahaman ulama) yang berkembang dan terbaharui. Formasi Islam seperti inilah 
yang menempatkan nash (Al-Qur’an dan Hadits) dengan dinamika interpretasi 
manusia terhadap nash Ilahi yang konstan. Syariat Islam menggabungkan antara 
tsabat al-wadh al Ilahi (ketetapan , ketentuan ilahi) dan tathawwur al ijtihad 
al fiqhi (perkembangan ijtihad fiqhi). Artinya, menggabungkan antara ketetapan 
marja’iyyah (referensi) dan nash (teks). Dengan perkembangan ijtihad fiqhi yang 
sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang zaman
 
Kita, ketika memperhatikan contoh-contoh ini –dalam hal ini- ‘warisan wanita’, 
maka kita semakin yakin tentang salahnya klaim penerapan teori modern sekuler 
atas Al-Qur’an yang suci, atas hukum-hukum syari’at yang terdapat di dalamnya. 
Tidak benar bila difahami bahwa hukum waris dalam Islam telah merendahkan 
wanita, sehingga dikatakan bahwa hukumanya relevan dengan masa lalu dan tidak 
relevan dengan masa kini dan yang akan datang.
 
Wanita di dalam Islam tidak selamanya mewarisi separoh dari laki-laki. 
Al-Qur’an tidak mengatakan.
 
“Allah mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) para ahli waris, 
yaitu ; bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan”
 
Akan tetapi hal itu dikhususkan pada kondisi anak-anak, bukan pada seluruh ahli 
waris. Allah berfirman
 
“Allah mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu 
: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan 
; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua 
pertiga dari harta yang ditinggalkan ; jika anak perempuan itu seorang saja, 
maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi 
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal 
itu mempunyai anak ; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia 
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang 
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. 
(Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau 
(dan) sesudah dbayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu 
tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya 
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui 
lagi Maha Bijaksana” [An-Nisa : 11]
 
Adapun bila ketentuannya dimaksudkan untuk seluruh ahli waris, maka Al-Qur’an 
menggunakan kata-kata yang umum, yaitu lafazh an-nashib (bagian), yakni 
masing-masing laki-laki dan perempuan memiliki bagian sama. Allah berfirman.
 
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, 
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan 
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” 
[An-Nisa : 7]
 
Ukuran perbedaan bagian waris tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin 
–laki-laki atau perempuan- secara mutlak. Tidak seperti yang disangka oleh 
kebanyakan orang, akan tetapi ukuran perbedaan ini ada tiga : (1). Tingkat 
kekerabatan. Semakin dekat tingkat kekerabatan (hubungan nasabnya) dengan si 
mayit, maka semakin tinggi haknya dalam waris. (2). Posisi generasi pewaris 
dalam mata rantai generasi. Ini adalah hikmah Ilahiyyah yang sangat tinggi 
dalam meletakkan dasar waris menurut Islam. Semakin kecil seorang pewaris, dari 
generasi yang menyongsong kehidupan dan memikul beban-bebannya, yang menghadapi 
tanggung jawab yang terus berkembang, maka bagian warisnya semakin besar. Maka 
putra si mayit mewarisi lebih banyak dari ayah si mayit, padahal keduanya 
adalah laki-laki. Puteri si mayit mewarisi lebih banyak dari ibunya, padahal 
keduanya sama-sama wanita. Bahkan putri si mayit mewarisi lebih banyak daripada 
ayah si mayit. (3). Faktor ketiga dalam membedakan bagian-bagian waris adalah 
beban finansial yang dipikulnya sesuai dengan syariat Islam. Apabila tingkat 
kekerabatannya sama dan posisi generasi pewarisnya sama seperti posisi anak, 
dengan pembedaan antara anak laki-laki yang dibebani untuk menafkahi istri, 
keluarga dan anak-anak, dengan anak perempuan yang akan dijamin nafkahnya dan 
nafkah anak-anaknya oleh suaminya. Maka pada kondisi seperti ini bagian 
laki-laki, sama dengan bagian dua perempuan. Di dalam pembagian ini sama sekali 
tidak ada unsur diskriminasi, tetapi yang ada justru mengistimewakan perempuan 
sebagai bentuk kehati-hatian karena lemahnya.
 
Inilah fakta-fakta kebenaran dalam waris Islam yang tidak diketahui atau 
sengaja dilupakan oleh para kaum liberalis yang mengajak untuk mendekontruksi 
hukum waris dan mereinterpretasi ayat-ayat waris dengan teori historisitas 
teks. Inilah fakta-fakta kebenaran waris Islam dengan menjadikan wanita dalam 
daftar ahli waris, yang mewarisi bersama-sama kaum laki-laki sesuai dengan 
kondisinya. Perempuan mewarisi sama dengan laki-laki, atau lebih banyak dari 
laki-laki. Perempuan mewarisi sedangkan laki-laki tidak lebih dari tiga puluh 
keadaan dari keadaan-keadaan waris Islam, sementara perempuan mewarisi separuh 
dari waris laki-laki hanya dalam empat keadaan. [Lihat Sejarah Penulisan 
Al-Qur’an, Syaikh Mamduh Al-Buhairi]
 
[2]. Ucapan mereka : Bahwa syariat Islam tentang waris beda agama adalah sangat 
diskriminatif terhadap orang kafir, padahal ayatnya tidak jelas dan haditsnya 
umum .., dan seterusnya.
 
Bantahan Terhadap Syubhat.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, agar beliau Shallallahu 
‘alaihi wa sallam menyampaikan dan menjelaskan maksud-maksudNya. Di antara 
maksud dan bentuk aplikasi dari firman Allah
 
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk 
memusnahkan orang-orang yang beriman” [An-Nisa : 141]
 
Adalah hukum-hukum Allah yang mengharamkan orang kafir menikahi wanita 
mukminah, mengharamkan orang kafir mewarisi harta orang mukmin, dan sebagainya.
 
Ketika turun ayat-ayat (waris) dalam surat An-Nisa, Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda.
 
“Sesungguhnya Allah telah memberi setiap pemilik hak akan haknya. Ingatlah, 
tidak ada wasiat untuk ahli waris” [Shahih HR Abu Dawud 3565, Tirmidzi 2/16, 
Ibnu Majah 2713, Al-Baihaqi 6/264, Ath-Thayalisi 1127, Ahmad 5/267. Tirmidzi 
berkata : “Hasan, shahih”. Lihat Kifayatul Akhyar, 327]
 
Untuk menjelaskan ayat-ayat waris tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
juga bersabda.
 
“Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim” 
[HR Bukhari 1/402, Muslim 5/59, Malik 2/59/10, Abu Dawud 2909, Tirmidzi 2/13, 
Ibnu Majah 2329, Hakim 2/240, Ahmad 5/200 dan lain-lain]
 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.
 
“Orang yang membunuh tidak mewarisi apapun dari yang dibunuh” [HR Daruquthni 
465-466, Baihaqi 2/220, Abu Dawud 4564, Hasan lighairihi. Lihat Kifayatul 
HAMIL DI LUAR NIKAH DAN MASALAH NASAB ANAK-2/4-





Oleh

Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat









[1]. Kejadian Yang Pertama : Apabila seorang perempuan [9] berzina kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah anak zina dengan kesepakatan para ulama.



Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya [10] dan tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (bapak zinanya), tegasnya hubungan nasab antara anak dengan bapaknya terputus. Demikian juga dengan hukum waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya. Demikian juga hak kewalian –kalau seorang anak perempuan- terputus dengan bapaknya. Yang menjadi wali nikahnya ialah sultan (penguasa) atau wakilnya seperti qadli (penghulu) [11]. Dan tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah kepada anak yang lahir dari hasil zina [12]. Akan tetapi hubungan sebagai mahram tetap ada tidak terputus meskipun hubungan nasab, waris, kewalian dan nafkah terputus. Karena biar bagaimanapun juga anak itu adalah anaknya, yang tercipta dari air maninya walaupun dari hasil zina. Oleh karena itu haram baginya menikahi anak perempuannya dari hasil zina sama haramnya dengan anak perempuannya yang lahir dari pernihakah yang shahih. Lebih luasnya lagi bacalah kitab-kitab dibawah ini:



[1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal. 529-530 tahqiq Doktor Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turkiy)

[2]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah (Jilid 32, hal. 134-152)

[3]. Majmu Syarah Muhadzdzab (Juz 15 hal. 109-113)

[4]. Al-Ankihatul Faasidah (Hal. 75-79 Abdurrahman bin Abdirrahman Sumailah Al-Ahsal).



[2]. Kejadian Yang Kedua : Apabila terjadi sumpah li’aan antara suami isteri.

Sebagaimana telah saya jelaskan dengan ringkas di fasal ketiga belas, maka anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian juga tentang hukum waris dan nafkah serta hak kewalian. [13]



[3]. Kejadian Yang Ketiga : Apabila seorang isteri berzina

Apabila seorang isteri berzina –baik diketahui suaminya [14] atau tidak- kemudian dia hamil, maka anak yang dilahirkannya itu dinasabkan kepada suaminya bukan kepada laki-laki yang menzinai dan menghamilinya [15] dengan kesepakatan para ulama berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.



“Artinya : Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)” [Hadits shahih riwayat Bukhari no. 6749 dan Muslim no. 4/171 dari jalan Aisyah dalam hadits yang panjang. Dan Bukhari no. 6750, dan 6818 dan Muslim 4/171 juga mengeluarkan dari jalan Abu Hurairah dengan ringkas seperti lafadz di atas]



Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ialah bahwa anak itu milik suami yang sah meskipun lahir dari hasil zina isterinya dengan orang (laki-laki) lain. Tetap anak itu menjadi miliknya dan dinasabkan kepadanya. Sedangkan bagi laki-laki yang menzinai isterinya tidak mempunyai hak apapun terhadap anak tersebut.



Kejadian di atas di luar hukum li’aan dan perbedaannya ialah ; Kalau hukum li’aan suami menuduh isterinya berzina atau menafikan anak yang dikandung isterinya di muka hakim sehingga dilaksanakan sumpah li’aan. Dalam kasus li’aan ini anak dinasabkan kepada isteri baik tuduhan suami itu benar atau bohong. Sedangkan pada kasus di atas tidak terjadi sumpah li’aan meskipun suami mengetahui bahwa isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Ini disebabkan suami tidak melaporkan tuduhannya ke muka hakim sehingga tidak dapat dilaksanakan sumpah li’aan.[16]



Oleh karena itu anak tetap dinasabkan kepada suami yang sah. Yang sering terjadi khususnya di negeri kita ini bahwa perselingkuhan isteri yang diketahui suami. Wallahu a’lam
Akhyar, 329]
 
Oleh karena itu, seluruh kaum muslimin berijma, bahwa perbedaan agama dan 
membunuh adalah termasuk penghalang waris.
 
Hadits ini bersifat khusus, sangat tegas dan maknanya pasti. Sehingga anggapan 
kaum liberalis yang mengatakan bahwa hadits ini bersifat umum hanyalah 
mangada-ada, kecuali jika yang dimaksud dengan umum adalah adalah universal, 
maka itu benar. Menolak hadits-hadits seperti ini dengan sekedar pendapat, 
adalah sama persis dengan penolakan iblis terhadap perintah Allah agar sujud 
kepada Adam hanya dengan sekedar pendapat dan analisa kontekstual. Iblis 
memandang perintah Allah tidak relevan dan tidak adil. Menurut logika iblis, 
dia lebih baik dari Adam.
 
[3]. Usulan mereka : Agar anak hasil zina mendapat hak waris
Inilah salah satu bagian dari bentuk keadilan dan kesetaraan versi orang-orang 
liberal yang menganggap bahwa adil adalah setara dan sama.
 
Saya khawatir, mereka berlogika anak zina sama dengan anak nikah, bapak dari 
hubungan zina sama dengan bapak dari hubungan nikah, hubungan zina sama dengan 
nikah, zina dan nikah sama-sama hak asasi manusia. Mereka lupa atau pura-pura 
lupa, atau memang ingkar, bahwa sebab waris dalam Islam yang telah disepakati 
bulat (ijma) oleh umat Islam adalah nikah, nasab dan wala (yang memerdekakan 
budak mewarisi budak tersebut), dan tidak ada sebab waris yang namanya zina
 
Adapun anak hasil zina, maka Islam telah menetapkan ia hanya bernasab kepada 
ibunya, tidak kepada bapaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda yang sekaligus menjadi sebuah kaidah.
 
“Anak itu untuk pemilik tempat tidur (suami/tuan pemilik budak), sedangkan 
untuk pezina adalah batu (rajam)” [HR Bukhari 6750, 6818, Muslim 1458, 
An-Nasa’i 3482-3492]
 
Di dalam Al-Qur’an (Al-Baqarah ayat 233), kata ayah disebut dengan istilah 
–almauuluudu lahu- “orang yang anak dilahirkann untuknya”. Oleh karena itu, 
yang dimaksud dalam ayat waris (An-Nisa : 11) adalah anak yang sah secara 
syara’. Adapun mengenai perlindungan anak, Islam telah menetapkan 
hukum-hukumnya dan menyiapkan sebab-sebabnya, bukan hanya waris.
 
Jadi sangat tidak beralasan, jika dengan dalih perlindungan anak dan hak anak, 
lalu seseorang melanggar hukum Allah, menolak hadits dan menyelewengkan 
Al-Qur’an. Jika tidak adanya hak waris bagi anak zina dianggap menelantarkan, 
maka itulah sejatinya bagian dari hakikat kejahatan zina, perbuatan keji dan 
pelampiasan nafsu yang buruk, asusila, merusak nasab, keluarga dan masyarakat. 
Seharusnya para pemikir liberal itu membela hukum Allah dan mengutuk zina yang 
keji dan kotor itu, tetapi sangat disayangkan, mereka selalu membela yang 
buruk, keji dan kotor, seperti kekufuran, kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan, 
lalu menodai syari’at yang suci.
 
Demikianlah paparan singkat mengenai relevansi hukum waris Islam yang cermat 
dan adil karena berasal dari yang Maha Alim dan Hakim. Allah menutup ayat waris 
dengan firman-Nya.
 
“Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha 
Bijaksana” [An-Nisa : 11]
 
Berbeda dengan usulan orang-orang liberal atau ahli bid’ah lainnya yang selalu 
mengeluarkan aroma kezhaliman dan kebodohan. Mereka berbicara tanpa bimbingan 
wahyu. Manusia adalah ‘dhalim dan bodoh’.
 
Tiga kasus di atas cukup menjadi indikator dan cermin, bahwa sikap pemikiran 
kaum liberalis ini sama dengan pemikiran jahiliyah terdahulu, sama-sama 
bersikap lancang kepada Allah, merendahkan syari’at dan mengandalkan akal yang 
dangkal, atau konteks sosial yang akhirnya benar-benar membawa sial bagi 
dirinya dan umat mausia.
 
Jadi yang tidak relevan sebenarnya adalah pikiran-pikiran liberal itu sendiri, 
karena sifatnya yang parsial, spekulatif, monopolistic, imperialistic dan 
absurd.
 
Semoga bermanfaat.
 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183]
_______
Maraji’
[1]. Shalih Al-Fauzan, At-Tahqiqat Al-Mardhiyah, Jami’atul Imam, Cet.3, 1408
[2]. Mamduh Al-Buhairi, Sejarah Penulisan Al-Qur’an, terjemahan Agus Hasan 
Bashari (sedang dicetak)
[3]. Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft 
Kompilasi Hukum Islam, Jakarta 2004
[4]. Nur Cholis Cs, Fiqih Lintas Agama, Paramadina, Cet. I, 2003
[5]. Agus Hasan Bashari, Koreksi Total Fiqih Lintas Agama, Pustaka Al-Kautsar, 
Cet. II. 2004
[6]. Riyanta, dkk (Editor), Neo Ushul Fiqih; Menuju Ijtihad Kontekstual, 
Fakultas Sejarah IAIN Sunan Kalijaga, Cet. I, 2004
[7]. Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini Ad-Dimasyqi, Kifayahtul Akhyar, Tahqiq Ali 
Abu Al-Khair, Dar Al-Khair, Beirut, Cet. 2, 1995
[8]. Dan lain-lain
_________________________________________________________________
Easily manage multiple email accounts with Windows Live Mail!
http://www.get.live.com/wl/all
 
 
Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/mlbios.php/aturanmilis/ 
Yahoo! Groups Links
 
<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/
 
<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional
 
<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)
 
<*> To change settings via email:
    [EMAIL PROTECTED] 
    [EMAIL PROTECTED]
 
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]
 
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/