Judul buku: Feminisme:
Sebuah Kata Hati
Penulis: Gadis Arivia
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan: Pertama, Maret
2006
Tebal: xii + 486 halaman
Dalam jagad feminisme di
Indonesia, tak banyak sosok yang dapat dikategorikan sebagai aktivis
sekaligus pemikir, yang bergerak dan berjuang di lapangan sekaligus
menggeluti diskursus teoretis feminisme. Di antara sedikit sosok
semacam itu kita dapat menyebut nama Gadis Arivia, pengajar filsafat
di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, yang juga
bergiat mendirikan dan mengelola Yayasan Jurnal Perempuan di Jakarta
sejak 1996.
Sebagai seorang
akademisi, Gadis telah menerbitkan buku Filsafat Berperspektif
Feminis (YJP, 2003), yang berasal dari disertasinya di UI. Dalam buku
tersebut Gadis melakukan pembacaan dekonstruktif atas sejarah panjang
Filsafat Barat yang maskulin dan menawarkan sebuah perspektif baru
untuk lebih memberdayakan filsafat dalam kerangka keadilan dan
pembebasan. Sebagai aktivis, berbagai kegiatan telah dilakukan Gadis,
terutama bersama Yayasan Jurnal Perempuan, mulai dari penerbitan
Jurnal Perempuan, siaran radio di berbagai daerah, hingga turun ke
jalan pada 1998 memprotes kenaikan harga susu bersama Suara Ibu
Peduli. Baru-baru ini, Gadis lantang menentang RUU APP yang
dinilainya mengabaikan kepentingan kaum perempuan.
Buku ini adalah semacam
antologi dan jejak refleksi di antara kiprah Gadis selama ini dalam
ranah perjuangan untuk mengangkat harkat perempuan di Indonesia.
Sementara Filsafat Berperspektif Feminis lebih memperlihatkan sosok
Gadis sebagai seorang akademisi, buku ini merekam pergulatan panjang
Gadis selama sepuluh tahun terakhir dalam ikhtiar kerasnya memulihkan
martabat kaum perempuan di Indonesia. Dalam buku ini pembaca akan
dapat melihat nuansa perjuangan Gadis yang begitu luas dan kaya;
Gadis menulis tentang sejarah gerakan dan pemikiran perempuan,
aborsi, pornografi, tentang kontroversi Inul, pemilihan Miss
Universe, traficking, keterbelakangan perempuan dalam pendidikan,
pekerja rumah tangga, dan sebagainya.
Cukup menarik jika
pembaca memerhatikan judul buku ini: Feminisme: Sebuah Kata Hati.
Judul ini menyiratkan bahwa feminisme yang disajikan dan dipotret
dalam kumpulan tulisan ini bukan feminisme sebagai wacana atau
pemikiran belaka; bukan feminisme yang diperdebatkan atau dibicarakan
secara ilmiah, teoretis, dan akademis. Pemilihan judul ini seperti
ingin mengundang pembaca untuk menatap isu-isu perempuan dari
kacamata sensitivitas pengalaman yang lebih personal. Sampul buku
ini, yang menampilkan gambar seorang bocah perempuan dengan latar
dinding gubuk yang kumuh, yang merupakan foto karya Curt Carnemark
berjudul “Girl in Pasar Ikan, Jakarta”, semakin mempertegas arah
pendekatan yang diharapkan Gadis untuk melihat feminisme, dengan
nuansa yang lebih menyentuh dan membangkitkan empati.
Sayangnya, jika menelaah
semua tulisan dalam buku ini, kita tidak akan cukup yakin bahwa dalam
buku ini Gadis menyajikan semua persoalan perempuan dengan gaya
penyajian yang cukup konsisten dengan arah pendekatan yang
diinginkannya itu. Dari segi teknis menulis, setidaknya yang
terangkum dalam buku ini, Gadis tidak sepenuhnya bisa lepas dari
statusnya sebagai seorang akademisi, sehingga beberapa cara penyajian
Gadis atas sejumlah perangkat teori feminisme masih kurang mengalir,
lincah dan mengesai, sehingga kurang mampu mengentalkan “kata hati”
perempuan. Kita dapat menemukan ini saat Gadis mengulas sosok Kartini
(hlm. 38-48), kekerasan negara atas perempuan (hlm. 207-225), atau
undang-undang perkawinan (hlm. 434-446).
Meski demikian, dapat
dikatakan bahwa kerangka teoretis umum yang secara implisit diajukan
Gadis dalam buku ini cukup mengena dengan corak pendekatan yang
diharapkannya itu. Gadis, yang lahir di New Delhi 8 September 1964,
cukup percaya bahwa berhadapan dengan persoalan perempuan Indonesia
yang rumit dan akut, kita tak dapat sepenuhnya mengandalkan pada
dekonstruksi teoretis feminisme atas ketimpangan, marginalisasi, dan
subordinasi yang dialami perempuan.
Dalam banyak tulisannya
di buku ini, Gadis mendekati persoalan kaum perempuan dengan
perspektif multikulturalisme. Secara umum dapat dikatakan bahwa
pendekatan multikultural dalam feminisme menghendaki adanya
penghargaan atas keragaman cara berada dan latar setiap kaum
perempuan, sehingga hal ini memengaruhi cara mereka bersiasat
menghadapi ketertindasan dalam beragam hal. Keunikan dan
subjektivitas setiap perempuan diberi tempat yang lebih leluasa.
Dalam memaparkan kontroversi Inul misalnya, Gadis menunjukkan
bagaimana Inul yang merupakan seorang perempuan marjinal tampil
dengan gayanya yang khas; Inul hadir dengan bahasa yang “lain”,
yang kemudian dikoreksi oleh para pemegang otoritas agar dapat
memenuhi tuntutan bahasa universal asumsi patriarki (hlm. 122-130).
Pendekatan yang demikian ini terasa cukup berhasil untuk lebih
menghadirkan kata hati kaum perempuan.
Demikian pula, dalam
beberapa tulisan yang lain, Gadis menulis dengan penuh empati, saat
bertutur tentang perdagangan perempuan dan anak (hlm. 249-262),
menyajikan pleidoi saat ia diadili karena menggelar demonstrasi Suara
Ibu Peduli pada Februari 1998 (hlm. 283-285), atau surat terbukanya
kepada Presiden Megawati di tahun 2003 yang dimuat di Harian The
Jakarta Post (hlm. 305-309).
Buku ini cukup menarik
dan bernilai penting jika dilihat sebagai sebuah upaya dialektis
Gadis Arivia untuk mempraktikkan lingkaran aksi dan refleksi atas
perjuangannya selama ini—sesuatu yang patut diteladani terutama
buat para aktivis dan pemikir. Dengan begitu, aksi dan refleksi ini
akan dapat melahirkan sebuah cara pandang yang lebih baik dan utuh
terhadap kebutuhan solusi konkret atas persoalan yang ada.