T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)
Dalam memperingati isra' dan mi'raj sering kita diajak oleh
pembicara pengajian akbar melanglang buana sampai ke langit, dan kadang-kadang
dibumbui dengan analisis yang nampaknya berdasar sains. Bagi saya, aspek
astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian isra' mi'raj.
Tulisan ini saya maksudkan untuk mendudukkan masalah isra'
mi'raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur'an dan
hadits-hadits sahih. Untuk itu pula akan saya ulas kesalahpahaman yang sering
terjadi dalam mengaitkan isra' mi'raj dengan kajian astronomi. Makna penting isra'
mi'raj yang mestinya kita tekankan.
Kisah dalam Al-Qur'an dan Hadits
Di dalam QS. Al-Isra':1 Allah menjelaskan tentang isra':
"Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Dan tentang mi'raj Allah menjelaskan dalam QS.
An-Najm:13-18:
"Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad
SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal.
(Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya
tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang
paling besar."
Sidratul muntaha secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah
yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau
makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal
yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan
hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Kejadian-kejadian sekitar isra' dan mi'raj dijelaskan di
dalam hadits- hadits nabi. Dari hadits-hadits yang sahih, didapati rangkaian
kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu
dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan
hikmah. Kemudian didatangkan buraq, 'binatang' berwarna putih yang langkahnya
sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra' dari Masjidil
Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina.
Nabi SAW salat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan
oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu; Nabi SAW memilih
susu. Kata malaikat Jibril, "Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih
khamr, sesatlah ummat engkau."
Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki
langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh
ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit
ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya.
Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu
Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke
enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul
Ma'mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali
memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul
Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula
empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir)
di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas berisi
khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, "Itulah
(perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau." Jibril mengajak
Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an
surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang
sebenarnya.
Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah
salat wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas
saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh-
sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi
enggan meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta keringan kepada
Tuhanku, kini saya rela dan menyerah." Maka Allah berfirman, "Itulah
fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku."
Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma'mur sampai menerima
perintah salat tidak sama dalam beberapa hadits, mungkin menunjukkan kejadian-
kajadian itu serempak dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzhahir)
dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi
SAW yang pergi dengan badan fisik hingga bisa salat di Masjidil Aqsha dan
memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik,
seperti pertemuan dengan ruh para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran
Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di
surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan
susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian
keimanan, bagi orang mu'min semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah
Maha Kuasa atas segalanya.
"Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan
kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan
Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu,
melainkan sebagai ujian bagi manusia...." (QS. 17:60).
"Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata
Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu
Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa yang saya
inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya
memperhatikannya...." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa isra' mi'raj yang menyebut-nyebut tujuh langit
mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya
berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur'an.
Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah
biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru
di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah
semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh
partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa' atau samawat) berarti segala yang
ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang,
planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang
melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.
Bilangan 'tujuh' sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur'an
tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur'an
ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak
terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
"Siapa yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang
masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala
orang-orang yang dikehendakinya...."
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
"Jika seandainya semua pohon di bumi
dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan
lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah...."
Jadi 'tujuh langit' lebih mengena bila difahamkan sebagai
tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai
lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke
tiga, ... sampai langit ke tujuh dalam kisah isra' mi'raj? Mungkin ada orang
mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada
yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan
planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah
diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin
mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui,
dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya --termasuk
bumi-- mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang mungkin akan berfikir langit
dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga orbit Jupiter, ke
empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan ke tujuh Pluto.
Kok, klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid terjauh dalam
QS. 17:1, ada di planet Pluto.
Dan Sidratul Muntaha adalah planet ke sepuluh yang tak
mungkin terlampaui. Jadilah, isra' mi'raj dibayangkan seperti kisah Science
Fiction, perjalanan antar planet dalam satu malam. Na'udzu billah mindzalik.
Saya berpendapat, pengertian langit dalam kisah isra'
mi'raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang
diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan ruh para
Nabi. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra' mi'raj adalah alam ghaib
yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya
Rasulullah SAW yang berkesempatan mengetahuinya. Isra' mi'raj adalah mu'jizat
yang hanya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Makna pentingnya
Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan
hakikat perjalanan isra' mi'raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia
sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa
isra' mi'raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya,
begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan
menyampaikan perintah salat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.
Makna penting isra' mi'raj bagi ummat Islam ada pada
keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan
kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh
setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda
dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara
ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya
dan mampu keuangannya.