Adi
Dinardinata
Fakultas
Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRACT
The purpose of
this study was to examine the effectiveness of The Anti Bullying and Teasing
Program to decrease the frequency of bullying behavior and also its intensity
in preschool classroom. Students of two classrooms in the same preschool whose meet the criteria
of inclusion was included as subjects of study. The untreated control group
design with removed treatment was used to examine the program’s effect. The
program is based on The Anti Bullying and Teasing Book for Preschool Classroom
(Sprung, Froschl, & Hinitz, 2005). The program was consisted of six hours
intensive orientation program for teachers and ten sessions of community theme
activities for students implemented by teachers. This study showed that the
Anti Bullying and Teasing Program had an influence on the decreasing frequency
of bullying behavior in subjects.
Keywords: Bullying frequency, The Anti Bullying and Teasing Program for Preschool
Classroom
Berdasarkan
hasil survei pendahuluan yang dilaksanakan pada bulan maret 2010, ditemukan
bahwa 48,78% dari 123 orang guru Taman Kanak-kanak (TK) di Sleman Yogyakarta
melaporkan adanya siswa tertentu di kelasnya yang sering kali menjadi korban
perilaku agresif teman-temannya. Perilaku-perilaku agresif yang dimaksud antara
lain adalah agresivitas verbal (yaitu menertawakan teman, mengatakan hal-hal
yang jahat kepada teman, dan membungkam teman), agresivitas terkait barang
kepemilikan teman (yaitu merampas barang milik teman, menghancurkan barang
milik teman, dan menyembunyikan barang milik teman), agresivitas fisik (yaitu
menarik rambut teman, memukul teman, menggigit teman, dan menendang teman),
serta agresivitas psikologis (yaitu tidak mengizinkan teman untuk bergabung dan
tidak mengizinkan teman untuk duduk di dekatnya). Ditemukannya siswa yang
sering korban perilaku agresif teman-temannya di kelas, baik secara verbal,
fisik, psikologis, maupun agresivitas terkait barang kepemilikan ini
mengindikasikan bahwa bullying telah
ada pada TK-TK di wilayah Sleman, tidak sekedar perilaku agresif biasa.
Hasil
temuan di atas menguatkan temuan Perren (2000) bahwa bullying telah ada sejak di TK. Dalam penelitiannya, Perren
menemukan bahwa 37% dari total anak-anak TK yang diamati secara aktif dan
teratur terlibat dalam bullying, baik
itu sebagai korban, sebagai pe laku, maupun sebagai keduanya. Angka ini
menunjukkan bahwa kejadian bullying
terjadi cukup sering di TK. Di 16 dari 18 kelompok TK, setidaknya satu anak
menjadi pelaku atau korban bullying
sebanyak beberapa kali dalam seminggu. Di dua kelompok TK sisanya, skor bullying muncul paling banyak sekali
dalam seminggu. Selain itu, terdapat catatan tambahan dalam penelitian itu bahwa
hasil pengamatan menunjukkan adanya indikasi bahwa anak dan guru kemungkinan
hanya melaporkan kasus-kasus yang paling ekstrem saja. Dari temuan-temuan
tersebut, dapat dikatakan bahwa bullying
merupakan kejadian sehari-hari di TK.
Ditemukannya
bullying di TK perlu menjadi
perhatian, karena idealnya, bullying
tidak perlu ada di TK. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari mengapa
sebaiknya tidak perlu ada bullying di
TK. Alasan pertama, bullying membawa
berbagai implikasi yang tidak menguntungkan, baik itu bagi korban maupun pelaku
perilaku agresif. Dari sisi korban, beberapa implikasi negatif yang telah
teridentifikasi secara ilmiah di antaranya adalah simptom-simptom emosional
berupa murung, menangis, dan tampak tidak bahagia (Malti, Perren, &
Buchmann, 2010); kurang mampu menyesuaikan diri (Coplan, Arbeau & Armer,
2007); serta perilaku anti sosial seperti menarik diri, tidak memiliki banyak teman,
kurang bergaul dan bermain sendiri, kurang asertif, serta kurang mampu memimpin
(Perren, 2000). Dari sisi pelaku, implikasi negatif yang telah teridentifikasi
di antaranya adalah resiko diagnosa gangguan perilaku (Edmond, Ormel, Veenstra,
& Oldehinkel, 2007) dan resiko
keterlibatan dalam tindak kriminalitas di hari depan (Sourander, dkk, 2007).
Selain itu, ditemukan pula bahwa sebagian dari korban bullying dapat ikut menjadi pelaku bullying (Schwartz, Ketchum, Dodge, Pettit, & Bates, 1999; Perren, 2000; Perren &
Alsaker, 2006). Selain memiliki efek negatif secara sosial, bullying juga memiliki efek negatif
secara akademis, yaitu dapat mempengaruhi prestasi akademis anak di kelas
(Zitmann, 2000).
Alasan
kedua, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
mengamanatkan pada orang tua, wali, atau pihak lain yang bertanggung jawab atas
pengasuhan anak bahwa setiap anak yang berada dalam pengasuhan mereka berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, penelantaran,
kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
Amanat tersebut tertuang pada pasal 13 di BAB III tentang Hak dan Kewajiban
Anak. Selain itu, pada pasal 16
disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Dengan
demikian, selain penting untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan implikasi
negatif yang dapat menimpa anak, upaya-upaya dalam melindungi anak dari
perilaku kekerasan telah diamanatkan secara formal di dalam Undang-Undang
negara. Dua alasan di atas menjelaskan tentang
mengapa program-program pencegahan bullying
perlu dilakukan sejak TK
Pengertian
Olweus (1993) dan Perren (2000) menggolongkan bullying sebagai sub-bagian
dari perilaku agresif. Adapun yang dimaksud dengan perilaku agresif adalah
perilaku yang melukai orang lain, mengganggu orang lain, atau diniatkan untuk
itu.
Lebih
lanjut, Perren mengajukan ciri yang membedakan bullying dengan perilaku agresif biasa, yaitu adanya
ketidakseimbangan kekuatan, di mana bullying
merupakan perilaku agresif yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat kepada
pihak yang lebih lemah. Ciri ini disimpulkan dari penekanan Perren (2000) terhadap
pandangan Olweus yang menyatakan bahwa istilah bullying sebaiknya tidak digunakan ketika dua orang dengan kekuatan
yang kurang lebih sama sedang bertengkar atau berkelahi. Untuk dapat
dikategorikan sebagai bullying, ciri ketidakseimbangan
kekuatan antara pelaku dan korban perlu ada, di mana korban mengalami kesulitan
untuk mempertahankan dirinya, atau korban lebih lemah baik secara fisiologis maupun
secara psikologis. Pendapat Perren ini dikuatkan oleh Rigby (1996) yang
menjelaskan bullying sebagai “tekanan
berulang, secara fisik atau psikis, oleh orang atau kelompok yang lebih kuat
terhadap orang yang lebih lemah.
Perren
dan Olweus mengajukan ciri kedua yang
membedakan antara bullying dan
perilaku agresif biasa, yaitu pengulangan perilaku. Ciri pengulangan perilaku
ini didasarkan pada pernyataan Olweus (1993) yang dikutip kembali oleh Perren (2000),
yang menyatakan bahwa “seorang siswa disebut sebagai korban bullying atau di bully ketika ia mendapat perilaku negatif, secara berulang di lain kesempatan”.
Dari
penjelasan-penjelasan di atas, disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku agresif yang memiliki dua tambahan
ciri, yaitu (1) berulang dan (2) dilakukan oleh pihak yang lebih kuat kepada
pihak yang lebih lemah. Definisi tersebut mengandung sedikitnya tiga aspek,
yaitu aspek agresi, aspek ketidakseimbangan kekuatan, dan aspek pengulangan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa jika seorang atau sekelompok siswa/siswi yang lebih kuat melakukan aksi
negatif terhadap siswa lain yang lebih
lemah, dan perilaku negatif tersebut diulang di lain kesempatan, maka
dapat dikatakan bahwa siswa/siswi tersebut melakukan tindak bullying.