Dunia barat (Eropa) pantas berterima kasih pada Ibnu Rusyd. Sebab,
melalui pemikiran dan karya-karyanyalah Eropa melek peradaban. "Suka atau
tidak, filosofi Cordova dan mahagurunya, Ibnu Rusyd, telah menembus sampai ke
Universitas Paris," tulis Ernest Barker dalam The Legacy of Islam.
Dilahirkan pada 1126 M di Cordova (Spanyol--red), Ibnu Rusyd bernama
lengkap Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Di Barat, ia
dikenal sebagai Averrous. Keluarganya dikenal memberikan perhatian dan
apresiasi besar pada ilmu pengetahuan dan tergolong masyhur di kota Cordova.
Itu yang membuat Rusyd kecil haus ilmu dan menunjukkan talen serta
kejeniusan yang luar biasa sejak masa kanaknya. Sementara, ayah dan kakeknya
pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Bakat ini pula yang menurun
kepada Rusyd, ketika ia diamanati menjabat sebagai qadi (hakim) di Sevilla
(Spanyol) dan sebagai qadi al-qudaad (hakim agung) di Cordova.
Tak seperti anak-anak seusianya, masa kecil Rusyd dihabiskan untuk
belajar berbagai disiplin ilmu: Alquran, tafsir, hadits, fiqih, serta mendalami
ilmu-ilmu eksakta seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan
kedokteran.
Itu sebabnya, Ibnu Rusyd dikenal sebagai ahli berbagai ilmu
pengetahuan. Sebagai qadi al-qudaad, ia dekat dengan para amir (penguasa)
Dinasti Al Muwahhidun yang memerintah saat itu, khususnya dengan Abu Yusuf
Yakqub al Mansur, amir dinasti ketiga Muwahhidun.
Beberapa kalangan ulama yang tidak suka dengannya, karena ajaran
filsafatnya, berupaya menyingkirkan Rusyd dengan cara memfitnah bahwa dia telah
menyebar ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itu,
Rusyd diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena. Tak hanya itu, karya-karyanya
menyangkut filsafat dibakar dan diharamkan mempelajarinya.
Sejak saat itu, filsafat tak lagi mendapat tempat dan berkembang di
dunia Islam. Namun, beberapa tahun kemudian, amir Al Mansur memaafkan dan
membebaskannya. Ia lalu pergi ke Maroko dan menghabiskan sisa hidupnya di
negeri tanduk Afrika Utara ini hingga wafatnya pada 1198 M.
Pemikiran Rusyd
Membaca Ibnu Rusyd, yang paling menonjol adalah aspek falsafaty (estetika logika dan filsafat) yang terbentang di hampir setiap karyanya. Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan Alquran sebagai kitab teks, yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual dan bukan artikulasi lafadz.
Islam sendiri, demikian Rusyd, tidak melarang orang berfilsafat,
bahkan Al Kitab, dalam banyak ayatnya, memerintahkan umatnya untuk mempelajari
filsafat. Menurut Rusyd, takwil (pentafsiran) dan interpretasi teks dibutuhkan
untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal dan filsafat serta
teks Alquran. Ia memaparkan, takwil yang dimaksud di sini adalah meninggalkan
arti harfiah ayat dan mengambil arti majasinya (analogi). Hal ini pula yang
dilakukan para ulama klasik periode awal dan pertengahan.
Dalam kaitan kandungan Alquran ini, Rusyd membagi manusia kepada
tiga kelompok: awam, pendebat, dan ahli fikir. Kepada ahli awam, kata Rusyd,
Alquran tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara
tertulis. Demikian juga kepada golongan pendebat, takwil sulit diterapkan.
Takwil, secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum
ahli fikir.
Dalam cakra pandang itulah, kata Rusyd, takwil atas teks secara
benar dapat dilakukan dan dipahami oleh ahlul fikir. Pemikiran Rusyd tersebut
kemudian dikenal sebagai teori perpaduan agama dan filsafat. Sementara itu,
menyangkut pemaknaan atas Quran, Rusyd berpendapat bahwa Alquran memiliki makna
batin di samping makna lahir.
Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori
Kausalitas (hukum sebab-akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan
dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam.
Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori itu, kata Rusyd,
yaitu:
- Pertama, dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh kejadian yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini mendorong orang untuk melakukan penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai dengan pandangan akal fikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada pengetahuan yang benar sesuai dengan ketentuan Alquran.
- Kedua, dalil ikhtira' yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan alam dan makhluk di dalamnya nampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki makhluk hidup. Semakin tinggi tingkatan makhluk hidup itu, kata Rusyd, semakin tinggi pula berbagai macam kegiatan dan pekerjaannya. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Sebab, bila terjadi secara kebetulan, tentu saja tingkatan hidup tidak berbeda-beda. Ini menunjukkan adanya pencipta yang mengatur kehidupan. Dalil ini sesuai dengan syariat Islam, dimana banyak ayat yang menunjukkan perintah untuk memikirkan seluruh kejadian alam ini.
- Ketiga, dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aristoteles. Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan berbenda, yaitu Tuhan.
Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh
Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului
wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran
gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu
sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd yang juga dikenal
sebagai 'pelanjut' aliran Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih
dahulu itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa
memerlukan kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya.
Hal lain yang tidak lepas dari sosok Ibnu Rusyd adalah, ketika
polemik hebat antara dia dengan Al Ghazali. Ketidaksepakatan Al Ghazali
terhadap filsafat (hingga mengkafirkan Rusyd) ia tuangkan dalam buku berjudul
Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd membalas dengan menulis
Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan).
Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya kembali
manusia setelah meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang di maksud kaum
filsuf adalah pembangkitan ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini berakar dari
filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd, juga kaum filosof lainnya, yang
penting bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah
kebahagiaan jiwa. Sedang bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya
secara ruh, tapi juga jasmaniyah.
Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun rules of dialogue,
dalam kaitan memahami 'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada
tiga prinsip epistemologis, yaitu:
- Pertama, keharusan untuk memahami 'yang lain' dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.
- Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni di antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu, hak untuk berbeda harus dihargai.
- Ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. "Tujuan saya," kata Al Ghazali, "adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan."
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan
kita prinsip dan nilai-nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah.
Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula yang pernah
mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan.
Barat Terkagum Karya Rusyd
Pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusdy sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan, seorang penulis dan sejarawan asal Perancis. Renan, penulis biografi Rusyd berjudul Averroes et j'averroisme mengatakan, filosof Rusyd telah menulis lebih dari 20 ribu halaman dalam berbagai disiplin ilmu.
Apresiasi dunia Barat yang demikian besar terhadap karya Rusyd, kata
Alfred Gillaume dalam "Warisan Islam", menjadikan Rusyd lebih menjadi
milik Eropa dari pada milik Timur. "Averroisme tetap merupakan faktor yang
hidup dalam pemikiran Eropa sampai kelahiran ilmu pengetahuan eksperimental
modern," tulis Gillaume.
"Ibnu Rusyd adalah seorang rasionalis, dan menyatakan berhak
menundukkan segala sesuatu kepada pertimbangan akal, kecuali dogma-dogma
keimanan yang diwahyukan. Tetapi ia bukanlah free thinker, atau seorang tak
beriman," tulis Phillip K Hitti.
Selain Tahaafutut Tahaafut, beberapa karya besar Rusyd lain adalah
Kitab fil Kulliyat fi at Tibb (kaidah-kaidah umum dalam ilmu kedokteran) yang
telah diterjemahkan ke bahasa latin dan menjadi rujukan penting kedokteran;
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Kitab permulaan bagi mujtahid dan
akhir makna/maksud); Kitab Fashl al Maqal fii ma Baina Syariah wa al Hilmah min
al Ittisal, (menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena
keduanya adalah pemberian Tuhan); Al Kasyf 'an Manahij al Adillah fi 'Aqaid al
Millah (menyingkap masalah metodologi dan dalil-dalil kaum filsuf dalam
keyakinan beragama)