Oleh :
BHIKKU NANAJIVAKO
BHIKKU NANAJIVAKO
· Apakah mata ...
(sebuah indra untuk melihat bentuk) dari sesuatu ... kesadaran penglihatan, itu
bersifat permanent?
· Bersifat Tidak
Permanent, Tuanku.
· Tetapi yang
bersifat Tidak Permanent itu, berkeadaan sangat menyedihkan, ataukah
membahagiakan?
· Bersifat sangat
menyedihkan, Tuanku.
· Apakah benar
anggapan yang mengatakan bahwa sesuatu yang tidak permanent, yang bersifat
sangat menyedihkan, yang bersifat mengalami perubahan-perubahan, itu jika kita
terapkan pada (apa yang dinamai "Roh") yang menyebabkan ada
ungkapan-ungkapan : "Ini kepunyaan saya!" "Inilah saya!"
"Ini saya sendiri yang mengerjakan"! adalah anggapan yang benar?
· Tidak benar,
Tuanku.
Pandangan-Terang dan Sempurna, serta
penemuan-penemuan sifat-sifat yang sebenarnya dari jiwa manusia, yang terjadi
kira-kira 2500 tahun yang lampau, pada zamannya Sang Buddha (atau bahkan
mungkin beberapa abad sebelumnya) itu mungkin telah menyebabkan adanya pengaruh
yang revolusioner dan mendalam terhadap evolusi pandangan-pandangan-dunia, yang
tidak kurang pentingnya dari pada penemuan Galileo dan Copernicus, yang telah
menggoncangkan pandangan-dunia dari peradaban Kristen di Zaman Abad
Pertengahan. Penemuan yang belakangan, yang menandakan mulai tibanya peradaban
modern, telah menjadi bagian yang utama dari pemikiran umum, atau informasi
umum, yang telah dapat diajarkan kepada anak-anak di kelas terendah di Sekolah
Dasar, dan telah secara normal diserap oleh mereka, tanpa mengalami kesukaran.
Idea mengenai ketidak-kekalan (=
impermanence) dari perubahan yang tidak henti-hentinya, yang disebabkan karena
"mata-rantai" yang tidak berhenti, dari sebab-akibat, (suatu pokok
pembicaraan yang kita usahakan mendekatinya didalam versi-nya Agama Buddha,
dengan istilah "Aniccam") itu didalam arti luasnya, telah
menjadi salah satu dari ajaran yang telah disederhanakan dan telah menjadi
pandangan semua umat Buddha, baik didalam arti formalnya, maupun didalam arti
substantialnya, yang telah merupakan arti-kata yang konvensional, serta yang
sifatnya masih belum dikembangkan. Didalam keadaan yang demikian itu, ajaran
tersebut masih dapat diajarkan di tingkatan Taman Kanak-Kanak, dan juga di
beberapa Sekolah jenis tertentu, didalam mata pelajaran Sejarah Kesusasteraan.
(Apabila saya boleh memilihkan cuplikannya, yang mempunyai dasar yang cukup mendalam,
pada mata pelajaran ilmu filsafat yang lebih rumit sifatnya, yang berbentuk
syair modern, yang berhubungan dengan intuisi atau ilham, saya dengan tidak
ragu-ragu mengambil baris-baris dari syairnya T.S. Eliot, yang berbentuk
quartet, sebagai berikut ini :
· Debu-debu
beterbangan, ada yang melekat pada bajunya orang laki-laki tua.
· Ada yang
beterbangan, dan melekat pada daun-daun pohon bunga mawar yang membuat layu
bunganya.
· Air dan Api
muncul saling berganti.
· Di kota, di
rerumputan, dan disemak-semak yang liar
Kita dapat mengharap untuk dapat
menemukan kembali arti aselinya dan arti sebenarnya, sesuai dengan sejarahnya,
dari ajaran tersebut diatas, hanya apabila kita mau meninjaunya dengan tujuan
yang mantap, yang dibimbing oleh beberapa kesan-kesan individual yang
impressive, atau berdasarkan kasus-kasus khusus, dan oleh
konsekwensi-konsekwensi applikasinya yang kongkrit, didalam theori-theori
philosophis, dan ilmiah, yang benar-benar terjadi didalam kehidupan yang nyata.
Berikut ini saya akan mencoba mengemukakan contohnya beberapa buah, untuk
menolong memberikan gambaran tentang yang saya maksudkan.
Satu : Ketika saya masih menjadi
guru-muda, sewaktu saya pertama kalinya mencoba menerangkan kepada anak-anak
yang umurnya kira-kira dua belas tahun, mengenai proses biologis dari tanaman
kobis (= cobbage) dan kentang, titik tekanan saya pada pentingnya tahi-sapi
(saya tidak mempergunakan istilah tehnisnya "rabuk"), ternyata apa
yang saya ajarkan itu sangat berkesan, sehingga keesokan harinya, saya
kedatangan ibu dari siswa saya, yang mengeluh atas "methode-langsung"
dan "naturalisme yang drastic" didalam cara mengajar saya secara
visual itu. Diceriterakan oleh ibu tersebut bahwa anaknya begitu sangat
terpengaruhi dari ceritera saya, sehingga dia sangat muak memakan sayur kobis
dan kentang. Demikianlah, saya begitu terkesan bagaimana mudahnya kenyataan
yang dianggap oleh umum sebagai suatu kebenaran tentang hukum alam - yang
penemuannya, pada suatu ketika, dapat diberlakukan (atau bahkan dapat dinyatakan
dengan tegas) sebagai bersifat revolusioner, oleh instruksi-instruksi sosial
yang authoritative dan dihargai tinggi, - masih tetap dapat mengungkapkannya
secara tak terduga didalam kekuatannya yang pernah didalam diri jiwa
generasi-generasi muda yang masih murni dan segar.
Kedua : Didalam kehidupan diri saya
sendiri, semasa umur belasan tahun, semasa antara Perang Dunia Ke-Satu dan
Perang Dunia Ke-Dua, terdapat deadlock antara ilmu pengetahuan dan Agama yang
begitu tajam, sehingga kurikulum sekolah pada Sekolah Menengah telah mengikat
jiwa para Guru untuk berkewajiban menghindari krisis hati-nurani. Para Guru,
secara keseluruhan mengikut sertakan dirinya pada perjuangan keyakinan
keagamaan, yang secara tajam berusaha memenangkan satu fihak dan mengalahkan
fihak yang satunya lagi. (Di Eroupa ketika itu), perjuangan dari fihak yang
mengagungkan ilmu pengetahuan dan mengalahkan Agama, secara normal, lebih kuat
dari fihak lawannya. Sejak saat itu, Agama dikalahkan (oleh pengaruh ilmu
pengetahuan) di Eroupa, yang mengakibatkan makin banyak hasil-hasil
larangan-larangan (untuk menentang Agama), menjadikan makin tertariknya para
remaja didalam mempelajari ilmu pengetahuan. Keadaan yang demikian itu tidak
hanya terdapat di Eroupa Timur saja, tetapi ilmu pengetahuan itu memanglah
tidak hanya menjadi haknya negara-negara komunis saja. Kecenderungan anti-ilmu
pengetahuan dari fihak Filsafat dari ("Kontinental") Eroupa, muncul,
dan mengkhawatirkan adanya bencana yang mengancam moral yang masih menguasai fikiran
para generasi muda, lebih dari pada hanya merupakan suatu problema tentang
"posisi manusia didalam alam semesta".
Issue centralnya didalam mana
konflik-konflik antara ilmu pengetahuan dan Agama ini, akhirnya, di kalangan
orang-orang muda pada waktu itu, menimbulkan prasangka, tentu saja, terhadap
problema Anatta ("Ajaran" No-Soul, "yang merupakan ekspressi
kita atas istilah Buddhis, yang maksudnya" bahwa pada diri kita, tidak
terdapat Roh, atau Jiwa, yang sifatnya memiliki Inti-Ke-Aku-an).
Hukum-hukum yang menguasai Proses-Proses sebab dan akibat, dapatlah
diterangkan secara ilmiah - atau paling sedikitnya dapat difahami oleh fikiran
yang belum begitu masak, menimbulkan kesan adanya pertengkaran secara terbuka
antara ilmu pengetahuan dan Religi (didalam hal ini Agama Non-Buddhis).
Mengenai ajaran anicca-vada (= theori ketidak-tetapan) yang murni, yang
berisi keterangan mengenai penyangkalan substantialitas material yang mendasari
dunia, keterangan-keterangannya belum disusun secara mantap, yang mempunyai
kesamaan dengan istilah-istilah dalam ilmu pengetahuan. Sebagai ganti dari yang
tersebut diatas itu, keterangan yang diberikan kepada kita pada waktu itu,
masih diikuti pola materialisme mechanistic dari Yunani Klassik, atau atomisme
yang static, yang pandangannya dekat dengan pemahaman Buddhisme tentang
uccheda-vado (= theori perusakan atau penghancuran), yang orang-orang yang
mempercayainya, dideskripsikan didalam teks Bahasa Pali, sebagai berikut ini :
................. Lalu dia mendengar
Sang Guru Yang Maha Sempurna itu pada suatu ketika mengemukakan ajaran beliau
untuk melenyapkan semua dasar "pandangan-pandangan hidup", yang semua
berisi prasangka-prasangka, obsessi-obsessi, dogma-dogma dan buruk-sangka
buruk-sangka, untuk menenangkan semua proses, untuk melenyapkan semua substrata
dari eksistensi, untuk melenyapkan keinginan-keinginan untuk melenyapkan
hawa-nafsu hawa-nafsu, untuk menghentikan atau melenyapkan sifat-sifat negatif.
Kemudian dia berfikir : "Saya akan dilenyapkan, saya akan dihancurkan! Eksistensi
saya akan tidak lama lagi". Oleh karena itu, dia merasa sangat sedih,
sangat susah, dan berhati muram: dengan memukul-mukul dada, dia menangis, dan
terjatuh karena hantaman rasa sedihnya. Demikianlah, para Bhikkhu, terdapat
kecemasan didalam realitas kehidupan ini. (M.22).
Terhadap hal yang demikian itu,
satu-satunva jawabannya yang authentic, berbunyi sebagai berikut ini :
Karena didalam kehidupan yang nyata ini,
seorang tathagata (didalam hal ini, secara umum yang dimaksudkan adalah
seorang manusia dalam arti yang luas), tidaklah dianggap sebagai eksistensi
didalam kenyataan, didalam realitasnya, itu layak bagi anda untuk menyatakan
pendapat anda sebagai berikut ini "Seperti saya telah memahami ajaran yang
diberikan oleh Yang Maha Mulia, sejauh seorang Bhikkhu telah menghancurkan asava-asava
(= kemabukan atau hawa nafsu untuk dapat "hidup"), dia (= kepribadian
dirinya) pecah dan lenyap, sewaktu badan jasmaninya hancur namun : apakah
sesungguhnya keberadaannya, setelah dia meninggal dunia itu lenyap?". (S.XXII,
85, 33).
Kemungkinan logisnya dari jawaban yang
demikian itu, tersingkirlah, terkeluarkan, oleh premis-nya sendiri. Premis yang
sama, yang menyingkirkan, yang mengeluarkan, yang menjadi lawannya, adalah
kemungkinan affirmative-nya. (Kami akan kembali membicarakan problema ini,
sebagai yang difahami oleh filsafat kontemporer didalam Seksi Lima!).
Adalah penting untuk menggaris bawahi
disini, bahwa premis yang sama, uccheda-vado, atau secara sederhananya kepercayaan
materialistic, didalam suatu "perusakan atau penghancuran" yang
sifatnya substansial, dari sesuatu wujud dari makhluk, atau benda, itu
berkeadaan bertentangan secara ekstrim dengan suatu nihilisme yang
authentic didalam ontology dan epistemology (theori tentang "ada",
dan theori tentang "pengetahuan"). Hanya suatu filsafat yang
idealistic, secara eksplisit, yaitu "yang memandang dunia sebagai suatu
gelembung sabun, atau khayalan belaka" (Dph 170), yang dapat bersifat
nihilistic didalam beberapa hal, sedang uccheda-vado sebagai suatu
"theori perusakan atau penghancuran" sangat membutuhkan adanya
kepercayaan yang berakar secara eksistensialis, didalam substansi
material".
Itu sama keadaannya dengan perasaan yang
beranggapan bahwa ditengah-tengah arena pertempuran antara ilmu pengetahuan dan
Agama, dan menjelang tibanya Perang Dunia, teryata anak-anak manusia yang hidup
pada pertengahan pertama dari Abad Ke-Dua Puluh, telah menghadapi fatalitas-nya
perusakan atau penghancuran physik dan moral, yang secara ilmiah, dan diyakini
tidak mengalami kesalahan perhitungan, masih menantikan bukti nyatanya, di
bidang pengalaman manusia. Tetapi di sebelah sananya dari garis cakrawalanya
intelektual, waktu fajarnya telah menampak, karena ilmu pengetahuan itu, paling
sedikitnya, telah mencapai posisi yang sama sekali berbeda, dan telah vis a
vis, menghadapi problema tentang ketidak-kekalan (= impermanence) dan
relativitas, sebagai yang mempengaruhi struktur subatomic yang paling dalam
dari dunia - suatu posisi yang dianggap dekat dengan idea Buddhis mengenai ajarannya
yang dinamai "aniccam".
Tiga : Sejak tahun 1927, bukunya
Bertrand Russel, yang berjudul : "An Outlines of Philosophy"
(= Garis Besar Ilmu Filsafat), telah diakui secara luas sebagai salah satu
penyajian populer, yang paling baik, mengenai perubahan-perubaban radikal
didalam pandangan-jagad, yang ilmiah, yang berakar dari theori relativitas-nya
Einstein, dan hasil perkembangan dari physika nuklir. Saya akan mencoba
mengemukakan secara garis besarnya, pernyataan-pernyataan Russel, sejauh ada
hubungannya dengan garis besar dari pokok-pokok uraian saya, yang berkaitan
dengan problema essensial kita, yaitu mengenai penolakan pandangan mengenai
substansi (= substance - view) oleh ilmu pengetahuan modern, karena
penolakan inilah yang membentuk inti anicca-vado-nya Buddha, sebagai
suatu fondasi (paling sedikitnya didalam skema ajaran tilakkhanam),
yaitu mengenai ajaran dukkham dan anatta-nya.
Marilah kita memulai pembahasan kita,
dengan mengdefinisikan idea "substansi" physical, yang dengan istilah
ini kita maksudkan adalah deskripsi pokoknya dan implikasi philosophis-nya,
sebagai yang dinyatakan didalam sumber-sumber dari Sutta-pitakam.
Problema mengenai substansi ini, sebagai yang didefinisikan oleh theori-theori
ilmiah (atau dari aliran lokayatam) yang ada dizamannya Sang Buddha,
mendapatkan formulasinya yang klassik, dan pembatasannya yang imperative dan pemecahannya
didalam bentuk istilah-istilah yang pendek didalam jawaban yang bersifat yang
mengandung kesimpulan-kesimpulan, sebagai jawaban terhadap Kevaddoho (D.
11.) :
· Dimanakah
beradanya tempat yang menjadi dasar berpijaknya : tanah, air, api, dan angin;
benda-benda yang panjang dan yang pendek, yang halus dan yang kasar; yang murni
dan yang tidak murni; karena sukar kami ikuti jejaknya?. Dimanakah perginya
dari apa yang dinamai "nama" dan "bentuk" itu jika lenyap,
karena tidak meninggalkan sesuatu jejak?.
· Apabila
intelleksi (= vinnanam = intellection) itu berhenti, maka semuanya
menjadi berhenti pula.
Mengenai uraian tentang hubungan yang
sifatnya kategoris dari "jiwa" dan "bentuk" (atau
"nama" dan "bentuk", "nama-rupam", sebagai
yang terimplikasikan, atau tersimpulkan, didalam formulasi yang akan
dikemukakan nanti), pernyataan berikut ini, dari Sang Buddha, adalah merupakan
yang paling adekwat dan juga merupakan yang paling bersesuaian dengan pokok
pembahasan kita. Dan Sabda Sang Buddha itu adalah sebagai berikut ini :
Adalah lebih baik, kiranya, o,
para bhikkhu, bagi orang-orang yang tidak begitu mahir mengatasi
gangguan-gangguan keduniawian, untuk menganggap tubuh ini, yang terbentuk dari
ke-empat elemen, sebagai "self"-nya, yang agak kurang tepat jika itu
dianggap sebagai jiwa-nya. Karena terbukti bahwa badan ini mungkin dapat
dipakai selama setahun, atau mungkin dua tahun, atau tiga tahun, atau empat
tahun, atau sepuluh tahun ... atau bahkan hingga seratus tahun, atau lebih.
Tetapi sesuatu yang dinamai fikiran (= thought) atau jiwa (= mind), atau
kesadaran (= consciousness), (itu, kegiatannya) berlanjut terus, selama waktu
siang hari dan malam hari, yang gambaran-gambaran di alam fikiran itu selalu
muncul, lalu lenyap, gambaran fikiran yang satu berganti dengan yang lainnya,
itu adalah berbeda sifatnya dengan badan (yang nampak ini). (S.12,62).
Sekarang, marilah kita renungi beberapa
kutipan dari keterangannya Bertrand Russel 2, sebagai berikut ini :
Pertama-tama, marilah kita bicarakan tentang substansi-zat, dia berkata
demikian ini :
Dimasa-masa yang lampau, anda mungkin
mempercayainya, atas dasar suatu philosophi tertentu bahwa roh (= soul) itu
adalah merupakan suatu substansi (= substance) dan bahwa semua substansi itu
adalah tidak dapat dihancurkan... tetapi pengertian substansi itu, didalam arti
suatu entity yang sifatnya "permanent", namun dengan
keadaan-keadaannya yang selalu mengalami perubahan-perubahan; pandangan yang
demikian itu tidak lagi dapat diapplikasikan terhadap alam dunia.
Suatu gelombang di laut dapat bertahan
lama atau sebentar saja; gelombang-gelombang atau ombak-ombak yang dapat saya
lihat memecah menjadi gelombang-gelombang kecil, yang terdapat di pantai
Cornish, itu mungkin semuanya berasal dari Brasil, tetapi itu tidak berarti
bahwa sesuatu "benda" telah mengadakan perjalanan jauh melintasi
Samudera Atlantic; itu hanya berarti bahwa suatu proses perubahan
tertentu telah terjadi dan terdapat di sepanjang "garis wilayah" di
Samudera.
(Theori relativitas-nya Einstein) itu
mempunyai konsekwensi-konsekwensi philosophis, yang apabila mungkin, bahkan
bersifat lebih penting. Substitusi mengenai ruang-waktu untuk ruang dan waktu,
telah menyebabkan kategori substansi bersifat kurang applikatif dari pada
masa-masa sebelumnya, karena essensi substansi itu bertahan melalui waktu, dan
sekarang tidak ada lagi yang namanya waktu kosmos, yang konsepsinva dapat
dipertahankan.
Kita dapati bahwa zat (= matter),
didalam ilmu pengetahuan modern, telah kehilangan soliditas-nya dan
substantialitas-nya; itu menjadi hanya merupakan gambaran fata-morgana mengenai
keagungan masa lampaunya saja.... Pengertian tentang zat didalam ilmu physika
modern, telah menjadi terserap kedalam pengertian energi.
Kita tidak dapat mengatakan bahwa
"zat itu menjadi penyebab bekerjanya sensasi-sensasi kita" ....Dengan
kata lain "zat" telah mengalami perubahan, tidak lebih hanyalah
merupakan tulisan tangan singkat yang konvensional, untuk menyatakan bahwa hukum-hukum
sebab-akibat itu bekerja pada peristiwa-peristiwa.
Jadi, kita ini telah terikat pada
persebaban (atau hukum sebab dan akibat) sebagai suatu kepercayaan yang
sifatnya apriori, tanpa mana kita menjadi tidak memiliki alasan untuk
mendukung pengertian, misalnya bahwa suatu "kursi" (atau sesuatu
benda lainnya) itu ada.
Selanjutnya, mengenai teori
peristiwa-peristiwa (= theory of events), kita mencatat bahwa idea tentang
elemen-elemen yang sifatnya static dan mantap, dari "zat" (= matter),
itu telah terganti oleh pengertian "peristiwa-peristiwa yang tidak ditentukan
terlebih dahulu, yang sama keadaannya dengan theori lapangan electrodinamika
quantum didalam ilmu physika nuklir, yang ternyata menjadi sangat erat
hubungannya dengan konsepsi idea phenomenologis yang murni, tetapi tidak
bersifat physis, dari dhamma, yang tersirat didalam makna primitive-nya
dari khanika-vado, yaitu suatu theori mengenai keadaan yang bersifat
sementara saja dari sesuatu (= momentariness), dari Abhidhamma-pitakam
(Aspek yang disebutkan terakhir ini, uraiannya secara philosophis dan secara
implisit, akan disampaikan secara garis besarnya, didalam Seksi Lima, di bagian
belakang dari artikel ini!). Mengenai hal yang kami sebutkan itu Russel menulis
sebagai berikut:
Segala sesuatu yang terdapat di dunia
ini, tersusun dari "peristiwa-peristiwa" .... Suatu
"peristiwa" adalah beberapa hal yang berada didalam sejumlah kecil
dan terbatas, dari ruang-waktu.... Peristiwa-peristiwa itu dapat ditembus,
keadaannya tidak seperti anggapan bahwa zat itu bersifat demikian; sebaliknya,
setiap peristiwa didalam ruang dan waktu itu saling tumpang-tindih, dengan
peristiwa yang lainnya.
Saya ber-assumsi bahwa setiap peristiwa
itu bersifat kontemporer, namun bergabung dengan peristiwa-peristiwa yang tidak
bersifat kontemporer, yang satu berhubungan dengan yang lainnya; inilah yang
saya maksudkan dengan kalimat saya yang berbunyi bahwa setiap peristiwa itu
hanya berlangsung dalam waktu yang terbatas.... Waktu itu secara keseluruhan
berhubungan dengan satu dengan yang lainnya.
Susunan waktu-ruang, sama seperti titik-titik
dari waktu-ruang itu, menghasilkan hubungan antara peristiwa-peristiwa.
Cobalah anda bandingkan uraian yang
disebutkan terakhir itu, dengan uraian berikutnya, yang merupakan ungkapan yang
dikemukakan oleh Buddhaghosa didalam Atthasalini, yang bunyinya sebagai
berikut ini : "Dengan sarana waktu-lah, orang-orang suci menggambarkan
sifat-sifat dari fikiran atau jiwa (= mind), dan dengan sarana fikiran atau
jiwa-lah orang-orang suci menggambarkan sifat-sifat dari sang waktu".
Suatu kelompok peristiwa-peristiwa, yang
penting, yaitu kegiatan-kegiatan mempersepsi, barangkali dapat kita namai
mental".
Mentalitas itu adalah suatu peristiwa
dari hukum-hukum persebaban (hukum sebab dan akibat), tidak merupakan suatu
kwalitas dari peristiwa-peristiwa, yang tunggal, dan juga, mentalis itu
sebenarnya adalah suatu masalah tingkatan-tingkatan.
Apakah fikiran atau jiwa itu? Fikiran
atau jiwa, itu haruslah merupakan suatu kelompok peristiwa-peristiwa mental,
karena kita menolak pandangan yang mengatakan bahwa suatu entity yang tunggal,
sebagai misalnya pandangan lama mengenai "ego" (itu tidak tepat)....
Konstitusinya, atau keadaannya, adalah sama dengan "kesatuan dari
'pengalaman'.".
Sebagai hasil dari pemikiran-pemikiran
yang demikian itu, Russel mengambil kesimpulan, dengan berkata sebagai berikut
: "Pertama-tama yang paling penting dari semuanya, hendaklah anda
melenyapkan perkataan "aku", karena : jika anda hanya mempercayai
pendapat orang lain, itu berarti anda tidak menarik kesimpulan secara langsung,
dan itu bukan merupakan bagian yang anda ketahui dengan mata kepala anda
sendiri."
Akhirnya, kemungkinan yang logis dari
suatu pandangan yang dinamai uccheda-vado (= theori perusakan atau
penghancuran), itu mengandung arti bahwa dengan pemikiran yang demikian itu,
telah melenyapkan secara eksplisit, atau bahkan hanya berdasarkan pemikiran
ilmiah (yang tidak sempurna), seperti yang diungkapkan dalam kalimat :
"Apakah fikiran, atau jiwa, itu merupakan suatu stuktur dari unit-unit
material?"; menurut hemat saya itu adalah merupakan hal yang negatif,
adalah sebaliknya dari kebenarannya.
Kita dapat menarik kesimpulan dari
survey ini, dengan menerima tanpa perlu mengemukakan alasan-alasan lainnya
lebih lanjut, dari pendapatnya Russel, yang bunyinya sebagai berikut ini :
"Problema-problema yang telah kita kemukakan itu, bukan merupakan problema
yang baru, tetapi cukup dapat menunjukkan bahwa pandangan dunia kita, yang
berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, dan hubungan kita dengan hal
tersebut, adalah bersifat tidak memuaskan."
Empat : Akhir-akhir ini, theori lapangan
(= field theory), sebagai ganti dari theori substansi didalam ilmu physika,
yang telah ditinggalkan, applikasinya makin berkembang, - paling sedikitnya
sebagai suatu analogi hypothetis, pada bidang-bidang pemikiran ilmiah, yang
lainnya, dan bahkan lebih-lebih pada spekulasi-spekulasi philosophis ke
keterbatasan pada suatu kemungkinan (dan kadang-kadang ke ketidak-mungkinan),
perluasannya pada "ilmu-ilmu pengetahuan khusus, itu merupakan perluasan
dari masalah fikiran atau jiwa. Applikasinya ke para-psychology adalah
merupakan suatu perhatian yang istimewa, di luar alam physik, dan menjangkau ke
keberadaan dari sesuatu yang ada di luar yang terbatas".
Sejauh saya tahu, Gardner Murphy-lah
yang telah memberikan kepada kita tentang suatu analogi para-psychologis,
mengenai theori lapangan, yang paling logis, dan yang uraiannya bersifat
eksklusif. Suatu rekapitulasi yang singkat dari thesis-nya, adalah sebagai
berikut ini :
Aksinya zat yang dinamai kehidupan (=
living matter) terhadap zat yang dihuni kehidupan, yang lainnya, itu tidak
pernah merupakan kasusnya cell tunggal terhadap cell tunggal yang lainnya. Pada
peristiwa tersebut menyangkut keseluruhan struktural atau suatu lapangan (dari
energi). Prinsip lapangan (dari energi) itu dapat bekerja pada bidang psychis
(= kejiwaan), dan juga pada bidang physis (= kejasmanian), dan lapangan psychis
mungkin meluas ke belakang atau ke muka, didalam arena waktu, dan juga didalam
arena ruang. Pertanyaan yang berbunyi : "Apakah personality (=
kepribadian) itu tetap hidup secara abadi?" itu bagi pandangan Murphy,
merupakan pertanyaan yang tidak lagi perlu dikemukakan.
Apabila sesuatu aktivitas psychis itu
tetap hidup terus, atau bersifat abadi, itu akan menjadi aspek dari lapangan-lapangan
yang berbeda-beda, dan dengan demikian lalu akan mengambil kwalitas-kwalitas
yang baru, serta akan memiliki hubungan-hubungan struktural yang baru pula.
Maka lalu adalah jelas bahwa bagi dia, "semua aktivitas personal itu
secara tetap konteknya mengalami perubahan-perubahan dan saling berinteraksi,
yang satu dengan yang lainnya, dan barangkali lalu satu dengan yang lainnya
menjadi bagian dari proses kosmos" 3.
Ahli ilmu-jiwa yang lainnya lagi,
didalam lapangan parapsychology, yang bernama C.D. Broad, telah mengadakan
penyelidikan mengenai masalah "Fikiran atau Jiwa, Letaknya Didalam
Alam" (= The Mind and Its Place in Nature"), dari sudut pandangan
suatu kemungkinannya mengalami "survival"-nya dari
"komponen-komponen psi", yang lalu menarik kesimpulan dari basis
analogy-nya yang sama, dengan ilmu pengetahuan physika, bahwa : "Kita
tidak perlu lagi beranggapan bahwa, walaupun komponen psi yang berkeadaan
"survive" itu mungkin sifatnya tidak memiliki atau tidak bersifat
jasmaniah (bodiless), itu perlu memiliki sifat tidak meluas dan tidak menempati
suatu lokal tertentu: karena, sekarang ini, kita telah sangat memahami akan
phenomena-phenomena yang demikian itu, sebagai misalnya lapangan
electro-magnetis, yang tidak dapat kita katakan memiliki badan-badan, didalam
arti yang biasa, tetapi tetap memiliki struktur dan sifat-sifat serta
disposisi-disposisi, yang tertentu. Haruslah kita tidak berfikir bahwa itu
(yaitu komponen psi yang berkeadaan "survive") itu sebagai sesuatu
yang atas mana suatu pengalaman dikesankan, sebagai suatu cap yang disentuhkan
pada suatu bola lilin. Sebaliknya, theori yang tidak mengakui adalah substansi
itu, mengandung kesimpulan adanya suatu survival, yang tingkatannya lebih
tinggi, dari pada hanya suatu komponen psi yang tidak aktif, yang keberadaannya
hanya sebentar saja." 4.
Eksponen-eksponen dari theori
parapsychologi yang sama, juga mempertahankan pendapat mereka bahwa hypothesis
mereka mungkin dapat memberikan suatu keterangan yang lebih adekwat untuk
menambah informasi-informasi mengenai phenomena ketidak-sadaran dari jiwa, yang
diselidiki oleh para ahli pysychoanalisa, khususnya yang menyangkut theori
archetype-archetype-nya Yung, yang lebih baik dari usahanya yang pertama kali,
dari Freud, yang telah dicap sejak pertama kalinya dikemukakan, sebagai tidak
dapat dipertahankan secara ilmiah, karena ada analogi dengan ajaran Plato, yang
berhubungan dengan struktur basis dari roh (= soul).
Semua yang disebutkan diatas tadi,
banyak sedikitnya merupakan analogi adhoc, dengan theori lapangan
didalam ilmu physika, dan dapat dihubungkan pula, dengan hypothesa metaphysis
yang awal, yang diformulasikan dalam suatu basis philosophis yang lebih luas
oleh William James, didalam bukunya yang berjudul "Pluralistic
Universe" (= "Alam Semesta yang Pluralistas") 5.
Berbicara mengenai struktur dari
"kehidupan batin kita", James berkata sebagai berikut ini :
Setiap bagian yang paling kecil dari
diri kita, setiap saat, merupakan bagian yang tak terpisahkan, dari suatu diri
yang lebih luas (= wider self) .... Apakah ini tidak berarti bahwa diri saya
dan diri anda itu akan bertemu didalam suatu titik kesadaran yang lebih tinggi
tingkatannya, dan disana keadaannya tidak diam, tetapi aktif, walaupun sekarang
kita belum dapat mengetahuinya? ... Itu ber-analogi dengan.... fakta-fakta yang
ditemui didalam apa yang dinamai "penyelidikan psychis" (= psychical
research), dan dengan pengalaman-pengalaman religious, yang membentuk... suatu
kemungkinan yang luar biasa pentingnya, yang sifatnya menentukan, yang memberi
perkuatan (terhadap hypothesis yang sifatnya pluralistic, yang dikemukakan
kemudian, yang berisi ungkapan-ungkapan kalimat sebagai berikut :)
Mengapa kita harus menutupi "yang
banyak" itu dengan "yang tunggal", yang didalam penelacakannya
mendatangkan begitu banyak hal-hal yang agak mengarah ke terdapatnya suasana
"yang berracun" .... (kecuali jika kita menerimanya) sepanjang itu
menyangkut kesadaran supermanusia, yang pengertiannya tidak meliputi segala
hal; dengan kata lain, terdapat Tuhan, tetapi yang sifatnya terbatas, baik
didalam bidang kekuasaannya, maupun di bidang pengetahuannya, atau didalam
kedua bidang tersebut, secara sekaligus.
Ini secara tepat, berkeadaan berbeda
antara konsepsinya Vedanta, dan Buddha, mengenai Tuhan, atau deva-deva, yang
juga mengandung makna atau keterangan mengapa James beralasan, didalam beberapa
bidang, yang agak menyetujui konsep polytheistic, sebagai suatu : "hasil
dari criticisme terhadap yang absolut", didalam kontek yang sama.
Lima : Adaptasi dari hypothesa-hypothesa
yang dipinjam secara ad hoc. dari lapangan-lapangan yang heterogeen, dari ilmu
pengetahuan, itu dapat dan harus memang dapat meng-verifikasi-kan dan
menerangkannya hanya dengan penyelidikan philosophis yang layak, dengan
mempergunakan methode-methode yang autonoom, dan yang telah membentuknya
berdasarkan usahanya sendiri, suatu dasar anthropologis yang murni. Sejak
permulaan abad ke-dua puluh, hal yang demikian itu telah dilakukan orang, dan
selalu berkeadaan makin jelas dan makin eksplisit. Hasil-haslinya luar biasa
hebatnya, paling sedikitnya sejauh menyangkut problema kita yang primodial,
yaitu mengenai nilai kemanusiaan dari ajaran aniccam, dan arti
fundamentalnya yang berhubungan dengan ajaran dukkam dan ajaran anatta.
Sikap philosophis yang layak telah
didefinisikan, tidak berhubungan atau menyangkut masalah physik, tetapi agak
mengarah, atau cenderung, ke pandangan jagad yang bersifat historical (=
historical world view), se awal pada akhir pada ke-sembilan belas, oleh Wilhelm
Dilthey, pendiri philosophi modern tentang kultur. (Beliau berkata sebagai
berikut ini :)
Ungkapan pernyataan, atau keterangan,
yang final, mengenai pandangan historical, adalah bahwa perubahan-perubahan
mengenai kemanusiaan, pada setiap jenis tinjauan, itu bersifat relative, yaitu
bahwa segala sesuatu itu merupakan pergerakan didalam proses tidak ada
kestabilan.
Dan, tetapi, orientasi yang historical
ini tidak dapat mempertahankan posisinya yang predominant pada abad ke-dua
puluh, di lingkungan philosophi di Eroupa. Filsuf kebudayaan, atau kultur (=
philosopher of culture) yang paling penting didalam pertengahan abad sekarang
ini, adalah Karl Jaspers, yang telah mendiskusikan masalah prioritas-nya dari
pertanyaan : "Apakah manusia itu? (= "What is man?) (sebagai yang
diformulasikan oleh Kant), dengan menunjukkan bahwa prioritas-nya itu
"tidak berarti bahwa pengetahuan mengenai keberadaan dari segala
sesuatu" itu lalu diganti tempatnya oleh pengetahuan tentang manusia.
Karena masih tetap berkeadaan essensial, maka manusia tidak dapat didekatinya
hanya melalui eksistensi-nya sebagai manusia", yaitu melalui
historical-nya "6.
Kalau kita teruskan pembicaraan kita
mengenai Edmund Husserl, yang telah mendirikan dasar epistemologis dan logis,
yang telah diterima secara paling luas, di Eroupa atau di bidang Filsafat
Kontinental, pada abad sekarang ini, kita ketahui bahwa ternyata problema
mengenai "keberadaan dari segala sesuatu" (= "beings"), itu
telah memegang peranan yang central, dan penting, serta dapat mempertahankan
pandangannya dengan cukup kuat, dan bertahan lama. Adalah penting, terutama
kalau kita memandangnya dari sudut pandangan Buddhis, bahwa postulat-nya yang
pokok, dari Husserl yang berbunyi : "Kembali ke benda itu sendiri" (=
"Back to the things themselves!), itu tidak, dan dalam sesuatu cara
apapun, mengandung kesimpulan bahwa arti "benda" menurut pandangan
golongan penganut faham substansialist, didalam arti klassiknya, yaitu ontologi
yang orientasinya physik, atau theori tentang "keberadaan segala
sesuatu", yang telah ditolak oleh ilmu physika modern. Arti
"keberadaan dari segala sesuatu" itu secara radikal telah mengalami
perubahan, dengan telah dicapainya pandangan yang menyeluruh dan mendalam, baik
mengenai struktur physik maupun struktur historical-nya. Hal ini diungkapkan
paling jelas didalam analisa-nya mengenai "keberadaan dari segala
sesuatu", oleh Nicolai Hartmann, yang lebih mendalam dari pada Husserl,
dan para penganutnya yang dekat dengan dia, mengkonsentrasikan perhatiannya
pada implikasi mengenai problema ontologis didalam ilmu pengetahuan alam.
Didalam hal ini, sudut pandangan dari
A.N.Whitehead didalam Filsafat Anglo-American, berkeadaan sangat dekat kepada
N.Hartmann. Theori-nya Husserl tentang "peristiwa-peristiwa yang terjadi
didalam ruang-dan-waktu" yang tidak terbatas itu, tidaklah lebih dari pada
usaha untuk meredusir dan mengaburkan skema, atau konsep metaphysisical-nya Whitehead,
mengenai "peristiwa-peristiwa yang aktual", aktualitas-aktualitas
yang muncul dengan cepat dan diwarnai perasaan-perasaan, yang diberi makna
sebagai "pusat-pusat pengalaman", yang "butir-butir karya"
nya, atau "hasil-hasil ciptaannya selaku makhluk hidup" dibimbing
oleh teleologi yang sifatnya internal, yang berada didalam "elemen-elemen
yang membentuk dirinya" (yang analog dengan yang didalam Agama Buddha
dinamai Sankhara pada pembentukan-pembentukan karma), yang bergabung
dengan "aliran daya hidup yang terdapat pada segala sesuatu yang
ada", (= bhavanga-soto) (= the "stream of existence"),
Inti dari konsepsi-nya abhidhammo
mengenai "aliran daya hidup yang terdapat pada segala sesuatu yang
ada" itu terdiri dari, dan terdapat pada, "theori peristiwa yang
berlangsung sementara", yang dinamai "khanikavado", (=
theory of momentariness). Analogi modern-nya kita dapati pada formulasinya yang
pertama kali, dan yang paling baik, karena diterangkan secara mudah dimengerti,
dengan peristilahan yang sederhana, didalam philosophi-nya William James,
khusus yang dikemukakan pada essay-nya yang berjudul : "Does
Conscious-ness Exist?" (= "Apakah Kesadaran Itu ada?"), dimana
diterangkan oleh William James bahwa "aliran kesadaran" atau "aliran
proses berfikir" (yang apabila kita pelajari secara teliti, terungkap, dan
dapat kita rasakan kebenaran theorinya, misalnya apabila kita mau merasakan
aliran masuk dan keluarnya napas melalui hidung kita, selagi kita bernapas!),
berasal dari theori pokoknya dari yang dinamai "pengalaman yang
murni" (= "pure consciousness"), yang didefinisikannya sebagai
"lapangan kesadaran yang berisi kehadiran secara berganti-ganti (dari
merasakan kekosongan,- kosongnya tubuh kita dari udara yang kita hirup-, dan
merasakan berisinya secara penuh, - penuhnya paru-paru kita dengan udara yang
kita hirup ... pengalaman berganti-gantinya "kekosongan" dan
"keadaan penuh berisi" ini peristiwanya terjadi "didalam
pusat-pusat, yang sangat kecil" yang terdapat didalam tubuh kita, atau
didalam diri kita, yang didalam kenyataannya ini merupakan "suatu essensi
dari phenomenon" (= the essence of the phenomenon). Didalam koneksi yang
sama, itu keadaannya sama dengan "suatu hasil dari criticisme kita
terhadap konsepsi yang absolut", suatu idea yang sifatnya metaphysical dan
metapsychical, tentang "diri yang bersifat sentral" (= The
"central self"), yang diredusir oleh James menjadi "kesadaran
diri kita terhadap peristiwa yang hanya berlangsung dalam waktu yang sekejap
saja (= The conscious self of the moment"). 7 Thesis dari Agama
Buddha yang sangat terkenal, yang dinamai "ajaran tentang ketidak-ada-an
inti-aku" (= anatta) (= "no-self"), atau ilmu jiwa yang
tak membicarakan roh (= soul-less psychology), itu berdasarkan keterangan yang
sama dengan "theori bahwa semua peristiwa itu merupakan kejadian yang
hanya berlangsung dalam waktu sekejap saja", atau "theori tentang
keadaan yang bersifat sementara" (= theory of momentariness).
Berikut ini juga adalah merupakan butir
uraian - dan menjadi uraiannya yang paling berarti - atas dasar mana konsepsi
philosophisnya James muncul secara bersamaan waktunya dengan konsepsi-nya
Bergson. Paling sedikitnya secara terminologis, kerangka berfikirnya Bergson,
yang sama dengan konsepsi-nya James, mengenai "aliran daya hidup yang
terdapat pada segala sesuatu yang ada", yang beliau namai sebagai "flux
du vecu" (perkataan "vecu" ini berarti "yang
dihidupi" atau "lived"), nampaknya sangat dekat dengan
pengertian didalam Agama Buddha, yang diistilahkan dengan bahasa Pali "bhavango",
yang artinya "tenunan pengalaman-kehidupan, yang sifatnya
"di-artikulasi-kan" "articulated") (= - ango).
Didalam interpretasinya Husserl, yang
dinamai "benda-benda" (= "things") itu hanyalah diartikan
sebagai "apa yang diberikan" (= "Whatever is given"), yaitu
dengan mana kita "melihat" (= "see") didalam kesadaran
kita, "dan" yang diberikan "itu dinamai bersifat phenomenal
didalam arti bahwa itu "muncul" = "appear") didalam
kesadaran kita. Perkataan bahasa Yunani "phenomenon" itu tidak perlu
harus berarti menunjukkan bahwa disana ada sesuatu benda yang tidak dikenal,
yang ada dibelakang phenomena (sama seperti yang konsepsinya terdapat juga
didalam Filsafatnya Kant atau didalam Filsafat India yang dinamai Vedanta),
atau merupakan sesuatu yang ada (= "being") yang terdapat di
"panggung-belakang" (= "back-stage"), sama seperti yang
telah dikemukakan secara ironis oleh Nietzsche. Dari sudut pandangan kita,
adalah sangat penting untuk menggaris-bawahi methode phenomenologi-nya Husserl,
yang sifatnya tidak deductive dan juga tidak empirical, tetapi terdiri, dan
didalam" "menunjukkan sesuatu" (= pointing) kepada
apa yang diberikan dan diterangkan-nya (= elucidating). " 8.
Analisa terhadap arti aselinya dari
Bahasa Yunani "phenomenon" telah dikemukakan secara mahir oleh Martin
Heidegger. 9, Perkataan phenomenon (berasal dari kata kerja
phainesthal), yang artinya "marilah kita lihat" ("let
see"), yang sama artinya dengan yang didalam Agama Buddha di-istilahkan
dengan bahasa Pali : "ehi passiko"), itu mempunyai dua arti
yang relevant bagi philosophi. Yang pertama adalah dalam arti 'menunjukkan
dirinya sendiri" (= "to show itself"), dan yang kedua dalam arti
"itu tampaknya seperti" (= "to seem as"). Philosophi
phenomenologi yang kontemporer mengungkapkannya didalam arti yang pertama,
yaitu hanya sebagai "biarlah sesuatu itu terlihat, dan biarlah
entity-entity itu dapat kita persepsi (= "letting something be seen,
letting entities be perceived"). Arti yang kedua, menunjukkan beberapa hal
yang tampak berkeadaan "tetap tersembunyi, atau telah hilang didalam
waktu, atau yang dapat muncul kembali, atau menunjukkan dirinya hanya
"didalam bentuk terselubung, atau dalam samaran" (= remain hidden, or
which relapses or gets covered again, or shows itself only "in disguise"),
menunjukkan kepada proses historical-nya dari theori-theori konstruktif
dan "pandangan-pandangan" (Bahasa Yunani-nya doxa, Bahasa
Sansekerta-nya drsti, dan Bahasa Pali-nya ditthi), dengan mana
phenomena itu lebih berkeadaan "tidak tertutup", secara primordial,
dari pada tertutup, atau didalam keadaan tersamar.
Idea pokok yang sama, telah dikemukakan
pula oleh Nicolai Hartmann. Idea tersebut tersirat dalam kalimat sebagai
berikut ini : "Sesuatu yang ada" itu sebenarnya berkeadaan "ada
dengan sendirinya:" (being is in itself"); kalimat ini berarti bahwa
itu sama dengan apabila kita katakan bahwa sesuatu yang ada itu ada secara
aktual dan tidak hanya untuk kita saja.... Pengertian "ada dengan
sendirinya" itu tidak perlu kita buktikan, karena yang menyebabkan itu
berkeadaan demikian memang karena alam itu sendiri telah memberikan sifat atau
keadaan yang demikian. 10. Sumbangan yang paling benilai dari
Hartmann, adalah diberikannya kepada kita tentang analisa-nya yang sangat
mendalam mengenai apa yang dinamai "sesuatu yang berada diatas pengertian
philosophis dari kedua istilah phenomenon". Analisa-nya Hartmann
memperbedakan antara pengertian "alam-alam" (= spheres"), dan
pengertian "tingkat-tingkatan" (= levels"), dari sesuatu yang
ada. Pemahaman mengenai hal ini, secara luas dapat diterangkan bahwa ada dua
alam yang primer, yang diartikannya sebagai sesuatu "yang riil" (=
real), dan "sesuatu yang ideal" (= ideal being). Didalam alam yang
riil, terdapat dan diperbedakan adanya empat tingkatan struktural, yaitu : zat
(= matter), kehidupan (= life), kesadaran (= consciousness), dan fikiran atau
jiwa (= mind).
Didalam hubungannya dengan penyampaian
dan pemberian penjelasan atas pernyataan-pernyataannya yang demikian, hal itu
menjadikan menampak makin jelas bahwa dari sudut pandangan Agama Buddha, betapa
sangat dekatnya pengertian istilah phenomenon, yang dipergunakan oleh
philosophi kontemporer, dengan pendekatan dari Agama Buddha, mengenai arti
pokok-nya dari istilah dhamma, yang terdapat didalam theori Abhidhamma
(Kutipan kita yang belakangan dari uraiannya Hartmann, bahkan mengingatkan kita
secara lebih khusus, kepada pengertian struktur-struktur dari khanda).
Diluar kemungkinan perluasan analogi
phenomenon, seperti yang diterangkan dengan kalimat "ada dengan
sendirinya" (= being-in-itself), yang difahami sebagai suatu proses, yang
dirasakan terutama oleh beberapa ahli ilmu filsafat Eroupa yang kontemporer
(yang sama keadaannya dengan yang terdapat didalam Agama Buddha yang memegang
teguh ajaran-ajaran aselinya), itu merupakan tujuan ontologisnya dari sesuatu;
jadi, difahami, bahwa suatu phenomenon, atau yang didalam Agama Buddha dinamai
"dhamma" itu haruslah masih dibatasi oleh prinsip yang bersifat
kritis mengenai arti yang lebih mendalam dan lebih essensial. Prinsip yang
demikian itu terdapat, pertama, pada, - dan sampai sekarang kejelasannya makin
menampak -, pada formulasi logis-nya didalam aturan berfikir philosophis Agama
Buddha yang dinamai catu-kotikam (= tetralemna), seperti yang secara
teratur di-applikasi-kan pada avyaktani atau problema-problema
"yang tidak-dimaksudkan untuk sesuatu pemakaian tertentu" atau
"antinomi-antinomi yang dialectical" (= "dialectical
antinomies") 11 dari pemikiran-pemikiran yang spekulatif, yaitu
yang rumusannya sebagai berikut ini : "Bukan" ada (=
"being"), dan bukan "tidak-ada" (= "Non-Being"),
tetapi juga bukan keduanya digabung, bukan : "ada-dan-tidak-ada" (=
"being-and-non-being"), pula bukan tidak "ada" dan tidak
"tidak-ada" (= "neither-being-nor-non-being") (atau kalimat
dalam bahasa Inggris seutuhnya adalah : "Neither being, nor non-being, nor
both being-and-non-being, nor neither-being-nor-non-being" itu pun tidak
mampu meng-eks-pressi-kan, mengungkapkan, makna, atau maksud yang existensial
dan isi dari realitas ke-manusia-an. Perkataan "ada" (= being), atau
sesuatu yang lainnya lagi yang berasal dari kata kerja "menjadi ada"
(= "to be"), itu tidak mampu mengekspressikan secara adekwat, intuisi
(= vipassana) dari eksistensi, atau essensi dari aktualitas (seperti
yang diistilahkan dengan : paramattho).
Kekurang-mampuan, atau kekurang-cukupan,
dari istilah ontologis yang pokok, mengenai pengertian "ada" (=
being) ini telah dipelajari dan dianalisa secara tajam dan halus oleh
Heidegger, didalam bukunya yang berjudul "Pengantar Ke Metaphysika"
(= "Introduction To Metaphysics"). Tetapi, di tangan
Heidegger, filsafat eksistensi (atau filsafat aktualitas-nya manusia) ini telah
memperoleh pengarahan ontologis yang utama (sebagai suatu analisa
phenomenologis mengenai sesuatu yang ada). Itu lalu menjadi filsafat mengenai
keberadaan-manusia-di-dunia ini, dan sebagai akibatnya, maka kemudian menjadi
filsafat "kehidupan yang terwarnai oleh penderitaan atau kesedihan yang
sangat (= anguish) "atau yang menurut istilah Agama Buddhanya : dukkham,
- bahkan walaupun itu segera dirasakan bahwa titik-balik pemikiran
ontologi-nya, itu tidak, dan memang tidak mampu, memberikan refleksi secara
adekwat, baik terhadap motive-motive yang primordial, maupun terhadap scope
pemikiran eksistensial yang hakiki. Tanpa memasuki pemikiran latar belakang
historical dari pemisahan-pemisahan batiniah yang demikian itu, didalam
filsafat kontemporer, saya lebih cenderung menunjukkan sedikit penolakan yang
bersifat symptomatic, yang dapat diperbandingkan didalam sikap anti-ontologis
mereka, yang secara radikal, dengan prinsip Agama Buddha yang formulasinya
telah saya kemukakan dimuka tadi.
Menurut Sang Buddha, pribadi yang akan
menuai buah dari perbuatan-perbuatannya yang baik atau yang buruk (yang akan
diterima pada kehidupannya yang akan datang), adalah bukan pribadi, yang sama,
tetapi juga bukan tidak sama, dengan pribadi yang melakukan
perbuatan-perbuatan, yang menghasilkan buah perbuatan itu. Prinsip yang sama
di-applikasi-kan juga terhadap identifikasi struktural dari pribadi, didalam
sesuatu bidang lainnya, atau terhadap sesuatu lingkungan sekitar lainnya,
didalam hubungannya dengan aliran saya kehidupan, yang ada pada kehidupan
physik, yang tunggal.
Seorang ahli ilmu filsafat bangsa
Perancis, yang bernama Gabriel Marcel, telah mendiskusikan problema-problema
mengenai kesatuan struktural dari kepribadian manusia (= human personality)
(paling sedikitnya pada tingkat dasar), dan tiba pada kesimpulan bahwa
"hubungan antara badan saya (= my body), dengan "diri saya
sendiri" (= myself), itu tidak dapat dideskripsikan, baik sebagai
"sesuatu yang ada" (= being), maupun sebagai "sesuatu yang
dimiliki" (= having), yang tersirat dalam kalimat yang berbunyi :
"Saya adalah badan saya ini, namun saya tidak dapat
meng-identik-kan diri saya dengan badan saya ini (= "I am my body
and yet I cannot identify myself with it." 12.
"Berkehidupan atau menjadi sesuatu yang ada" (= Existing) tidaklah
berarti menjadi suatu objek. Berdasarkan cara pemikiran yang demikian itu,
Marcel memperkembangkan analisa kritis-nya, yang terdiri dari dua istilah, yang
ke-ekstriman-nya tidak adekwat, mengenai eksistensi, didalam karyanya yang
utama, yang berjudul "Being and Having" (= Menjadi sesuatu
Yang Ada, dan Keadaan Memiliki Sesuatu").
Perwakilan lainnya dari aliran fikiran,
yang sama, didalam Filsafat Perancis, adalah dari Jean Wahl, yang tampaknya
pendekatannya lebih akrab ke arti aktualnya dari avyaktani-nya Agama
Buddha (seperti yang telah kita utarakan di bagian depan dari artikel ini),
tidak dari logika formal, atau bahkan dari pemikiran-pemikiran linguistic,
tetapi agak merupakan dari pemahaman yang secara essensial, bersifat congenial,
mengenai problema yang lebih dalam maknanya, seperti yang tersirat didalam
kalimat sebagai berikut ini : "Kita tidak membicarakan
pertanyaan-pertanyaan biasa, tetapi secara yakin, dapat saya tandaskan, bahwa
kegiatan yang sedang kita lakukan, adalah ber-meditasi secara tekun, dan yang tidak
dapat menjadi pokok pembicaraan yang dapat diuraikan secara jelas." 13
Nicolas Berdyaev, seorang filsuf yang
bersifat religious, dan yang uraiannya bersifat eksplisit, yang dekat dengan
kelompok aliran yang sama, seperti yang diuraikan diatas tadi, telah memberikan
salah satu dari formulasi-nya, secara jelas, mengenai butir pokok permasalahan
yang sedang kita bicarakan, yang uraiannya adalah sebagai berikut ini :
"Problema yang kita hadapi adalah :
Apakah" sesuatu yang ada, atau sesuatu yang mengalami perubahan menjadi
sesuatu keadaan yang lain" (= being) itu merupakan suatu hasil (= product)
dari objektifikasi? Apakah suatu konsep mengenai sesuatu yang mengalami
perubahan menjadi berkeadaan lain, itu tidak dapat dibicarakan, dengan
pembahasan "sesuatu yang ada" (= being" secara qua
konsep, atau apakah sesuatu yang ada (= being) itu tidak memiliki eksistensi
sama sekali? .... Mengapa ontology (yang murni) itu tak mungkin kita peroleh?
Itu dikarenakan bahwa pengetahuan yang kita peroleh itu selalu hanya merupakan
eksistensi yang telah diobjektifikasi. Didalam ontology, idea tentang
"sesuatu yang ada" (= being), itu diobjektifikasi, dan
pengobjektifikasiannya telah merupakan suatu eksistensi yang mengalami
alieniasi (= pengasingan) didalam objektifikasi-nya. Demikianlah, maka didalam
ontology,- dan didalam setiap ontology, eksistensi itu lenyap.... Hanya didalam
subjektivitas saja-lah orang dapat mengetahui eksistensi itu, tidak didalam
objektivitas-nya. Menurut pendapat saya, idea central-nya didalam ontology-nya Heidegger
dan Sartre, telah lenyap. 14
Sesuai dengan prinsip-nya Dilthey,
seperti yang telah kami kutip dibagian depan, dalam membentuk pandangan-jagad
historical, mengenai ilmu-ilmu pengetahuan kultural, yang bebas, yang berdiri
sendiri, tidak tergantung dari penyelidikan ilmiah mengenai sifat alam, yang
secara essensial, bersifat objektif itu, Heidegger telah membatasi
penyelidikannya, hanya pada masalah "waktu sebagai cakrawala untuk semua
pemahaman terhadap segala sesuatu yang ada" (= time as the horizon for all
understanding of being"). Bertentangan dengan latar belakang yang demikian
itu, dia telah mengkritik dan meninggalkan ontology kuno, dari golongan
penganut faham substansialist. Bagi Heidegger, "Temporalitas adalah
merupakan yang menjadi hakekat dari realitas manusia (= "temporality is
the very being of human reality"). Hubungan antara waktu-dan-fikiran atau
jiwa (time-mind), seperti yang telah kita kutipkan, sama seperti yang didalam
Agama Buddha terdapat pada Atthasalini-nya Buddhaghosa, bagi Heidegger
juga adalah merupakan istilah-istilah yang sudah tuntas. Namun, bagi Berdyaev,
sama seperti pendapatnya para antiontoloy yang disebutkan didalam uraian ini,
mengkritik, bahkan juga terhadap, titik-baliknya yang essensial, dari
"ontology yang anthropologis", yang kontemporer, paling sedikitnya
mengenai kegagalan sebagian dari pemahamannya terhadap pengalaman eksistensial
yang authentic, yang tersirat didalam kalimat yang bunyinya sebagai berikut ini
: "Sebagai manusia, Heidegger telah sangat berkeadaan sedih atas keadaan
dunia, yang memerlukan ketekunan didalam memelihara kelestariannya, yang berisi
penuh ketakutan-ketakutan, kematian-kematian, dan kehidupan-kehidupan
sehari-hari yang berisi kedangkalan-kedangkalan pengalaman atau makna ini.
"Walaupun terdapat ungkapan-ungkapan yang demikian itu, dan walaupun
berada diluar ketulusan hati, filsafatnya" bukanlah merupakan filsafat
eksistensial, dan kedalaman dari eksistensinya tidak menjadikan dengan
sendirinya orang dapat merasakannya." 15
Alasan mengenai hal yang tersebut diatas
itu, dinyatakan secara jelas dan eksplisit oleh Karl Jaspers, yang untuk
pertama kalinya mengkritik dan meninggalkan posisi ontologis didalam Filsafat
Eroupa yang kontemporer, yang bersamaan waktunya dengan Heidegger mengadakan
reformasi yang essensial atas konsepsinya yang fundamental. Pandangan Jaspers
tercermin didalam kalimat yang berbunyi sebagai bertikut ini: "Ideal yang
diikuti oleh para penganut faham ontology, adalah penyempurnaan struktur yang
rasional dari dunia yang telah diobjektifikasi." Ilmu-ilmu pengetahuan
teknis telah menolong kita.- memunculkan eksistensi-eksistensi dari
ke-technology-an". Jaspers, sejak sangat awal, yaitu sejak muncul
tulisannya (pada tahun 1930) yang berisi kritik-philosophis-nya, telah sangat
sadar akan adanya bahaya technicalisasi yang bersifat ilmiah, terhadap
eksistensi kemanusiaan, yang demikian itu. Terhadap jenis ontology yang dia
kritik, Jaspers mengatakan sebagai berikut ini : "Sebagai suatu usaha yang
dapat mengikat kita kepada keberadaan dari sesuatu yang di-objektifikasi-kan,
ontology (yang terwarnai oleh technology) itu menghambat tercapainya
kebebasan." Selanjutnya dia mengemukakan pendapatnya "Menurut
pendapat saya, hanya "eksistensi yang potensial sajalah yang dapat
mengangkat saya, membebaskan saya, dari ikatan-ikatan. Rantai-rantai yang
mengikat saya, itu seakan-akan dapat berubah menjadi keberadaan dari sesuatu
yang bersifat material....". Bertentangan dengan jalan (yang seharusnya
saya tempuh), peradaban yang terwarnai oleh technologi, itu dapat mengubah diri
saya menjadi budak dari materialisme, dan ini merupakan bentuk typical dari penderitaan,
yang secara aktual, dan yang (dalam istilah Agama Buddhanya) adalah :dukkham,
yang telah menekan kehidupan dari "manusia yang hidup di zaman
modern". 16
Didalam kehidupannya di masa usianya
yang lanjut, Jaspers telah berkenalan dengan tulisan dari Filsuf Buddhis di
zaman dahulu, yang bernama Nagarjuna, sebagai salah satu dari pemikir
agung, yang paling congenial, 17 yang pada waktu yang bersamaan
Heidegger berkenalan dengan bukunya D.T. Suzuki yang berjudul : "Essay
on Zen Buddhism", dan mengakui bahwa isi dari buku tersebut, adalah
benar-benar tepat sama, dengan apa yang dia inginkan untuk dikemukakan
sepanjang kehidupan.
Enam : Para filsuf mungkin merasa ragu
mengenai keterangan yang mengatakan bahwa dunia itu pada hakekatnya adalah
merupakan substansi material, yang sampai sejauh tertentu, dapat memunculkan
problema mengenai masalah cara mem-verifikasi-kan idea yang sebenarnya dari segala
sesuatu yang ada, atau mengenai "kedirian" (= "self-hood")
dari dunia, baik yang menyangkut aspek eksterior-nya, maupun yang menyangkut
aspek interior-nya, dari ke-diri-an manusia di alam semesta ini. Apa yang
"diragukan", adalah bahwa sejak timbulnya filsafat kritis (= critical
philosophy) didalam periode dominant-nya golongan substansialist dan orientasi
yang diobjektifikasi-kan (Sesuai dengan Filsafat-nya Descartes), ungkapan rasa kekecewaan,
atau "ke-tidak-puasan" terhadap kehidupan dunia ini, telah menjadikan
munculnya, atau aktualnya, Filsafat Eksistensi, yang bersifat umum,
ber-orientasi subjektif, atau introverted.
Salah satu dari ekspressi yang paling
baik, dari titik-balik-nya pandangan filsafat, dapat kita temui didalam
beberapa pernyataannya dari Gabriel Marcel, yang, antara lain, telah
mendefinisikan filsafat Ke-Agama-annya (= Religious Philosophy), sebagai suatu
"doktrin-harapan", atau "ajaran agar orang didalam kehidupan ini
selalu memiliki harapan-harapan" (= doctrin of hope). Postulat pokoknya
dari filsafatnya Gabriel Marcel, adalah bahwa filsafat itu harus bersifat :
"transobjective, personal, dramatic, dan memang bersifat tragic
pula". Selanjutnya Marcel berkata : "Saya tidak akan menyaksikan
sesuatu, dengan memakai kaca-mata kehidupan; hendaklah kita selalu mengadakan
introspeksi, peninjauan terhadap diri sendiri, setiap harinya." 18.
Implikasi, yang sesuai dengan ajaran Agama Buddha, yang sama dengan sikap
mental yang pokok ini, mungkin dapat kita ikuti keterangannya lebih lanjut
didalam formulasi, di masa awal, dari kehidupannya Kierkegaard, yang bunyinya
sebagai berikut ini : "Kehidupan ini dapatlah digambarkan semisal suatu
keadaan orang yang sedang memakai topeng" ..... Kesibukan anda itu
sebagian besar terdiri dari kegiatan melestarikan persembunyian diri anda....
Didalam faktanya, diri anda itu bukan apa-apa; pada hakekatnya : anda adalah
hanya suatu relasi didalam hubungannya dengan orang-orang lain (= You are
merely a relation to others), dan apa sebenarnya diri anda itu, tidaklah
lain adalah diri anda didalam hubungannya dengan bagaimana sifat hubungan
itu.... Apabila daya tarik atau pesona dari illusi (= khayalan palsu, tentang
kehidupan diri anda, dan tentang dunia ini), telah dapat anda hancurkan,
apabila eksistensi anda mulai berkeadaan tidak mantap lagi, maka lalu rasa
putus asa anda mulai muncul dengan sendirinya, seperti keluar dari bagian bawah
sadar dari diri anda. Keadaan keputus-asaan itu sendiri adalah suatu
negativitas, suatu ketidak-sadaran terhadap keadaan yang demikian itu,
merupakan suatu negativitas yang baru.... Itu adalah suatu keadaan sakit yang
pada suatu saat dapat membawa orang ke kematiannya." 19.
Hanya dengan meninggalkan sikap mental
yang lama, tidak lagi tertarik kepada pemakaian "kaca-mata" tingkat
statis, mengenai "Keberadaan dari segala sesuatu" (= Being"),
yang terdapat di dunia ini, untuk melihat kehidupan, orang akan dapat bergerak
secara cukup leluasa di dunia ini, sehingga dia dapat memiliki persyaratan
untuk dapat menyelam kedalam aliran eksistensi; tidak lagi terikat kepada
beberapa tingkatan permulaan, atau "keadaan tetap tinggal di tempat
semula". Hanya dengan cara itu, orang akan dapat secara sungguh-sungguh
memulai berenang sepanjang aliran "samsaro", sehingga dia
dapat merealisir, atau menghayati, Kasunyataan bahwa aniccam, atau
aliran kehidupan yang bergerak secara terus menerus, yang keadaannya tidak
permanent itu, akhirnya pada suatu saat menjadikan orang dapat menjadi sadar
akan manfaat "memiliki kemampuan menyeberangi lautan kehidupan yang penuh
dengan penderitaan.
Ini adalah suatu titik sejarah, dimana
Filsafat Europa yang kontemporer, nampaknya cenderung akan dapat merealisir apa
yang telah kami sebutkan diatas tadi. Adalah essensial untuk dapat merealisir,
menggabungkan lagi secara erat dan tak terpisahkan, antara prinsip aniccam
dan dukkham melalui intuisi, yang diperoleh dengan cara mengadakan
interaksi secara langsung. Didalam situasi yang aktual, tidaklah perlu
berlama-lama untuk mengambil kesimpulan, mengenai idea anatta, sebagai suatu
hasil yang dinamis dari berkonfrontasinya prinsip aniccam dan dukkham.
Sama keadaannya seperti ajaran Agama Buddha yang dinamai aniccam, ajaran
anatta telah menjadi suatu kenyataan yang tidak perlu dibuktikan
kebenarannya, bagi kebanyakan orang Europa, yang latihan mental yang
distandardisasi, yang sifatnya ilmiah dan philosophis, telah sampai pada titik
berada diluar dari dogma mengenai Tuhan dan Roh. 20. Hantu mengenai
faham uccheda-vado yang sifatnya materialistic, dari versi-nya Eroupa,
juga tampaknya akan mulai menghilang. Mata rantai yang sifatnya kritis, itu
hanya ada, antara keadaan yang tidak bersifat permanent (= impermanence) (= aniccam),
dan keadaan mengalami penderitaan (= dukkham). Disebabkan karena
pemikiran ilmiah yang telah mengalami objektifikasi, mata rantai yang hilang
itu tidak pernah dapat diungkapkan oleh philosophi alam yang tunduk kepada ilmu
pengetahuan, bahkan juga tidak oleh criticisme literair yang populer, seperti
type-nya Russel, yang kutipannya telah kami kemukakan di bagian depan dari
artikel ini. Adalah jelas bahwa hanya pengalaman eksistensial mengenai dukkham
atau penderitaan, atau "kesedihan yang sangat", yang memungkinkan
orang dapat memperoleh realisasi
Sekarang ini, kita berterima kasih,
mengingat orang menjadi makin mudah memperoleh realisasi, karena adanya
bencana-bencana dan mengalami akibat-akibatnya, yang hingga sekarang
akibat-akibatnya itu masih dapat kita rasakan, setelah terjadinya Perang Dunia
Ke-Dua, pada Abad Ke-Dua Puluh ini. Itulah sebabnya mengapa suatu philosophi
baru, menjelang Perang Dunia Ke-Dua, telah muncul dan mulai berkembang di
Eroupa secara eksplisit, sebagai philosophi mengenai "conscience" (=
hati nurani), dan bukan philosophi mengenai "consciousness" (=
kesadaran). Tampak dengan jelas juga bahwa mulai disadari didalam philosophi
yang demikian itu, orang tidak perlu bertahan diri, dan berkepala batu,
memegang teguh dilemma palsu, mengenai keharusan untuk memilih salah satu :
apakah memilih philosophi, atau memilih religi (= Agama). Problema yang
belakangan ini, yang berisi pembicaraan mengenai "kepercayaan yang
bersifat philosophis" (= philosophical faith) adalah lebih penting bagi
Agama Buddha, dari pada bagi Agama-Agama yang lainnya. Hal ini ekspressi
dianostical-nya, yang paling baik, terdapat didalam beberapa essaynya Karl
Jaspers, yang, sedikit kutipannya, yang dapat menunjukkan yang saya maksudkan,
dapat saya sampaikan uraiannya sebagai berikut ini :
Adalah merupakan hal yang dapat
dipermasalahkannya, apakah kepercayaan (=faith) itu mungkin ada tanpa
dengan Agama. Philosophilah yang menciptakan pertanyaan yang demikian
ini.... Manusia itu kehilangan kepercayaannya, karena dia kehilangan
kepercayaan terhadap Agamanya; dan yang menyebabkan dia berkeadaan demikian,
itu karena pemikirannya lebih ditujukan kepada sifat dari dirinya sendiri....
Tidak lagi, sebagai pembicaraan yang pertama, mengenai Tuhan Yang Maha Esa,
yang merupakan Pribadi terhadap siapa,
Semua makhluk tergantung; juga bukan
Dunia, yang merupakan pembahasan yang pertama; dan lalu adalah pembahasan
mengenai diri Manusia sendiri; namun pembahasannya tidak dirinya sendiri
sebagai sesuatu yang ada, tetapi merupakan usaha untuk mengatasi, atau men-transcendensi,
dirinya sendiri.... Individu yang tidak lagi terlindungi, memang dapat saja
lalu memunculkan pembahasan babakan waktu, tentang manusia, dengan segi
physiognomy-nya .... (Dahulu di Eroupa) authoritas dari Lembaga-lembaga
Keagamaan melindungi umatnya, membina rohani mereka, agar mereka dapat menjadi
berkeadaan tenteram dan bahagia.... Sekarang (tampaknya) philosophi itu adalah
merupakan satu-satunya pemberi pedoman hidup, khusus bagi orang-orang yang
berkesadaran penuh, yang tidak lagi terlindungi oleh Agama. 21.
Adalah jelas bahwa yang dimaksud dengan
"kepercayaan" (=faith), disini, tidak lagi pemahaman sebagai suatu
kepercayaan terhadap sesuatu Wahyu, tetapi yang dimaksud adalah kepercayaan
yang masuk akal, didalam suatu bimbingan spiritual yang memenuhi persyaratan,
yang kemampuan moral dan intellektualnya, telah di-test dengan hati-hati dan
teliti, didalam setiap kasus yang tunggal, oleh kriteria yang masak dan sehat (apannako
dhammo); sebagai misalnya yang telah terbentuk dengan mantap oleh Sang
Buddha didalam khotbah-khotbah beliau, yang tahan kritik, mengenai
masalah-masalah Agama, yaitu yang tercantum pada naskah Apannaka-Suttam
dan Canki-Suttam (M. 60 dan 95), agar supaya dapat menyisihkan cara
penyampaian warisan dari generasi tua ke generasi muda, mengenai
tradisi-tradisi religious, yang kosong, atau yang membuta, yang digambarkan
dengan ungkapan sebagai : "memberikan keranjang kosong, dari seseorang,
kepada orang lain", atau digambarkan sebagai : "sebuah tali yang diberikan
kepada orang-buta". Dalam hal ini, terkenal kalimat yang berbunyi sebagai
berikut ini : "Dari anda sendiri, adalah merupakan sang pembimbing bagi
diri anda sendiri. Siapakah yang layak menjadi pembimbing terhadap diri anda
sendiri, kalau tidak diri anda sendiri!?! (Dph 160).
Jean-Paul Sartre, adalah Filsuf lainnya,
yang walaupun beliau sendiri bukan Filsuf yang religious, namun menyadari maha
pentingnya problema yang bersifat religious, yang timbul dari prasangka pada
zaman kita yang kritis ini, dan masih lebih khusus adalah dari prasangka
implikasi-implikasi mengenai idea annicam, yang sifat metaphysis-nya
lebih mendalam, lagi, yaitu sebagai non-substantialitas, yang mengancam akan
meruntuhkan dasar ilmiah dari materialisme Abad Ke-Sembilan Belas. Situasi yang
tragis dari realitas manusia di dunia ini terdiri dari fakta, bahwa disebabkan
karena "kebebasan" karma-nya, manusia tidak sebagai "apa dia
itu" (= what he is), lalu bergeser menjadi masalah "manusia sebagai
makhluk yang tidak mampu dalam sesuatu hal, atau yang tidak memiliki sesuatu
sifat" (= man is what he is not). Pernyataan yang demikian ini,
implikasi-implikasinya telah dibuat tidak murni oleh banyak para pemikir di
bidang keagamaan, yang sifatnya konservatif; sekalipun demikian hal itu
berhubungan dan berkeadaan mirip dengan inti-sari fikiran-fikiran St.
Augustine, seperti yang dikemukakan oleh Jaspers, yang merupakan hasil renungan
keagamaan yang sangat mendalam, walaupun secara agak berbeda caranya, dengan
fakta-fakta situasi eksistensial, yang tidak dapat dibantah, yang tersirat
didalam ungkapan kalimat sebagai berikut ini : "Saya adalah diri saya
sendiri, tetapi saya dapat saja mengalami kegagalan didalam mengamati sifat
yang sebenarnya dari diri saya sendiri. Saya harus meletakkan kepercayaan saya
kepada diri saya sendiri, tetapi saya memang tidak dapat mempercayakan
sepenuhnya nasib saya kepada diri saya sendiri." 22.
Berbicara mengenai Filsuf Sartre,
dapatlah dikemukakan bahwa dedukasinya yang pertama kali, dari realisasi
pokok-nya mengenai ajaran Agama Buddha yang dinamai anicca-anatta adalah
bahwa manusia (yang sifat-sifatnya telah dikemukakan dibagian depan dari
artikel ini) dapat diungkapkan dalam satu kalimat : "Manusia adalah yang
suka melampiaskan hawa nafsunya, secara tidak mendatangkan sesuatu manfaat".
"Realitas manusia itu merupakan suatu usaha yang murni untuk memiliki
sifat-sifat Ke-Tuhan-an, tanpa perlu memiliki sesuatu dasar yang kokoh atas
adanya usaha yang demikian itu.... Keinginan yang dimilikinya dapat
mengekspressikan usahanya yang demikian itu.... Secara fundamental dapatlah
dikatakan bahwa manusia adalah sesuai dengan keinginannya dia itu
bercita-cita menjadi apa (= Man is the desire to be)". Sama seperti
ungkapan yang demikian itu, dia itu selalu hanya merupakan "project"
- sesuatu "yang dilemparkan dengan suatu alat pelempar" yang bergerak
dengan tiada henti-hentinya, dari titik masa lampau ke titik yang akan datang
(seperti yang diformulasikan secara demikian, oleh Ortegay Gasset), tanpa suatu
kemungkinan untuk mendapatkan ketenangan pada penghayatannya titik masa
sekarang. Ini adalah merupakan tragedi dari "temporalisasi-nya, yang
memiliki makna hakikinya sebagai yang berkeadaan aniccam. Hal ini
menunjukkan bagaimana "eksistensi keinginan manusia sebagai suatu fakta
itu cukup untuk membuktikan bahwa realitas manusia itu adalah sesuatu yang
memiliki kekurangan-kekurangan." Lalu, bagaimana kemungkinannya
penghindaran diri yang hakiki, atau "suatu pencapaian kebebasan"
(dari penderitaan), yang dapat kita bayangkan?. Adapun sebab dari keadaan yang
demikian itu, ialah karena realitas manusia itu keadaannya terungkapkan didalam
kalimat yang berbunyi sebagai berikut ini :
"Ia merupakan sesuatu yang ada,
yang keadaannya sedemikian rupa, yaitu bahwa didalam keberadaan dirinya,
keberadaan dirinya itu bersifat berada didalam permasalahan, yang ada didalam
wujud suatu project menjadi sesuatu". Atas dasar pemikiran yang demikian
itu, sifat-sifatnya hanya dapat kita ungkapkan dengan kalimat sebagai berikut
ini : "Kita dapat mengetahui dan mendapatkan kenyataan bahwa itu, secara
lebih tepat kita katakan merupakan masalah, yaitu bahwa diri kita ini
sebenarnya akan menjadi apa!?!; inilah yang telah kita ketemukan, dan ini
adalah benar-benar sesuatu yang bernilai sangat tinggi. 23.
Seseorang yang ingin untuk dapat
menyelam lebih dalam lagi ke dalam kemungkinan-kemungkinan yang demikian itu,
kiranya perlu mengikuti nasehat yang berasal dari Gabriel Marcel, atau dari
Bardyaev, dan mau berusaha untuk menyeberangi lautan kehidupan, sehingga dapat
tiba di daerah seberang sana, diluar kemungkinan-kemungkinan yang dapat
diekspressikan didalam sesuatu philosophi mengenai keberadaan dari segala
sesuatu. Suatu alat, atau lebih tepat jika kita sebut "perahu", yang
disediakan oleh Agama Buddha, walaupun mengandung pengertian yang bingkai isi
pengertiannya lebih luas lagi, telah memiliki kemampuan penyesuaian-diri
terhadap kebutuhan-kebutuhan yang eksplisit sifatnya, yaitu yang tersirat
didalam kalimat philosophis dari Agama Buddha, (yang seperti telah diketahui,
sudah kami kemukakan di bagian depan dari artikel ini), yang bunyinya sebagai
berikut ini : "Bukan "ada" (= "being"), dan bukan
"tidak-ada" (= non-being"), tetapi juga bukan keduanya digabung,
bukan : ada-dan tidak-ada" (= "being-and-non-being"), pula bukan
tidak "ada" dan tidak "tidak ada" (=
neither-being-nor-non-being") (atau kalimat dalam bahasa Inggris seutuhnya
adalah : "Neither being, nor non-being, nor both being-and-non-being, nor
neither-being-nor-non-being"). *)
Catatan-catatan
Majjhima-Nikayo, uraian 146,
dan beberapa teks lainnya. Kutipan-kutipan diambil dari Sutta-Sutta yang
berbahasa Pali, terutama diambil dari penerbitan The Pali Society, yang
merupakan seri-seri terjemahan. Referensi-referensinya adalah pada Majjhimani
kayo (M), Digha-nikayo (D), Dhamapadam (D).
Kutipan-kutipan
yang berasal dari buku yang berjudul : "An Outlines of Philosophy"
(= "Garis Besar Filsafat"), Cetakan Ke-Tiga, Penerbitan : Allen and
Unwin, London, halaman : 309, 290, 304, 294, 290, 5, 287, 289, 291, 292, 296,
297, 11, 300, 14.
Kutipan
yang berasal dari bukunya R. Heywood, yang berjudul : "The Sixth Sense,
an Inquiry into Extra-Sensory Perception" (= "Indra Ke-Enam,
Suatu Penyelidikan Mengenai Persepsi Ekstra-Sensoris"), penerbitan : Pan
Book, London, tahun 1958, halaman: 205-210.
Juga
periksa bukunya R. Heywood, yang berjudul : "Religion, Philosophy, and
Psychical Research" (= Agama, Filsafat, dan Penyelidikan Ke-jiwa-an),
Penerbitan : Routledge, and Kegan Paul, London, 1953, halaman : 219-222.
Kutipan-kutipan
berikutnya berasal dari buku yang berjudul "Classic American
Philosophers" (= Filsuf-Filsuf Amerika Golongan Klassik), disusun oleh
Editor Umum : M.H. Fisch, penerbitan : Appleton-Century-Crofts, New York, 1951,
halaman: 163-164.
Bukunya
K. Jaspers yang berjudul : "The Great Philosophers"
(Filsuf-Filsuf Besar), disusun oleh Editor : R. Hart-Davis, penerbitan :
London, 1962, halaman : 320.
Kutipan
dari Buku yang berjudul : "Classic American Philosophers",
op-cit, halaman : 160, 155, 161, 163n.
Dari
bukunya I.M. Bochenski, yang berjudul : "Comtemporary European
Philosophy" (= "Filsafat Eroupa Masa Kontemporer"),
penerbitan : University of California Press, halaman 136.
Terjemahan
kedalam bahasa Inggris dari karya utama, buku yang berjudul "Being and
Time" (= "Masalah Menjadi Sesuatu dan waktu"), penerbitan
Harper New York, 1962. Referensi yang kita ambil adalah dari buku edisi Bahasa
Jerman, yang Ke-Tujuh, penerbitan : Tubingen, M. Niemeyer, Verlag, halaman :
28. ff.
Bukunya
Bochenski, op-cit, halaman : 215.
Suatu
analogi (=Kesamaan) yang erat antara formulasi anomy-anomy, yang empat,
mengenai pemikiran dialectical oleh Kant, dan struktur dasar, yang sama,
mengenai empat kelompok "pandangan" (= ditthi) didalam Brahma-jala-suttam
(D. 1), telah kami kemukakan secara tunggal didalam karya tulis saya, mengenai
"Keadaan saling-bergantungannya antara punar-bhava pada karma, didalam
Filsafat Buddhis", dan "Pendekatan Saya Terhadap Filsafat
India", yang tercantum pada Indian Philosophical Annual, Jilid I & II,
1965-1966, dibawah nama samaran saya : Chedomil Velyachich.
Bochenski,
op-cit, halaman : 183.
Jean
Wahl, dalam bukunya yang berjudul "A Short History of Existentialism"
(= "Sejarah Singkat Mengenai Existentialisme"), penerbitan : The
Philosophical Library, New York, 1991, halaman :2.
N.
Berdyaev, didalam bukunya yang berjudul : "The Beginning and The End"
(= Permulaan dari Langkah untuk Mencapai Tujuan Akhir), Penerbitan : Harper
Torchbooks, 1957, halaman : 92. Juga periksa diskusi yang terdapat pada bukunya
J. Wahl, pada catatan kaki 13, tersebut diatas.
Op-cit,
halaman : 116 f.
K.
Jaspers, didalam bukunya yang berjudul : "Philosophie", edisi
ke-dua, penerbitan : Springer, Berlin, 1948, halaman : 314, 813, ; bukunya K.
Jaspers didalam bahasa Inggris yang berjudul : "Man in the Modern Age"
(= Manusia didalam Zaman Modern), London, 1959.
Didalam
Buku Sejarah yang berjudul : "The Great Philosophers" (=
Filsuf-Filsuf Besar), Bab mengenai Nagarjuna tidak dimasukkan didalam seleksi
tersebut diatas (Catatan Kaki 6), didalam terjemahan bahasa Inggrisnya.
Bochenski,
op-cit, halaman : 183.
Buku
yang berjudul : "A Kierkegaard Anthology" (=
"Anthology-nya Kierkegaard"), dibawah edisi R. Bretall, penerbitan :
Princeton University Press, 1951, halaman : 99 (dan halaman : 346 dari buku
yang berjudul : "The Sickness Unto Death") (="Sejak kakinya
hingga Kematiannya").
Julian
Huxley, didalam bukunya yang berjudul : "Religion Without Revelation"
(= Agama Tanpa Wahyu), penerbitan : Watts, London, 1967, suatu analisa yang
karakteristik terhadap masalah perlunya melepaskan elemen-elemen pada definisi
Religi, yang up-to-date, yang tidak lagi merupakan suatu postulat yang
essensial.
Dari
buku yang berjudul : "Man In The Modern Age", halaman : 142 f.
dan buku yang berjudul : "The Great Philosophers", halaman :
221.
Dari
buku yang berjudul : "The Great Philosophers", halaman : 200.
J.P. Sartre didalam
bukunya yang berjudul : "Being And Nothingness" (=
"Menjadi Sesuatu dan Ketidak-Adaan"), penerbitan : Methuen, London,
1966, halaman : 615, 579, 565, 97, 92.