Oleh: Sutoro Eko
Antara demokrasi, konstitusionalisme, hak asasi manusia,
warga negara dan hak-hak warga negara punya kaitan sejarah panjang yang penuh
pergulatan sejak abad keenam SM di Yunani Kuno. Di Yunani Kuno, khususnya di
Athena, dalam jangka yang panjang telah terjadi pergulatan antara demokrasi,
aristokrasi, oligarkhi dan warga negara, yang berinterseksi dengan pergulatan
antarklan. Transformasi politik di Athena dari aristokrasi ke demokrasi dimulai oleh reformasi Solon pada awal abad ke-6,
seorang pemimpin terpilih Athena (594 SM). Solon mencoba membikin keseimbangan
antara kelas atas dan kelas bawah dengan
memperkenalkan hukum yang mengontrol konsumsi, membebaskan banyak laki-laki
yang diperjualkbelikan dalam arena perbudakan, serta membuka jabatan-jabatan
politik untuk diperebutkan oleh penduduk secara meluas. Ketika berkuasa, Solon
memang belum memperkenalkan konsep “demokrasi” tetapi dia merupakan orang
pertama yang meletakkan landasan demokrasi di Athena. Sayangnya, obsesi besar
Solon kandas setelah dia dikudeta oleh Peisistratus seorang tiran yang kejam di
Athena.
Demokrasi bangkit kembali ketika Cleistehenes mulai
berkuasa di penghujung abad ke-6 hingga 507 SM. Cleistehenes belum juga
memperkenalkan konsep demokrasi, tetapi dia telah membangun negara-kota (polis) beserta lembaga-lembaga
demokrasi, misalnya mengganti dewan aristokrat Aeropagus dengan sebuah
“Majelis” yang berisikan elemen-elemen komunitas lokal (demes). Majelis adalah lembaga tertinggi untuk mewadahi proses
demokrasi langsung di Athena, yang berpusat di bukit Pnyx. Yang terpenting,
Cleistehenes memperkenalkan konsep “warganegara”, sebagai pribadi yang utuh,
yang menempatkan politik sebagai kegiatan sosial alami, dan yang menempatkan
negara dan pemerintah – atau polis – bukan merupakan wujud yang asing dan jauh
dari dirinya sendiri. Prinsip “persamaan” telah diperkenalkan untuk semua
warganegara di dalam polis, yaitu
persamaan semua warga negara yang berhak berbicara dalam majelis pemerintahan (isegoria) dan persamaan di depan hukum (isonomia). [Raphael Sealey, 1976].
Namun konsep “warganegara” masih dimaknai secara
eksklusif bagi kaum laki-laki keturunan orang Athena asli. Pembatasan ini
dimaksudkan agar polis Athena tidak
meledak penduduknya yang memungkinkan demokrasi langsung bisa berjalan dengan
baik. Kaum laki-laki dewasa yang menjadi “warganegara” itu mempunyai hak penuh
baik dalam politik, hukum, sosial, ekonomi dan lain-lain. Sementara kaum
perempuan hanya jadi “warga negara kelas dua”, yang tidak mempunyai suara
politik di majelis pemerintahan. Di luar dua elemen warga negara itu masih
terdapat dua elemen lain, yaitu orang asing yang sudah lama menetap (metics) dan budak. Kedudukan metics
persis sama dengan kaum perempuan asli Athena, yang memperoleh persamaan hak
hukum, sosial, ekonomi dan budaya, tetapi tidak mempunyai hak politik dalam
majelis pemerintahan. Kaum metics menjadi
seniman, intelektual, pedagang yang umumnya kaya-raya dan memperoleh status
yang istimewa karena kontribusi kekayaannya untuk polis meskipun tidak punya hak politik. Sementara budak adalah kaum
yang tertindas, yang tidak mempunyai hak ekonomi, sosial, hukum dan politik
dalam polis Athena (M.I. Finley, 1980).
Kekuasaan Cleistehenes berakhir dan digantikan oleh Pericles,
seorang panglima perang yang demokrat, dari 495 hingga 429 SM. Pericles
mmepunyai kontribusi yang luar biasa dalam membangun lembaga-lembaga demokrasi
dan konstitusi di polis Athena. Dia
yang pertama kali memperkenalkan demokratia
(demokrasi) di Athena. Dia juga memperluas wilayah sampai Laut Aegean yang
dijadikan sumber penerimaan yang potensial sehingga membawa kemakmuran yang
luar biasa bagi Athena. Namun Pericles tetap tidak merubah konsep “warganegara”
yang eksklusif yang diwariskan oleh Cleistehenes di atas.
Ketika Pericles berkuasa, di Athena bermunculan para
filsuf besar yang mengkritik praktik demokrasi, seperti Thucydides, Socrates,
Plato, Herodotus sampai Aristoteles. Thucydides melontarkan kritik keras bahwa
demokrasi Athena adalah sistem pemerintahan oleh gerombolan rakyat yang rakus.
Kritik Socrates ditujukan pada pemimpin demokratik semacam Pericles yang sangat
mengabaikan pendidikan akan kebajikan dan keadilan bagi rakyat. Plato
melontarkan kritiknya pada demokrasi, seraya menggagas konsep negara yang baik
berdasarkan prinsip keadilan. Negara yang adil, kata Plato, bila dipimpin oleh
raja-filsuf yang bijaksana. Seperti halnya Thucydides, Herodotus menyatakan
bahwa rakyat banyak (demos) pada
dasarnya arogan dan bodoh yang tidak pantas menjalankan pemerintahan.
Aristoteles (384-322 SM) tidak ketinggalan dalam mengecam
demokrasi, dan sekaligus mengusulkan gabungan antara monarkhi, demokrasi dan
aligarkhi. Aristoteles memang mengakui pentingnya peranan rakyat dalam
pemerintahan, tetapi keberadaan rakyat hanya patut ditakuti bukan untuk
dipercaya memerintah. Fungsi rakyat banyak, kata Aristoteles, adalah memilih
pemimpin yang cukup memenuhi persyaratan untuk melaksanakan tugas berat
memerintah seluruh negara. Sebagai pemikir republikenisme -- yang mengilhami
lahirnya gagasan negara-bangsa (nation-state)
– Aristoteles merekomendasikan perlunya “konstitusi” yang bisa menjamin
keseimbangan antara penguasa dengan rakyat, sehingga bisa menciptakan negara
bahagia.
Ketika pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh, bahkan
sampai di Roma, Yunani Kuno yang demokratis mengalami keruntuhan setelah
ditundukkan oleh Macedonia (338 SM), dan kejayaan Athena juga berakhir setelah
kalah bertarung dengan Sparta dalam Perang Pelopones (329 SM). Peristiwa besejarah
ini telah mengubur teori dan praktek demokrasi dalam jangka yang sangat
panjang. Wacana warga negara juga hilang dari arena pemikiran dan pergulatan,
yang digantikan dengan perdebatan tentang “konstitusionalisme” setelah dipicu
oleh pemikiran Aristoteles.
Era Yunani Kuno telah berakhir dan pindah ke Romawi.
Tokoh besar Roma, Cicero (106-43 SM) – yang sangat dipengaruhi oleh Plato dan
Aristoteles – membangun Republik Roma dengan mengkombinasikan antara monarkhi,
oligarkhi dan demokrasi. Republik Roma tumbuh di sebuah kota kecil di kawasan
Sungai Tiber menjadi sebuah emperium besar yang mengontrol dunia sampai 500
tahun lamanya. Selama 500 tahun itu perubahan politik terjadi cukup signifikan,
dimana organisasi-organisasi politik merupakan sebuah rangkaian konsesi antara
kelas miskin dan penduduk kota yang baru ditaklukkan di Italia. Pemikiran tentang negara-bangsa (state-nation) tampil ke depan
menggantikan negara-kota (city-state)
ala Yunani Kuno.
Ketika raja Roma digulingkan (509 SM), Senate Roma menjadi
locus utama dalam kekuasaan politik. Para hakim terpilih menjadi anggota Senate
yang menjadikan Senate memperoleh sebuah dukungan dari publik yang nyaman.
Karena itu Senate sebenarnya menjadi wadah “wakil rakyat”. Para pejabat negara
juga dipilih oleh rakyat dalam jangka satu tahun di dalam salah satu majelis
rakyat (plebs). Konon “republik”
dimaknai sebagai “barang-barang publik”. Negara juga jadi milik publik. Tetapi
sejarah demokrasi Republik Roma itu mulai mengalami kehancuran pada awal Masehi
ketika terjadi Perang Actium (31 M). Octavian, anak pungut Yulius Caesar,
menyingkirkan Mark Antony, dan sekaligus memberangus Senate dan majelis rakyat
dengan membangun kerajaan yang dipimpin oleh satu orang.
Pemikiran tentang demokrasi sampai pada hak-hak warganegara
dalam jangka yang cukup panjang (10 abad) hilang dari permukaan. Paradigma
demokrasi yang sekuler digantikan oleh paradigma teokrasi yang transendental.
Pemikiran ini dipengaruhi oleh kebangkitan Kristen dan juga para pemikir
Kristen/Katholik generasi pertama seperti St. Agustinus dan St. Thomas. Konon
berkembang pemikiran yang mengkombinasikan antara kepercayaan fundamental pada
Tuhan dan hukum alam, dengan menyatakannya dalam hukum-hukum aktual yang dibuat
untuk mengatur sikap yang akan mengilhami kerjasama antara pejabat gerejawi dan
pejabat sekuler. Masalah yang serius pada waktu itu adalah bagaimana memberikan
kepada Caesar hanya apa-apa yang menjadi miliknya. Dari Tuhan datanglah wahyu,
dari wahyu datanglah nalar, dari nalar datanglah hukum alam. Dari hukum alam
lahirlah hukum praktis yang mengatur harta, warisan, dinas militer, dan semua
kewajiban lain, kecuali hak-hak manusia. Keputusan dan peraturan praktis yang
dibuat manusia ini disebut hukum positif, yang menunjukkan apa yang harus dilakukan
dan bagaimana melakukannya, yang pada akhirnya akan mencapai “anugerah” dari
Tuhan. Anugerah harus dicapai oleh setiap orang. Hidup dalam negara yang
dianugerahi Tuhan, rakyat harus diatur oleh hukum positif yang menjamin
perilaku yang pantas, kesalehan, ketaatan, kealiman, dan pekerjaan. Para
penguasa menetapkan hukum positif berdasarkan nalar dan hukum alam, yang mereka
pahami melalui inspirasi: Tuhan berada dalam diri manusia, kota adalah milik
Tuhan.
Pemikiran teokratis
mengalami kemunduran setelah bangkit tradisi pencerahan (enlightment) yang
dimulai pada abad ke-16. Sejumlah pemikir sangat berpengaruh pada tradisi ini,
antara lain Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, JJ Rousseau, John Lokce,
Montesquieu, David Hume, dan sebagainya. Pemikiran republikanisme Aristotelian
yang aristokratis mereka ganti dengan republikanisme demokratis. Kalau para
pemikir klasik sangat takut pada rakyat banyak, maka para pemikir pencerahan
justru sangat takut pada unsur-unsur yang sedikit yaitu aristokrasi dan oligarkhi.
Ada dua prinsip penting dalam tradisi pencerahan, yang kelak menjadi landasan
bagi gagasan negara-bangsa (state-nation) yang sudah ada sejak kejayaan Romawi.
Pertama, adalah prinsip konstitusionalisme, bahwa penguasa atau raja merupakan
wakil rakyat dengan lingkup kekuasaan yang ditentukan oleh konstitusi atau terbatas. Kedua, prinsip
perwakilan, bahwa komunitas politik bukan terdiri dari hak-hak pribadi semua
individu, melainkan hak-hak dewan perwakilan. Rakyat diwakili bukan dalam
kedudukan perorangan mereka, tetapi dalam kedudukan publik sebagai warga
negara. Sebuah dewan perwakilan menjalankan pengawasan terhadap penguasa.
Masalah awal yang muncul adalah bagaimana mempertahankan dua prinsip itu agar
tidak berbau gereja.
Pengertian mengenai hak
warga negara dan pembatasan kekuasaan secara konstitusional menjadi sekuler
ketika pengertian-pengertian ini berkembang menjadi sebuah teori kontrak
sosial, dimana penguasa dan rakyat menjalin hubungan hukum (konstitusional)
mereka lewat perjanjian. Selama abad pencerahan, masyarakat yang awalnya dianggap sebagai korporasi
kemudian menjadi berdasar pada landasan konstitusi. Dalam negara-bangsa yang
modern, korporasi sosial tidak lagi menjadi satu rangkaian hubungan sosial
ketat yang diabadikan dengan agama, melainkan sebuah hubungan sosial yang lebih
mekanistis yang didasarkan pada persetujuan pemerintah.
Pada abad pertengahan
tampaknya sudah bermunculan beberapa pertanyaan serius yang berkaitan dengan
hak asasi manusia dan hak-hak sipil wargenagara. Apakah harus ada kebebasan
beragama (torelansi beragama)? Berapa banyak keanekaragaman pendapat boleh
diizinkan? Bagaimana hak-hak diamankan? Jawabannya sulit diberikan karena
pertanyaan-pertanyaan seperti itu diajukan selama pemberontakan, konflik dan
perang yang terus menerus, ketika bahaya anarki tampak mengancam semua orang.
Tetapi perang-perang itu penting, sebagai pergulatan merampas kekuasaan Paus
dan menyerahkannya kepada raja. Teori konstitusionalisme dalam bentuk-bentuk
abad pertengahan dan modern diselingi oleh satu masa otokrasi. Mengangkat raja
di atas Paus, yang sekuler di atas yang
suci, negara-bangsa di atas kerajaan Kristen bukanlah transisi yang mudah.
Perang Seratus Tahun, yang pecah pada abad ke-15, timbul dari konflik yang
tiada henti mengenai masalah-masalah seperti itu. Dalam
abad ke-17 masalah-masalah yang sama menimbulkan Perang Tigapuluh Tahun. Dengan munculnya negara-bangsa modern, sekuler, maka
memunculkan dua asas: ide kedaulatan dan doktrin hak-hak raja yang berasal dari
Tuhan.
Kalau para filsuf bergulat
pada arena pemikiran, di Inggris telah muncul pergulatan tentang hak asasi
manusia dan hak warga negara pada abad ke-17. Inggris punya tradisi perlawanan
lama terhadap segala upaya raja untuk mengambil kekuasaan mutlak. Pada tahun
1215 para bangsawan sudah memaksa raja untuk memberikan Magna Charta yang melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan
benda dengan sewenang-wenang. Tahun 1679 dihasilkan penyataan Habeas Corpus,
sebuah dokumen keberadaan hukum bersejarah yang menetapkan bahwa orang yang
ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan diberi
tahu atas tuduhan apa ia ditahan. Pernyataan ini menjadi dasar prinsip hukum
bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim, bukan raja atau tentara.
Sesudah the Glorious Revolution
menggantikan raja James II dengan William, Bill
of Rights (1689) lahir yang antara lain mengakui hak-hak parlemen sehingga
Inggris merupakan negara pertama di belahan dunia yang melaksanakan gagasan
konstitusionalisme atau punya konstitusi dalam arti modern. Perkembangan ini
sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke (1632-1704) yang, selain menuntut
toleransi beragama, mengemukakan bahwa
orang yang diciptakan sama dan punya hak-hak alamiah yang tidak dapat
dilepaskan, di antaranya termasuk hak atas hidup, kemerdekaan dan hak milik,
tetapi juga hak untuk mengusahakan kebahagiaan.
Gagasan
John Locke sangat berpengaruh dalam abad ke-18 terutama di jajahan Inggris di
Amerika maupun di Perancis, dan menjadi dasar liberalisme. Kalimat-kalimat
permulaan dari Bill of Rights of Virginia
(1776), daftar hak asasi manusia agak lengkap yang pertama. Di Amerika ketika
dijajah oleh pemerintah kolonial Inggris, telah bergulat untuk memperjuangkan
hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga negara. Konon ada sebuah seruan
keras “tidak ada pajak tanpa perwakilan” (“no taxation without represebtation” ),
yang ditujukan untuk memperjuangkan perlindungan hak politik di lembaga
perwakilan kepada pemerintah Inggris. Sementara revolusi Perancis (1789) menghasilkan sebuah “pernyataan tentang
hak-hak asasi manusia dan warga negara”, yang kemudian menjadi pedoman bagi
banyak pernyataan. Di dalamnya dibedakan antara hak-hak yang dimiliki manusia
sebagai manusia, yang dibawanya ke dalam masyarakat, dan hak-hak yang diperoleh
manusia sebagai warga masyarakat dan negara. Disebutkan bahwa semua orang lahir
dengan bebas dan sama haknya. Disebutkan hak atas kebebasan, hak milik, hak
atas keamanan, atas perlawanan terhadap penindasan. Sebagai
warga negara orang berhak untuk ikut dalam pembuatan undang-undang.
Di Amerika, pada abad ke-19,
pergulatan yang paling menyolok adalah perang melawan perbudakan yang
sebelumnya dilegalkan oleh konstitusi.
Perang Sipil (1861-1865) telah mengakhiri dukungan orang Amerika
terhadap perbudakan. Konstitusi selalu berhadapan dengan amandemen baru yang
berusaha menghapus perbudakan dari Amerika, yaitu Amandemen Ketigabelas (1865)
yang memberi perlindungan politik dan hukum atas bekas budak termasuk menghapus
budak dari kulit hitam; Amandemen Keempatbelas (1868) yang memberi jaminan
kewarganegaraan bagi budak; dan Amandemen Kelimabelas (1870) yang menjamin hak
mereka bersuara. Pada tahun 1866, ketika Presiden Andrew Jackson berkuasa,
Congres Amerika mengesahkan UU Hak-hak Sipil dan UU Penghapusan
Perbudakan, yang menjatuhkan hukuman
kriminal bagi yang memanfaatkan atau memperjualberlikan budak.
Selama seluruh abad ke-19 burjuasi liberal memperjuangkan
negara konstitusional dan pengakuan terhadap hak-hak sipil warga negara melawan
pemerintah yang feodal dan absolutistik. Akan tetapi abad yang sama menyaksikan
kontestan baru yang masuk ke panggung perjuangan: kaum buruh. Semula mereka
mendukung perjuangan burjuasi melawan sisa-sisa feodalisme. Tetapi sekaligus
mereka melawan burjuasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia
pekerja. Dari perjuangan yang mereka jalankan di bawah bendera sosialisme
lahirlah hak-hak sosial. Dapat dikatakan bahwa sistem negara hukum demokratis
dan sosial yang merupakan ciri khas bagi pola kenegaraan di Eropa Barat
sekarang merupakan hasil perjuangan borjuasi dan pergerakan buruh selama dua
ratus tahun.
Dalam abad ini perjuangan
demi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak sipil warga negara
berubah arah. Kalau perjuangan burjuasi liberal kaum buruh teruma untuk
mencapai kedudukan yang sama dengan kelas-kelas yang mau memonopoli pegangannya
atas kekuasaan, maka dalam abad ke-20 penindasan semakin dilakukan oleh negara
sendiri atau oleh suatu sistem pemerintahan yang totaliter terhadap masyarakatnya
sendiri atau sebagian daripadanya. Pernyataan hak-hak asasi sedunia yang
pertama, yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tanggal 10 Desember 1948 tidak hanya memuat hak-hak asasi yang diperjuangkan
oleh liberalisme dan sosialisme, melainkan juga mencerminkan pengalaman
penindasan oleh rejim-rejim fasis dan nasionalsosialis tahun dua puluh sampai
empat puluhan. Sementara ini elit nasional bangsa-bangsa yang dijajah
mempergunakan paham hak asasi, terutama “hak untuk menentukan dirinya sendiri”,
sebagai senjata ampuh dalam usaha untuk melegitimasikan perjuangan mereka untuk
mencapai kemerdekaan. Dua persetujuan PBB 1966, Persetujuan Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomis, Sosial, dan Kultural, dan Persetujuan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, berbeda dengan piagam PBB 1948, juga
memperhatikan masalah-masalah khusus negara-negara bekas jajahan.