OTONOMI DESA : GAGASAN, HAMBATAN DAN HARAPAN (STUDI KASUS DI DESA LUBUK MUDA, KECAMATAN SIAK KECIL, KABUPATEN BENGKALIS)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Secara historis Desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Entitas sosial sejenis Desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang yang mengakar kuat, serta relatif mandiri dari campur tangan entitias kekuasaan dari luar (AAGN Ari Dwipayana, dkk:2003:2).
Sejak rezim Pemerintahan Orde Baru berkuasa (1966-1998) negara telah menjadi sumber dari semua kekuasaan dan kebijakan yang ada, termasuk dalam hal pemerintahan Desa. Kehadiran dominasi negara dalam pemerintahan pada tingkatan Desa juga diwujudkan dengan adanya birokratisasi pada pemerintahan Desa. Semua institusi dan individu lokal saat itu pada akhirnya mengalami negaranisasi. Simbol negara menjadi sangat dominan dalam pemerintahan dan komunitas pada tingkatan Desa. Tanpa menghiraukan heterogenitas masyarakat adat dan pemerintahan asli, UU yang dibuat saat itu yakni UU No.5/1979 melakukan penyeragaman pemerintahan pada level Desa secara nasional. Uniformitas ini secara sederhana diwujudkan dengan pemberian nama Desa kepada semua bentuk pemerintahan level Desa. Dalam UU No.5/1979, terjadi sentralisasi, birokratisasi, dan uniformitas pemerintahan dan komunitas pada tingkatan Desa.
Pada tahun 1998 terjadi proses reformasi politik dan pergantian pemerintahan yang ditandai dengan lahirnya UU no 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini antara lain, mencabut UU No. 5/1979. Dalam UU yang baru ini, spirit pelaksanaan sentralisasi, birokrasi dan uniformitas tidak lagi dilanjutkan, dan deregulasi dan debirokratisasi terhadap pemerintahan Desa mulai terjadi. UU ini membuka kesempatan bagi hidupnya kembali pemerintahan asli di tingkat Desa. Pengaturan tentang pemerintahan Desa yang tidak lagi ada di tingkat Pusat melainkan di tingkat Daerah Kabupaten /Kota.

Pada pasal 99 UU No.22/1999 mengenai kewenangan Desa, tercantum secara tegas bahwa kewenangan Desa mencakup kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal – usul Desa (Widarta:2001:89). Kewenangan inilah yang kemudian dilihat sebagai pengakuan terhadap Desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai sebuah entitas politik, kultural dan hukum. Pengakuan terhadap Desa sebagai entitas politik, budaya dan hukum di masa lalu sekaligus merupakan pergeseran politik yang signifikan terhadap model - model–penyelenggaraan pemerintahan Daerah masa Orde Baru yang cenderung sentralistik serta melakukan politik penyeragaman pemerintahan Desa melalui UU No.5/1979, tanpa mengindahkan keberagaman kultur masyarakat adat dan bentuk pemerintahan asli lokal.

Dalam UU No.22/1999 terkandung beberapa perubahan mendasar yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan Daerah yaitu, pertama, pelimpahan wewenang mengenai pengaturan pemerintahan di tingkat Desa dari Pemerintah Pusat kepada kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota. Kedua, dimungkinkan munculnya variasi di tiap – tiap Daerah mengenai model – model pemerintahan di tingkat Desa akibat perubahan kebijakan dari yang bersifat sentralistik mengedepankan uniformitas menuju kebijakan yang desentralistik dan memperhatikan heterogenitas budaya dan politik lokal. Ketiga, dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya peran institusi masyarakat lokal atau adat.

Upaya memperkuat Desa selalu mengalami banyak persoalan, hambatan dan dilema. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah mandulnya peran-peran lembaga Desa dalam menyambut perubahan yang ada. Beberapa upaya reformasi dan penataan ulang dari semangat dan aturan lama menuju ke semangat dan aturan baru tidak sepenuhnya dapat berjalan mulus. Secara internal Pemerintah Desa belum menemukan jati diri yang sebenarnya di era otonomi Desa, di mana Desa merupakan wilayah yang otonom dari Pemerintah yang lebih atas sehingga Desa mampu mengambil inisiasi, kreasi dan inovasi sesuai dengan semangat perubahan otonomi yang ada.

Secara eksternal Desa belum mampu menjalin kerjasama dengan Desa lain yang saling menguntungkan (sinergis) di samping belum cukup pahamnya masyarakat tentang beberapa komponen otonomi Desa antara lain mencakup demokrasi Desa, ekonomi Desa, manajemen pemerintahan Desa dan pengelolaan sumber-sumber keuangan Desa. Tidak jarang para pimpinan dan tokoh masyarakat Desa banyak berpikir masih dengan cara lama. Akibatnya banyak terdapat penafsiran yang berbeda dalam mewarnai perubahan-perubahan, khususnya dalam hal keleluasaan, prakarsa, kreativitas pengelolaan pemerintahan Desa dan kemandirian Desa, pemaknaan terhadap otonomi Desa, tata cara penyelesaian konflik di era banyak partai, pengelolaan sumber-sumber keuangan Desa, kerjasama antara Desa, serta efisiensi dan efektivitas birokrasi Desa. Akibat lebih lanjut dari persoalan di atas adalah munculnya berbagai hambatan, kendala dan disorientasi pelaksanaan otonomi Desa yang menuntut Pemerintah dan masyarakat Desa mampu mengelola setidaknya tiga hal, yaitu kebijakan, sumberdaya dan program.

Tatanan pemerintahan yang demokratis-partisipatif bisa diwujudkan hanya melalui otonomi pada level grass roots diberikan dan perilaku dibudayakan. Dalam rangka itulah prinsip subsidiaritas dikampanyekan di mana-mana. Suatu urusan harus diberikan kepada unit pemerintahan paling rendah (yang artinya paling mudah dikelola secara partisipatif). Level pemerintahan yang lebih tinggi diharapkan mengurusi persoalan-persoalan yang tidak bisa atau tidak akan optimal kalau ditangani oleh level yang lebih rendah. Semakin tinggi jenjang pemerintahan, semakin jauh dari jangkauan partisipasi masyarakat, dan oleh karenanya semakin abstrak perannya. Peran Pemerintah pada level paling tinggi adalah mengembangkan dan memelihara tatanan atau sistem yang memungkinkan berbagai aktivitas yang terdesentralisasikan berjalan secara optimal.

Campur tangan terhadap tata kehidupan dan penyelenggaraan pemerintahan di Desa, kini telah membudaya. Bukan hanya pihak yang melakukan campur tangan memiliki justifikasi heroik (misalnya memajukan Desa, mengatasi ketertinggalan, modernisasi Desa, dan sebagainya), masyarakat Desa sendiri tidak lagi merasa urusannya dicampuri. Hampir setiap tokoh telah terbiasa untuk memperlakukan Desa sebagai sasaran dan objek, dan pada saat yang bersamaan, masyarakat Desa sendiri juga banyak yang telah menikmati peran sebagai sasaran ataupun sebagai objek. (Purwo Santoso, Kedaulatan Rakyat, 20 Mei 2003).

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah dengan hadirnya UU No. 22/1999 ruang bagi pelaksanaan otonomi Desa semakin terbuka ataukah sebaliknya justru menjadi alat yuridis bagi negara untuk menjalankan proyek-proyeknya dalam bungkus yang lebih demokratis? Dalam konteks seperti inilah masalah otonomi Desa menjadi sangat bermakna untuk dikaji dan diteliti. Penulis bermaksud untuk mengkajinya dalam konteks tertentu, yakni di Desa Lubuk Muda Kecamatan Siak Kecil Kabupaten Bengkalis.

B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahannya adalah sebagai berikut :
1. Sejauhmana Desa Lubuk Muda berotonomi?
2. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi Desa Lubuk Muda dalam mewujudkan otonominya?
3. Apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan otonomi Desa ?