TUNTUTAN MASYARAKAT ADAT DAN ALTERNATIF SOLUSI PENANGANAN KONFLIK SOSIAL


I. Pendahuluan
Selama 30 tahun terakhir pembangunan kehutanan di Indonesia berorientasi padak onglemarasi. Hutan hanya dipandang sebagai suatu sumber ekonomi bagi penghasil devisa negara dan kurang memandang fungsi hutan sebagai fungsi sosial. Berbagai kebijakan pemerintah yang memberikan hak pengelolaan hutan kepada BUMN dan swasta dengan peraturan-peraturan yang banyak dan ketat, namun kurang porsinya pada bidang sosial budaya masyarakat dalam pengelolaan hutan, mengakibatkan timpangnya kesejahteraan masyarakat dan tersisihnya masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Di satu sisi negara memperoleh devisa yang sangat besar daripembangunan kehutanan, namun ironisnya pendapatan yang besar ini tidak dibarengimdengan pemerataan pembangunan khususnya belum menyentuh masyarakat sekitar hutan.

Perasaan tidak puas dari masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan telah berakibat terjadinya konflik sosial yang makin marak sekarang ini. Kondisi sosial politik seperti sekarang ini telah menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya berbagai tuntutan masyarakat terhadap para pengusaha HPH/HPHTI. Pengusaha saat ini dihadapkan pada kondisi yang dilematis. Di satu sisi masyarakat memandang pengusaha HPH/HPHTI sebagai sumber dari segala permasalahan yang ada, sementara di sisi lain pengusaha dalam upayanya untuk menyelesaikan masalah terbentur pada kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sampai saat ini pemerintah dinilai belum begitu tanggap dan memprioritaskan penanganan konflik sosial, dimana hal ini tentunya merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah. Seringkali cenderung para pengusaha HPH/HPHTI saja yang disalahkan. Sikap ini dapat pula menimbulkan dampak yaitu seakan-akan opini dan tudingan masyarakat yang negatif pada para pengusaha HPH/HPHTI adalah benar demikian. Konflik sosial yang terjadi saat ini harus benar-benar dipikirkan jalan keluarnya. Pada saat ini tuntutan konsumen terhadap produk-produk kehutanan yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari (memiliki sertifikat ekolabel) semakin meningkat. Kelestarian fungsi sosial adalah salah satu kriteria yang dinilai dalam sertifikasi bidang kehutanan disamping dua faktor lainnya yaitu kelestarian fungsi produksi dan kelestarian fungsi ekologi/lingkungan. Apabila konflik sosial tidak dapat diredam
tentunya akan menentukan lulus tidaknya produk-produk kehutanan di pasaran dunia.
Hal ini pasti akan mempengaruhi kondisi ekonomi Nasional Indonesia.
Paradigma dan sistem pengelolaan hutan harus dievaluasi dan perlu pelibatan
masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan selanjutnya. Selain itu upaya untuk
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar
hutan, perlu memperoleh porsi yang layak didalam pengelolaan hutan; disamping
upaya kelestarian dan pemanfaatan multiguna dari hutan.
1 Tulisan disampaikan pada hearing APHI dengan DPRD Propinsi Kalimantan Timur
www.rimbawan.com
3
e.w./asspmdsh/00
II. Inventarisasi tuntutan masyarakat kepada pengusaha pemegang
HPH/HPHTI
Konflik sosial terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Aceh, Riau,
Jambi, Palembang, Kaltim, Kalteng, Kalbar, Maluku, dan Irian. Status kawasan hutan
dan keadilan asas manfaat atas hutan menjadi faktor penting penyebab terjadinya
konflik sosial ini. Konflik ini diantaranya dipicu oleh kondisi sosial politik bangsa
Indonesia saat ini. Reformasi telah berdampak pada sikap dan perilaku masyarakat
yang secara tegas dan terang-terangan menuntut sesuatu yang dianggap sebagai hak
mereka yang selama ini mereka merasa tidak mendapatkan manfaat sama sekali.
Ledakan tuntutan masyarakat juga dipicu oleh fakta kesenjangan ekonomi yang
dirasakan masyarakat, tidak diakuinya hak adat, kurangnya penghormatan terhadap
kultur sosial budaya masyarakat, minimnya dialog yang dilakukan perusahaan, dan
kebijakan yang masih bersifat top down. Tuntutan masyarakat kepada pengusaha
pemegang HPH/HPTI sangat beragam dan nilanya sangat besar, diantaranya berupa :
a. Denda adat dari kerusakan hutan yang dihitung dari sejak perusahaan berproduksi
b. Fee produksi yang dihitung dari sejak perusahaan berproduksi
c. Levy and grant yang dihitung dari sejak perusahaan berproduksi.
d. Ganti rugi kerusakan kuburan dan pohon kehidupan/tanam tumbuh
e. Klaim tanah adat yang luasannya berdasarkan batas alam.
Dari semua tuntutan-tuntutan tersebut, masyarakat selalu menginginkan uang tunai
sebagai bentuk tuntutan mereka dan apabila dikalkulasikan maka nilainya bervariasi
dari ratusan juta sampai dengan miliaran rupiah, sehingga dengan nilai tuntutan yang
demikian besarnya dan sudah tidak rasional tentunya sulit dipenuhi oleh para
pemegang HPH/HPHTI. Di sisi lain para pengusaha merasa sudah memenuhi
kewajiban-kewajibannya pada pemerintah.
III. Alternatif-alternatif cara penyelesaian masalah konflik sosial
Sampai saat ini pemecahan masalah konflik sosial masih dilakukan oleh pengusaha di
daerah dengan mengadakan dialog yang mengikutsertakan masyarakat dan
pemerintah. Beberapa alternatif pemecahan masalah konflik sosial telah ditawarkan
oleh berbagai pihak terkait dalam penyelesaian masalah. Antara lain adalah :
a. Fee produksi/kompensasi produksi
􀂃 Sampai saat ini pengusaha terpaksa memberikan fee produksi kepada
masyarakat sesuai dengan tuntutan mereka.
􀂃 Pemberian fee produksi mudah dilakukan serta jelas penghitungannya. Bagi
pengusaha pemberian fee produksi ini tidak menjadi masalah asalkan jelas
ketentuannya dan besarnya fee masih rasional.
􀂃 Pemberian fee produksi ini dirasakan kurang dapat memberikan manfaat
secara adil kepada seluruh masyarakat sekitar hutan dan juga tidak
memberikan manfaat jangka panjang, karena biasanya setelah mendapatkan
fee produksi masyarakat akan cenderung konsumtif untuk acara-acara sesaat
seperti pesta adat yang berlebihan.
􀂃 Pemberian fee produksi dikhawatirkan akan menimbulkan konflik intern
terutama menyangkut pembagian hasil yang mereka dapatkan.
www.rimbawan.com
4
e.w./asspmdsh/00
􀂃 Pemberian fee produksi akan menimbulkan dampak terjadinya tuntutan
lainnya, dengan dasar perhitungan yang berbeda karena belum adanya
ketentuan baku yang mengatur dan mengikat.
􀂃 Pemberian fee produksi akan memancing tuntutan dari kelompok masyarakat
lain yang lebih berhak dan berlapis.
􀂃 Dengan diberikannya uang tunai kepada masyarakat dinilai tidak akan
memberdayakan masyarakat, masyarakat tidak akan berpikir bagaimana
menggunakan uang tersebut untuk meningkatkan taraf hidup mereka tetapi
mereka akan selalu bergantung pada fee produksi yang akan mereka peroleh
dari pengusaha.
􀂃 Dengan pemberian fee produksi ini masyarakat juga tidak secara langsung
terlibat dalam pengelolaan hutan, sehingga budaya asli mereka sedikit demi
sedikit akan terhapus.
b. Pemberian Modal Kerja pada Koperasi
􀂃 Sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha, masyarakat, dan pemerintah
daerah, koperasi dipilih sebagai salah satu bentuk upaya pemberdayaan
masyarakat. Dalam kaitannya dengan penanganan konflik sosial, pengusaha
disepakati untuk memberikan modal kerja pada koperasi.
􀂃 Pemberian modal koperasi ini juga dapat diikuti dengan pengalihan sebagian
kegiatan pengelolaan hutan kepada koperasi/lembaga adat. Melalui
koperasi/kelembagaan masyarakat adat sebagai suatu wadah, beberapa
aktivitas di dalam pengelolaan hutan dapat dilakukan oleh masyarakat seperti
misalnya penyediaan bibit, suplai bahan makanan dan bahan bakar minyak.
􀂃 Kebijaksanaan untuk memberikan/hibah saham pada koperasi dan
ditempatkannya tokoh masyarakat adat dalam jajaran komisaris perusahaan,
juga merupakan alternatif solusi pemecahan masalah. Namun tetap diperlukan
pemahaman dan kesiapan masyarakat lokal agar jangan dimanfaatkan oleh
para pemilik modal.
􀂃 Masih ada perbedaan cara pandang antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah daerah untuk menyelesaikan konflik dengan pemberian modal
koperasi kepada masyarakat. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Surat
Dirjen PHP No. 493/VI-PHT/200 tentang implementasi Pemda Kaltim dengan
mewajibkan setiap pengusaha HPH/HPHTI untuk memberikan modal kerja
koperasi berupa dana segar sebesar Rp. 200 juta masih harus ditinjau kembali.
c. Hutan kemasyarakatan
􀂃 Pelaksanaan HKM sudah ada dasar hukum yang jelas yaitu SK Menteri
Kehutanan No 677/Kpts II/1998.
􀂃 Dalam pemberian HPHKM kepada masyarakat ditetapkan waktu pengusahaan
adalah 35 tahun dengan persyaratan koperasi sebagai wadah kelembagaannya.
Dengan ketentuan ini sebenarnya kurang mengena pada akar permasalahan
yaitu status kawasan hutan. Dengan diakuinya hak adat atas kawasan hutan
seharusnya tidak diberlakukan waktu pengusahaan karena hak atas
pengelolaan hutan tersebut adalah di tangan masyarakat. Koperasi sebagai
persyaratan kelembagaan seharusnya tidak diperlukan apabila pengakuan hak
adat atas kawasan hutan diakui oleh pemerintah dan juga pengajuan untuk
mendapatkan HKM sudah secara otomatis tidak diperlukan lagi.
www.rimbawan.com
5
e.w./asspmdsh/00
􀂃 Bagi masyarakat sekitar hutan yang bukan merupakan masyarakat adat, tetapi
mereka memerlukan hutan sebagai sumber kehidupan mereka, pemberian
HKM mungkin dapat dijadikan sebagai alternatif dalam penyelesaian konflik
sosial ini. Luasan yang dijadikan HKM masih menjadi masalah. Dengan
luasan yang tidak optimal dikhawatirkan akan berdampak pada kelestarian
hutan, masyarakat hanya akan mengambil hasil hutan kayu dan
mengkonversinya menjadi lahan pertanian. Pemberian HKM juga masih
menemui kendala dalam hal pembatasan lahan yang dapat menimbulkan
konflik antar kelompok masyarakat itu sendiri.
􀂃 Dengan kondisi sosial politik seperti sekarang ini, pemberian HKM
dikhawatirkan pula akan mengundang kaum opportunis untuk dapat memanen
hasil hutan khususnya kayu tanpa memperhatikan aspek kelestarian.
d. Pengakuan Hutan adat
􀂃 Status kawasan hutan sangat diperlukan oleh pemegang HPH/HPHTI dan juga
masyarakat untuk memberi jaminan keamanan berusaha. Saat ini status
kawasan hutan menjadi salah satu sumber konflik sosial di lapangan. Selain
itu sistem tenurial (kepemilikan lahan) hutan masyarakat menjadi salah satu
poin yang dinilai dalam sertifikasi, yaitu batas antara kawasan konsesi dengan
kawasan komunitas harus terdelineasi secara jelas. Untuk memantapkan status
kawasan hutan secara hukum dan fakta lapangan yang akan dikelola oleh
pengusaha pemegang HPH, pemerintah perlu melakukan inventarisasi dan
penataan ulang batas-batas kawasan hutan negara dengan hutan adat, dan
private land. Kendala yang dihadapi saat ini adalah masalah keuangan dan
sumberdaya manusianya.
􀂃 Pengalihan sebagian saham perusahaan kepada masyarakat sesuai dengan luas
lahan hutan yang dituntut sebagai hutan adat adalah salah satu alternatif yang
dapat dipakai untuk menyelesaikan konflik sosial saat ini. Dengan pengalihan
sebagian saham perusahaan kepada masyarakat adalah salah satu upaya
pencapaian win-win solution. Masyarakat akan memperoleh manfaat langsung
dari hutan adat karena mereka dapat terlibat langsung dalam pengusahaan
hutan. Perusahaan dapat melakukan penetapan batas partisipatif yang
mengikutsertakan masyarakat, yang akan membuat enclave hutan adat di
wilayah HPH/HPHTI. Yang menjadi masalah adalah perusahaan harus
berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, termasuk
luas kawasan hutan yang diusahakan.
􀂃 Apabila pemerintah telah mengakui hak adat ini, pengusaha langsung
bernegosiasi dan bermitra dengan masyarakat adat yang memiliki hutan.
Pengusaha hanya berkewajiban membayar fee produksi kepada pemerintah.
e. Percepatan diberlakukannya UU otonomi daerah dan perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah
􀂃 Dengan diberlakukannya otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun
1999 diharapkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat lebih merata
dan adil, sehingga berbagai konflik yang diantaranya bersumber pada
keadilan asas manfaat atas hutan dapat diatasi
www.rimbawan.com
6
e.w./asspmdsh/00
􀂃 Dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang akan
diberlakukan, daerah akan mendapatkan perimbangan keuangan yang sangat
besar. Diharapkan perimbangan keuangan ini sampai ke desa sekitar hutan
yang ada HPH/HPHTInya, sehingga dapat meredam konflik sosial yang terjadi
di HPH/HPHTI.
􀂃 Pemberlakuan otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah harus diikuti oleh kesiapan sumberdaya manusia di daerah.
􀂃 Sumber-sumber penerimaan daerah yang sangat banyak dan kewenangan
daerah yang sangat besar dikhawatirkan akan mencetak raja-raja kecil di
daerah.
􀂃 Penetapan daerah dalam rangka pemberlakuan otonomi daerah harus benarbenar
mempertimbangkan kemampuan ekonomi dan potensi daerah. Apabila
penetapan ini tidak dilakukan secara serius, maka dikhawatirkan akan
menimbulkan disintegrasi bangsa. Daerah dengan potensi dan kemampuan
ekonomi yang berlimpah dikhawatirkan akan merasa tidak memerlukan daerah
lain. Sedangkan daerah dengan potensi dan kemampuan ekonomi yang minim
akan timbul masalah baru yang mungkin lebih serius dari kondisi sekarang ini.
􀂃 Konflik antar daerah dikhawatirkan timbul karena batas pengelolaan kawasan
hutan, pembagian kawasan hutan ditetapkan berdasarkan batas ekologi/alam
tidak berdasarkan batas administratif.
f. PMDH sebagai penunjang
PMDH yang selama ini telah dilakukan dapat dijadikan sebagai penunjang bagi
pengusaha dalam upaya untuk memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat
di dalam dan sekitar hutan. Yang perlu diperhatikan adalah program-program
dalam PMDH harus direncanakan secara partisipatif (bottom up) sehingga sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, tidak seperti sekarang ini yang masih
memakai sistem top down dalam penentuan program PMDH
.
IV. Prioritas Penanganan Konflik
Mengingat tuntutan masyarakat dan konflik sosial semakin serius dan meluas, maka
diperlukan satu tindakan pemecahan masalah yang bersifat rescue yang dapat diterima
oleh masyarakat, tetapi juga harus tetap pada arahan yang jelas untuk menyelesaikan
secara tuntas di masa yang akan datang.
A. Penanganan konflik sosial jangka pendek
Dari alternatif-alternatif cara pemecahan masalah yang telah dikemukakan di atas,
pemberian fee produksi per m3 kayu bulat dengan besaran yang logis dapat diberikan
untuk meredam berbagai macam tuntutan masyarakat, meskipun dampak negatifnya
sangat disadari oleh pengusaha. Dalam hal ini, harus ada ketetapan dari pemerintah
ataupun PERDA yang mengatur cara penghitungan dan besarnya fee produksi,
sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi pengusaha. Disamping itu, untuk
mengantisipasi timbulnya tuntutan berikutnya, pendekatan intensif terhadap
masyarakat sangat diperlukan. Diperlukan juga pemberian pengertian kepada
masyarakat bahwa perusahaan juga memerlukan keamanan berusaha sehingga dapat
memberikan manfaat kepada masyarakat. Pengalihan sebagian kegiatan pengusahaan
hutan antara lain melalui modal koperasi dan saham kepada masyarakat juga dapat
www.rimbawan.com
7
e.w./asspmdsh/00
dilakukan sebagai penunjang untuk menciptakan suasana yang harmonis antara
masyarakat dengan pengusaha.
Dalam hal penanganan konflik sosial dengan pemberian uang tunai ini, pemerintah
masih belum mendukungnya.
B. Penanganan konflik sosial jangka panjang
Hal yang sangat penting dalam pengelolaan hutan di masa depan adalah pergeseran
sikap dan pemahaman dari semua stakeholder dalam hal pemanfaatan hutan. Budaya
pengelolaan hutan yang menitikberatkan pada keuntungan ekonomi seperti yang
selama ini dianut oleh pemerintah dan pengusaha, perlu lebih ditingkatkan porsinya
pada bidang sosial budaya masyarakat serta kelestarian hutan. Melalui pendekatan
sosial budaya masyarakat yang demikian beragam, diharapkan dapat diketahui
keinginan dan aspirasi murni dari masyarakat. Dan dengan pendekatan sosial budaya
inilah disarankan untuk merubah atau menyesuaikan sistem pengelolaan hutan untuk
lebih melibatkan masyarakat di dalam pengusahaan hutan.
V. Langkah operasional dalam upaya percepatan peningkatan kesejahteraan
masyarakat
Kesejahteraan dapat dilihat dari dua sisi pemenuhan yaitu lahir dan bathin. Secara
lahiriah atau fisik, apabila alternatif di atas telah dipilih dan dapat berjalan dengan
baik, langkah lanjutan apa yang kiranya diperlukan.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, dimana tuntutan masyarakat sudah banyak yang
mengarah pada tindakan anarki, sementara secara yuridis formal belum ada peraturan
yang dapat digunakan sebagai landasan untuk mengatasi konflik sosial di lapangan,
para pengusaha tetap memilih untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian seperti
yang telah diuraikan di atas, sepanjang hal tersebut masih logis dan masih dapat
diupayakan oleh perusahaan dan berprinsip pada win-win solution, mengingat
perusahaan perlu jaminan keamanan untuk dapat tetap berusaha.
Dengan pemberlakuan upaya penanganan konflik sosial seperti tersebut di atas,
diduga akan banyak dana atau uang tunai yang beredar di desa dan masyarakat
pedalaman. Dana yang akan terkumpul antara lain berasal dari :
a. Modal kerja koperasi
b. Deviden dari saham koperasi di perusahaan
c. Fee produksi
d. Dana dari pembagian DR,PSDH, dan PBB
e. Sektor Jasa
f. PMDH
g. Pendapatan asli daerah
Terjadinya akumulasi dana yang sangat besar di masyarakat, tentunya memerlukan
pemikiran bagaimana dan siapa yang akan mengatur dana tersebut. Apakah kepala
Adat atau Kepala Desa dipercaya oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan
mampu memegang peran tersebut ? Ataukah koperasi telah siap untuk menjalankan
fungsinya ? Sumber daya manusia adalah faktor yang terpenting dalam masalah ini.
Semua maklum bahwaa sumber daya manusia di pedalaman masih tertinggal, oleh
karenanya perlu crash program di bidang pelatihan, ketrampilan dan pendidikan.
Peran untuk mengatur dan mengambil tanggung jawab dalam pengelolaan dana yang
terkumpul untuk masyarakat sekitar hutan mungkin dapat dipegang oleh suatu
www.rimbawan.com
8
e.w./asspmdsh/00
lembaga atau paling tidak pemerintah daerah harus berperan aktif dalam masalah ini.
Pengusaha mungkin dapat mengambil peran sebagai pihak yang membantu mengatur
dan membantu melaksanakan pembangunan fisik di daerah untuk lebih meningkatkan
ekonomi desa atau daerah sekitar hutan.
Mengalirnya dana yang sangat banyak ke desa/pedalaman dikhawatirkan akan
berdampak negatif dan mengakibatkan pergeseran budaya masyarakat, seperti
timbulnya sifat materialistis. Hal ini kiranya juga harus dipikirkan bagaimana untuk
mengantisipasinya.
Perasaan sakit hati yang selama ini dirasakan oleh masyarakat pedalaman yang juga
merupakan sumber konflik sosial di lapangan, harus segera dihapus. Hujatan yang
menyakitkan seperti masyarakat pedalaman sebagai penebang liar, peladang liar, suku
terasing, dan suku yang terbelakang harus segera diklarifikasi. Oleh karena itu
kiranya perlu disosialisasikan tentang budaya bermitra antara pengusaha dengan
masyarakat sekitar hutan. Hal ini dimaksudkan untuk memunculkan rasa saling
percaya dan saling menghargai yang mungkin kondisi seperti ini dapat membantu
percepatan pembangunan desa sekitar hutan dalam rangka peningkatan kesejahteraan
lahir dan batin.
Dalam menyikapi masalah konflik sosial ini diperlukan pengertian dari semua pihak.
Apabila hanya berdebat dan berseteru dalam hal pegangan Hukum Nasional,
sedangkan kenyataan di lapangan bahwa masyarakat tidak lagi bisa menerimanya,
maka tentunya konflik sosial ini akan berkepanjangan.
Jadi kiranya semua pihak harus bisa mengalah untuk sama-sama menjadi pemenang.
Semoga percepatan pembangunan desa, pembangunan ekonomi pedesaan dan
peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat lokal/pedalaman berhasil dan
bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Jakarta, Maret 2000