PELIBATAN PARTISIPASI PUBLIK : PERSPEKTIF PEMERINTAH (Studi Proses Penyusunan dan Legislasi Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Bandung Utara)


            This research concentrated on “Involving Public Participation : Goverment Perspective (A Case Study on the Process of Arranging Regional Regulation about Space Utilization Management in Northern Bandung District)”. The research background was the establishment of constitution number 32 (2004) about regional governance as a substitution of constitution number 22 (1999) that initiated the transformation of regional governance administration into a more decentralized and democratic direction. This circumstance required the role of regional government to involve public participation in the administration of regional government. It included the participation of arranging regional policy in the form of regional regulation.
            Based on the research background, the problem formulation of this research is “How involving publik participation : government perspective to arrange regional regulation about space utilization management in northern Bandung district?” Accordingly, several indicators that would be assessed in the course of public participation involvement in arranging regional regulation about space utilization management in northern Bandung district were forms of participation, means of participation, and intensity of participation.
            This research applied qualitative descriptive methodology. It aimed to picture and describe a particular phenomenon that actually happened. The research data gathering technique covered interview and document analysis.
            Based on the data and the results of this research, it could be inferred that the process of arrangement and discussion of the regional regulation master plan about West Java public participation in space utilization management in northern Bandung district was carried out through discussion and aspiration forum. In other words, the involvement of public participation in the process of arranging regional regulation about space utilization management in northern Bandung district was merely an invitation as information source. Meanwhile, the process of decision-making was determined by internal committee convention that was formed by the house of representatives of West Java province. Therefore, in order to increase the involvement of West Java public participation, it is necessary to provide further coordination by establishing regional regulation that specifically controls public participation in arranging regional regulation in accordance with the characteristics of West Java society. Besides, the government of West Java province is required to identify a number of relevant associations and involve numerous prominent figures to strengthen the unbiased position of the regional government in regional law-making procedure.
Keywords: Public Participation, Province Government, Regional Regulation.

PENGANTAR
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah mengalami perubahan ke arah yang lebih desentralisasi dan demokratis.
Keberhasilan pelaksanaan kewenangan daerah melalui program otonomi daerah tersebut ditentukan oleh beberapa faktor. Mas'ud Said (2005: 58) menyatakan bahwa secara umum literatur mengenai program otonomi daerah dalam praktek menunjuk pada tiga faktor yang berpengaruh terhadap kecenderungan sukses atau gagalnya program  tersebut.  Yang pertama, kerangka legal yang memadai harus ada; Yang kedua, harus ada dukungan politik, administrasi dan keuangan dari level pemerintah pusat; Yang ketiga, pemerintah daerah harus memiliki kapasitas dan kesiapan untuk menjalankan kewenangan yang dialihkan kepada mereka.
Selain itu, yang juga tak kalah pentingnya, pemerintah daerah harus peka terhadap kebutuhan strategi baru yang lebih tepat dalam rangka merespon perkembangan yang ada[1]. Lebih jauh dikemukakan bahwa persoalan yang juga harus segera dijawab oleh pemerintah daerah adalah apakah dengan partisipasi masyarakat yang semakin kuat dan agresif, politik lokal yang dalam tubuh pemerintahan diperankan oleh Eksekutif daerah dan DPRD mampu menjadi penampung permasalahan isu-isu lokal ataukah tidak.
Demikian halnya dengan di Provinsi Jawa Barat, dalam proses pembuatan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara (Perda KBU) yang telah disahkan melalui rapat paripurna DPRD Jawa Barat menjadi Perda pada hari selasa 30 Januari 2007, sejumlah kalangan menginginkan adanya partisipasi publik dalam pembuatan Perda tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh anggota panitia khusus Perda KBU, Syaiful Huda yang menyatakan bahwa Perda urung disahkan karena banyak respons publik mengenai KBU yang perlu diakomodir. (H.U. Pikiran Rakyat, tanggal 13 Januari 2007).
Perda KBU tersebut dalam proses pengesahannya, telah mengalami dua kali penundaan. Seharusnya Perda KBU disahkan pada rapat paripurna DPRD Jawa Barat pada hari Rabu tanggal 20 Desember 2006, namun ditunda karena secara substansial raperda tersebut dinilai belum akomodatif terhadap degradasi lingkungan serta konflik kewenangan di kawasan tersebut. Penundaan kedua kalinya, diputuskan melalui rapat panitia musyawarah hari Jumat, tanggal 12 Januari 2007. Penundaan pengesahan raperda tersebut karena adanya perbedaan persepsi mengenai kewenangan Gubenur dalam pemberian rekomendasi pemanfaatan ruang di kawasan tersebut. Baik daerah terkait maupun unsur internal Pansus Perda KBU di DPRD Jabar menilai, klausul tersebut perlu dikaji ulang.
Hal senada dikemukakan juga oleh para pakar lingkungan yang menyatakan bahwa masyarakat harus terus mengawal proses penyusunan Raperda Kawasan Bandung Utara (KBU) yang saat ini memasuki pembahasan di tingkat panitia legislasi DPRD Jabar. Perda KBU yang dihasilkan nanti harus benar-benar memunculkan ketegasan pengendalian lingkungan, alih-alih kompromis terhadap kepentingan ekonomi. Selama ini, dalam proses penyusunan produk perundangan, masyarakat hanya berpartisipasi pada tahap implementasi kebijakan. Belum pada proses penyusunan kebijakan. Dengan  lahirnya UU No. 10/2004 tentang tata Cara Penyusunan Perundangan, setiap peraturan perundangan dalam proses penyusunannya harus dikonsultasikan kepada publik. Rancangannya disebarluaskan kepada masyarakat untuk memperoleh tanggapan. Seandainya perundangan sudah jadi, masyarakat diberi kesempatan untuk melakukan uji materi. Jadi masyarakat bisa berperan aktif sebelum kebijakan publik dibuat.
Adanya perhatian publik dalam proses pembuatan Perda tentang Kawasan Bandung Utara sebagaimana disebutkan di atas, menggambarkan menguatnya arus demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam bentuk adanya partisipasi publik. Selama ini, pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik cenderung sangat elistis karena hanya melibatkan elite birokrasi dan politik. Akibatnya, banyak kebijakan publik yang hanya mengabdi pada kepentingan elite dan mengorbankan kepentingan masyarakat luas. Keterlibatan stakeholders dalam proses pembuatan kebijakan publik menjadi bagian dari proses demokratisasi yang penting dan sekaligus menjadi isu sentral dalam reformasi tata pemerintahan[2].
Berdasarkan latar belakang dan asumsi di atas, bahwa otonomi daerah menuntut adanya kemampuan pemerintah daerah (dalam hal ini Pemerintah Provinsi) dalam melibatkan partisipasi publik di Jawa Barat, maka menarik untuk diteliti mengenai bagaimana pelibatan partisipasi publik di Jawa Barat, melalui studi proses penyusunan dan legislasi Perda tentang Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.

KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam penelitian ini, konsep yang digunakan yaitu : partisipasi politik, pelibatan partisipasi publik,  peran pemerintah dalam pelibatan partisipasi publik.
1.  Partisipasi Politik
Dalam analisa politik, partisipasi politik secara umum didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Budiardjo,1981). Beberapa pendapat sarjana mengenai partisipasi politik sebagaimana dikutip Budiardjo[3], yaitu :
Herbert McClosky (1972:252) dalam International Encyclopedia of the Social Sciences : "Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum" . Norman H. Nie dan Sidney Verba (1975:1) dalam Handbook of Political Science : "Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka". Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson (1977:3) dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries: "Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah".
Berdasarkan definisi mengenai partisipasi politik tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi merupakan kegiatan warga negara yang bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif
Pengertian partisipasi menurut Huntington & Nelson dalam Sudijono[4] dibatasi pada beberapa hal. Pertama, partisipasi politk hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Kedua, yang dimaksudkan dengan partisipasi politik itu adalah warga negara preman (biasa), bukan pejabat-pejabat pemerintah. Ketiga, kegiatan partisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Keempat, partisipasi politik juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik berupa kegiatan mempengaruhi pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak langsung; artinya langsung oleh pelakunya itu sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.
Sejumlah kriteria atau rambu-rambu mengenai kegiatan yang termasuk partisipasi politik menurut Surbakti[5] yaitu, Pertama, partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Kedua, kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Ketiga, kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah. Keempat, kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Kelima, kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar  maupun dengan cara-cara di luar prosedur yang wajar (tidak konvensional) dan berupa kekerasan (violence),
Sebagai suatu kegiatan, menurut Surbekti dalam Sudijono[6], partisipasi dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinaan pemerintahan. Di pihak lain partisipasi pasif, antara lain, berupa kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.
Sementara Milbrath dan Goel dalam Sudijiono[7] membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori. Kategori pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik. Kedua adalah spektator, yaitu berupa orang-orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemlihan umum. Ketiga adalah gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivitas partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat. Keempat adalah pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka partisipasi politik secara sederhana dapat dimaknai sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.

2.  Pelibatan Partisipasi Publik
Sejak diterapkannya pola desentralisasi dalam pengaturan politik Indonesia pasca orde baru, telah mengakibatkan adanya perubahan di aras lokal. Salah satunya yaitu terbukanya ruang yang sangat luas bagi warga masyarakat di tingkat lokal untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan dan demokrasi lokal. Mobilisasi sebagai karakter utama pelibatan publik dalam proses politik dan pembangunan di daerah yang menjadi ciri dasar orde baru, mengalami pemudaran secara cepat.
Dalam waktu yang sangat singkat, mobilisasi dipertukarkan oleh pola pelibatan warga negara melalui mekanisme yang bersifat partisipatif. Salah satu instrumen pelibatan warga dalam wilayah publik di tingkat lokal adalah forum-forum warga. Forum-forum warga telah menjadi salah satu sarana efektif yang menghubungkan berbagai stake-holders di tingkat lokal, terutama di tingkat pedesaan dan dalam kenyataannya cukup efektif dalam mefasilitasi penyebaran gagasan dan instrumentasi mengenai akuntabilitas publik para pengambil kebijakan dan pemerintah di tingkat lokal.
Di beberapa daerah, sejak tahun 1999, sudah mulai muncul dan berkembang aksi-aksi kolektif warga dalam memperjuangkan perubahan struktural. Aksi-aksi ini mengusung isu yang bervariasi, mulai dari isu pengelolaan sumber daya alam, alokasi anggaran, pejabat dan kebijakan publik, keamanan di tingkat lokal, hingga pada isu reformasi pedesaan. Keberagaman isu yang diusung oleh CSO di daerah juga ditandai dengan perbedaan derajat kedalaman keterlibatan CSO dalam proses politik-kebijakan di aras lokal.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim S2 PLOD[8] memperlihatkan  bahwa pertama, keterlibatan CSO dalam proses politik-pemerintahan lokal berada dalam tiga ruang yang bervariasi, Invented space, Conquered space dan Popular space. Kedua, tiga posisi yang diambil CSO ketika engage dalam proses politik pemerintahan di aras lokal ; supportive, critical dan conforntative. Ketiga, variasi ruang yang menjadi latar belakang keterlibatan CSO juga diikuti oleh perbedaan tingkat kedalaman pelibatan CSO dalam memanfaatkan ruang yang tersedia, terutama dalam invited space dan conquered space. Tingkat kedalaman pengaruh engagemen CSO dalam isu State & Governance Reform yaitu: sebagai berikut : Consultative; CSO diposisikan sebatas sebagai pihak yang diminta informasi, Presence ; Keterlibatan CSO baru sebatas hadir dan terlibat dalam proses kebijakan, Representative; Terdapat kuota permanen perwakilan CSO dalam proses perumusan kebijakan dan Influence; Keterlibatan CSO mampu mempengaruhi proses perumusan kebijakan. Tingkat kedalaman keterlibatan CSO tersebut digambarkan dalam skema berikut :



 


Sumber :  Final Report Keterlibatan Publik dalam Desentralisasi Tata
                Pemerintahan, Tim Peneliti Progam S2 Polokda – UGM, 2006

4. Peran Pemerintah dalam Pelibatan Partisipasi Publik
Pemberlakuan Undang-Undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah sejak 1 Januari 2001 telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini akan membawa perubahan secara menyeluruh dalam aspek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Adanya perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut, menuntut adanya sistem pengawasan yang efektif. Sebelumnya, penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan melalui bentuk pengawasan yang otoriter. Sekarang format kontrol otoriter tentu tidak bisa lagi dijalankan. Maka lembaga-lembaga demokratis harus dikedepankan untuk memikul tanggung jawab pengawasan[9]. Pertama, tanggung jawab tentu terletak di pundak DPRD. Kerena lembaga inilah yang memiliki legitimasi demokratis mengingat keanggotaannya ditentukan melalui pemilihan langsung. Kedua, Kepala Daerah dalam UU No. 22 tahun 1999, kepala daerah ditegaskan sebagai pejabat politik : diangkat dan bertanggung jawab kepada DPRD. Dengan demikian tentu diharapkan, ia merupakan instrumen atau kepanjangan tangan kekuatan politik demokratis untuk mengendalikan mesin pemerintahan atau birokrasi. Ketiga, berbagai wadah dan saluran aspirasi masyarakat secara langsung, seperti pers, organisasi-organisasi profesi, LSM-LSM, dan sebagainya.
Namun demikian tentu harus disadari, berbagai instrumen demokrasi tersebut bukanlah sesuatu yang telah teruji kemampuan dan efektivitasnya. Sebagian besar instrumen tersebut justru baru tumbuh sebagai ekspresi euforia menyambut perubahan politik yang "tiba-tiba" terjadi. Lebih dari itu, sejarah politik Indonesia menunjukkan, ketika mengalami pembebasan, masyarakat politik tidak mampu merawat dan memanfaatkan kebebasan secara konstruktif dan produktif. Dalam banyak kasus, birokrasi pemerintah daerah tidak menunjukkan sosok birokrasi yang efesien. Banyak yang strukturnya masih terlalu gemuk, rekstrukturisasi kadang justru tidak mengurangi jumlah dinas dan lembaga, tetapi malahan menambahnya.
Lebih jauh dikemukakan, kinerja yang meningkat secara sederhana dapat dilihat dan diukur dari kenyataan pemerintah yang (mampu) berbuat secara lebih tepat sesuai kebutuhan, responsif, efektif dan efesien serta bertanggung jawab nulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Dan karena konteks kinerja ini adalah demokrasi, pluralisme dan keterbukaan, maka kemampuan utama yang dibutuhkan adalah kemampuan mengkordinasikan dan mensinergikan berbagai kepentingan, sumbangan dan partisipasi dari pelaku-pelaku yang makin banyak dan makin plural. Kinerja demikian dapat disederhanakan sebagai kinerja eksekutif dalam berhadapan dengan masyarakat, khususnya masyarakat sipil, dan kinerja eksekutif dalam berhadapan dengan pasar atau pelaku-pelaku ekonomi[10].
Untuk mencapai hal-hal tersebut diperlukan beberapa faktor, pertama, Kepemimpinan. Kepala Daerah yang dalam UU No. 22 tahun 1999 dikonstruksikan sebagai pemimpin pemerintahan, pemimpin daerah dan pengayom masyarakat. Hal berbeda dengan dengan UU No. 5 Tahun 1974 yang menyebutnya sebagai penguasa tunggal dan administrator. Sehingga dituntut untuk lebih banyak berinisiatif tetapi juga mengakomodasi berbagai tuntutan dan kepentingan untuk selanjutnya mensinergikan kebijakan-kebijakan demi membangun dan memperkuat solidaritas masyarakat atas dasar saling percaya secara aktif (active trust). Kedua, Konsolidasi kelembagaan, melanjutkan restrukturisasi, memperkuat nilai dan doktrin bahwa pemerintah adalah pelayan : prestasinya diukur dari kinerja pelayanannya, penempatan pejabat profesional yang punya visi ke depan yang jelas pada pos-pos strategis dan tingkatkan terus peralatan kerja termasuk anggaran. Ketiga, Penguatan jaringan. Membangun dan memperkuat jaringan kerja antar instansi pemerintah maupun dengan instansi-instansi non pemerintah, demi koordinasi, keterpaduan, kebersamaan, demokrasi dan akuntabilitas.
Pelibatan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat dilakukan melalui dua ranah, melalui peran pemerintah melalui penciptaan ruang, fasilitasi dan pelembagaan partisipasi publik serta penguatan internal CSO sendiri maupun dorongan dan fasilitasi dari pemerintah[11]. Peran Pemerintah bagaimanapun merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam proses membangun partisipasi publik. Lebih jauh dikemukakan bahwa peran pemerintah dalam hal ini lebih ditekankan pada penyediaan ruang dan memfasilitasi pengembangan partisipasi publik. Dalam rangka membangun partisipasi dan mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif ada beberapa prinsip dasar yang perlu ditekankan, yaitu Pertama, partisipasi dan mewujudkannya penyelenggaraan pemerintahan yang partisipasi dalam governance merupakan manivestasi kebebasan sipil (civil liberties) dan merupakan hak sebagai hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Kedua, partisipasi harus dilandaskan pada prinsip kesetaraan (equality) dan kemitraan. Ketiga, pemerintah tidak mengontrol tetapi menciptakan ruang dan memfasilitasi organisasi masyarakat sipil.
Dalam konteks tersebut ada upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yakni : Pertama, menciptakan Ruang Partisipasi. Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu memotivasi, memfasilitasi, memberikan dukungan finansial, serta memberikan dukungan yang lebih bersifat simbolik. Kedua, melembagakan Ruang Partisipasi. Bentuk pelembagaan ini antara lain adalah dengan menyiapkan kerangka legal seperti dalam bentuk penerbitan perda partisipasi, perda kebebasan informasi, dan perda tentang transparansi. Pelembagaan ruang partisipasi publik juga dapat didorong dengan melakukan kebijakan yang bersifat subsidiary yaitu dengan memindahkan atau mengembalikan kewenangan dan fungsi kepada masyarakat.
Berkaitan dengan tingkat pelibatan partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan, Sherry Arnstein dalam A Ladder of Citizen Participation (1969), yang dikutip Bimo Nugroho[12], yang membuat skema delapan tingkat partisipasi rakyat dalam memutuskan kebijakan. Tingkat tertinggi atau pertama adalah kontrol warga negara (citizen control). Pada tahap ini, partisipasi sudah mencapai tataran di mana publik berwenang memutuskan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan sumber daya. Tingkat kedua, delegasi kewenangan (delegated power), di sini kewenangan masyarakat lebih besar dibanding penyelenggara negara dalam merumuskan kebijakan. Ketiga, kemitraan (partnership), ada keseimbangan kekuatan relatif antara masyarakat dan pemegang kekuasaan untuk merencanakan dan mengambil keputusan bersama-sama. Tiga tingkat itu mengakui eksistensi hak rakyat untuk membuat UU. Tingkat keempat sampai keenam mengindikasikan partisipasi semu. Terdiri dari peredaman (placation), konsultasi, dan informasi (informing). Di tingkat peredaman, rakyat sudah memiliki pengaruh terhadap kebijakan tetapi bila akhirnya terjadi voting pengambilan keputusan, akan tampak, sejatinya kekuasaan ada di tangan lembaga negara, sedangkan kontrol dari rakyat tidak amat menentukan. Di tingkat konsultasi, rakyat didengar pendapatnya lalu disimpulkan "rakyat sudah berpartisipasi membuat UU dan lembaga negara sudah memenuhi kewajiban melibatkan rakyat dalam membuat UU". Sementara di tingkat informasi, rakyat sekadar diberi tahu akan adanya UU, tidak peduli apakah rakyat memahami pemberitahuan itu, apalagi memberi pilihan guna melakukan negosiasi atas kebijakan itu. Tingkat ketujuh dan kedelapan: terapi dan manipulasi, menunjukkan ketiadaan partisipasi. Di Tingkat terapi, kelompok masyarakat korban kebijakan dianjurkan mengadu ke pihak berwenang, tetapi tak jelas pengaduan itu ditindaklanjuti atau tidak. Di tingkat manipulasi, lembaga negara melakukan "pembinaan" terhadap kelompok-kelompok masyarakat untuk seolah-olah berpartisipasi, padahal sejatinya yang terjadi adalah kooptasi dan represi penguasa.
Sementara menurut Carol C. Gould dalam Kurniawan[13], partisipasi dalam pembuatan keputusan (kebijakan) ditandai oleh keterlibatan langsung dan segera dalam proses pembuatan keputusan oleh orang-orang yang berkepentingan. Jadi dalam proses ini wewenang seseorang tidak dilimpahkan kepada wakilnya, melainkan digunakan langsung olehnya sendiri. Lebih lanjut, setiap orang berhak terlibat dalam setiap pembahasan tentang maslah-masalah kebijakan, dan mereka – dengan suaranya - ikut menentukan keputusan, sesuai dengan prosedur yang disepakati.
Partisipasi publik secara luas menurut Carol C. Gould harus memenuhi persyaratan antara lain : Pertama, lembaga-lembaga politik lokal yang berkuasa memutuskan isu-isu lokalnya. Ini berarti diberlakukan organisasi non partai pada tingkat desa, yang merupakan bagian struktur pemerintah. Unit-unit politik lokal ini tidak semata-mata mlimpahkan wewenang atau meilih wakil untuk badan-badan di atasnya, emlainkan dengan caranya sendiri menetapkan kebijaksanaan untuk isu-isu masyarakat luas. Kedua, walaupun perwakilan tetap diperlukan pada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, adalah mungkin untuk memasukan partisipasi yang lebih besar pada level tersebut dibandingkan dengan apa yang ada dalam berbagai bentuk demokrasi perwakilan sekarang – dimana biasanya partisipasi terbatas pada pemilihan wakil saja.
Akan tetapi, menurut Kurniawan[14], persyaratan yang disampaikan Gould dapat kurang bermakna atau belum menjamin akan terbukanya ruang bagi partisipasi publik yang optimal. Masih dibutuhkan 6 (enam) prinsip-prinsip dasar yang harus dilaksanakan baik secara formal-prosedural maupun ekstra formal-prosedural, yaitu : Pertama, adanya komitmen yang jelas. Kedua, pembangunan aliansi. Ketiga, adanya dialog. Dilakukan baik dengan pembuat perda (Pemda dan DPRD) maupun dengan kelompok yang bakal terkena dampak paling besar. Di sini, dialog dilakukan untuk mencari apa yang terbaik dari permasalahan yang akan diatur yang juga perlu melibatkan kelompok lain. Keempat, adanya sosialisasi. Dengan adanya sosialisasi yang efektif maka akan tercipta sebuah opini publik. Kelima, adanya kewajiban informasi dan dokumentasi yang sistematis, bebas dan mudah diakses. Bahkan perlu diatur tentang kewajiban menyusun laporan penelitian yang baik atau partisipatif bagi sebuah rancangan dan kewajiban membuat pertimbangan tertulis bagi setiap pengambilan keputusan. Keenam, ada pengaturan yang jelas mengenai dokumen dasar yang wajib tersedia dan bebas diakses oleh publik. Paling tidak dokumen tersebut adalah 1) Naskah/Rancangan Akademik dalam bentuk Laporan Penelitian; 2) Draft Perda yang diajukan; 3) Seluruh dokumen tertulis yang menjadi dasar pembahasan suatu perda (termasuk perdebatan yang terjadi di ruang publik dan media massa); 4) Notulensi pembahasan yang lengkap di seluruh proses, dan; 5) catatan dan laporan proses (rencana awal, anggaran, kegiatan yang dilaksanakan, daftar pihak/nama yang diundang, daftar pihak/nama yang terlibat.

CARA PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan maksud hasil penelitian akan memberikan gambaran atau mendeskriptifkan secara sistimatis, faktual dan akurat terhadap objek yang akan diteliti. Menurut Sugiono (1994 : 6), penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri yaitu tanpa membandingkan atau menghubungkan dengan variabel lain. Sementara menurut Faisal (1992:20), penelitian deskriptif dimaksudakan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti.
Dengan model penelitian ini, peneliti akan menggambarkan dan menerjemahkan fakta aktual di lapangan mengenai proses dan tahapan penyusunan kebijakan daerah di Jawa Barat. Dalam penelitian ini, unit analisis yang dipandang sebagai kasus adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan penelaahan dokumentasi tertulis.
HASIL PENELITIAN
Secara formal, pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam penyusunan rancangan peraturan daerah di Provinsi Jawa Barat telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Daerah. Dalam perda tersebut secara tegas ditetapkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Peraturan Daerah. Selanjutnya dijelaskan bahwa hak masyarakat tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan tata tertib Dewan perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat. Dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 tahun 2006, diatur bahwa pembahasan rancangan peraturan daerah dilakukan melalui empat tingkat pembicaraan. Partisipasi masyarakat dilibatkan dalam pembicaraan tahap ketiga yang meliputi pembahasan dalam rapat komisi atau gabungan komisi atau rapat khusus atau Panitia legislasi.     
Berdasarkan hasil penelitian terhadap proses penyusunan dan legislasi peraturan daerah tentang pengendalian pemanfaatan ruang kawasan Bandung Utara, pelibatan partisipasi publik dilakukan melalui bentuk dan  sarana:
-          Peningkatan Peran Serta Masyarakat Dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi Bandung Utara melalui Pembinaan Forum Kelompok Masyarakat
  • Pembentukan Kader Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Bandung Utara
  • Pembuatan Iklan Layanan Masyarakat, Kampanye Publik dan Pengembangan Data Base Kawasan Bandung Utara
  • Penerbitan Media Cetak “Proses” yang terbit tiap (dua) bulan sebagai sarana sosialisasi dan menampung berbagai pendapat dan aspirasi dari berbagai pihak yang peduli dengan masalah lingkungan.
Dalam proses pembahasan dan legislasi raperda melalui kegiatan Panitia Khusus telah dilaksanakan pelibatan partisipasi publik melalui bentuk dan sarana :
  • Rapat kerja pada tanggal 13 Desember 2006 yang melibatkan Para Pakar, yaitu : Prof. Dr. Erri N. Megantara – Environmental Bio Conservationist ; Dr. Ir. Deni Zulkaidi, Mud (Mc. Gill) – Ka. Lab. Perancangan Kota Dept. Teknik Planologi – ITB ; Dr. Tjuk Kuswartojo – Environmental Policy Advisor – UNDP dan Dr. Ir. Deni Juanda -  Geo Hydrolog. 
  • Menerima aspirasi dari KMBB (Komunitas Masyarakat Bandung Bermartabat) pada tanggal 18 Januari 2007 ; Menerima aspirasi dari Gerbong Bawah Tanah, Forum Mahasiswa Planologi dan Astronomi ITB, Forum Pencinta Kawasan Bandung Utara, DPKLST (Dewan Pemerhati Lingkungan Kehutanan Tatar Sunda, Walhi dan Komunitas Masyarakat Korban Bencana pada tanggal 23 Januari 2007.
Dengan kata lain, pelibatan partisipasi publik baru sebatas diundang dan hadir dalam proses penyusunan dan legislasi peraturan daerah tentang pengendalian pemanfaatan ruang kawasan Bandung Utara, sebagai pihak yang diminta informasi. Sementara dalam proses pengambilan keputusan, ditentukan oleh rapat internal panitia khusus yang dibentuk DPRD Provinsi Jawa Barat.
Untuk itu, Dalam upaya meningkatkan pelibatan partisipasi publik di Jawa Barat masih diperlukan pengaturan lebih lanjut melalui penerbitan peraturan daerah yang secara spesifik mengatur mengenai partisipasi publik dalam pembuatan peraturan daerah sesuai karakteristik masyarakat Jawa Barat. Hal tersebut penting mengingat makin meningkatnya partisipasi publik di Jawa Barat. Hal ini paling tidak tampak dari semakin seringnya frekuensi penyampaian aspirasi melalui DPRD[15]. Sepanjang tahun 2004, Dewan menerima 83 aspirasi, jumlah ini meningkat pada tahun 2005 yang mencapai 138. Dan hinggga bulan Agustus 2006 tidak kurang dari 139 unjuk rasa yang mengusung beragam jenis tuntutan dan penyampaian aspirasi. Persoalannya menyangkut penegakkan hukum, ketenagakerjaan dan perekonomian adalah masalah-masalah yang paling banyak disampaikan.
Lebih jauh diungkapkan, diatas segalanya, membuka komunikasi dengan segenap elemen masyarakat menjadi keharusan. Terbukanya saluran komunikasi ini menjadi dasar tegaknya asas pemerintahan perwakilan. Dalam konteks ini, tugas utama wakil rakyat adalah merekam keinginan rakyat dan memformulasikannya ke dalam kebijakan legislasi, anggaran dan pengawasan. Bagi masyarakat Jawa Barat umunya, falsafah hade ku omong, goreng ku omong masih dipegang teguh. Filosofi ini mengajarkan, berbicara secara jujur dengan segenap anggota masyarakat dapat menjadi jalan bagi datangnya kebaikan bersama. Bukan hanya untuk menyampaikan keberhasilan – keberhasilan, tetapi juga menjelaskan mengapa sebuah program belum terwujud. Penjelasan dimaksud bukan mencari apologi atau dalih, tetapi untuk menggugah kesadaran sehingga masing-masing pihak dapat berurun serta, sasieureun sabeunyeureun. Paling tidak, penjelasan penting untuk mencegah rakyat menagih komitmen yang dijanjikan dengan cara mereka sendiri.
Selain itu, komunikasi tatap muka pun penting untuk menangkap keinginan dan kebutuhan masyarakat. Sebab bagi masyarakat Jawa Barat, heurin ku letah, masih menjadi ugeran. Sehingga kerap menyembunyikan makna yang mereka maksudkan dalam kepura-puraan. Inilah yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai budaya konteks tinggi (high contex), yakni makna tidak disampaikan secara lugas, melainkan tersirat dalam konteksnya. Keinginan dan kebutuhan masyarakat seperti ini hanya bisa digali melalui dialog yang intens, jauh dari sekedar membaca laporan “asal bapak senang”.
Penghayatan - penghayatan pemerintahan daerah atas masalah keseharian masyarakatnya akan menolong dalam mengkalkulasi tindakan politik yang benar-benar mungkin dari tindakan yang sekedar perjudian politik belaka. Meski tidak mudah, penghayatan semacam ini penting dimiliki guna membentuk prefernsi yang sama dengan masyarakat yang diwakilinya. Preferensi penting dimiliki untuk mencegah lahirnya kebijakan yang membenarkan tindakan yang dinilai salah oleh masyarakat.
Selain itu, dalam pelibatan partisipasi publik di Jawa Barat diperlukan adanya inventarisasi berbagai kelompok kepentingan yang ada dan melibatkan berbagai tokoh yang telah diakui untuk memperkuat posisi tawar Pemerintah Provinsi dalam pembuatan peraturan daerah[16]. Dalam sosialisasi penyusunan kebijakan daerah diperlukan terobosan-terobosan dalam pelaksanaannya, selama ini sosialisasi dilakukan melalui bentuk formal dalam bentuk mengundang masyarakat untuk hadir. Ke depan perlu diupayakan bentuk-bentuk sosialisasi informal, dimana para pejabat dapat langsung berkomunikasi dengan masyarakat langsung dan tidak dibatasi dengan aturan-aturan protokoler seperti dalam pertemuan formal.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan pembahasan berkaitan dengan upaya dan langkah-langkah Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pelibatan partisipasi publik dalam proses penyusunan dan legislasi Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara, sebagai penutup maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut :
Dalam proses penyusunan dan pembahasan Raperda tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melaksanakan upaya dan langkah-langkah dalam melibatkan  partisipasi publik melalui berbagai program dan kegiatan, antara lain melalui bentuk Pembinaan Forum Kelompok Masyarakat,  pembuatan Iklan Layanan Masyarakat dan Kampanye Publik, serta Pembentukan Kader Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Bandung Utara. Selain itu, diterbitkan juga media cetak “Proses” yang merupakan sarana sosialisasi dan menampung berbagai pendapat publik yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Dalam penyusunan raperda juga dilakukan pelibatan partisipasi publik dengan cara meminta masukan dari para pakar dari kalangan akademisi mengenai raperda yang sedang disusun.
Sementara dalam proses pembahasan Raperda tersebut pelibatan partisipasi publik dilaksanakan dalam bentuk  rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan mengundang para pakar, mengundang LSM, Masyarakat, dan kelompok-kelompok kepentingan. Bentuk lain dari pelibatan partisipasi publik juga dilakukan dengan menerima penyampaian aspirasi dan pendapat/opini mengenai KBU baik melalui forum dengar pendapat atau unjuk rasa; Opini-opini masyarakat melalui Media Massa; dan Penyampaian informasi melalui Media Massa baik atas permintaan media ataupun inisiatif DPRD. Menerima aspirasi dari KMBB (Komunitas Masyarakat Bandung Bermartabat); Menerima aspirasi dari Gerbong Bawah Tanah, Forum Mahasiswa Planologi dan Astronomi ITB, Forum Pencinta Kawasan Bandung Utara, DPKLST (Dewan Pemerhati Lingkungan Kehutanan Tatar Sunda, Walhi dan Komunitas Masyarakat Korban Bencana.
Namun dalam pelibatan partisipasi publik di Jawa Barat masih dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat formal dan media sosialisasi yang digunakan bersifat internal. Selain itu, pelibatan partisipasi publik dalam pembahasan raperda masih terbatas pada pelibatan para pakar dengan pertimbangan Raperda tersebut bersifat scientific, yang lebih memerlukan pendapat akademisi.
SARAN
Saran yang ditawarkan  dari penelitian ini, dalam pembentukan peraturan daerah di Provinsi Jawa Barat perlu segera dibuat pengaturan lebih spesifik mengenai partisipasi publik dalam penyusunan dan legislasi peraturan daerah sesuai dengan karakteristik masyarakat. Pengaturan partisipasi publik tersebut meliputi bentuk-bentuk dan sarana-sarana partisipasi publik dalam proses penyusunan dan pembahasan raperda. Hal tersebut perlu didukung dengan adanya media informasi dan komunikasi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat (bukan hanya media cetak intern), sehingga rencana penyusunan raperda dapat diketahui oleh masyarakat luas.
Selain itu, perlu juga dikembangkan kegiatan komunikasi langsung dengan masyarakat yang berkepentingan dengan materi raperda yang bersifat informal diluar kegiatan-kegiatan formal yang selama ini dilaksanakan dengan cara mengundang melalui kegiatan sosialisasi di gedung-gedung pertemuan. Pengaturan tersebut penting untuk menampung dan menyalurkan berbagai pendapat dan tanggapan masyarakat berkaitan dengan substansi raperda yang sedang disusun dan dibahas. Hal ini penting, sebagai landasan regulasi dan mencegah terjadinya penyampaian aspirasi masyarakat selain yang telah diatur dalam mekanisme yang telah ditetapkan, seperti terjadinya “insiden” penyampaian masyarakat aspirasi dalam acara rapat paripurna penetapan raperda. 
Pelibatan partisipasi publik perlu ditunjang dengan adanya inventarisasi kelompok kepentingan dan peningkatan sinergi antar perangkat daerah dalam proses penyusunan dan legislasi raperda. Selain  itu, untuk memperkuat posisi tawar pemerintah provinsi dalam pembuatan peraturan daerah agar dapat mengakomodir tokoh-tokoh yang telah diakui berbagai pihak. Hal ini, mengingat adanya perubahan dalam pengaturan kedudukkan pemerintah provinsi yang tidak lagi merupakan daerah atasan pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah sebelum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto (et al), Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PSKK-UGM, Yogyakarta, 2003.
Bimo Nugroho, Partisipasi Rakyat Membuat UU, Artikel H.U. Kompas tanggal, 1 Agustus 2002
Final Report Desk study Keterlibatan Publik Dalam Desentralisasi Tata Pemerintahan, Studi Tentang Problema, Dinamika, dan Prospek Civil society Organization di Indonesia, Tim Peneliti S2 PLOD-UGM, Kerjasama BRIDGE, BAPPENAS, UNDP INDONESIA, Tanpa Tahun hal. 1-2
Gregorius Sahdan, Pembangunan Partisipasi Politik Rakyat dalam Pemilu 2004 : Studi Perbandingan UU Pemilu 1999 dan UU Pemilu 2004.  Analisis CSIS No. 2 Tahun XXXII/2003
Hetifah Hj Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Gvernance : 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta, 2003, hal 150-181
Josef Riwukaho dan Haryanto, Fungsi-Fungsi Pemerintahan, Bandiklat – DEPDAGRI, Penebar Swadaya,1997, hal 18
Kurniawan Desiarto, Mewujudkan Partisipasi Publik dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang Demokratis, Jurnal Demokrasi, Vol 11 No. 6 Desember 2004, hal 79
M. Mas'ud Said, Arah Baru Otonomi daerah di Indonesia, UMM Press, 2005Pratikno, "Perubahan Sosial dan Dinamika Masyarakat" dalam Fungsi-Fungsi Pemerintahan,Bandiklat – DEPADAGRI, Penebar Swadaya 1997, hal. 82-83
Priyatmoko, Peningkatan Kinerja Eksekutif dan Implementasi otonomi Darah, Jurnal Ilmu Politik No. 18 Tahun 2002
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992
Sanafiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar dan Aplikasi, Rajawali Pers, Jakarta 1992
Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik  IKIP Semarang Press, 1995
Sugiyono, “Metode Penelitian Administrasi”, Alfabeta, Bandung, 1998
Supardal & Purwo Santoso, "Manajemen Hubungan Antar Lembaga Pemerintahan" dalam Mengelola Dinamika Politik dan Sumber Daya Daerah, S2PLOD – Depdagri, 2004.

Dokumen – Dokumen :
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Perda No. 3 tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Daerah 
Perda Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Perda Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Perda tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara (yang telah disahkan)
Keputusan DPRD Provinsi Jawa Barat No. 1 tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan DPRD   Provinsi Jawa Barat No. 1 tahun 2004 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi Jawa Barat
Ringkasan Eksekutif Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara, Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Risalah Pembahasan 5 (lima) Raperda Provinsi Jawa Barat tahun 2006

Surat Kabar dan Terbitan :
H.U Pikiran Rakyat, H.U. Kompas
Sekilas tentang DPRD Provinsi Jawa Barat Periode 2004 – 2009
Majalah ”Proses” Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, tahun 2005



[1]Pratikno, "Perubahan Sosial dan Dinamika Masyarakat" dalam Fungsi-Fungsi Pemerintahan,Bandiklat – DEPADAGRI, Penebar Swadaya 1997, hal. 82-83
[2] Agus Dwiyanto (et al), Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PSKK-UGM, Yogyakarta, 2003. hal. 1
[3] Miriam Budiardjo, "Partisipasi dan Partai Politik suatu Pengantar", dalam Partisipasi dan Partai Politik, Sebuah Bunga Rampai, Jakarta 1981, hal 1
[4] Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik  IKIP Semarang Press, 1995
[5] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992
[6]  Ibid
[7]  Ibid
[8] Ibid…hal 34
[9] Priyatmoko, Peningkatan Kinerja Eksekutif dan Implementasi Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu Politik No. 18 Tahun 2002
[10] Ibid
[11] Final Report…ibid hal 55
[12] Bimo Nugroho, Partisipasi Rakyat Membuat UU, Artikel H.U. Kompas tanggal, 1 Agustus 2002
[13] Kurniawan…op. cit.
[14] Ibid
[15] Diungkapkan H.A.M Ruslan (Ketua DPRD Jawa Barat periode 2004-2009) dalam artikelnya, Kritik Sebagai Pelecut Motivasi, yang dimuat H. U. Pikiran Rakyat tanggal, 20  September 2006
[16] Sebagaimana diungkapkan Hardjoko (Wakil Ketua Pansus Pembahasan Raperda KBU) dalam wawancara, tanggal 11 Juni 2007.