Dinamika Pemerintahan Adat di Kabupaten Kerinci (Studi tentang Eksistensi Pemerintahan Sko Nan Tigo Takah)


INTISARI
by: Dianda Putra
Penelitian ini bertujuan untuk menggali (eksplorasi) model pemerintahan adat (self governing community) yang ada di Kerinci, yaitu pemerintahan “Sko Nan Tigo Takah” yang telah  ada sejak ratusan tahun yang lampau, yaitu zaman Nenek Moyang Orang Kerinci mengenal bentuk atau cara pengaturan, pengelolaan hidup bersama dalam suatu lingkungan sosial (komunitas). Kemudian dengan menggali model pemerintahan adat tersebut, maka akan diketahui keberadaan (eksistensi) yang sebenarnya,  dari sejak awal sampai dengan sekarang melalui fungsi/peranannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Kerinci.
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif, eksploratif, dan komparatif, yang mana fokusnya pada; 3 (tiga) point pokok yang menjadi kajian, yaitu; institusi, adat (nilai, norma), dan  mekanisme (kepemimpinan dan forum bersama). Ketiga hal tersebut memiliki ciri-ciri, dan sifat yang khas dan khusus, sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan (konteks), dari masing-masing pemerintahan adat yang ada di Kerinci. Secara Umumnya  pemerintahan adat yang ada di Kerinci dari awal sampai sekarang tetap di dalam koridor bentuk (model) yang berpola “Sko Nan Tigo Takah”, yang berarti pemerintahan yang memiliki “tiga tingkatan/hirarkis”. Model pemerintahan  adat yang demikian, dimaksudkan untuk mencapai suatu keteraturan, ketertiban, dan kemandirian dalam suatu masyarakat (komunitas), di mana terdapat elemen-elemennya yang merupakan masyarakat berkepentingan, dan selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya.
Dari penelitian ini, maka diperoleh hasil bahwa; masyarakat Kerinci, sampai sekarang ini terbukti masih tetap mengakui dan menyelenggarakan sistem pemerintahan adat yang bersifat kolegial, walaupun secara legal/formalnya (Negara), tidak terdapat pengaturan, pengelolaan yang khusus pula oleh pemerintahan daerah sebagai “penanggung jawab” pemerintahan di tingkat lokal. Hal tersebut di atas, dikarenakan model pemerintahan “Sko Nan Tigo Takah” memiliki cultural focus;“Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah”, kemudian ditambah dengan adanya social basic; pola hubungan garis keturunan ibu (matrilineal) yang kuat.
Kata Kunci; “Pemerintahan  Adat, Pemberdayaan, Kemandirian”.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Berdasarkan catatan sejarah, dapat diketahui bahwa di Daerah Kabupaten Kerinci pernah ada beberapa pemerintahan masa lalu yang berdaulat dan memayungi masyarakat dan negeri ini. Beberapa pemerintahan asli masyarakat adat Kerinci tersebut dikenal dunia luar dengan sebutan “Kerajaan Koying”.[1]
Pemerintahan Negeri Koying merupakan  pemerintahan negeri yang tertua di Kerinci. Keberadaan pemerintahan ini diduga telah ada sekitar abad ke-3 Masehi. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa; “jauh sebelum kedatangan Belanda ke Bumi Nusantara atau ribuan tahun sebelum Indonesia merdeka, Nenek Moyang Orang Kerinci telah memiliki pemerintahan sendiri” (self governing community).[2]
Dalam tambo (sejarah) Kerinci, mulanya istilah “Dusun” dikenal pada masa Pemerintahan Segindo. Kemudian dilanjutkan oleh Pemerintahan Daulah Depati Empat IV Delapan Helai Kain.[3] Pemerintahan Depati Empat ini, merupakan restrukturisasi pemerintahan Segindo, yang dipengaruhi oleh adanya kedatangan sebagian Pasukan Ekspedisi Pamalayu ke Kerinci pada tahun 1292.[4]
Di samping Depati, terdapat gelar Sko Arya atau Rio. Rio adalah rio-rio, disebut “Permenti” (para Menteri), kemudian ada yang bernama “Tengganai/Anak Jantan”(pemimpin masing-masing kalbu/klan). Kelembagaan tersebut dinamakan dengan; “Sko Nan Tigo Takah.”[5]
Kemudian Pemerintahan Alam Kerinci mempunyai hubungan dengan kerajaan Melayu Jambi, Inderapura, dan Pagaruyung, yang letaknya secara geografis adalah berdekatan, atau mengitari daerah Alam Kerinci itu sendiri. Maka dalam  hubungan ini dipertajam dengan adanya satu bentuk persumpahan (perjanjian) di Bukit Peninjau Laut dengan memotong Kerbau setengah dua[6] sebagai simbol bahwa masing-masing kerajaan yang terlibat di dalam persumpahan ini adalah berdiri sendiri, dan tidak akan saling menyerang/menjajah, serta memiliki hak untuk tidak dipengaruhi/diatur antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya.[7]
Hal tersebut di atas menjelaskan tentang bagaimana salah satu bentuk pengaturan relasi/interaksi yang dibangun pemerintahan Depati Empat dengan kerajaan-kerajaan/pemerintahan yang ada disekitar lingkungannya (supra pemerintahan Depati Empat), agar tidak terjadi suatu masalah/konflik ataupun pengaruh-pengaruh yang bersifat negatif dan tidak diterima oleh masyarakat Kerinci itu sendiri.
Dalam perkembangan kehidupan masyarakat Kerinci beserta dengan pengaturan kepentingan hidup bersama, maka sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang, pasca kemerdekaan, dan sampai saat sekarang ini, yaitu orde reformasi, maka telah terjadi dinamika pemerintahan yang menunjukkan pergeseran dari pemerintahan yang sentralistis  menuju desentralistis-demokratis. Hal ini selalu dianggap faktor penting yang mempengaruhi gerak pemberdayaan masyarakat lokal. Terbitnya regulasi UU No. 32/2004 pada tataran nasional, menandai kebijakan Otonomi Daerah, di dalamnya mengatur Otonomi Desa.
Oleh sebab itu dalam tataran lokal dan konteks Kabupaten Kerinci “masa kini,” peneliti akan membahas “bagaimana peranan dan fungsi pemerintahan Sko Nan Tigo Takah (pemerintahan adat/asli) di Kerinci sejak dulu sampai sekarang?” Hal ini bermanfaat optimal di era demokrasi dan otonomi daerah ini (relevansi masa kini), sesuai dengan pernyataan berikut ini;
 “Pengakuan terhadap masyarakat adat tersebut dapat diartikan sebagai pengakuan atas keberadaan kesatuan-kesatuan politik tradisi yang bersumber dari sistem budaya berbagai kelompok masyarakat yang mencakup dalam teritorial Negara Republik Indonesia, tidak hanya sebatas pada aspek dan wujud kelembagaan saja, tetapi juga aspek struktur organisasi, mekanisme kerja, peraturan-peraturannya, serta berbagai hak dan kewajiban yang terkandung di dalam sistem kelembagaan tersebut, karena memiliki sifat khusus disebabkan oleh faktor geografis (keadaan tanah, iklim, flora, fauna), adat-istiadat, ekonomi, dialek atau bahasa, tingkat pendidikan atau pengajaran, dan sebagainya. Di masing-masing wilayah tersebut dapat efektif dalam pemerintahan dan pembangunannya bila sesuai dan cocok dengan keadaan dan kondisi riil masyarakat di daerah tersebut.”[8]

1.2       Rumusan Masalah
Sehubungan dengan penjelasdan di atas, dapat peneliti rumuskan masalah, dalam penelitian ini sebagai berikut;
“Bagaimana eksistensi (keberadaan) pemerintahan Sko Nan Tigo Takah (pemerintahan adat) di Kabupaten Kerinci?”

1.3       Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1  Tujuan Penelitian
1.      Untuk menggali (eksplorasi) model pemerintahan adat yang ada, beserta nilai-nilai, norma , dan mekanisme yang bersifat positif, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pemerintahan desa khususnya, dan pemerintahan daerah umumnya di Kabupaten Kerinci.
2.      Untuk menganalisa tentang keberadaan (eksistensi) melalui fungsi-fungsi/peranan pemerintahan yang berakar dari adat-istiadat masyarakat Kerinci,  sehingga proses pemerintahan daerah, khususnya pemerintahan desa dapat mencapai hasil yang optimal.
1.3.2  Manfaat Penelitian
1.      Menjadi referensi dan bahan komparasi bagi pihak peneliti ilmu-ilmu sosial, khususnya bagi peneliti yang menaruh minat terhadap studi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, maupun praktisi sosial (politik).
2.      Menjadi sumbangan pemikiran yang bersifat empirik bagi Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci, dalam menentukan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sekarang dan selanjutnya ke depan.      
1.4       Kerangka Teori
1.4.1    Peranan/Fungsi Pemerintahanan Adat 
Keberadaan (eksistensi) pemerintahan adat dapat dilihat dari fungsinya dalam mengatur/mengurus, dan mengelola kehidupan bersama yang ditandai dengan beberapa kepentingan tertentu (adat) masyarakat yang berkembang secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan zaman. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Heru Nugroho[9] bahwa;
 “eksistensi lembaga lokal secara ideal adalah dari segi berfungsinya untuk menjembatani berbagai kepentingan yang ada di masyarakat, yakni menjadi jembatan antara warga dengan warga, antara warga dengan kelompok, dan antara masyarakat dengan pemerintah”
1.4.1.1        Institusi (lembaga)
Menurut Koentjaraningrat[10], definisi lembaga dengan istilah “Institution” (Pranata) itu sendiri adalah;
“Suatu sistem aktivitas khas dari kelakuan berpola beserta komponen-komponennya, ialah; sistem norma, tata kelakuannya, dan peralatannya, ditambah dengan manusia atau personel yang melaksanakan kelakuan berpola.”
Sedangkan definisi lembaga sebagai “Institute” adalah;
“suatu badan atau organisasi yang berfungsi dalam lapangan kehidupan masyarakat yang khas, biasanya lapangan penelitian, pendidikan, pembinaan, atau pengembangan.”   
lembaga (pranata) itu ada pada setiap masyarakat, dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu;
1.      Memberikan pedoman pada masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan;
2.      menjaga keutuhan masyarakat, termasuk di dalamnya menjaga persatuan dan kesatuan atau menghindari terjadinya konflik baik yang bersifat terbuka maupun yang tertutup (laten);
3.      memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control), artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya;
4.      sebagai stabilisator, yaitu memberikan pola tertentu dalam upaya mengadakan perubahan secara teratur serta  mengadakan adaptasi secara terus menerus.
1.4.1.2        Adat
Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi mengatur tata kelakuan, dan bersifat “abstrak.” Adat yang diadatkan berproses dari kebiasaan, kemudian menjadi adat kebiasaan, berproses lagi ke tingkat yang lebih mantap disebut adat-istiadat, dan pada akhirnya menjadi “lembaga adat.” Perbedaan pada setiap tingkat ini, ditandai dengan “pemberian sanksi bagi pelanggarnya.” Pelanggaran kebiasaan sanksinya masih ringan, sedangkan pelanggaran adat kebiasaan sudah mulai ringan-berat, dan selanjutnya pelanggar adat-istiadat sudah berat.[11]
Adat berfungsi hukum untuk mengawasi dan menjaga tata tertib dan kemaslahatan masyarakat (pengawasan sosial/social control), agar warga tetap aman dan sejahtera mengayomi kehidupannya, mengingat bahwa manusia sebagai mahkluk sosial. Adat ini berbeda setiap suku bangsa atau kelompok sosial, mereka mengembangkan adat-istiadatnya sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi kehidupan mereka masing-masing.
1.4.1.3    Mekanisme
Mekanisme adalah; “cara/teknik yang digunakan oleh elemen-elemen yang ada pada suatu pemerintahan adat dalam mengelola, mengurus, mengatur, dan menjalankan peran/fungsinya untuk kepentingan seluruh anggota/warga masyarakat yang hidup bersama di suatu wilayah adat (mengurus,mengatur dirinya sendiri/mandiri/otonomi) sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku.”
Atau dengan kata lain adalah; “suatu sistem pengaturan, pengurusan, atau pengelolaan hidup bersama dalam satu kesatuan masyarakat hukum yang berdasarkan asal-usul (histori), atau berakar pada adat-istiadat yang berlaku secara turun-temurun sesuai dengan perkembangan zaman.” Maka untuk yang menjadi elemen penting mekanisme itu sendiri adalah;
A.  Kepemimpinan            
Kepemimpinan tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari proses interaksi yang berlangsung dengan sendirinya. Kepemimpinan dapat terjadi bila dikehendaki dan dipandang perlu oleh para anggota kelompok. Dalam pencapaian kebutuhan/kepentingan bersama bagi kelompok atau komunitas, maka kepemimpinan dan seluruh anggota memiliki fungsi atau peranan masing-masing yang dilaksanakan dengan cara-cara tertentu dan dalam aturan-aturan/norma, nilai-nilai, atau hukum yang berlaku.
Oleh sebab itu dapat dirumuskan lima fungsi kepemimpinan yang baik  dalam suatu organisasi maupun dalam suatu komunitas masyarakat, yang menjadi pedoman dalam fokus kepemimpinan, yaitu;[12]
1.      Selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan;
2.      Wakil dan Juru Bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak di luar organisasi (eksternal/supra);
3.      selaku Komunikator yang efektif;
4.      Mediator yang handal khususnya dalam hubungan ke dalam (internal), terutama dalam menangani situasi konflik;
5.      selaku Integrator yang efektif, rasional, obyektif dan netral.
B. Forum Adat
Sehubungan, mekanisme pelembagaan partisipasi yang berkembang dalam masyarakat, untuk mencapai kepentingan, kebutuhan, atau tujuan bersama, serta penyelesaiaan berbagai perkara yang terjadi. Maka dalam proses penyelenggaraan pemerintahan adat di Kabupaten Kerinci (fungsi internal/konsolidasi), dikenal beberapa musyawarah atau forum adat yang dilaksanakan secara bertingkat, hal tersebut tidak lepas dari sistem pertalian kekerabatan yang dianut oleh masyarakatKerinci itu sendiri, yaitu menurut garis keturunan keibuan (matrilineal).[13] Forum dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut;[14]
    a)  Duduk Tengganai atau Anak Jantan
“Adalah Forum untuk membahas permasalahan-permasalahan yang menyangkut kepentingan, kebutuhan, dan perkara di lingkup keluarga, kalbu, dan perut, seperti antara adik dan kakak, paman dan keponakan, anak dan orang tua, dan lain sebagainya di bawah bimbingan atau pimpinan tengganai yang mengepalai kalbu yang bersangkutan, tanpa melibatkan pihak-pihak lain selain kalbu tersebut.”
    b)  Duduk Ninik Mamak
“Adalah Forum untuk membahas permasalahan-permasalahan atau kepentingan, kebutuhan dan perkara yang mengaitkan keterlibatan dari beberapa kalbu di bawah bimbingan atau dipimpin oleh beberapa orang yang menduduki jabatan sebagai Ninik Mamak. Tugas Ninik Mamak dalam konteks ini adalah sebagai Koordinator terhadap Anak Jantan dan Anak Betino.[15] Dalam forum Ninik Mamak ini terdapatlah di dalamnya elemen-elemen Ninik Mamak itu sendiri seperti Anak Jantan, Alim Ulama, Cerdik cendekia, serta Hulu Balang (pemuda).”
   c)  Duduk Depati
“Adalah Forum yang tertinggi tingkatannya dalam hirarki adat di Kerinci ini merupakan kebijakan yang diambil bersifat final, dan ini merupakan forum pembahasan permasalahan-permasalah atau kepentingan-kepentingan yang tidak terselesaikan di tingkat Duduk Tengganai/Anak Jantan dan Duduk Ninik Mamak. Forum ini diikuti seluruh unsur masyarakat,[16] Anak Jantan, Anak Betino, Pemangku Adat, Alim Ulama, Cerdik cendikia, Hulu Balang (Pemuda), di bawah kepemimpinan para Depati-depati (kolegial). Melalui forum ini pula semua kepentingan bersama diagregasikan dalam suatu bentuk keputusan bersama pula diantara Depati.”
1.5       Definisi Konseptual dan Operasional
Sebagai definisi konseptual dan operasional penelitian tentang Dinamika Pemerintahan Adat di Kabupaten Kerinci, yang ditinjau dari keberadaan (eksistensi) pemerintahan Sko Nan Tigo Takah, baik dari aspek institusi, adat, maupun mekanisme, digambarkan sebagai sebuah pemerintahan yang berasal dari (partisipasi) masyarakat, dikelola oleh (akuntabilitas dan transparansi) masyarakat, serta dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk (responsifitas) masyarakat, dalam rangka mencapai tujuan bersama (common good), sehingga pemerintahan adat menjadi lebih kokoh (legitimate). Kemudian hal tersebut berimplikasi kepada menguatnya posisi tawar (bargaining position) pemerintahan adat, dalam hal ini berinteraksi dengan pemerintahan daerah (supra pemerintahan adat).
1.6       Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Selanjutnya studi komparatif, yang  bertolak dari fakta sosial yang ingin diketahui dan digali (eksplorasi), memperbandingkan serta mengkaji interaksi antara dua variabel penelitian melalui data hasil penelitian yang direduksi, organisasi, dan membuat suatu interpretasi sebagai bahan analisis terhadap keadaan lokasi penelitian, diolah dan dianalisa sehingga kesimpulan akhir dapat tercapai.
Dalam hal teknik pengumpulan data, dilakukan dengan observasi langsung ke lapangan, dan melakukan teknik wawancara (interview) tidak terstruktur terhadap responden, sedangkan penentuan Informan adalah dengan Teknik Snowball.
Sementara dalam proses tersebut dilakukan  observasi terhadap objek yang sedang diteliti. Observasi adalah sebagai metode ilmiah yang diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis fenomena yang diselidiki.[17] Kemudian digunakan juga teknik dokumentasi (foto), dan teknik pengumpulan, pengolahan data sekunder dari literatur maupun bahan laporan tertulis lainnya

BAB II
DESKRIPSI KABUPATEN KERINCI
2.1       Kondisi Geografis dan Demografis
2.1.1    Letak Daerah
Kabupaten Kerinci terletak di antara 1° 41 sampai 2° 26 Lintang Selatan, 10° - 101° 90 Bujur Timur.[18] Secara Geografis Kabupaten Kerinci mempunyai wilayah (batas-batas) sebagai berikut :
1.      Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Solok Selatan[19] Sumatra Barat.
2.      Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bungo.
3.      Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kabupaten Merangin, Kabupaten Bengkulu Utara, dan Kabupaten Muko-muko Propinsi Bengkulu.
4.      Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan Sumatra Bara
Kabupaten Kerinci terletak pada ketinggian antara 600 – 1500 meter dari permukaan laut,[20] dan merupakan Kabupaten yang dilingkari oleh gunung dan bukit-bukit. Pada dataran tinggi terdapat gunung yang tertinggi di Sumatra, yaitu Gunung Kerinci dengan ketinggian 3805 meter dari permukaan laut.[21]
                                                Keadaan Penduduk
Penduduk Kabupaten Kerinci sebagian besar mendiami dataran tinggi yang membujur dari Utara ke Selatan, dan sebagian lagi mendiami dataran rendah. Selain itu pula ada yang mendiami Ladang-ladang. Penduduk Kerinci dikenal sebagai penduduk yang taat menjalankan agama, hal ini dikarenakan oleh antara Adat dan Agama telah menyatu dalam kehidupan mereka sehari-hari, sebagaimana yang dikatakan dalam pepatah adat “Adat bersendi Syara’,Syara’ bersendi Kitabullah, Syara’ mengato, Adat memakai”.
Data persentase penduduk Kerinci sampai tahun 2002, berdasarkan agama yang dianut oleh masyarakat Kerinci secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar berikut ini;                                        
         Sumber; BPS Kab. Kerinci, Kerinci Dalam Angka, 2002.
Kemudian di samping itu pula, penduduk yang mendiami Kabupaten Kerinci mayoritasnya adalah penduduk asli Kerinci (Suku Kerinci), di samping itu ada juga Penduduk yang berasal dari luar Kabupaten Kerinci, seperti suku : Minang Kabau, Jawa, Melayu, Batak, Palembang, dan Sunda. Berikut dapat dilihat persentase penduduk dari total jumlah penduduk Kerinci pada tahun 2002, berdasarkan suku-suku bangsa yang mendiami daerah Kerinci dengan gambar di
               Sumber; BPS Kab. Kerinci, Kerinci Dalam Angka, 2002.
 Jumlah Penduduk Kerinci sampai tahun 2002 adalah : 297.454 jiwa. Selain dari Penduduk asli Kerinci dan Suku-suku Pendatang seperti tersebut di atas, terdapat juga Penduduk yang berketurunan Cina. Kepadatan 68jiwa/Km, dengan pertumbuhannya sampai tahun 2002 sebesar 0,82 %.[22] Dari jumlah Penduduk tersebut, umumnya mereka bekerja sebagai Petani dan Peladang, dan selain itu bagi Penduduk yang mendiami Kota, mereka hidup sebagai Pegawai Negeri, Guru, Anggota TNI, Pedagang, Peternak, Buruh.
Pada dataran tinggi dan dataran rendah bermukim penduduk Kerinci dengan mata pencaharian pokok bertani, dan berladang. Hal tersebut terlihat kenyataan bahwa Penduduk Kerinci menggunakan lahan yang ada di dataran rendah untuk persawahan sebanyak 4,38%,[23] dan pada dataran tinggi dipergunakan untuk perkebunan, seperti cengkeh, kopi, kayu manis (casiavera), kentang, kol, umbi-umbian,  dan tanaman palawija lainnya. Di dataran tinggi dekat kaki Gunung Kerinci yang bernama Kayu Aro,  juga terdapat perkebunan teh yang terluas di Asia Tenggara, yang dikelola oleh PTP VIII Kayu Aro.
Sumber; Peneliti, Desa Batu Hampar, Kayu Aro, Juli 2005.
BAB III
EKSISTENSI PEMERINTAHAN ADAT DI KERINCI
(Peranan “Sko Nan Tigo Takah” dalam masyarakat adat Kerinci)

3.1              Peranan/Fungsi  sebagai “Intermediary” dalam hubungan
dengan Supra Pemerintahan Adat (Pemerintahan Desa/Daerah).
Dengan terbukanya kran demokrasi bagi masyarakat, maka bermunculan “civil society” sebagai basis tegaknya demokrasi, yang menjadi elemen sangat penting. LSM, Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Pressure Group), dan Yayasan-yayasan sosial bermunculan sebagai civil society. Namun di sisi lain pemerintahan adat sebagai lembaga tradisional yang merupakan wadah atau basis penerapan nilai-nilai atau norma-norma masyarakat lokal, serta mekanismenya, adalah institusi politik (political institutions) yang tidak bisa diabaikan.[24] Keterlibatan pemerintahan adat dalam proses pemerintahan desa/daerah menjadi elemen penting dalam menentukan keberhasilan agenda kebijakan. Lembaga tradisional ini sudah mengatur kehidupan masyarakat sebelum adanya lembaga modern seperti saat ini, yakni; Partai Politik, LSM, Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Pressure Group), dan Yayasan-yayasan sosial, yang sering memunculkan identitasnya sebagai kelompok-kelompok informal.
Berkaitan dengan hal tersebut Toha telah mendefinisikan kelompok-kelompok informal tersebut adalah;
“kelompok yang tumbuh dari proses interaksi daya tarik dan kebutuhan-kebutuhan seseorang dan anggota kelompok yang tidak diatur dan diangkat, melainkan ditentukan oleh daya tarik bersama dari individu dan kelompok, sehingga kadang-kadang tidak tercatat dalam catatan atau agenda para pejabat atau para sarjana.”[25]
Pemerintahan adat merupakan sebuah sistem kelembagaan sosial, yang mana di dalamnya terdapat kelompok lembaga informal sebagai sub-sub sistemnya, ini juga terbentuk atas kepentingan spesifik tertentu, sehingga dalam ilmu politik modern dan dalam konteks pembahasan ini, keberadaannya dikategorikan sebagai kelompok kepentingan yang berfungsi intermediary.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa;
““intermediary” adalah; merupakan gejala yang berkaitan dengan pengertian/definisi “masyarakat sipil (civil society)”, yang mana karakter mendasar masyarakat sipil (civil society)  secara konkrit adalah otonom (mandiri) dari negara. Setidaknya civil society menjadi jembatan (intermediary) antara warga dan negara. Dalam kata lain, civil society adalah merupakan arena publik yang mampu mengelola aktivitas dan mengatur anggotanya secara mandiri. Karakter ini mewujud pada organisasi-organisasi lokal (institusi/pranata) yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, baik yang berbasiskan agama, okupasi, kegemaran, atau komunitas tertentu. Di samping itu, perwujudan self-governing community sedikit banyak ditopang oleh masih cukup kuatnya modal sosial (social capital) seperti; norma, tradisi, jaringan sosial, dan nilai lokal lainnya yang berkembang dalam masyarakat.”[26]
Sebagai salah satu contoh kasus penjelasan tersebut di atas yakni; Penyelesaian konflik tapal batas antara Kabupaten Kerinci dengan Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra Barat (sekarang Kabupaten Solok Selatan) pada tahun 2000. Yang mana di daerah tapal batas tersebut terdapat “Letter W”, yaitu wilayah yang memiliki potensi air terjun, dan diklaim oleh Kabupaten Solok dan Provinsi Sumatra Barat sebagai wilayahnya, dengan alasan bahwa; jalan satu-satunya yang terdekat untuk akses dari daerah luar ke wilayah tersebut adalah; berada di daerah Sumatra Barat. Secara singkat dikatakan bahwa; terdapat kepentingan ekonomi dan politik dalam hal ini.
Sebagai tindak lanjut untuk menyelesaikan konflik ini, maka dilakukan  pertemuan antara Pemda Provinsi Jambi (Gubernur Jambi; dijabat Zulkifli Nurdin), dengan Pemda Provinsi Sumatra Barat (Gubernur Sumatra Barat; dijabat Zainal Bakar), dan dihadiri pula oleh Bupati Kerinci dan Bupati Solok. Tercatat beberapa kali pertemuan antar Gubernur, Bupati yang memimpin delegasinya masing-masing, tidak menemukan kesepakatan, sampai akhirnya pertemuan penyelesaian konflik tersebut menghadirkan beberapa “Pemangku Adat” yang berkompeten dari kedua belah pihak, yaitu Kerinci, dan Solok Sumatra Barat.
Pada pertemuan tersebut di atas, pihak “Pemangku Adat” dari Kerinci, salah satu pesertanya adalah; Sutan Kari[27], yang juga pada saat itu menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Kerinci (1999-2004), telah menyiapkan data yaitu berupa; Peta Kerinci yang dibuat oleh Belanda berdasarkan pembagian wilayah pemerintahan sipil pada saat Kerinci masih berada dalam bagian Sumatra Barat (1922). Peta tersebut dibuat oleh belanda pada tahun 1907, dan di dalamnya menyatakan bahwa; wilayah “Letter W” yang “diperebutkan” antara Kerinci dan Solok, adalah termasuk dalam daerah Kerinci sejak dahulu. Peta yang dimaksud sekarang ini, masih tersimpan rapi di Museum Universitas Leiden Belanda.
Kemudian dengan adanya bukti-bukti sejarah yang dikemukakan oleh para “Pemangku adat” dari Kerinci, dan diteruskan dengan musyawarah mufakat dengan para “Pemangku Adat” dari Sumatra Barat, maka hasil akhir perundingan damai  adalah; Sumatra Barat (Kabupaten Solok) mengakui daerah/wilayah “Letter W” adalah; bagian dari daerah Kerinci, serta dicapai pula kesepakatan atau perjanjian untuk tidak saling menggangu ketertiban bagi kedua belah pihak yang saling berhubungan di masa-masa berikutnya. Selanjutnya bagi pihak yang memulai atau yang memicu terjadinya ketidak tertiban kembali, maka masing-masing Lembaga Kerapatan Adat (Lembaga Adat), diwajibkan mencari pihak-pihak atau anggota masyarakatnya yang berbuat kesalahan, dan mengambil tindakan tegas secara adat, kemudian selanjutnya diserahkan kepada “pihak berwenang” (Polisi), dan diselesaikan pula sesuai dengan hukum legal/formal Negara.
3.2       Peran/Fungsi Internal (Konsolidasi) yang mendukung Pelembagaan Partisipasi
Dalam budaya Kerinci, kultur dan agama adalah merupakan landasan yang kuat dalam menjalani kehidupan masyarakat adat yang berada dalam lingkungan dusun (sekarang desa), sebagai wilayah adat mempunyai lembaga tersendiri yang mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat,[28] dan ini dapat menjadi nilai tawar yang tinggi posisi/kedudukan Sko Nan Tigo Takah (pemerintahan adat) terhadap pemerintahan daerah. Pemerintahan Sko Nan Tigo Takah sebagai pemerintahan yang bersifat informal, mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam kehidupan masyarakat, karena kedudukan Sko Nan Tigo Takah dalam masyarakat dibangun atas dasar kekerabatan yang berlandaskan adat-istiadat (matrilineal),di samping itu juga secara teritorial (daerah). Kemudian pemerintahan adat juga memiliki kepemimpinan yang berlandaskan social basic dan cultural focus[29] masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas, karena pemerintahan adat (Sko Nan Tigo Takah) yang ada di Kerinci, juga mempunyai mekanisme pelembagaan partisipasi tersendiri, yang berkembang dalam masyarakat, untuk mencapai beberapa kepentingan, kebutuhan tertentu, atau tujuan bersama, serta penyelesaiaan berbagai perkara yang terjadi. Maka dalam proses penyelenggaraan pemerintahan adat di Kabupaten Kerinci (fungsi internal/konsolidasi), dikenal dan dilaksanakan secara konsisten beberapa musyawarah atau forum adat yang dilaksanakan secara bertingkat, hal tersebut tidak lepas dari sistem pertalian kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Kerinci itu sendiri, yaitu menurut garis keturunan keibuan (matrilineal).[30]
Dari penjelasan tentang mekanisme pelembagaan partisipasi masyarakat melalui saluran Pemerintahan Sko Nan Tigo Takah tersebut, maka dapatlah peneliti sampaikan bahwa; pemerintahan adat Sko Nan Tigo Takah adalah suatu bentuk (model) pemerintahan yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan satu dengan lainnya (pemerintahan kolegial), dan menjalankan fungsi/perannya berlandaskan kepada “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah,” yang artinya; segala sesuatu yang menjadi adat yang mengatur kehidupan masyarakat haruslah sesuai dengan tuntunan ajaran agama yaitu agama Islam, dan ajaran agama Islam itu sendiri bersandar/berdasarkan pada Al Qur’an (Kitabullah) dan Hadist Nabi.
Di samping itu fungsi pemerintahan Sko Nan Tigo Takah dalam masyarakat adat Kerinci, dapat pula dianalog-kan sebagai perantara (Wakil/Juru Bicara dan Mediator), untuk memperjuangkan partisipasi masyarakatnya dalam kebijakan-kebijakan yang akan diputuskan oleh Pemerintah.
Sebagai buktinya adalah seperti hal yang berlaku di Kelurahan Pondok Tinggi Kecamatan Sungai Penuh sampai saat sekarang, yakni masyarakat adat Pondok Tinggi melalui Lembaga Kerapatan Adat Pondok Tinggi (presentasi Pemerintahan Sko Nan Tigo Takah) menentukan bahwa; setiap penempatan seorang calon Kepala Kelurahan oleh Pemerintah Daerah, yang akan bertugas di wilayah tersebut, haruslah terlebih dahulu dikonsultasikan dengan Lembaga Kerapatan Adat Pondok Tinggi, dan yang menjadi Kepala Kelurahan di wilayah tersebut, ditentukan bagi seseorang yang telah menyandang gelar “Depati” dalam lingkungan wilayah adat Pondok Tinggi. Hal yang demikian ini juga berlaku pada Kelurahan Sungai Penuh dan Kelurahan Dusun Baru yang ada dalam area Kecamatan Sungai Penuh.
Namun hal tersebut di atas tidak bersifat sangat “mengikat,” karena dengan adanya ketentuan seperti itu, adalah dimaksudkan agar seorang yang menjadi Pejabat khususnya Kepala Kelurahan, yang juga sebagai “Pemimpin Masyarakat,” adalah sosok seorang yang betul-betul menguasai dan memahami adat-istiadat, dan budaya, serta keadaan yang sebenarnya di dalam kehidupan masyarakat yang di pimpinnya, sehingga dapat menjadi Kepala Kelurahan yang betul-betul sosok “Pemimpin Masyarakat” yang legimate. Jadi dengan demikian, secara otomatis diharapkan yang akan menjabat sebagai Kepala Kelurahan di wilayah tersebut adalah “Putra Asli Daerah” secara “geneologis,” tapi juga dapat “teritorialis”.[31]
Kemudian dalam kaitan dengan bidang lainnya, seperti lingkungan  hidup, ekonomi, dan Sumber Daya Alam misalnya; adalah keberhasilan  Pemerintahan Adat (Lembaga Kerapatan Adat Dusun/Desa Keluru) dalam mengelola dan mengatur “Hutan Adat Temedak”, yang mana hutan ini adalah merupakan hutan perkebunan, perladangan, dan berfungsi juga untuk sebagai salah satu penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Keberhasilan yang dimaksud yaitu, adanya penghargaan “Kalpataru” yang diperoleh oleh Masyarakat Adat Keluru melalui Lembaga Kerapatan Adat Keluru, langsung dari Presiden RI pada tahun 1992, dan berikutnya pada tahun 2001, masyarakat adat Dusun/Desa Keluru melalui Ketua Lembaga Kerapatan Adat Dusun/Desa Keluru menerima penghargaan “Satya Lencana Pembangunan”  dari Presiden RI, sebagai kelanjutan dan pengembangan keberhasilan yang telah dilakukan oleh masyarakat adat Keluru dalam mengelola hutan adat dan keseimbangan lingkungan hidup sekitarnya, kemudian hal ini dikatakan memiliki implikasi terhadap bidang ekonomi masyarakat, yakni dengan dikenalnya peraturan bagi warga masyarakat dusun/desa Keluru yang akan berladang/berkebun di kawasan “Hutan Adat Temedak” untuk tetap menjaga sebagai tanah ulayat,[32] yang harus ditanami dengan tanaman yang produktif  bagi keluarga, maupun beberapa kelompok keluarga, seperti tanaman “Kulit Manis” (Cassiavera), Kopi, Cengkeh, Cabe, berbagai jenis buah-buahan seperti, manggis, alpukat, pisang, nangka, durian, papaya, dan lain sebagainya, yang mana hasilnya dapat disalurkan/dipasarkan ke daerah-daerah luar Kabupaten Kerinci, sehingga dapat menguntungkan ekonomi masyarakat yang cukup signifikan.[33]

BAB IV
PENUTUP

4.1       Kesimpulan
1.      Secara eksplisit bahwa; Pemerintahab Sko Nan Tigo Takah di Kerinci, sampai sekarang masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat hukum adat Kerinci.
2.      Kedepatian belum menjadi lembaga formal, tetapi Pemerintahan Sko Nan Tigo Takah sudah dilibatkan dalam upaya penyelesaian berbagai masalah yang terjadi dalam masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Kerinci, baik sebagai “intermediary”, maupun sebagai penengah dalam berbagai konflik yang terjadi.
3.      Kebijakan Otonomi yang luas dan penyelenggaraan pemerintahan terendah berdasarkan adat dan tradisi lokal, memberi ruang yang luas untuk menghidupkan kembali pemerintahan Sko Nan Tigo Takah.
4.      Masalah yang dihadapi adalah; di sebagian masyarakat Kerinci, terutama yang berada di dekat perkotaan, pengenalan, dan praktek adat dan tradisi seperti Sko Nan Tigo Takah sudah kurang dikenal. Oleh karena itu, upaya menghidupkan kembali Pemerintahan Sko Nan Tigo Takah tidak bisa dilaksanakan dengan serta-merta.
4.2       Saran-saran
1.      Penelitian ini belum seluruhnya menggali pemerintahan adat (lokal) yang ada di Kerinci secara keseluruhan, yakni dari berbagai sudut pandang, seperti  hukum secara mendetil, sudut pandang ekonomi, sudut pandang psikologi, bahkan teknologi tepat guna bagi masyarakat lokal (desa), dan lain sebagainya, yang dapat mendukung upaya melakukan perbaikan-perbaikan terhadap semua aspek kehidupan masyarakat lokal yang beraneka ragam adanya (pluralisme). Karena menyangkut regulasi Negara yang berkaitan erat dengan fokus studi ini masih sangat minim dan relatif belum lama diimplementasikan, yakni sejak diberlakukannya UU No. 32/2004  tentang Pemerintahan Daerah, satu tahun yang lalu. Maka oleh sebab itu, diharapkan peneliti-peneliti yang akan datang dapat melanjutkan penelitian ini, demi penyempurnaan dari berbagai disiplin keilmuan.
2.      Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci, agar dapat memberikan peluang “seluas-luasnya” bagi partisipasi warga masyarakat sebagai “elemen” dalam pemerintahan adat (Sko Nan Tigo Takah), yang ditandai dengan adanya payung hukum (regulasi) pelembagaan partisipasi masyarakat lokal (adat), dalam ber-interaksi dengan pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya, serta memperkuat berbagai proses sosio cultural (pemberdayaan), seperti melalui  pendidikan politik kewargaan, agar memperoleh pencerahan dan kesadaran yang baik akan hak sosial politik dan ekonominya sebagai warga masyarakat. Kemudian perlu pula mengadakan “kodifikasi” hukum-hukum adat, untuk menghindari kepunahan dan menipisnya hal tersebut
3.      Khusus kepada Pemangku-pemangku Adat dalam pemerintahan adat (Sko Nan Tigo Takah) “Sakti Alam Kerinci”, agar dapat secara konsisten meningkatkan aktifitas, tugas/fungsi, dan peranannya dalam melakukan kegiatan-kegiatan adat seperti; pengkajian, penerapan, dan pelestarian hukum adat, penataan kehidupan masyarakat yang ber-etika, bersopan-santun, dan budaya tertib masyarakat dalam alam/lingkungan sekitarnya. Kemudian pelestarian kegiatan-kegiatan dan benda-benda yang memiliki nilai agama, sejarah, seni, filosofi, ekonomi yang tinggi, dan lain sebagainya, yang mana semuanya itu adalah sebagai modal sosial (social capital) bagi suatu peradaban untuk tetap eksis dalam menghadapi berbagai tantangan, benturan-benturan kepentingan, dan dinamika politik, seiring dengan kemajuan-kemajuan umat manusia.


DAFTAR PUSTAKA
A. A. Navis, (1984), Alam Terkembang Jadi Guru; Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Grafiti Pers, Jakarta
Ari Dwipayana, AAGN, dkk, (2003), Membangun Good Governance di Desa, edisi pertama, cetakan pertama, IRE Press, Yogyakarta
Koentjaraningrat, (2002), Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, cetakan kedua puluh,  PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Nasution. S, (2003), Metode Research (Penelitian Ilmiah), cetakan keenam, Bumi Aksara, Jakarta
Nugroho, Heru, (2000), Makalah; Eksistensi Lembaga Lokal dan Permasalahannya di tengah Era Reformasi
Sartono. S, Kerajaan Melayu Kuno Pra Sriwijaya di Sumatra, Makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi 7-8 Desember 1992
Siagian, Sondang P, (1988), Teori dan Praktek Kepemimpinan, PT. Bina Aksara, Jakarta
Soekanto, Soerjono, (1990), Sosiologi Suatu Pengantar, edisi keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tim Perumus Hasil Musyawarah Adat Alam Kerinci, (1992), Mengenal Hukum Adat Kerinci, buku foto copy-an, Kerinci
Zakaria, Iskandar, (1974), Tambo Sakti Alam Kerinci, buku stensilan, Sungai Penuh
Zakaria, R. Yando, (2004), Merebut Negara, Beberapa Catatan Reflektif Tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa, LAPERA Pustaka Utama Bekerja Sama dengan KARSA, Yogyakarta.
UUD 1945 dan Amandemennya, Penerbit Sendang Ilmu, Solo
UU No. 5 Tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa, Arkola, Surabaya
UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, Arkola, Surabaya
UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah,cetakan pertama, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta
Media Masa;
§  Majalah Kerinci Membangun, Pemda Kerinci, Kerinci, edisi November 2002
§  Kompas 7 September 1996 dan Walhi No. 6/1997
   

[1]  “Kerajaan Negeri Koying, Pemerintahan Segindo, atau Negara Segindo Alam Kerinci, dan Pemerintahan Depati Empat atau Negara Depati Empat Alam Kerinci.” S. Sartono, Kerajaan Melayu Kuno Pra Sriwijaya di Sumatra, Makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi 7-8 Desember 1992.
[2] Sesuai pula dengan definisi ‘Masyarakat Adat’ oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam R. Yando Zakaria, Merebut Negara, Beberapa Catatan Reflektif Tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa, LAPERA Pustaka Utama dan KARSA, Yogyakarta, 2004; hal; 53, bahwa; ”masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan wilayah sendiri.” Dan definisi oleh Jose Martinez Cobo, dalam R. Yando Zakaria, op cit, hal; 53, menyatakan bahwa; “Indigenous Peoples/IPs (di Indonesia diterjemahkan menjadi ‘Masyarakat Adat’) sebagai suku bangsa yang memiliki kelanjutan hubungan sejarah antara masa sebelum invasi dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka, menganggap diri mereka berbeda dengan kelompok masyarakat lain atau bagian dari masyarakat yang lebih luas.
[3] Lazim dan selanjutnya disebut dengan “Depati Empat.”
[4] Dapat dilihat dalam tulisan Rencong Sko Pedandan Dusun Tanjung Tanah (sekarang Desa Tanjung Tanah Kecamatan Danau Kerinci), dan dalam  Kitab Daluwrang bertuliskan Jawa Kuno.
[5] “Pegang berlain-lain, dan ingatlah masing-masing” merupakan tanggung jawab tugas dari Sko Nan Tigo Takah tersebut, Maksudnya adalah masing-masing pemegang gelar/jabatan di atas menjalankan tugas dan fungsi (ico pake) menurut wewenang mereka masing-masing, dan tidak boleh mencampuri wewenang yang lainnya,” Iskandar Zakaria, Tambo Sakti Alam Kerinci, buku stensilan (tanpa penerbit), Sungai Penuh, 1974.
[6] Kerbau betina yang sedang mengandung, dan perjanjian tersebut disebut dengan; “Karang Setio Nan Semangkuk.”
[7] Hasil penelitian E.J. DE Stuler dalam tesisnya Het Greng Gebield van Nederlansch Oost Indie in Perband met Tracten Spanye, England en Portugal (1861), dan di sempurnakan oleh Utrech, dalam bukunya Sejarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok, dikatakan ; “Daerah Kerinci merupakan daerah yang berdiri sendiri seperti Aceh di Pulau Sumatera sebelum kedatangan Belanda tahun 1903.”
[8] Arimbi HP, dalam Walhi  no; 6/1997.
[9] Heru Nugroho, (2000), Makalah; Eksistensi Lembaga Lokal dan Permasalahannya di tengah Era Reformasi.
[10] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, PT. Gramedia Pustaka Utama, cetakan keduapuluh, Januari, 2002, hal; 14-15.
[11]  Sesuai dengan pendapat L. Pospisil, dalam Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal; 22-24.

[12] Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal; 47-48.
[13] Dalam keberadaan sistem keibuan (matrilineal) terlihat beberapa bentuk, sifat dan sistem organisasi kekerabatan. Dari segi bentuk dan sifat masyarakat matrilineal Kerinci adalah bersifat alamiah, karena memandang sifat-sifat yang ada di alam yakni, setiap makluk hidup yang lahir, maka hubungannya sangat dekat antara anak dan ibu. Hal ini sudah ada sejak keberadaan masyarakat kerinci di muka bumi ini. Kemudian ini juga tidak jauh berbeda dengan apa yang berlaku pada masyarakat Minangkabau seperti yang telah dijelaskan oleh Miral Manan; “teori bahwa lahirnya matrilineal itu adalah akibat perang besar yang berlangsung pada zaman Iskandar Zulkarnaen. Dalam perang besar, kelahiran anak yang sah adalah dari ibunya. Hal ini berarti bahwa orang-orang yang bersaudara sekandung belum tentu seayah. Dan sesuai dengan kodrat alam yang menjadi falsafaf Minangkabau, hubungan yang paling akrab dari semua insan di dunia adalah antara ibu dan anak,” dalam sebuah catatan kaki, AA. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru; adat dan kebudayaan Minangkabau, Grafiti Pers,1984; hal; 47.
[14] Pengertian menurut hasil musyawarah Adat Alam Kerinci, 1992. Dan dapat pula dilihat penjelasan R. Yando Zakaria, khususnya tentang Mekanisme Pemantauan dan Sanksi Berjenjang, Mekanisme Pembaruan Aturan Main, dan Mekanisme Chek and balances dalam sistem pemerintahan di Koto Depati Propinsi Jambi, Merebut Negara, 2004, hal; 179-182.
[15] Istilah adat Kerinci untuk menyatakan seluruh anggota kalbu yang  dipimpin oleh Pemangku Adat, (Istilah Adat Kerinci).
[16] Bersifat terbuka untuk umum.
[17] S. Nasution, Metode Research; (Penelitian Ilmiah), cetakan keenam, Bumi Aksara, Jakarta, april 2003, hal; 106.
[18] Bappeda Kab. Kerinci. Kerinci Dalam Angka 2002.
[19] Daerah/Kabupaten Baru (hasil pemekaran dari Kabupaten Solok).
[20] Bappeda Kab. Kerinci. Kerinci Dalam Angka 2002.
[21] Ibid
[22] Ibid.
[23] Ibid
[24] “Norma lokal mengacu pada konsepsi-konsepsi masyarakat dalam melihat berbagai hal, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah dan berbagai kebutuhan hidupnya sendiri sebagaimana yang mereka lihat. Menurut pendapat rakyat setempat, lingkungan atau kampung memiliki arti konkret. Harapan dan kepentigan mereka juga konkret. Di pihak lain, norma pemerintah juga mengacu pada hal yang sama, hanya saja sebagaimana yang dirumuskan sendiri oleh pihak pemerintah itu,” R. Yando Zakaria, Merebut Negara, LAPERA Pustaka Utama dan KARSA, Yogyakarta, 2004, hal; 16.
[25] Miftah Toha, Pembinaan Organisasi, Raja Garfindo Persada, Jakarta, 2000.
[26] AAGN Ari Dwipayana, dkk, Membangun Good Governance di Desa, edisi pertama, cetakan pertama, IRE Press, Yogyakarta, hal; 27.
[27] Salah seorang Pemangku Adat (Sesepuh Adat/Tokoh Masyarakat) bergelar “Depati” dari Desa Kumun Hilir, Kecamatan Sungai Penuh.
[28] Menurut Ariyono Suyono, dalam sebuah catatan kaki Erwin Fahmi, Ibid,  hal; 218; “dalam konteks kebudayaan Melayu, adat lazim diartikan sebagai; ‘kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli, yang meliputi antara lain mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional.”
[29]Lihat penjelasan Soerjono Soekanto dalam Sosiologi, suatu pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, 1990, hal; 324-325); dan  pepatah Kerinci mengatakan; “Lah Buloak ayae di pamulaouh, buloak katao dek mupakat” (Pepatah adat Alam Kerinci).
[30] Miral Manan; “teori bahwa lahirnya matrilineal itu adalah akibat perang besar yang berlangsung pada zaman Iskandar Zulkarnaen. Dalam perang besar, kelahiran anak yang sah adalah dari ibunya. Hal ini berarti bahwa orang-orang yang bersaudara sekandung belum tentu seayah. Dan sesuai dengan kodrat alam yang menjadi falsafaf Minangkabau, hubungan yang paling akrab dari semua insan di dunia adalah antara ibu dan anak,” dalam sebuah catatan kaki, AA. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru; adat dan kebudayaan Minangkabau, Grafiti Pers,1984; hal; 47. Pengertian tersebut, sama dengan hasil musyawarah Adat Alam Kerinci, 1992. Dan dapat pula dilihat penjelasan R. Yando Zakaria, khususnya tentang Mekanisme Pemantauan dan Sanksi Berjenjang, Mekanisme Pembaruan Aturan Main, dan Mekanisme Chek and balances dalam sistem pemerintahan di Koto Depati Propinsi Jambi, Merebut Negara, 2004, hal; 179-182.
[31] Dengan syarat harus mengetahui seluk-beluk adat-istiadat setempat dan memiliki kalbu/perut dan luhak yang jelas bagi warga yang asal aslinya bukan dari Pondok Tinggi.
[32] Tidak boleh diperjual belikan, atau apabila tidak digarap oleh seseorang/keluarga/kelompok keluarga yang ditunjuk oleh Pemangku Adat setempat, maka dapat segera dipindahkan hak kelolanya kepada keluarga/kelompok keluarga yang dinggap siap untuk mengolahnya, agar tidak terjadi “kekosongan”.
[33] Misalnya keuntungan ekonomis yang diperoleh oleh Keluarga H. Mudar Wahab (Menggung/Tokoh Adat Dusun/Desa Keluru) beserta keluarganya, dari usaha awalnya berladang, maka dapat mengembangkan usahanya dengan memiliki mesin perontok/penggiling padi, dan usaha penyaluran berbagai jenis buah ke daerah luar Kerinci, seperti Padang Sumatra Barat, Riau, dan Jambi sendiri, peneliti, Juli 2005.