INTISARI
by: Dianda Putra
Penelitian ini bertujuan untuk menggali (eksplorasi) model
pemerintahan adat (self governing
community) yang ada di Kerinci, yaitu pemerintahan “Sko Nan Tigo Takah” yang telah ada sejak ratusan tahun yang lampau, yaitu
zaman Nenek Moyang Orang Kerinci mengenal bentuk atau cara pengaturan,
pengelolaan hidup bersama dalam suatu lingkungan sosial (komunitas). Kemudian
dengan menggali model pemerintahan adat tersebut, maka akan diketahui
keberadaan (eksistensi) yang sebenarnya,
dari sejak awal sampai dengan sekarang melalui fungsi/peranannya di
tengah-tengah kehidupan masyarakat Kerinci.
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif,
eksploratif, dan komparatif, yang mana fokusnya pada; 3 (tiga) point pokok yang
menjadi kajian, yaitu; institusi, adat (nilai,
norma), dan mekanisme (kepemimpinan dan forum bersama). Ketiga hal tersebut
memiliki ciri-ciri, dan sifat yang khas dan khusus, sesuai dengan situasi dan
kondisi lingkungan (konteks), dari masing-masing pemerintahan adat yang ada di
Kerinci. Secara Umumnya pemerintahan adat
yang ada di Kerinci dari awal sampai sekarang tetap di dalam koridor bentuk
(model) yang berpola “Sko Nan Tigo Takah”, yang berarti pemerintahan yang
memiliki “tiga tingkatan/hirarkis”. Model pemerintahan adat yang demikian, dimaksudkan untuk
mencapai suatu keteraturan, ketertiban, dan kemandirian dalam suatu masyarakat
(komunitas), di mana terdapat elemen-elemennya yang merupakan masyarakat
berkepentingan, dan selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan dalam
kehidupannya.
Dari penelitian ini, maka diperoleh hasil bahwa; masyarakat Kerinci,
sampai sekarang ini terbukti masih tetap mengakui dan menyelenggarakan sistem
pemerintahan adat yang bersifat kolegial,
walaupun secara legal/formalnya (Negara), tidak terdapat pengaturan,
pengelolaan yang khusus pula oleh pemerintahan daerah sebagai “penanggung
jawab” pemerintahan di tingkat lokal. Hal tersebut di atas, dikarenakan model
pemerintahan “Sko Nan Tigo Takah” memiliki cultural
focus;“Adat bersendi Syarak, Syarak
bersendi Kitabullah”, kemudian ditambah dengan adanya social basic; pola hubungan garis keturunan ibu (matrilineal) yang kuat.
Kata Kunci; “Pemerintahan Adat, Pemberdayaan, Kemandirian”.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan
catatan sejarah, dapat diketahui bahwa di Daerah Kabupaten Kerinci pernah ada beberapa
pemerintahan masa lalu yang berdaulat dan memayungi masyarakat dan negeri ini.
Beberapa pemerintahan asli masyarakat adat Kerinci tersebut dikenal dunia luar
dengan sebutan “Kerajaan Koying”.[1]
Pemerintahan Negeri Koying merupakan
pemerintahan negeri yang tertua di Kerinci. Keberadaan pemerintahan ini diduga
telah ada sekitar abad ke-3 Masehi. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa; “jauh sebelum kedatangan Belanda ke Bumi
Nusantara atau ribuan tahun sebelum Indonesia merdeka, Nenek Moyang
Orang Kerinci telah memiliki pemerintahan sendiri” (self governing community).[2]
Dalam tambo (sejarah) Kerinci, mulanya istilah
“Dusun” dikenal pada masa Pemerintahan Segindo.
Kemudian dilanjutkan oleh Pemerintahan
Daulah Depati Empat IV Delapan Helai Kain.[3]
Pemerintahan Depati Empat ini, merupakan restrukturisasi pemerintahan Segindo,
yang dipengaruhi oleh adanya kedatangan sebagian Pasukan Ekspedisi Pamalayu ke Kerinci pada tahun 1292.[4]
Di samping Depati, terdapat gelar Sko Arya atau Rio. Rio adalah rio-rio, disebut “Permenti” (para Menteri), kemudian ada yang bernama “Tengganai/Anak Jantan”(pemimpin
masing-masing kalbu/klan). Kelembagaan tersebut dinamakan dengan; “Sko Nan
Tigo Takah.”[5]
Kemudian Pemerintahan Alam Kerinci mempunyai hubungan
dengan kerajaan Melayu Jambi, Inderapura, dan Pagaruyung, yang letaknya secara
geografis adalah berdekatan, atau mengitari daerah Alam Kerinci itu sendiri.
Maka dalam hubungan ini dipertajam
dengan adanya satu bentuk persumpahan (perjanjian) di Bukit Peninjau Laut
dengan memotong Kerbau setengah dua[6]
sebagai simbol bahwa masing-masing kerajaan yang terlibat di dalam persumpahan
ini adalah berdiri sendiri, dan tidak akan saling menyerang/menjajah, serta
memiliki hak untuk tidak dipengaruhi/diatur antara satu kerajaan dengan
kerajaan lainnya.[7]
Hal tersebut di atas menjelaskan tentang bagaimana
salah satu bentuk pengaturan relasi/interaksi yang dibangun pemerintahan Depati
Empat dengan kerajaan-kerajaan/pemerintahan yang ada disekitar lingkungannya
(supra pemerintahan Depati Empat), agar tidak terjadi suatu masalah/konflik
ataupun pengaruh-pengaruh yang bersifat negatif dan tidak diterima oleh
masyarakat Kerinci itu sendiri.
Dalam perkembangan kehidupan masyarakat Kerinci
beserta dengan pengaturan kepentingan hidup bersama, maka sejak zaman
penjajahan Belanda, Jepang, pasca kemerdekaan, dan sampai saat sekarang ini,
yaitu orde reformasi, maka telah terjadi dinamika pemerintahan yang menunjukkan
pergeseran dari pemerintahan yang sentralistis menuju desentralistis-demokratis. Hal ini
selalu dianggap faktor penting yang mempengaruhi gerak pemberdayaan masyarakat
lokal. Terbitnya regulasi UU No. 32/2004 pada tataran nasional, menandai kebijakan
Otonomi Daerah, di dalamnya mengatur Otonomi Desa.
Oleh sebab itu dalam tataran lokal dan konteks Kabupaten Kerinci
“masa kini,” peneliti akan membahas “bagaimana
peranan dan fungsi pemerintahan Sko Nan Tigo Takah (pemerintahan adat/asli) di
Kerinci sejak dulu sampai sekarang?” Hal ini bermanfaat optimal di era demokrasi
dan otonomi daerah ini (relevansi masa kini), sesuai dengan pernyataan berikut
ini;
“Pengakuan
terhadap masyarakat adat tersebut dapat diartikan sebagai pengakuan atas
keberadaan kesatuan-kesatuan politik tradisi yang bersumber dari sistem budaya
berbagai kelompok masyarakat yang mencakup dalam teritorial Negara Republik
Indonesia, tidak hanya sebatas pada aspek dan wujud kelembagaan saja, tetapi
juga aspek struktur organisasi, mekanisme kerja, peraturan-peraturannya, serta
berbagai hak dan kewajiban yang terkandung di dalam sistem kelembagaan
tersebut, karena memiliki sifat khusus disebabkan oleh faktor geografis
(keadaan tanah, iklim, flora, fauna), adat-istiadat, ekonomi, dialek atau
bahasa, tingkat pendidikan atau pengajaran, dan sebagainya. Di masing-masing
wilayah tersebut dapat efektif dalam pemerintahan dan pembangunannya bila
sesuai dan cocok dengan keadaan dan kondisi riil masyarakat di daerah tersebut.”[8]
1.2 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan penjelasdan di atas, dapat peneliti rumuskan
masalah, dalam penelitian ini sebagai berikut;
“Bagaimana eksistensi
(keberadaan) pemerintahan Sko Nan Tigo Takah (pemerintahan adat) di Kabupaten
Kerinci?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1.
Untuk menggali (eksplorasi)
model pemerintahan adat yang ada, beserta nilai-nilai, norma , dan mekanisme
yang bersifat positif, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pemerintahan
desa khususnya, dan pemerintahan daerah umumnya di Kabupaten Kerinci.
2.
Untuk menganalisa tentang
keberadaan (eksistensi) melalui fungsi-fungsi/peranan pemerintahan yang berakar
dari adat-istiadat masyarakat Kerinci,
sehingga proses pemerintahan daerah, khususnya pemerintahan desa dapat
mencapai hasil yang optimal.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.
Menjadi referensi dan bahan
komparasi bagi pihak peneliti ilmu-ilmu sosial, khususnya bagi peneliti yang
menaruh minat terhadap studi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, maupun praktisi
sosial (politik).
2.
Menjadi sumbangan pemikiran
yang bersifat empirik bagi Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah
Kabupaten Kerinci, dalam menentukan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan sekarang dan selanjutnya ke depan.
1.4 Kerangka Teori
1.4.1 Peranan/Fungsi Pemerintahanan Adat
Keberadaan (eksistensi) pemerintahan adat dapat dilihat dari
fungsinya dalam mengatur/mengurus, dan mengelola kehidupan bersama yang
ditandai dengan beberapa kepentingan tertentu (adat) masyarakat yang berkembang
secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan zaman. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan yang disampaikan oleh Heru
Nugroho[9]
bahwa;
“eksistensi lembaga lokal secara ideal
adalah dari segi berfungsinya untuk menjembatani berbagai kepentingan yang ada
di masyarakat, yakni menjadi jembatan antara warga dengan warga, antara warga
dengan kelompok, dan antara masyarakat dengan pemerintah”
1.4.1.1
Institusi (lembaga)
Menurut Koentjaraningrat[10], definisi lembaga dengan istilah “Institution” (Pranata) itu sendiri
adalah;
“Suatu sistem aktivitas khas dari kelakuan berpola
beserta komponen-komponennya, ialah; sistem norma, tata kelakuannya, dan
peralatannya, ditambah dengan manusia atau personel yang melaksanakan kelakuan
berpola.”
Sedangkan definisi lembaga sebagai “Institute” adalah;
“suatu badan atau organisasi yang berfungsi dalam lapangan kehidupan
masyarakat yang khas, biasanya lapangan penelitian, pendidikan, pembinaan, atau
pengembangan.”
lembaga (pranata) itu ada pada setiap masyarakat, dan bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang pada dasarnya mempunyai
beberapa fungsi, yaitu;
1.
Memberikan pedoman pada
masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam
menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut
kebutuhan-kebutuhan;
2.
menjaga keutuhan masyarakat,
termasuk di dalamnya menjaga persatuan dan kesatuan atau menghindari terjadinya
konflik baik yang bersifat terbuka maupun yang tertutup (laten);
3. memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control),
artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya;
4.
sebagai stabilisator, yaitu
memberikan pola tertentu dalam upaya mengadakan perubahan secara teratur
serta mengadakan adaptasi secara terus
menerus.
1.4.1.2
Adat
Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi
mengatur tata kelakuan, dan bersifat “abstrak.” Adat yang diadatkan berproses
dari kebiasaan, kemudian menjadi adat kebiasaan, berproses lagi ke tingkat yang
lebih mantap disebut adat-istiadat, dan pada akhirnya menjadi “lembaga adat.” Perbedaan pada setiap
tingkat ini, ditandai dengan “pemberian
sanksi bagi pelanggarnya.” Pelanggaran kebiasaan sanksinya masih ringan,
sedangkan pelanggaran adat kebiasaan sudah mulai ringan-berat, dan selanjutnya
pelanggar adat-istiadat sudah berat.[11]
Adat berfungsi hukum untuk mengawasi dan menjaga tata tertib dan
kemaslahatan masyarakat (pengawasan sosial/social
control), agar warga tetap aman dan sejahtera mengayomi kehidupannya,
mengingat bahwa manusia sebagai mahkluk sosial. Adat ini berbeda setiap suku
bangsa atau kelompok sosial, mereka mengembangkan adat-istiadatnya sendiri
sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi kehidupan mereka
masing-masing.
1.4.1.3 Mekanisme
Mekanisme adalah; “cara/teknik yang digunakan oleh elemen-elemen yang ada pada suatu
pemerintahan adat dalam mengelola, mengurus, mengatur, dan menjalankan
peran/fungsinya untuk kepentingan seluruh anggota/warga masyarakat yang hidup
bersama di suatu wilayah adat (mengurus,mengatur dirinya
sendiri/mandiri/otonomi) sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku.”
Atau dengan kata lain adalah; “suatu
sistem pengaturan, pengurusan, atau pengelolaan hidup bersama dalam satu
kesatuan masyarakat hukum yang berdasarkan asal-usul (histori), atau berakar
pada adat-istiadat yang berlaku secara turun-temurun sesuai dengan perkembangan
zaman.” Maka untuk yang menjadi elemen penting mekanisme itu sendiri
adalah;
A. Kepemimpinan
Kepemimpinan tumbuh dan berkembang
sebagai hasil dari proses interaksi yang berlangsung dengan sendirinya.
Kepemimpinan dapat terjadi bila dikehendaki dan dipandang perlu oleh para
anggota kelompok. Dalam pencapaian kebutuhan/kepentingan bersama bagi kelompok
atau komunitas, maka kepemimpinan dan seluruh anggota memiliki fungsi atau
peranan masing-masing yang dilaksanakan dengan cara-cara tertentu dan dalam
aturan-aturan/norma, nilai-nilai, atau hukum yang berlaku.
Oleh sebab itu dapat dirumuskan lima fungsi kepemimpinan
yang baik dalam suatu organisasi maupun dalam suatu komunitas masyarakat,
yang menjadi pedoman dalam fokus kepemimpinan, yaitu;[12]
1.
Selaku
penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan;
2.
Wakil dan
Juru Bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak di luar organisasi
(eksternal/supra);
3.
selaku Komunikator
yang efektif;
4.
Mediator yang
handal khususnya dalam hubungan ke dalam (internal), terutama dalam menangani
situasi konflik;
5.
selaku Integrator
yang efektif, rasional, obyektif dan netral.
B. Forum Adat
Sehubungan, mekanisme pelembagaan partisipasi yang berkembang dalam
masyarakat, untuk mencapai kepentingan, kebutuhan, atau tujuan bersama, serta
penyelesaiaan berbagai perkara yang terjadi. Maka dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan adat di Kabupaten Kerinci (fungsi internal/konsolidasi), dikenal
beberapa musyawarah atau forum adat
yang dilaksanakan secara bertingkat, hal tersebut tidak lepas dari sistem
pertalian kekerabatan yang dianut oleh masyarakatKerinci itu sendiri, yaitu
menurut garis keturunan keibuan (matrilineal).[13]
Forum dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut;[14]
a) Duduk Tengganai atau Anak Jantan
“Adalah
Forum untuk membahas permasalahan-permasalahan yang menyangkut kepentingan,
kebutuhan, dan perkara di lingkup keluarga, kalbu, dan perut, seperti antara
adik dan kakak, paman dan keponakan, anak dan orang tua, dan lain sebagainya di
bawah bimbingan atau pimpinan tengganai yang mengepalai kalbu yang bersangkutan,
tanpa melibatkan pihak-pihak lain selain kalbu tersebut.”
b) Duduk Ninik Mamak
“Adalah
Forum untuk membahas permasalahan-permasalahan atau kepentingan, kebutuhan dan
perkara yang mengaitkan keterlibatan dari beberapa kalbu di bawah bimbingan
atau dipimpin oleh beberapa orang yang menduduki jabatan sebagai Ninik Mamak.
Tugas Ninik Mamak dalam konteks ini adalah sebagai Koordinator terhadap Anak
Jantan dan Anak Betino.[15]
Dalam forum Ninik Mamak ini terdapatlah di dalamnya elemen-elemen Ninik Mamak
itu sendiri seperti Anak Jantan, Alim Ulama, Cerdik cendekia, serta Hulu Balang
(pemuda).”
c) Duduk Depati
“Adalah
Forum yang tertinggi tingkatannya dalam hirarki adat di Kerinci ini merupakan kebijakan
yang diambil bersifat final, dan ini merupakan forum pembahasan permasalahan-permasalah
atau kepentingan-kepentingan yang tidak terselesaikan di tingkat Duduk
Tengganai/Anak Jantan dan Duduk Ninik Mamak. Forum ini diikuti seluruh unsur
masyarakat,[16]
Anak Jantan, Anak Betino, Pemangku Adat, Alim Ulama, Cerdik cendikia, Hulu
Balang (Pemuda), di bawah kepemimpinan para Depati-depati (kolegial). Melalui
forum ini pula semua kepentingan bersama diagregasikan dalam suatu bentuk
keputusan bersama pula diantara Depati.”
1.5 Definisi Konseptual dan Operasional
Sebagai
definisi konseptual dan operasional penelitian tentang Dinamika Pemerintahan
Adat di Kabupaten Kerinci, yang ditinjau dari keberadaan (eksistensi) pemerintahan
Sko Nan Tigo Takah, baik dari aspek institusi, adat, maupun mekanisme,
digambarkan sebagai sebuah pemerintahan yang berasal dari (partisipasi) masyarakat,
dikelola oleh (akuntabilitas dan transparansi) masyarakat, serta dimanfaatkan
sebaik-baiknya untuk (responsifitas) masyarakat, dalam rangka mencapai tujuan
bersama (common good), sehingga
pemerintahan adat menjadi lebih kokoh (legitimate).
Kemudian hal tersebut berimplikasi kepada menguatnya posisi tawar (bargaining position) pemerintahan adat,
dalam hal ini berinteraksi dengan pemerintahan daerah (supra pemerintahan
adat).
1.6 Metode
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Selanjutnya studi
komparatif, yang bertolak dari fakta sosial
yang ingin diketahui dan digali (eksplorasi),
memperbandingkan serta mengkaji interaksi antara dua variabel penelitian
melalui data hasil penelitian yang direduksi, organisasi, dan membuat suatu
interpretasi sebagai bahan analisis terhadap keadaan lokasi penelitian, diolah
dan dianalisa sehingga kesimpulan akhir dapat tercapai.
Dalam hal teknik pengumpulan data, dilakukan dengan
observasi langsung ke lapangan, dan melakukan teknik wawancara (interview)
tidak terstruktur terhadap responden, sedangkan penentuan Informan adalah
dengan Teknik Snowball.
Sementara dalam proses tersebut dilakukan observasi terhadap objek yang sedang
diteliti. Observasi adalah sebagai metode ilmiah yang diartikan sebagai
pengamatan dan pencatatan secara sistematis fenomena yang diselidiki.[17]
Kemudian digunakan juga teknik dokumentasi (foto), dan teknik pengumpulan,
pengolahan data sekunder dari literatur maupun bahan laporan tertulis lainnya
BAB II
DESKRIPSI KABUPATEN KERINCI
2.1 Kondisi Geografis dan Demografis
2.1.1 Letak
Daerah
Kabupaten Kerinci terletak di antara 1° 41 sampai 2° 26
Lintang Selatan, 10° - 101° 90 Bujur Timur.[18]
Secara Geografis Kabupaten Kerinci mempunyai wilayah (batas-batas) sebagai
berikut :
1.
Sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Solok Selatan[19]
Sumatra Barat.
2.
Sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Bungo.
3.
Sebelah Selatan Berbatasan
dengan Kabupaten Merangin, Kabupaten Bengkulu Utara, dan Kabupaten Muko-muko
Propinsi Bengkulu.
4.
Sebelah Barat berbatasan dengan
Kabupaten Pesisir Selatan Sumatra Bara
Kabupaten Kerinci terletak pada
ketinggian antara 600 – 1500 meter dari permukaan laut,[20]
dan merupakan Kabupaten yang dilingkari oleh gunung dan bukit-bukit. Pada
dataran tinggi terdapat gunung yang tertinggi di Sumatra,
yaitu Gunung Kerinci dengan ketinggian 3805 meter dari permukaan laut.[21]
Keadaan Penduduk
Penduduk Kabupaten Kerinci sebagian besar mendiami dataran tinggi
yang membujur dari Utara ke Selatan, dan sebagian lagi mendiami dataran rendah.
Selain itu pula ada yang mendiami Ladang-ladang. Penduduk Kerinci dikenal
sebagai penduduk yang taat menjalankan agama, hal ini dikarenakan oleh antara
Adat dan Agama telah menyatu dalam kehidupan mereka sehari-hari, sebagaimana
yang dikatakan dalam pepatah adat “Adat
bersendi Syara’,Syara’ bersendi Kitabullah, Syara’ mengato, Adat memakai”.
Data persentase penduduk Kerinci sampai tahun 2002, berdasarkan
agama yang dianut oleh masyarakat Kerinci secara keseluruhan dapat dilihat pada
gambar berikut ini;
Sumber;
BPS Kab. Kerinci, Kerinci Dalam Angka, 2002.
Kemudian di samping itu pula,
penduduk yang mendiami Kabupaten Kerinci mayoritasnya adalah penduduk asli
Kerinci (Suku Kerinci), di samping itu ada juga Penduduk yang berasal dari luar
Kabupaten Kerinci, seperti suku : Minang Kabau, Jawa, Melayu, Batak, Palembang,
dan Sunda. Berikut dapat dilihat persentase penduduk dari total jumlah penduduk
Kerinci pada tahun 2002, berdasarkan suku-suku bangsa yang mendiami daerah
Kerinci dengan gambar di
Sumber; BPS Kab.
Kerinci, Kerinci Dalam Angka, 2002.
Jumlah Penduduk Kerinci
sampai tahun 2002 adalah : 297.454 jiwa. Selain dari Penduduk asli Kerinci dan
Suku-suku Pendatang seperti tersebut di atas, terdapat juga Penduduk yang
berketurunan Cina. Kepadatan 68jiwa/Km, dengan pertumbuhannya sampai tahun 2002
sebesar 0,82 %.[22]
Dari jumlah Penduduk tersebut, umumnya mereka bekerja sebagai Petani dan
Peladang, dan selain itu bagi Penduduk yang mendiami Kota, mereka hidup sebagai
Pegawai Negeri, Guru, Anggota TNI, Pedagang, Peternak, Buruh.
Pada dataran tinggi dan dataran rendah
bermukim penduduk Kerinci dengan mata pencaharian pokok bertani, dan berladang.
Hal tersebut terlihat kenyataan bahwa Penduduk Kerinci menggunakan lahan yang
ada di dataran rendah untuk persawahan sebanyak 4,38%,[23]
dan pada dataran tinggi dipergunakan untuk perkebunan, seperti cengkeh, kopi,
kayu manis (casiavera), kentang, kol,
umbi-umbian, dan tanaman palawija
lainnya. Di dataran tinggi dekat kaki Gunung Kerinci yang bernama Kayu Aro, juga terdapat perkebunan teh yang terluas di
Asia Tenggara, yang dikelola oleh PTP VIII Kayu Aro.
Sumber; Peneliti, Desa Batu Hampar, Kayu Aro,
Juli 2005.
BAB III
EKSISTENSI PEMERINTAHAN
ADAT DI KERINCI
(Peranan “Sko Nan Tigo Takah” dalam masyarakat adat Kerinci)
3.1
Peranan/Fungsi sebagai
“Intermediary” dalam hubungan
dengan Supra Pemerintahan Adat (Pemerintahan Desa/Daerah).
Dengan
terbukanya kran demokrasi bagi masyarakat, maka bermunculan “civil society” sebagai basis tegaknya
demokrasi, yang menjadi elemen sangat penting. LSM, Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Pressure Group), dan Yayasan-yayasan
sosial bermunculan sebagai civil society.
Namun di sisi lain pemerintahan adat sebagai lembaga tradisional yang merupakan
wadah atau basis penerapan nilai-nilai atau norma-norma masyarakat lokal, serta
mekanismenya, adalah institusi politik (political
institutions) yang tidak bisa diabaikan.[24]
Keterlibatan pemerintahan adat dalam proses pemerintahan desa/daerah menjadi
elemen penting dalam menentukan keberhasilan agenda kebijakan. Lembaga
tradisional ini sudah mengatur kehidupan masyarakat sebelum adanya lembaga
modern seperti saat ini, yakni; Partai Politik, LSM, Kelompok Kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Pressure Group), dan Yayasan-yayasan
sosial, yang sering memunculkan identitasnya sebagai kelompok-kelompok
informal.
Berkaitan dengan hal tersebut Toha
telah mendefinisikan kelompok-kelompok informal tersebut adalah;
“kelompok
yang tumbuh dari proses interaksi daya tarik dan kebutuhan-kebutuhan seseorang
dan anggota kelompok yang tidak diatur dan diangkat, melainkan ditentukan oleh
daya tarik bersama dari individu dan kelompok, sehingga kadang-kadang tidak
tercatat dalam catatan atau agenda para pejabat atau para sarjana.”[25]
Pemerintahan
adat merupakan sebuah sistem kelembagaan sosial, yang mana di dalamnya terdapat
kelompok lembaga informal sebagai sub-sub sistemnya, ini juga terbentuk atas
kepentingan spesifik tertentu, sehingga dalam ilmu politik modern dan dalam
konteks pembahasan ini, keberadaannya dikategorikan sebagai kelompok
kepentingan yang berfungsi intermediary.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa;
““intermediary” adalah;
merupakan gejala yang berkaitan dengan pengertian/definisi “masyarakat sipil (civil society)”, yang mana karakter
mendasar masyarakat sipil (civil society) secara konkrit adalah otonom (mandiri) dari
negara. Setidaknya civil society
menjadi jembatan (intermediary) antara warga dan negara. Dalam kata lain, civil society adalah merupakan arena
publik yang mampu mengelola aktivitas dan mengatur anggotanya secara mandiri.
Karakter ini mewujud pada organisasi-organisasi lokal (institusi/pranata) yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, baik yang berbasiskan agama, okupasi,
kegemaran, atau komunitas tertentu. Di samping itu, perwujudan self-governing community sedikit banyak
ditopang oleh masih cukup kuatnya modal sosial (social capital) seperti; norma, tradisi, jaringan sosial, dan
nilai lokal lainnya yang berkembang dalam masyarakat.”[26]
Sebagai
salah satu contoh kasus penjelasan tersebut di atas yakni; Penyelesaian konflik
tapal batas antara Kabupaten Kerinci dengan Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra
Barat (sekarang Kabupaten Solok Selatan) pada tahun 2000. Yang mana di daerah
tapal batas tersebut terdapat “Letter W”,
yaitu wilayah yang memiliki potensi air terjun, dan diklaim oleh Kabupaten Solok
dan Provinsi Sumatra Barat sebagai wilayahnya, dengan alasan bahwa; jalan
satu-satunya yang terdekat untuk akses dari daerah luar ke wilayah tersebut
adalah; berada di daerah Sumatra Barat. Secara singkat dikatakan bahwa;
terdapat kepentingan ekonomi dan politik dalam hal ini.
Sebagai
tindak lanjut untuk menyelesaikan konflik ini, maka dilakukan pertemuan antara Pemda Provinsi Jambi
(Gubernur Jambi; dijabat Zulkifli Nurdin), dengan Pemda Provinsi Sumatra Barat
(Gubernur Sumatra Barat; dijabat Zainal Bakar), dan dihadiri pula oleh Bupati
Kerinci dan Bupati Solok. Tercatat beberapa kali pertemuan antar Gubernur,
Bupati yang memimpin delegasinya masing-masing, tidak menemukan kesepakatan,
sampai akhirnya pertemuan penyelesaian konflik tersebut menghadirkan beberapa
“Pemangku Adat” yang berkompeten dari kedua belah pihak, yaitu Kerinci, dan
Solok Sumatra Barat.
Pada
pertemuan tersebut di atas, pihak “Pemangku Adat” dari Kerinci, salah satu
pesertanya adalah; Sutan Kari[27], yang juga pada saat itu menjabat
sebagai anggota DPRD Kabupaten Kerinci (1999-2004), telah menyiapkan data yaitu
berupa; Peta Kerinci yang dibuat oleh Belanda berdasarkan pembagian wilayah
pemerintahan sipil pada saat Kerinci masih berada dalam bagian Sumatra Barat
(1922). Peta tersebut dibuat oleh belanda pada tahun 1907, dan di dalamnya
menyatakan bahwa; wilayah “Letter W” yang “diperebutkan” antara Kerinci dan
Solok, adalah termasuk dalam daerah Kerinci sejak dahulu. Peta yang dimaksud
sekarang ini, masih tersimpan rapi di Museum Universitas Leiden Belanda.
Kemudian
dengan adanya bukti-bukti sejarah yang dikemukakan oleh para “Pemangku adat”
dari Kerinci, dan diteruskan dengan musyawarah mufakat dengan para “Pemangku
Adat” dari Sumatra Barat, maka hasil akhir perundingan damai adalah; Sumatra Barat (Kabupaten Solok)
mengakui daerah/wilayah “Letter W”
adalah; bagian dari daerah Kerinci, serta dicapai pula kesepakatan atau
perjanjian untuk tidak saling menggangu ketertiban bagi kedua belah pihak yang
saling berhubungan di masa-masa berikutnya. Selanjutnya bagi pihak yang memulai
atau yang memicu terjadinya ketidak tertiban kembali, maka masing-masing
Lembaga Kerapatan Adat (Lembaga Adat), diwajibkan mencari pihak-pihak atau
anggota masyarakatnya yang berbuat kesalahan, dan mengambil tindakan tegas
secara adat, kemudian selanjutnya diserahkan kepada “pihak berwenang” (Polisi),
dan diselesaikan pula sesuai dengan hukum legal/formal Negara.
3.2 Peran/Fungsi Internal
(Konsolidasi) yang mendukung Pelembagaan Partisipasi
Dalam
budaya Kerinci, kultur dan agama adalah merupakan landasan yang kuat dalam
menjalani kehidupan masyarakat adat yang berada dalam lingkungan dusun
(sekarang desa), sebagai wilayah adat mempunyai lembaga tersendiri yang
mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat,[28]
dan ini dapat menjadi nilai tawar yang tinggi posisi/kedudukan Sko Nan Tigo
Takah (pemerintahan adat) terhadap pemerintahan daerah. Pemerintahan Sko Nan
Tigo Takah sebagai pemerintahan yang bersifat informal, mempunyai pengaruh yang
cukup kuat dalam kehidupan masyarakat, karena kedudukan Sko Nan Tigo Takah
dalam masyarakat dibangun atas dasar kekerabatan yang berlandaskan
adat-istiadat (matrilineal),di
samping itu juga secara teritorial
(daerah). Kemudian pemerintahan adat juga memiliki kepemimpinan yang
berlandaskan social basic dan cultural focus[29] masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas, karena pemerintahan adat (Sko
Nan Tigo Takah) yang ada di Kerinci, juga mempunyai mekanisme pelembagaan
partisipasi tersendiri, yang berkembang dalam masyarakat, untuk mencapai
beberapa kepentingan, kebutuhan tertentu, atau tujuan bersama, serta
penyelesaiaan berbagai perkara yang terjadi. Maka dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan adat di Kabupaten Kerinci (fungsi internal/konsolidasi), dikenal
dan dilaksanakan secara konsisten beberapa musyawarah atau forum adat yang dilaksanakan secara bertingkat, hal tersebut tidak
lepas dari sistem pertalian kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Kerinci itu
sendiri, yaitu menurut garis keturunan keibuan
(matrilineal).[30]
Dari
penjelasan tentang mekanisme pelembagaan partisipasi masyarakat melalui saluran
Pemerintahan Sko Nan Tigo Takah tersebut, maka dapatlah peneliti sampaikan
bahwa; pemerintahan adat Sko Nan Tigo Takah adalah suatu bentuk (model)
pemerintahan yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan satu dengan lainnya
(pemerintahan kolegial), dan menjalankan fungsi/perannya berlandaskan kepada “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi
Kitabullah,” yang artinya; segala sesuatu yang menjadi adat yang mengatur
kehidupan masyarakat haruslah sesuai dengan tuntunan ajaran agama yaitu agama
Islam, dan ajaran agama Islam itu sendiri bersandar/berdasarkan pada Al Qur’an
(Kitabullah) dan Hadist Nabi.
Di
samping itu fungsi pemerintahan Sko Nan Tigo Takah dalam masyarakat adat
Kerinci, dapat pula dianalog-kan sebagai perantara (Wakil/Juru Bicara dan
Mediator), untuk memperjuangkan partisipasi masyarakatnya dalam
kebijakan-kebijakan yang akan diputuskan oleh Pemerintah.
Sebagai
buktinya adalah seperti hal yang berlaku di Kelurahan Pondok Tinggi Kecamatan
Sungai Penuh sampai saat sekarang, yakni masyarakat adat Pondok Tinggi melalui
Lembaga Kerapatan Adat Pondok Tinggi (presentasi Pemerintahan Sko Nan Tigo
Takah) menentukan bahwa; setiap penempatan seorang calon Kepala Kelurahan oleh
Pemerintah Daerah, yang akan bertugas di wilayah tersebut, haruslah terlebih
dahulu dikonsultasikan dengan Lembaga Kerapatan Adat Pondok Tinggi, dan yang
menjadi Kepala Kelurahan di wilayah tersebut, ditentukan bagi seseorang yang
telah menyandang gelar “Depati” dalam lingkungan wilayah adat Pondok Tinggi.
Hal yang demikian ini juga berlaku pada Kelurahan Sungai Penuh dan Kelurahan
Dusun Baru yang ada dalam area Kecamatan Sungai Penuh.
Namun
hal tersebut di atas tidak bersifat sangat “mengikat,” karena dengan adanya
ketentuan seperti itu, adalah dimaksudkan agar seorang yang menjadi Pejabat
khususnya Kepala Kelurahan, yang juga sebagai “Pemimpin Masyarakat,” adalah
sosok seorang yang betul-betul menguasai dan memahami adat-istiadat, dan
budaya, serta keadaan yang sebenarnya di dalam kehidupan masyarakat yang di
pimpinnya, sehingga dapat menjadi Kepala Kelurahan yang betul-betul sosok
“Pemimpin Masyarakat” yang legimate.
Jadi dengan demikian, secara otomatis diharapkan yang akan menjabat sebagai
Kepala Kelurahan di wilayah tersebut adalah “Putra Asli Daerah” secara “geneologis,” tapi juga dapat “teritorialis”.[31]
Kemudian
dalam kaitan dengan bidang lainnya, seperti lingkungan hidup, ekonomi, dan Sumber Daya Alam
misalnya; adalah keberhasilan
Pemerintahan Adat (Lembaga Kerapatan Adat Dusun/Desa Keluru) dalam
mengelola dan mengatur “Hutan Adat
Temedak”, yang mana hutan ini adalah merupakan hutan perkebunan,
perladangan, dan berfungsi juga untuk sebagai salah satu penyangga Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Keberhasilan yang dimaksud yaitu, adanya
penghargaan “Kalpataru” yang
diperoleh oleh Masyarakat Adat Keluru melalui Lembaga Kerapatan Adat Keluru,
langsung dari Presiden RI pada tahun 1992, dan berikutnya pada tahun 2001,
masyarakat adat Dusun/Desa Keluru melalui Ketua Lembaga Kerapatan Adat
Dusun/Desa Keluru menerima penghargaan “Satya
Lencana Pembangunan” dari Presiden
RI, sebagai kelanjutan dan pengembangan keberhasilan yang telah dilakukan oleh
masyarakat adat Keluru dalam mengelola hutan adat dan keseimbangan lingkungan
hidup sekitarnya, kemudian hal ini dikatakan memiliki implikasi terhadap bidang
ekonomi masyarakat, yakni dengan dikenalnya peraturan bagi warga masyarakat
dusun/desa Keluru yang akan berladang/berkebun di kawasan “Hutan Adat Temedak”
untuk tetap menjaga sebagai tanah ulayat,[32]
yang harus ditanami dengan tanaman yang produktif bagi keluarga, maupun beberapa kelompok
keluarga, seperti tanaman “Kulit Manis” (Cassiavera), Kopi, Cengkeh, Cabe,
berbagai jenis buah-buahan seperti, manggis, alpukat, pisang, nangka, durian,
papaya, dan lain sebagainya, yang mana hasilnya dapat disalurkan/dipasarkan ke
daerah-daerah luar Kabupaten Kerinci, sehingga dapat menguntungkan ekonomi masyarakat
yang cukup signifikan.[33]
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1.
Secara eksplisit bahwa;
Pemerintahab Sko Nan Tigo Takah di Kerinci, sampai sekarang masih berlangsung
dalam kehidupan masyarakat hukum adat Kerinci.
2.
Kedepatian belum menjadi
lembaga formal, tetapi Pemerintahan Sko Nan Tigo Takah sudah dilibatkan dalam
upaya penyelesaian berbagai masalah yang terjadi dalam masyarakat dan
penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Kerinci, baik sebagai “intermediary”,
maupun sebagai penengah dalam berbagai konflik yang terjadi.
3.
Kebijakan Otonomi yang luas dan
penyelenggaraan pemerintahan terendah berdasarkan adat dan tradisi lokal,
memberi ruang yang luas untuk menghidupkan kembali pemerintahan Sko Nan Tigo
Takah.
4.
Masalah yang dihadapi adalah;
di sebagian masyarakat Kerinci, terutama yang berada di dekat perkotaan,
pengenalan, dan praktek adat dan tradisi seperti Sko Nan Tigo Takah sudah
kurang dikenal. Oleh karena itu, upaya menghidupkan kembali Pemerintahan Sko
Nan Tigo Takah tidak bisa dilaksanakan dengan serta-merta.
4.2 Saran-saran
1.
Penelitian ini belum seluruhnya
menggali pemerintahan adat (lokal) yang ada di Kerinci secara keseluruhan,
yakni dari berbagai sudut pandang, seperti
hukum secara mendetil, sudut pandang ekonomi, sudut pandang psikologi,
bahkan teknologi tepat guna bagi masyarakat lokal (desa), dan lain sebagainya,
yang dapat mendukung upaya melakukan perbaikan-perbaikan terhadap semua aspek
kehidupan masyarakat lokal yang beraneka ragam adanya (pluralisme). Karena
menyangkut regulasi Negara yang berkaitan erat dengan fokus studi ini masih
sangat minim dan relatif belum lama diimplementasikan, yakni sejak
diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, satu tahun yang lalu. Maka oleh sebab itu, diharapkan
peneliti-peneliti yang akan datang dapat melanjutkan penelitian ini, demi
penyempurnaan dari berbagai disiplin keilmuan.
2.
Kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten Kerinci, agar dapat memberikan peluang “seluas-luasnya” bagi
partisipasi warga masyarakat sebagai “elemen” dalam pemerintahan adat (Sko Nan
Tigo Takah), yang ditandai dengan adanya payung hukum (regulasi) pelembagaan partisipasi masyarakat lokal (adat), dalam
ber-interaksi dengan pemerintahan
yang lebih tinggi tingkatannya, serta memperkuat berbagai proses sosio cultural (pemberdayaan), seperti melalui pendidikan politik kewargaan, agar memperoleh
pencerahan dan kesadaran yang baik akan hak sosial politik dan ekonominya
sebagai warga masyarakat. Kemudian perlu pula mengadakan “kodifikasi” hukum-hukum
adat, untuk menghindari kepunahan dan menipisnya hal tersebut
3.
Khusus kepada Pemangku-pemangku
Adat dalam pemerintahan adat (Sko Nan Tigo Takah) “Sakti Alam Kerinci”, agar
dapat secara konsisten meningkatkan aktifitas, tugas/fungsi, dan peranannya
dalam melakukan kegiatan-kegiatan adat seperti; pengkajian, penerapan, dan
pelestarian hukum adat, penataan kehidupan masyarakat yang ber-etika,
bersopan-santun, dan budaya tertib masyarakat dalam alam/lingkungan sekitarnya.
Kemudian pelestarian kegiatan-kegiatan dan benda-benda yang memiliki nilai
agama, sejarah, seni, filosofi, ekonomi yang tinggi, dan lain sebagainya, yang
mana semuanya itu adalah sebagai modal sosial (social capital) bagi suatu peradaban untuk tetap eksis dalam
menghadapi berbagai tantangan, benturan-benturan kepentingan, dan dinamika
politik, seiring dengan kemajuan-kemajuan umat manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
A. A. Navis, (1984), Alam Terkembang Jadi Guru; Adat dan Kebudayaan
Minangkabau, Grafiti Pers, Jakarta
Ari Dwipayana, AAGN, dkk, (2003), Membangun Good Governance di Desa,
edisi pertama, cetakan pertama, IRE Press, Yogyakarta
Koentjaraningrat, (2002), Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,
cetakan kedua puluh, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Nasution. S, (2003), Metode Research (Penelitian Ilmiah), cetakan
keenam, Bumi Aksara, Jakarta
Nugroho, Heru, (2000), Makalah; Eksistensi Lembaga Lokal dan
Permasalahannya di tengah Era Reformasi
Sartono. S, Kerajaan Melayu Kuno Pra Sriwijaya di Sumatra, Makalah
Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi 7-8 Desember 1992
Siagian, Sondang P, (1988), Teori dan Praktek
Kepemimpinan, PT. Bina Aksara, Jakarta
Soekanto, Soerjono, (1990), Sosiologi Suatu Pengantar, edisi
keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tim Perumus Hasil Musyawarah Adat Alam Kerinci, (1992), Mengenal
Hukum Adat Kerinci, buku foto copy-an, Kerinci
Zakaria, Iskandar, (1974), Tambo Sakti Alam Kerinci, buku stensilan,
Sungai Penuh
Zakaria, R. Yando, (2004), Merebut Negara, Beberapa Catatan
Reflektif Tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi
Desa, LAPERA Pustaka Utama Bekerja Sama dengan KARSA, Yogyakarta.
UUD 1945 dan
Amandemennya, Penerbit Sendang Ilmu, Solo
UU No. 5 Tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa, Arkola, Surabaya
UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, Arkola, Surabaya
UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah,cetakan pertama,
Penerbit Sinar Grafika, Jakarta
Media Masa;
§ Majalah Kerinci Membangun, Pemda Kerinci, Kerinci, edisi November
2002
§ Kompas 7 September
1996 dan Walhi No. 6/1997
[1] “Kerajaan Negeri Koying,
Pemerintahan Segindo, atau Negara Segindo Alam Kerinci, dan Pemerintahan Depati
Empat atau Negara Depati Empat Alam Kerinci.” S. Sartono, Kerajaan Melayu Kuno
Pra Sriwijaya di Sumatra, Makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi 7-8
Desember 1992.
[2] Sesuai pula dengan definisi ‘Masyarakat Adat’ oleh Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam R. Yando Zakaria, Merebut Negara,
Beberapa Catatan Reflektif Tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian dan
Pemulihan Otonomi Desa, LAPERA Pustaka Utama dan KARSA, Yogyakarta, 2004; hal;
53, bahwa; ”masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul
leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki
nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan wilayah sendiri.” Dan definisi
oleh Jose Martinez Cobo, dalam R. Yando Zakaria, op cit, hal; 53, menyatakan
bahwa; “Indigenous Peoples/IPs (di Indonesia diterjemahkan menjadi ‘Masyarakat
Adat’) sebagai suku bangsa yang memiliki kelanjutan hubungan sejarah antara
masa sebelum invasi dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah
mereka, menganggap diri mereka berbeda dengan kelompok masyarakat lain atau
bagian dari masyarakat yang lebih luas.
[3] Lazim dan selanjutnya disebut dengan “Depati Empat.”
[4] Dapat dilihat dalam tulisan Rencong Sko Pedandan Dusun Tanjung
Tanah (sekarang Desa Tanjung Tanah
Kecamatan Danau Kerinci), dan dalam Kitab Daluwrang bertuliskan Jawa Kuno.
[5] “Pegang berlain-lain, dan
ingatlah masing-masing” merupakan tanggung jawab tugas dari Sko Nan Tigo
Takah tersebut, Maksudnya adalah masing-masing pemegang gelar/jabatan di atas
menjalankan tugas dan fungsi (ico pake)
menurut wewenang mereka masing-masing, dan tidak boleh mencampuri wewenang yang
lainnya,” Iskandar Zakaria, Tambo Sakti Alam Kerinci, buku stensilan (tanpa
penerbit), Sungai Penuh, 1974.
[6] Kerbau betina yang sedang mengandung, dan perjanjian tersebut
disebut dengan; “Karang Setio Nan Semangkuk.”
[7] Hasil penelitian E.J. DE
Stuler dalam tesisnya Het Greng
Gebield van Nederlansch Oost Indie in Perband met Tracten Spanye, England en
Portugal (1861), dan di sempurnakan oleh Utrech, dalam bukunya Sejarah
Hukum Internasional di Bali dan Lombok, dikatakan ; “Daerah Kerinci merupakan daerah yang berdiri sendiri seperti Aceh di
Pulau Sumatera sebelum kedatangan Belanda tahun 1903.”
[8] Arimbi HP, dalam Walhi no;
6/1997.
[9] Heru Nugroho, (2000), Makalah; Eksistensi Lembaga Lokal dan
Permasalahannya di tengah Era Reformasi.
[10] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, PT.
Gramedia Pustaka Utama, cetakan keduapuluh, Januari, 2002, hal; 14-15.
[11] Sesuai dengan pendapat L.
Pospisil, dalam Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal; 22-24.
[12] Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan,
PT. Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal; 47-48.
[13] Dalam keberadaan sistem keibuan (matrilineal) terlihat beberapa
bentuk, sifat dan sistem organisasi kekerabatan. Dari segi bentuk dan sifat
masyarakat matrilineal Kerinci adalah bersifat alamiah, karena memandang
sifat-sifat yang ada di alam yakni, setiap makluk hidup yang lahir, maka
hubungannya sangat dekat antara anak dan ibu. Hal ini sudah ada sejak
keberadaan masyarakat kerinci di muka bumi ini. Kemudian ini juga tidak jauh berbeda
dengan apa yang berlaku pada masyarakat Minangkabau seperti yang telah
dijelaskan oleh Miral Manan; “teori
bahwa lahirnya matrilineal itu adalah akibat perang besar yang berlangsung pada
zaman Iskandar Zulkarnaen. Dalam perang besar, kelahiran anak yang sah adalah
dari ibunya. Hal ini berarti bahwa orang-orang yang bersaudara sekandung belum
tentu seayah. Dan sesuai dengan kodrat alam yang menjadi falsafaf Minangkabau,
hubungan yang paling akrab dari semua insan di dunia adalah antara ibu dan anak,”
dalam sebuah catatan kaki, AA. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru; adat dan
kebudayaan Minangkabau, Grafiti Pers,1984; hal; 47.
[14] Pengertian menurut hasil musyawarah Adat Alam Kerinci, 1992. Dan
dapat pula dilihat penjelasan R. Yando Zakaria, khususnya tentang Mekanisme
Pemantauan dan Sanksi Berjenjang, Mekanisme Pembaruan Aturan Main, dan
Mekanisme Chek and balances dalam sistem pemerintahan di Koto Depati Propinsi
Jambi, Merebut Negara, 2004, hal; 179-182.
[15] Istilah adat Kerinci untuk menyatakan seluruh anggota kalbu
yang dipimpin oleh Pemangku Adat,
(Istilah Adat Kerinci).
[16] Bersifat terbuka untuk umum.
[17] S. Nasution, Metode Research; (Penelitian Ilmiah), cetakan keenam,
Bumi Aksara, Jakarta,
april 2003, hal; 106.
[18] Bappeda Kab. Kerinci. Kerinci Dalam Angka 2002.
[19] Daerah/Kabupaten Baru (hasil pemekaran dari Kabupaten Solok).
[20] Bappeda Kab. Kerinci. Kerinci Dalam Angka 2002.
[21] Ibid
[22] Ibid.
[23] Ibid
[24] “Norma lokal mengacu pada konsepsi-konsepsi masyarakat dalam
melihat berbagai hal, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah dan berbagai
kebutuhan hidupnya sendiri sebagaimana yang mereka lihat. Menurut pendapat
rakyat setempat, lingkungan atau kampung memiliki arti konkret. Harapan dan
kepentigan mereka juga konkret. Di pihak lain, norma pemerintah juga mengacu
pada hal yang sama, hanya saja sebagaimana yang dirumuskan sendiri oleh pihak
pemerintah itu,” R. Yando Zakaria, Merebut Negara, LAPERA Pustaka Utama dan
KARSA, Yogyakarta, 2004, hal; 16.
[25] Miftah Toha, Pembinaan Organisasi, Raja Garfindo Persada, Jakarta, 2000.
[26] AAGN Ari Dwipayana, dkk, Membangun Good Governance di Desa, edisi
pertama, cetakan pertama, IRE Press, Yogyakarta,
hal; 27.
[27] Salah seorang Pemangku Adat (Sesepuh Adat/Tokoh Masyarakat)
bergelar “Depati” dari Desa Kumun Hilir, Kecamatan Sungai Penuh.
[28] Menurut Ariyono Suyono, dalam sebuah catatan kaki Erwin Fahmi,
Ibid, hal; 218; “dalam konteks
kebudayaan Melayu, adat lazim diartikan sebagai; ‘kebiasaan yang bersifat magis
religius dari kehidupan suatu penduduk asli, yang meliputi antara lain mengenai
nilai-nilai budaya, norma-norma hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan
dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional.”
[29]Lihat penjelasan Soerjono Soekanto dalam Sosiologi, suatu pengantar,
PT. Raja Grafindo Persada, 1990, hal; 324-325); dan pepatah Kerinci mengatakan; “Lah Buloak ayae
di pamulaouh, buloak katao dek mupakat” (Pepatah adat Alam Kerinci).
[30] Miral Manan; “teori bahwa
lahirnya matrilineal itu adalah akibat perang besar yang berlangsung pada zaman
Iskandar Zulkarnaen. Dalam perang besar, kelahiran anak yang sah adalah dari
ibunya. Hal ini berarti bahwa orang-orang yang bersaudara sekandung belum tentu
seayah. Dan sesuai dengan kodrat alam yang menjadi falsafaf Minangkabau,
hubungan yang paling akrab dari semua insan di dunia adalah antara ibu dan anak,”
dalam sebuah catatan kaki, AA. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru; adat dan
kebudayaan Minangkabau, Grafiti Pers,1984; hal; 47. Pengertian tersebut, sama
dengan hasil musyawarah Adat Alam Kerinci, 1992. Dan dapat pula dilihat
penjelasan R. Yando Zakaria, khususnya tentang Mekanisme Pemantauan dan Sanksi
Berjenjang, Mekanisme Pembaruan Aturan Main, dan Mekanisme Chek and balances
dalam sistem pemerintahan di Koto Depati Propinsi Jambi, Merebut Negara, 2004,
hal; 179-182.
[31] Dengan syarat harus mengetahui seluk-beluk adat-istiadat setempat
dan memiliki kalbu/perut dan luhak yang jelas bagi warga yang asal aslinya
bukan dari Pondok Tinggi.
[32] Tidak boleh diperjual belikan, atau apabila tidak digarap oleh
seseorang/keluarga/kelompok keluarga yang ditunjuk oleh Pemangku Adat setempat,
maka dapat segera dipindahkan hak kelolanya kepada keluarga/kelompok keluarga
yang dinggap siap untuk mengolahnya, agar tidak terjadi “kekosongan”.
[33] Misalnya keuntungan ekonomis yang diperoleh oleh Keluarga H. Mudar
Wahab (Menggung/Tokoh Adat Dusun/Desa Keluru) beserta keluarganya, dari usaha
awalnya berladang, maka dapat mengembangkan usahanya dengan memiliki mesin
perontok/penggiling padi, dan usaha penyaluran berbagai jenis buah ke daerah
luar Kerinci, seperti Padang Sumatra Barat, Riau, dan Jambi sendiri, peneliti,
Juli 2005.