Sejarah Media, Teori Media dan Modernitas

Hanya ada dua alasan bagi para sosiolog, anthropolog atau bahkan sejarahwan untuk merangkai laporan bersama-sama di dalam sebuah urutan isomorphic dan urutan temporal mengenai apa yang mereka laporkan: baik karena urutannya itu sendiri dijelaskan, digambarkan atau dievaluasi, atau karena laporan itu menerangkan, menggambarkan atau mengevalusi sesuatu di dalam pergulirannya.
(Runciman 1983: 102)

Buku ini ditulis dari perspektif sejarawan. Semua pemikiran manusia dan tindakan-tindakannya adalah tidak dapat dihindarkan bersifat kesejarahan, dalam pengertian bahwa semua itu mengambil tempat dalam waktu dan sebagai sebuah proyek yang ditujukan ke arah masa depan di atas dasar pengalaman masa lalu. Tapi sebagaimana Habermas tekankan dalam bab pertama Philosophical Discourse of Modernity, yang berjudul ‘Kesadaran Modernitas tentang Waktu dan Kebutuhannya terhadap Penentraman-diri’ konsep modernitas dan problem-problem yang dimunculkan untuk teori-teori sosial adalah lahir dari pemahaman akut terhadap sebuah terobosan sejarah, yang keluar dari sebuah pengertian baru dan memuncak antara sejarah sebagai tradisi, dari tarikan yang mendominasi yang perlu dipecahkan, dan sejarah sebagai suatu perubahan dengan masa lalu, pemahaman tindakan yang mungkin diorientasikan ke masa depan. Ketika Kant ditanya apakah dia hidup dalam sebuah zaman yang tercerahkan, dia menjawab tidak… sebuah zaman pencerahan (an age of enlightenment); ketika Hegel menulis dalam Phenomenologi of Mind bahwa ‘sesungguhnya tidaklah sulit untuk melihat bahwa zaman kita adalah peralihan kepada suatu periode baru. Semangat telah dipecahkan sampai sekarang ini oleh dunia eksistensi dan imajinasi, dan adalah tentang penundukan semuanya ini di dalam masa lalu’; ketika Engels dan Marx menulis dalam Communist Manifesto (Manifesto Komunis) ‘semua yang mapan, hubungan-hubungan yang cepat membeku dengan kereta kunonya dan prasangka yang patut dimuliakan dan pendapat-pendapat, adalah telah terhapus …. Apa yang padat menguap ke udara, apa yang suci telah menjadi profan (duniawi), dan manusia pada akhirnya terpaksa menghadapi kondisi nyata kehidupannya dengan pemahaman yang sederhana dengan kebaikannya; ketika Weber mengemukakan ‘problem sejarah universal’ sebagai pertanyaan mengapa, di luar Eropa, ’para ilmuwan, para seniman, pembangunan ekonomi dan politik… tidak memasuki jalan rasionalisasi yang khas negara-negara Barat’, pertanyaan tentang watak modernitas dan tentang bagaimana hal itu datang adalah merupakan sebuah pertanyaan sejarah dan hubungan kita dengan masa lalu.

Konsep modernitas, dan Pencerahan serta tradisi pemikiran kontra-Pencerahan yang dikembangkan sebagai sebuah respon terhadap problem yang diciptakannya, menumbuhkan kepedulian terhadap pengembangan kesejarahan yang mempercepat perubahan sosial di latar depan dan di luar penggalian yang terkait dengan tradisi, khususnya agama, yang telah menyediakan suatu penjelasan makna sejarah dan masa depan akhirat (yang tidak ada di dalam kehidupan dunia ini) dan norma-norma yang dengannya mengarahkan tindakan pada saat ini. Sehingga di satu sisi sebuah kepedulian terhadap perubahan yang dipercepat menyebabkan putusnya dengan pandangan melingkar dari sejarah sebagai takdir manusia, sementara di sisi lain, turunnya masa depan dari langit ke bumi menempatkan umat manusia tanggung jawab untuk memilih masa depannya sendiri. Namun berdasarkan apakah pilihan-pilihan tersebut harus dibuat? Di atas landasan normatif apakah kehidupan modern diorganisasikan ? Pertanyaan ini yang di dalam salah satu esensi hubungan akal dan etika dengan tradisi, menjadi sentral dan telah membayangi kita sejak dulu. Di satu sisi Anda telah mempunyai pemikiran mutakhir yang mengakui telah putus dari masa lalu dan membebaskan diri dari tradisi atas dasar penalaran akal, sejak sebagian dari pembebasan manusia dan otonomi telah dilihat untuk menjabarkan kritik reflektif terhadap tradisi. Di sisi yang lain Anda memiliki mereka yang melihat bahwa satu-satunya sumber pedoman bagi akal praktis adalah akumulasi kebijakan dari generasi masa lalu sebagaimana tertanam di dalam tradisi. Bagi Herder kebijakan ini tersimpan di dalam sifat alami bahasa sebagai pembawa pengalaman dan nilai-nilai dari sebuah bangsa (volk). Bagi Burke inilah tradisi yang di atas lahannya dia serang revolusi Prancis dan mengekspresikan ‘keseganannya yang tak dapat diatasi dalam memberikan tanganku untuk menghancurkan setiap lembaga pemerintahan yang mapan di atas sebuah teori’. Maka inilah yang paling banyak, jika tidak semuanya, perdebatan di dalam teori sosial sejak pembacaan Pencerahan terhadap sejarah dimobilisasikan, di mana post-modernisme dalam berbagai variasi bentuknya adalah yang paling mutakhir. Hal ini sesungguhnya adalah mengapa perdebatan tentang dan dalam sejarah begitu sangat penting dan tak dapat dihindarkan. Untuk kepentingan tujuan buku ini saya ingin membuktikan dengan kuat bahwa hanya sebagaimana Keynes buktikan bahwa kami mengabaikan teori ekonomi pada resiko kita karena tindakan-tindakan praktis manusia di zaman sekarang ini adalah diatur oleh idea dari para penulis yang sudah lama mati, sehingga saya harus membuktikan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang kita punyai tentang media dan pendekatan yang kita ambil untuk menjawabnya telah terhampar di belakang mereka, sering kali tidak dikenali dan begitu tidak direnungkan, sebagian dari penjelasan-penjelasan historis.
Ada wilayah yang di dalamnya ada reduplikasi dunia, pengandaian tentang sebuah lapisan bawah yang eksis secara mandiri, bagaimanapun juga bertanggung jawab terhadap fenomena permukaan, tidak absurd, congkak, melingkar-lingkar dan tidak terjamin – sebuah area di mana di dalamnya kita benar-benar diijinkan mengintip di balik kerudung Maia, dan melakukannya sebagai kebiasaan: di mana realitas lain dapat diakses dan benar-benar diketahui eksis. Area itu adalah area penampilan manusia. Dalam ruang lingkup manusia, pengalaman eksternal reduplikasi (peniruan), kontak dengan suatu realitas sekunder di balik penampakan, terjadi di dalam, pada setiap dasar, dua bentuk: melalui keanekaragaman pribadi orang dan melalui perjalanan waktu. Marilah kita ambil waktu sebagai sebuah contoh. Seorang empirisis yang ketat, atau reduplikasionis, sikap positivist ke masa lalu, sebagai contoh, adalah memperlakukannya sesederhana sama dengan bukti-bukti tentang ‘apa yang kita sebut masa lalu’ di masa kini, yang dengan sendirinya dapat dipilih untuk pengalaman. Tapi kita tidak benar-benar percaya bahwa masa lalu hanyalah sekedar tanda-tanda dari masa lalu di masa kini (A.J. Ayer berusaha pada suatu tahapan untuk meyakinkan dirinya sendiri tentang hal ini dan memaksakan pandangan ini dalam cetakan, tapi kini dia mengakui bahwa dia tidak dapat terus mempertahankan potongan heroik puritanisme positivis ini.) Masa lalu pernah sekali menjadi masa kini, sebagai masa kini, dan ini adalah nyata. Tindakan-tindakan tokoh-tokoh sejarah yang menjelaskan tanda-tanda tertentu di masa kini adalah bukan sekedar ringkasan dari tanda-tanda tersebut. Mereka itu ‘benar-benar’ ada (eksis), dan mereka menjelaskan tanda-tanda tersebut dalam cara filsafat realis ini. Keberadaan mereka tidaklah kadaluawarsa (aus) dengan peran mereka sebagaimana dasar pemikiran (premises) yang darinya data-data sekarang mengalir. Mereka punya suatu realitas yang benar di dalam dirinya, mementingkan instrumentalitas penjelasannya. Dan kami sama-sama percaya, apakah kita dapat membuktikannya atau tidak, dalam hubungannya dengan eksistensi independen diri kita sendiri. (Glellner 1985: 134)

Lalu buku ini mengadopsi sebuah pendekatan kesejarahan, dan begitu juga dalam menghadapi skeptisisme post-modernisme akhir-akhir ini berkenaan dengan kebenaran sejarah untuk beberapa alasan.

Pertama, karena bukti-bukti yang diambil dari sejarah, bahkan andaipun ini berasal dari masa lalu yang baru saja terjadi, hanyalah bukti-bukti yang kita punyai yang harus dihadapkan untuk menguji teori-teori sosiologis. Sesungguhnya semua kajian proses, baik di alam atau di dunia manusia, mestilah terkait dengan masa lalu dalam pengertian bahwa pada saat fenomena telah terukur, terekam dan teruraikan, prosesnya telah berakhir. Maka penyelidikan sia-sia untuk menangkap perenungan dari kesegaran pengalaman, adalah suatu kesia-siaan yang menjadikan hal-hal yang ada di dalam tradisi Romantik menolak perenungan dan penjelasan, sungguh pelarangan aktifitas perenungan intelek sebagai secara esensial dan tak dapat ditarik kembali terasing dan pengasingan. Untuk mengakui setiap susunan fenomena yang teramati atau tindakan-tindakan di dunia kemasyarakatan sebagai suatu eksistensi di balik yang murni berpola acak temporer memaksa kita untuk membuktikan bahwa mereka eksis melalui waktu. Contohnya, jika kita berharap mengakui bahwa di sana ada kecenderungan untuk konsentrasi terhadap kepemilikan media atau bahwa konsumsi budaya tersebut adalah terkait dengan keanggotaan kelas, kita tidak dapat menyandarkan pada pengukuran yang diambil dalam satu titik waktu – korelasi yang relevan mungkin adalah suatu kebetulan yang acak. Sungguh ini adalah rangkaian waktu dari pengamatan-pengamatan yang saling terhubung yang membedakan sebuah penjelasan dari kejadian yang kebetulan, dan penjelasan-penjelasan ‘sebab-akibat’ tergantung dari prioritas temporal dari penyebab.

Yang kedua, walaupun banyak orang mengatakan bahwa kita tidak dapat belajar apapun dari sejarah, baik karena masa lalu tidak menentukan masa depan, atau pun karena, sebagaimana klaim beberapa orang post-modernis bahwa setiap pertimbangan tentang masa lalu adalah fiksi (khayalan), namun sebagai umat manusia kita merencanakan tindakan-tindakan kita di atas dasar pengalaman masa lalu. Lalu kita berada dalam kenyataan bahwa mobilisasi pelajaran-pelajaran sejarah tidak dapat dielakkan setiap harinya dalam hidup kita, karena hanya inilah bahan-bahan yang kita punyai di tangan kita. Adalah benar bahwa kita bukanlah sekedar sebagai individu di dalam proyek-proyek pribadi kita. Adalah juga benar bahwa kita sebagai pembuat keputusan sosial, apakah dalam mengelola bisnis kita atau sekedar menjalankan sebuah negara. Sesungguhnya perkembangan sejarah sistem komunikasi sosial kita telah menjadi bagian perluasan dan mobilisasi yang efisien dari memori (ingatan) umat manusia. Memori ini, dan kemudian pelajaran sejarah, tidak hanya diketemukan di dalam buku-buku sejarah atau di dalam memori individual kita. Hal ini mengeras menjadi institusi-institusi dan praktek kebiasaan sosial dan rutinitas. Maka kita hanya dapat membebaskan diri kita sendiri, sejauh mungkin dari genggaman kebiasaan dengan cara memahami sejarah bagaimana, mengapa dan dengan akibat apa institusi-institusi dan rutinitas tersebut terbentuk. Kita mungkin berharap, memilih, bahkan kita mungkin dapat mengubah diri kita sendiri, struktur sosial dan identitas yang di dalamnya kita terpaksa hidup, tapi kita hanya dapat melakukannya berdasarkan struktur dan identitas yang kita warisi dari generasi lampau. Hal ini dalam pengertian bahwa kita menciptakan diri kita sendiri, namun tidak berada di dalam kondisi yang kita ciptakan sendiri. Kita berdiri di atas bahu mereka-mereka yang telah pergi meninggalkan kita sebelum zaman kita. Jika kita berharap untuk bersikap kritis terhadap struktur yang ada dan terhadap kinerja media, maka kita perlu mengetahui mengapa media tersebut sekarang berada di jalan atau di dalam cara yang mereka tempuh saat ini, variasi/ragam historis apa yang telah mereka lalui, jika ada, di antara periode historis dan di antara masyarakat atau kebudayaan, praktek-praktek kesejarahan apa yang terekam di dalam institusi komunikasi sosial yang kita warisi.

Sebagaimana yang telah ditulis oleh Craig Calhoun tentang teori sosial kritis, ‘Breaking with the immediate givenness and immediate facticity of the social world calls not only for historical knowledge as a precondition of theory but for a continual engagement with history and rethinking of historical assumption’ (Memutuskan hubungan dengan keadaan saat ini dan tiruan sekarang dari dunia sosial tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan kesejarahan sebagai sebuah prakondisi bagi teori tapi untuk keterikatan yang berlanjut dengan sejarah dan memikir ulang asumsi-asumsi sejarah’ (Calhoun 1995: p.xxii).
Yang ketiga, persisnya karena sejarah adalah satu-satunya bahan yang kita miliki yang dengannya menjelaskan kepada diri kita sendiri siapakah kita, di mana kita, dan ke mana kita akan pergi atau berharap pergi, bukti-bukti sejarah, apakah fiksi atau tidak, secara konstan digerakkan untuk menjelaskan dunia sosial kita dan untuk membenarkan proyek-proyek sosial dan politik serta kebijakan. Saya tentu saja setuju dengan kaum post-modernis bahwa sejarah dapat dikonstruksi dan dimobilisasi untuk melayani kekuasaan. Namun ini bukanlah satu-satunya manfaat atau penggunaan yang tidak dapat dihindarkan. Kita juga tidak dapat mengkritisi dan mengurangi bentuk-bentuk khusus praktek kekuasaan tersebut tanpa altenatif kesejarahan yang dapat kita perlihatkan untuk jadi lebih benar daripada apa yang mereka mobilisasi untuk tujuan ideologis. Ini yang sesungguhnya memberikan kepada para sejarawan tanggung jawabnya yang besar untuk kebenaran sejarah, bagaimanapun juga itu mungkin mengira-ngira. Maka di bidang komunikasi sosial ini pada khususnya benar di masa kini di mana teori-teori Masyarakat Informasi memobilisasi suatu tahapan teori perkembangan searah di mana teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan serangkaian kesalinghubungan perubahan-perubahan ekonomis, sosial, politis dan budaya di alam masyarakat manusia pada skala global. Teori ini sebagaimana telah saya sampaikan secara lebih detail di lain tempat (Garnham 1988), adalah salah satu dari, mungkin, ideologi dominan di zaman kita, membentuk dan membenarkan tindakan-tindakan dari para pemimpin bisnis dan politisi, dan melalui media, secara bertambah membentuk pemahaman common-sense tentang zaman kita. Paradigma alternatif utama membagi-bagikan banyak prasangka dan, walaupun kritiknya terhadap sejarah dan narasi sejarah besar, juga didasari, sebagaimana penekanannya pada apa yang tersirat ‘sesudahnya’, di atas sebuah teori sejarah – dari sesuatu yang disebut menggantikan modernisme – jika hanya di dalam pikiran – dengan sesuatu yang disebut post-modernisme. Sejak teori-teori tersebut membuat pengakuan kesejarahan, mereka hanya dapat diletakkan untuk pengujian sejarah.

Pada akhirnya teori-teori sejarah dan kajian komunikasi pada khususnya mempunyai sejarahnya sendiri. Kita hanya dapat mengklarifikasi alasan-alasan untuk mempelajari komunikasi, pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkannya dan metode yang tepat dalam usaha kita untuk menjawabnya, jika kita mendasarkan pencaharian kita di dalam disiplin sejarah intelektual dan disiplin yang spesifik yang membawa kita ke mana kita berada sekarang ini. Hal ini tidak hanya menyelamatkan kita dari menemukan kembali roda teoritis atau empiris. Teori-teori sosial adalah, sebagaimana Marx mengambilnya “klarifikasi-sendiri dari perjuangan dan pengharapan zaman’ (‘Self clarification on the struggles and wishes of the age.’). Pertanyaan-pertanyaan yang kita respon dan prioritasnya adalah tidak acak. Mereka ada dimiliki oleh zaman di mana kita hidup. Namun dalam kasus komunikasi dan proyek pembebasan Pencerahan, periode yang relevan tidak hanya sekedar masa kini. Mengarisbawahi buku ini, dikatakan, adalah sebuah keyakinan bahwa, bertentangan dengan post-modernisme dan banyak dari hype Masyarakat Informasi, kita hidup dengan problem-problem yang sama yang dimiliki oleh modernisme sebagaimana yang dihadapi oleh para pemikir abad Pencerahan. Bahwa proyek pembebasan yang mereka lahirkan adalah persis sebuah proyek. Pencerahan adalah bukan status yang given. Ini adalah pencapaian kesejarahan yang mungkin. Inilah apa yang Kant sebutkan ketika ia mengakui bahwa ia hidup tidak di dalam sebuah zaman yang tercerahkan (enlightened), tapi di dalam sebuah zaman pencerahan (Enlightenment). Untuk alasan inilah dia menggunakan metafora (perumpamaan) pertumbuhan manusia dari masa kana-kanaknya menuju kedewasaannya untuk menggambarkan pencarian dan pencapaian pencerahan. Pendek kata, argumentasi-argumentasi wacana filosofis tentang modernitas, bagaimana pun juga ‘tua’-nya, berbicara kepada kita karena mereka masih belum kehilangan relevansinya.

Sebelum melihat pada rentang sejarah yang relevan, kita pertama kali perlu memperjelas cara sebuah perselisihan yang lebih besar sebagaimana sifat-sifat penjelasan kesejarahan. Kita perlu melakukan hal itu karena kita membutuhkan untuk mengetahui jenis problem apa di mana sebuah pendekatan historis dapat dialamatkan dan bagaimana secara legitimate menggerakkan argumen histories di masa kini. Hal ini juga penting sebab perselisihan tersebut berlanjut memecah belah kajian (studi) mereka terhadap media, sebagai contoh perbedaan di antara pendekatan-pendekatan studi politik-ekonomi dan budaya kepada analisis media mengalihkan, paling tidak sebagian, kepada beragam pandangan sebagai sifat determinasi (kepastian) sejarah dan kekuatan pemaksa (penentu) yang relevan.

Biarkanlah saya keluar dari jalan di mana post-moderenisme menyerang sejarah. Di sini kita harus membedakan antara pengakuan yang dibuat tentang subjek sejarah – catatan sejarah – di satu sisi, dan pengakuan yang dibuat tentang penulisan sejarah di masa kini di sisi lain. Tradisi hermeneutic yang di atasnya post-modernisme terdorong membuat dua pengakuan yang relevan. Pertama, sejauh sebagai subjek sejarah adalah berkenaan dengan fokusnya pada tindakan agen sejarah yang cerdas, dan bukti-bukti bahwa tindakan-tindakan itu hanya dapat dimengerti dan ditafsirkan dalam batasan kebudayaan, cara hidup (way of life), atau tradisi yang tertanam di dalam diri mereka. Kemudian di atas asumsi-asumsi yang tak lama lagi kita berbagi, bahwa budaya masa lalu adalah sangat buram bagi kita dan pelajaran bagi masa kini tentu saja tidak dapat digambarkan. Sejauh karena fokusnya terhadap makna, ini mencurigakan, jika tidak benar-benar bermusuhan dengan penjelasan struktural. Sejauh hal ini mengetarkan kita kepada kesukaran dalam menafsirkan catatan sejarah, dan secara khusus sejauh ini memperingatkan terhadap anakronisme (menempatkan kejadian pada waktu yang salah), hal ini disambut baik. Ironisnya, post-modernisme hanya secara umum terlalu bebas dalam melewatkan penilaian anakronisme terhadap masa lalu. Namun alasannya mereka melakukan hal ini dan mempertahankan prakteknya adalah karena klaim keduanya terhadap tradisi hermeneutic, yaitu bahwa sejarah adalah sebuah teks, dan ini dalam dua pengertian. Pertama, bukti-bukti sejarah adalah sebuah teks yang harus dibaca dan berada di dalam model kebahasaan di mana dia bekerja, teks ini kemudian memiliki suatu hubungan yang sama sekali tidak pasti terhadap apa yang ditandai — masa lalu. Yang kedua, teks yang ditulis oleh para sejarawan adalah penafsiran yang ditentukan oleh teks sejarah dan pada saat yang sama sebuah teks yang ditentukan oleh kepentingan sosial-atau kepentingan politik dari para sejarahwan di masa kini – apa yang juga disebut posisi perpektifal. Maka sejarah sesungguhnya adalah sebuah fiksi yang dimobilisasi untuk tujuan-tujuan politik masa kini. Tentu saja mereka yang berada dalam posisi ini tidak membawanya melalui kesimpulan logisnya, karena sesungguhnya fiksi-fiksi tersebut tidak dapat dimobilisasikan untuk tujuan-tujuan politik masa kini, karena pengalihan pembacaannya tidak dapat ditentukan. Maka penulisan sejarah menjadi sebuah latihan yang tak bernilai sosial, sebuah bentuk mastrubasi intelektual. Aspek yang paling tidak dapat disetujui dari penulisan sejarah macam ini, dan sesungguhnya antropologi baru menyumbangkan hal yang sama, adalah kesombonganya dan pesta topeng (penyamaran) kebaikan-diri seolah sebagai perhatian kepada Orang lain yang terpinggirkan dan terdominasi. Sebagai telah ditulis oleh Gellner, teori-teori tersebut mempertunjukkan kebencian masochistic yang sangat khusus terhadap kebudayaanya sendiri. Semua kebudayaan adalah sama, tapi salah satu darinya (milik mereka) adalah sebuah kutukan buta yang sama dibanding yang lainnya.’ (Gellner 1985:2).

Sebuah argumen yang jauh lebih substansial, bagaimanapun juga, berkenaan dengan determinasi sejarah (kepastian/kekentuan sejarah), dan ini adalah dalam dua pengertian. Ketika memeriksa sebuah proses sejarah, pengakuan sebab jenis apa yang kita buat dan apakah hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa depan? Ini adalah sebuah tempat yang umum sekarang untuk melumuri modernitas dengan sikat kemajuan, yaitu untuk mengatakan dengan sebuah pemahaman diri sebagai sebuah proses yang tak dapat dihindarkan dari perbaikan/kemajuan sejarah. Pandangan kesejarahan tersebut sesungguhnya adalah masih lazim dan bertenaga secara ideologis. Ini dimobilisasi di dalam teori kalsik Whig yang hampir menggabungkan perkembangan media dengang perkembangan pasar bebas kapitalistik dan demokrasi sebagai jalinan cerita liberalisasi uman manusia. Kami mendapati pandangan ini tersimpan di dalam buku Fukuyama The End of Hiostory (1992). Hal ini juga tersimpan di dalam pandangan muthakhir deteminisme (keterpaksaan) oleh teknologi secara kuat dari sejaha komunikasi sebagai sebuah cerita kemenangan kebangkitan sains dan perlengkapannya untuk membuat sebuah dunia yang lebih baik bagi kita semua.

Contoh yang paling lazim dan paling kuat dari peribahasa kiasan ini, yang saya yakin anda semua mengenalinya dalam satu bentuk aatu bentuk lainnya, sebagai berikut: masyarakat manusia berrada di atas sebuah escalator naik yang disebut kemajuan yang ditenagai oleh perkembangan teknologi komunikasi. Percetakan telah memulai sebuah proses liberalisasi di mana bentuk-bentuk komunikasi elektronik yang baru akan melengkapinya sebagai hembusan Jalan Raya Informasi (Information Superhigway) ke arah surga yang dijanjikan dari sebuah Masyarakat Informasi. Mereka yang berdiri di jalan kemajuan ini telah gagal membaca sejarah secara tepat dan, apakah keluar dari nostalgia salah sangka atau kedengkian, adalah memperlambat laju kereta sejarah dan menunda moment ketika umat manusia akan tiba pada warisannya yang penuh kebaikan. Saya hanya merampingkan karikatur apa yang merupakan sebuah pandangan yang menyebar luas. Hal ini tentunya mudah untuk mengekspos kerancuian dari narasi besar ini. Post-Modernisme melakukannya setiap hari sebelum sarapan. Problemnya, bagaimana pun juga, adalah bahwa hanya terlalu seringnya mereka menggantikan narasi besar lainnya, sebagai lancar dan sesat, yaitu bahwa kita ada di atas eskalatot turun yang disebut rasionalisme Barat atau imperialisme – dua hal yang tidak dapat dengan jelas dibedakan – yang ditenagai oleh subjek otonom Kantian dan logosentrisme, dan yang telah membawa kepada penindasan terhadap perbedaan dalam sebuah dunia yang didominasi dan terdisiplinkan. Hal ini, tentunya, adalah narasi dari Dialektika Pencerahan yang dibungkus pakaian baru.

Di sini kita perlu berhati-hati membedakan antara bagimana kita memahami alam dan arah perubahan sejarah dari elavuasinya. Di sini saya mengambilnya sebagai bacaan bahwa kita dapat membuat pembedaan yang valid antara struktur dan agensi, dan bahwa tidak ada kontradiksi di antara kepercayaan kepada kecerdaran aktor manusia di satu sisi dan determinasi struktural di sisi lain.

Problem sejarah adalah menganalisa hubungan di antara dua, bagaimana agen-agen manusia membuat sejarahnya tapi tidak berada dalam kondisi yang dibuatnya sendiri, dan dengan hasil yang mereka tidak niatkan, tetapi kemudian menjadi kondisi bagi pembentukan masa depan. Banyak para pengkritisi teori determinasi sejarah – khususnya kritik terhadap materialisme sejarah—masih berbaring di atas model-model determinasi berdasarkan model mekanistik sebab-akibat. Namun model-model tersebut secara luas telah digantikan dengan model-model proses evolusioner dan diturunkan dari biologi dan teori evolusi Darwinian. Di sini ijinkanlah saya menekankan, pertama bahwa dalam memahami praktek sosial manusia kita harus mengambil penemuan ekstrimitas evolusi biologi secara serius. Sejak semua teori sosial harus didasarkan, secara ontologis, di atas beberapa teori sifat-sifat alami manusia dan kelunakannya, dan sementara mengetahui bahwa suatu karakteristik kunci spesies manusia, yang harus dipertimbangkan oleh teori-teori evolusi sosial adalah warisan ekstra-organik dari karakter kebudayaaan, pada saat yang sama kita harus mengetahui bahwa beberapa sifat manusia tertentu yang mempengaruhi perilaku sosial kita, sebagai contoh kemampuan berbahasa, telah menjadi hard wired di dalam diri kita, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli biologi evolusionis, melalui proses evolusi. Evolusi dalam pengetian ini adalah suatu proses sejarah namun terjadi dalam skala waktu yang sangat panjang.

Tapi, yang lebih penting lagi, dan kita dapat menemukan bukti-bukti ini secara panjang lebar di dalam buku A Treatise on Social Theory (karya Runciman, 1983-97) atau dalam buku karya Hodgson Economic And Evolution (1993), sebuah pendekatan evolusioner terhadap perkembangan sejarah yang diturunkan dari Teori Darwinian dua kesimpulan yang sangat penting untuk tujuan-tujuan kita. Pertama, bahwa walaupun pendorong proses perubahan adalah acak, variasi acak tersebut berada di bawah kondisi khusus tertentu yang menghasilkan penguatan diri pola-pola yang tidak acak yang bertahan tanpa perubahan radikal dari lingkungannya atau mereka menuju persaingan dengan perubahan-perubahan yang dibangkitkan secara acak. Para pendorong acak di dalam biologi adalah variasi genetika. Apa yang kita akan lihat sebagai pembawa variasi di dalam teori evolusi sosial, dan dalam hal apa itu dapat dikatakan telah diwariskan, inilah yang persisnya menjadi bahan perselisihan. Point kunci yang kedua tentang gambaran perkembangan sejarah ini adalah bahwa tidak ada deteministik dalam pengertian hal itu berjalan pada arah yang sudah ditentukan, juga tidak di dalam dterminisme dalam pengertian bahwa sebuah jalur lintasan sejarah ditentukan oleh kondisi asalnya. Di dalam bahasa teori evolusi, evolusi sejarah adalah phylogenetic bukan ontogenetic. Perkembangan adalah dibangkitkan dari perubahan-perubahan secara acak dan arah perkembangan, karena disifati dengan interaksi yang kompleks tidak dapat diperkirakan dari asalnya. Bahwa polanya hanya dapat terlihat dengan pandangan ke belakang. Hal ini, bagaimana pun juga, apa yang dikenal sebagai jalan-ketergantungan (path-dependent). Inilah sebuah konsep yang sekarang banyak digunakan di dalam analisis perkembangan system teknologis. Artinya bahwa ini adalah benar-benar proses sejarah . Hal ini mengambil tempat yang tak dapat diubah lagi melalui waktu di mana jalur tertentu perkembangan telah terkunci di dalamnya, atau mungkin lebih baik, agen manusia telah terkunci di dalam jalur tertentu. Hal ini dapat terlihat dalam pengertian sebagaimana fungsionalis dan dalam pengertian inilah di mana Cohen (1978) mempertahanlan pandangan Marx tentang determinisme sejarah. Hal ini bukanlah fungsionalis dalam pengertian bahwa perkembangan dipahami sebagai mengambil tempat karena mereka dibutuhkan untuk pemeliharaan system, karena dalam perspektif evolusi, system itu sendiri selalu menjalankan perubahan. Tidak ada anggapan keseimbangan atau optimalisasi. Jika system adalah evolusi yang menyeimbangkan tidak akan pernah mengambil tempat. Di sisi lain ini adalah pandangan fungsionalis dalam dua pengertian lain. Pertama, pada suatu saat sejarah menciptakan pembatasan kondisi structural pilihan bahwa agent intelligent adalah seperti mengambil anggapan suatu level minimum dari kepentingan diri, contohnya masyarakat seperti kita yang telah membangun suatu level pembagian kerja dan koordinasi sosial yang tanpanya tingkatan populasi saat ini tidak dapat dipertahankan. Jelas bahwa system koordinasi memiliki karakteristik struktural yang menempatkan hambatan pada tindakan manusia dan pilihannya. Singkatnya dorongan yang tersebar luas untuk bunuh diri sosial, oleh karena itu, agen manusia dalah seperti bertindak dalam suatu cara sebagai usaha menyediakan beberapa level yang sama dari koordinasi sosial. Hal ini tidak berarti bahwa, tentu saja, dan ini adalah esensial bagi sebuah pendekatan evolusioner, yang mereka akan berhasil. Bunuh diri sosial yang tak disadari/diketahui adalah selalu mungkin. Beberapa mungkin sekarang bahkan menilainya itu disukai. Untuk taraf di mana seseorang dapat terkunci ke dalam jalan perkembangan sosial, masa lalu sungguh menentukan masa depan, tapi ini tidaklah membuatnya dapat diperkirakan.

Hal ini juga adalah fungsionalis dalam pengertian kedua, yaitu bahwa berbagai pola interaksi manusia yang telah berevolusi, apa yang mungkin kita sebut sebagai institusi (lembaga) sebagaimana struktur, adalah secara timbal balik telah ditentukan. Dan oleh karena itu satu set struktur sosial atau pemecahan masalah terhadap problem koordinasi sosial mungkin tidak dapat cocok dengan yang lainnya. Keduanya tidak dapat hidup di dalam tempat yang sama tanpa modifikasi yang penting. Apa yang yang menjadi sifat hubungan timbal balik akan menjadi bahan analisis empiris dan perdebatan, tapi bahwa di sana adalah sebagai suatu hasil hanya suatu rentang terbatas dari bentuk-bentuk sosial yang mungkin, yang terlihat secara jelas dari cacatan sejarah. Ini adalah penilaian yang sangat berbeda, saya harus tekankan, dari apakah anggota masyarakat yang beragam itu melakukannya atau tidak menemukan mereka baik atau buruk, adil atau tidak adil.

Di balik isu-isu yang umum tentang determinasi sejarah adalah dibedakan oleh sifat determinasi yang mereka indentifikasi dan tekankan dan suatu taraf di mana mereka adalah penyebab tunggal atau ganda, walaupun dalam akibat tak seorang pun, bahkan sosio-biologists yang paling ekstrim dan komited, sesungguhnya berpegangan kepada pandangan penyebab tunggal; ini adalah selalu sebuah pertanyaan tentang penekanan. Sebagai contoh sering diklaim bahwa sejarah versi Marx membuat determinasi (keterpaksaan) ekonomi. Namun di dalam efek , karena ini hanya contoh terakhir dan itu memperkerjakan efeknya atas evolusi kesejarahan melalui suprastruktur, melalui pertentangan kesadaran dan politik, pemahaman kaum materialis histroris Marxist tentang proses ini adalah lebih komplek dan multi-sebab. Di mana penekanannya akan diletakkan pada sebuah pandangan yang mendasari struktur sosial dan proses. Sebagai contoh pertimbangan ksejarahan yang berbeda mungkin menempatkan penekanannya pada ekonomi, politik, sosial atau budaya, namun dalam setiap kasus, penjelasan mereka tentang sifat perubahan sosial, dari apa yang dipertaruhkan, akan tergantung dari bagaimana mereka menteorikan pembagian struktur sosial dan hubungan antara lapisan tersebut. Sesungguhnya kita dapat melihat bahwa elemen kunci di dalam penjelasan sejarah kebangkitan modernitas, yang pada saat yang sama sebuah deksripsi modernitas dan yang menyebar melintas rentang yang luas dari para sejarahwan dan sosiolog, adalah perkembangan pembagian kerja. Dan pertambahan pemisahan di antara lapisan sosial yang berbeda. Penjelasan sejarah yang berbeda antara yang asli dan perkembangan berikutnya dari moderbitas lalu akan memprioritaskan akibat dari lapisan-lapisan tersebut dalam berbagai cara.

Di sini saya tidak dapat menulis sebuah sejarah substantif tentang komunikasi sosial. Yang akan menjadi subjek bagi sebuah buku substansial di dalamnya. Tujuan saya adalah membingkai pendekatan-pendekatan sejarah terhadap media itu, atau pendekatan-pendekatan kesejarahan tersebut terhadap teori-teori sosial, yang relevan bagi pertanyaan yang sekarang kita miliki tentang media, yang kenyataannya telah dimobilisasikan di dalam perdebatan-perdebatan saat ini atau yang saya temukan paling bermanfaat untuk memikirkan tentang masalah-masalah dalam modernitas yang dimiliki oleh media. Tujuan dari kerangka ini adalah untuk memperjelas masalah apa yang di tuju (dialamatkan) dan bagaimana.
Namun pada akhirnya, sebelum saya beralih kepada tugas tersebut, saya akan menekankan pada point ini sebuah bias intelektual berikutnya yang penekannya pada sejarah nampak. Banyak karya saat ini tentang komunikasi, khususnya yang ada dalam perspektif Masyarakat Informasi, sebagaimana banyak perdebatan kebijakan saat ini dan sesungguhnya budaya media itu sendiri, adalah terpesona dengan sesuatu yang baru dan sekejap dan memamerkan suatu amnesia (lupa ingatan) terhadap apa yang mungkin kita sebut sebuah nostalgia untuk masa depan. Tapi salah satu manfaat yang besar dari perspektif sejarah adalah untuk menekankan, melawan arus zaman, apa yang telah disebut Braudel “longue duree”, irama jangka panjang dan pola-pola determinasi yang di dalamnya umat manusia memiliki masa lalu, dan berlanjut ke masa kini untuk mendapatkan kehidupan sosialnya. Pada saat ini saya pikir penting untuk menekankan perubahan yang lambat lebih baik daripada kecepatan perubahan, kemungkinan-kemungkinan yang relatif terbatas dan rentang pilihan terbuka terhadap umat manusia dan jalan yang telah muncul selama periode sejarah yang panjang dan berlanjut memunculkan rangkaian pertanyaan yang sama tentang bagaimana kita mungkin dapat mengarahkan kehidupan kita, sebagaimana seharusnya, bersama-sama.

Teori Evolusi Sosial: Alat Produksi, Pemaksaan dan Persuasi
Marilah kita mulai pada tingkatan yang paling umum, dari apa yang mungkin lebih tepat lebih baik disebut sebagai sosiologi sejarah daripada sejarah, dengan teori yang luas tentang evolusi sosial. Baru-baru ini Runciman mengemukakan di dalam 3 volume bukunya Treatise on Social Theory, dengan kekakuan teoritis dan sophistikasi dan berdasarkan atas bukti-bukti yang luas dari rekaman sejarah, sebuah versi teori yang secara luas dipegang – sebuah versi Callinicos yang telah dijuluki neo-Weberian. Pendekatan teoritis ini membuktikan, dalam kata-kata Runciman, bahwa masyarakat terkonseptualisasikan dalam batasan-batasan alokasi kekuasaan di antara anggota-anggotanya, untuk alasan sederhana dan cukup bahwa interaksi yang tidak-acak di antara para anggota satu atau semua masyarakat menyiratkan kapasitasnya secara timbal balik saling mempengaruhi perilaku satu sama lainnya; kekuasaan yang kemudian didefinisikan sebagai ‘kemampuan seseorang untuk mempengaruhi melalui bujukan atau hukuman, apa yang dipikirkan, dirasakan, dikatakan atau dilakukan oleh orang lain, subjek yang kemampuan diturunkan dari pemilikan sifat-sifat institusional, bukan personal – institusi-institusi yang pada gilirannya didefinisikan sebagai rangkaian praktek yang saling terhubung dari mereka yang memerintah, yang mungkin atau tidak mungkin menjadi terformulasikan secara terang-terangan atau diketahui secara universal, diterapkan kepada kelompok khusus atau kategori orang dengan mengabaikan pilihan orang atau persetujuannya (Runciman 1989:2). Runciman kemudian membuktikan bahwa perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, secara luas, adalah tidak tak terbatas atau acak; ini hanyalah sebagai hasil dari kompetisi kekuasaan yang terlembagakan yang dapat diterangkan.’ (19889: 4), dan bahwa ‘struktur sebuah masyarakat dapat dilaporkan pada awalnya dalam hubungan dengan lokasi relatif di dalam sebuah keleompok atau kategori seseorang yang berbagi dukungan yang umum (atau kekurangan) dari kekuasaan dengan kebaikan peran mereka. Tapi bagi para peneliti, sebenarnya untuk menentukan tempat mereka membutuhkan sebuah jawaban atas pertanyaan ada seberapa banyak dimensi struktur di sana – atau dengan kata lain, ada berapa macam kekuasaan?’ Dan jawaban yang dia ajukan, dan inilah point krusial untuk keperluan kita saat ini, yaitu ada tiga — ekonomi, ideology dan kekuatan pemaksa – yang walaupun secara timbal balik saling tergantung, adalah tidak pernah dapat sepenuhnya mengurangi satu sama lainnya … Tapi ini dapat diperselisihkan secara keras bahwa di sana ada sebuah pembedaan yang dibuat di antara akses ke atau kontrol dari alat produksi, alat persuasi (pembujukan) atau alat pemaksaan secara berturut-turut.’ (1989:12). Cara pandang terhadap masyarakat inilah yang dekat kepada jantung definisi kesejarahan dan pemahaman terhadap modernitas yang dapat dilihat oleh pengakuan Runciman bahwa ‘pilihan saya terhadap istilah-istilah: “alat produksi”, “alat persuasi’, dan “alat pemaksa” adalah usaha yang sadar untuk menggabungkan apa yang saya percaya menjadi ilham yang paling bernilai dari Marx dan Weber, walaupun keduanya sendiri tidak pernah meletakkan pembedaan dengan cara seperti ini.

Ini adalah pengendalian atas, dan bervariasi di dalamnya, dapat ditukar-tukar dan kesesuaian (di antara tiga mode) yang mempelajarinya adalah seperti memancarkan cahaya yang beragam jenis ke masyarakat yang bekerja dan berevolusi. Masing-masing dari tiga bentuk kekuasaan tersebut mempunyai peran-peran otonomnya masing-masing; tapi pada saat yang sama, masing-masing saling dipengaruhi oleh dua faktor yang lainnya, paling tidak dalam beberapa aspek dan beberapa derajat. Setiap masyarakat mempunyai mode produksinya sendiri, mode persuasinya dan mode pemaksaannya, dan hanya jika ketiganya dipertimbangkan masyarakat, yang berbeda-beda dapat ditandai satu atau yang lainnya dari mode-mode alternatif yang mungkin dan subtipe dari distribusi kekuasaan. (1989: 16-17)

Saya telah memfokuskan pada model ini pada beberapa panjangnya karena saya ingin membuktikan bahwa kita dapat membedakan berbagai pendekatan kesejarahan terhadap media yang menurut dimensi-dimensi kekuasaan masyarakat tersebut, mereka focus atas dan tingkatan apa dari dan hubungan di antara mode-mode, apakah secara implicit (tersirat) maupun eksplisit (terang-terangan), mereka mengusulkan dalam menjelaskan struktur sosial dan evolusi sosial. Runciman mengklarifikasi anggapan-anggapan teoritis dari teori-teori kekuasaan sosial dan evolusinya yang lebih banyak menyebar luas. Sebagai contoh tiang penyokonya, walaupun ini bukan diturunkan dari Runciman, analisis histroris Bourdieu tentang perkembangan lapangan kebudayaan dan penerapan kekerasan simbolik sebagai mode yang lebih disukai dari dominasi di dalam masayakat kapitalis, dan adalah di belakang analisi Gellner tentang peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern dalam pengertian peralihan hubungan kekuasaan antara, dalam peristilahan, “The Plough, Book dan Sword (Bajak, Buku dan Pedang, Gellner 1988). Dan sebuah model yang sama yang ada di dalam teori hegemoni Gramsci yang sangat berpengaruh (lihat juga Mann 1986, 1993; Callinos 1995). Karena pentingnya model-model ini, adalah penting untuk menekankan bahwa media tidak dalam satupun cara yang sederhana dipetakan ke model-model tersebut, karena mereka adalah institusi di dalam mode persuasi. Praktek media komunikasi sosial dapat dengan jelas dikaitkan dengan peranan dan penggunaan dukungan yang berbeda-beda dari kekuasaan di dalam ketiga mode, dan ini adalah persisnya tujuan dari analisis historis dan analisis kontemporer untuk menganalisa cara-cara di mana sumber-sumber sosial dimobilisasi oleh mereka yang menguasai peranan produktif, persuasive dan pemaksaan, dan dengan efek apa hubungan kekuasaan di dalam masing-masing mode dan di antara ketiganya.

Model general ini dimobilisasikan oleh Gellner dan Bourdieu untuk tujuan-tujuan yang secara esensial sama. Masing-masing fokus, walaupun kesimpulan mereka dan mode analisisnya sangat berbeda, kedua perhatian terkait di dalam sebuah analisis general tentang karakteristik kunci peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Pertama fokus mereka tidak tentang media sebagaimana yang dipahami secara konvesional, namun pada perkembangan system formal pendidikan sebagai pokok utama mode persuasi di dalam konteks yang lebih luas pada peralihan dari pemaksaan ke produksi sebagai poros kunci dominasi atau sebagaimana Gellner, dengan kebiasaan sinismenya yang bersemangat meletakkan itu, menggemakan De Maistre, sebuah peralihan dari pemerintahan oleh algojo ke pemerintahan oleh para penyuap yang umum. Di dalam gambaran umum perkembangan sejarah itu Bordieu telah menfokuskan pada perkembangan sejarah di Perancis dari kaum inteletual sebagai fraksi terdominasi dari kelas dominan dan dari bidang terspesialisasi dari produksi buadaya, tapi lagi-lagi dengan sebuah fokus pada pendidikan formal, yang di dalamnya kaum intelektual menggunakan kekuatannya. Kepedulian kedua, mengikuti Weber, analisis sejarah dan penjelasan bagi pertumbuhan rasionalitas dan pandangan dunia ilmiah (scientific world view). Untaian karya historis kemudian terhubung dengan keseluruhan lapangan sosiologi sejarah sains dan kaum intelektual, sebagai contoh, di dalam karya Gouldner (1976) dan Bauman (1987).

Namun di mana pendekatan ini terkait kembali secara langsung dengan sejarah media adalah melalui tradisi yang memfokuskan pada teknologi media dan pengaruhnya terhadap hubungan kekuasaan di dalam dan di antara mode-mode. Hal ini sulit, saya piker, untuk menganggap remeh pengaruh yang sekarang digunakan oleh versi sejarah media yang memfokuskan pada teknologi, dan khususnya oleh sebuah penjelasan tentang transisi ke modernitas yang menempatkan teknologi percetakan sebagai pusat dan diramalkan dari hal ini untuk membuat pengakuan yang sama bagi akibat sebab dari teknologi elektronik mengenai sebuah peralihan epochal (zaman yang penting) yang sama kepada apa yang digambarkan secara beragam sebagai post-industrial, post-modern atau masyarakat informasi. Di sini karya kunci dalam apa yang sekarang jadi bidang yang sangat kaya tentang penulisan sejarah mengenai hubungan antara budaya percetakan yang mulai timbul dengan Pencerahan, adalah karya E. Eisenstein, The Printing Press as an Agent of Change (1979; lihat juga Febvre dan Martin 1990; Darnton 1979, 1982; Baker 1992; Chartier 1985, 1987). Ini adalah pelajaran yang telah digambarkan dari karyanya oleh orang lain lebih daripada analisisnya sendiri yang krusial. Sebagai contoh Ithiel de Sola Pool, dalam menyebut percetakan dan teknologi elektronik baru , sebagai “teknologi pembebasan” ([“technologies of freedom”], De Sola Pool 1984) sebagai sebuah sejarah yang ditentukan oleh teknologi, bersekutu dengan teori Whig klasik dan melihat teknologi percetakan sebagai agen kunci yang menggali kekuasaan otokratik berdasarkan monopoli pengetahuan bersekutu dengan pasar bebas, sebagai basis kebangkitan demokrasi liberal. Di sini pelajaran yang dia gambarkan dari sejarah adalah setiap pengaturan batas pinggiran jalan mobilisasi pasar bebas terhadap teknologi baru adalah tidak demokratis. Kenyataannya Eisenstein saendiri lebih berhati-hati dan bernuansa dalam penafsirannya. Sebagai contoh dia mengambil contoh kontrafaktual tentang China, dan perkembangan yang lebih dahulu dari huruf cetak yang dapat digerakkan, untuk membuktikan bahwa akibat pengaruh percetakan terhadap transisi ke modernitas di Eropa Barat, hanya dapat dipahami sebagai bagian dari susunan perubahan sosial. Maka ia menempatkan akar bagi pengembangan pandangan dunia ilmiah dan praktek-praktek dan dari sebuah kebutuhan yang tumbuh terhadap bahan-bahan tertulis yang membuat percetakan secara ekonomis mampu bersaing dengan penulis ahli sebagai pendahulu perkembangan teknologi percetakan, dan dia membedakan antara pengaruh percetakan terhadap budaya ilmiah elit dan perkembangannya di satu sisi dan pengaruhnya melalui Protestantisme dan percetakan di dalam bahasa daerah dan melalui percetakan citra visual (gambar) di sisi lain, terhadap penciptaan budaya percetakan popular dan sebuah lapisan publik yang lebih luas. Ini adalah argumentasi yang penting dan kita berbagi dengan Mukerji di dalam karyanya From Graven Images (1983) karena itu memisahkan pengaruh percetakan dari penciptaan sederhana dan sebuah kebudayaan yang berbasis penulisan. Sungguh Mukerji membuktikan bahwa pengaruh utama percetakan adalah dalam membantu menciptakan sebuah budaya materialistic dengan penciptaan dalam bentuk cetakan dan kain (tekstil) tercetak yang paling awal tersebar secara luas dan menjadi komoditi industri yang diproduksi secara massal.

Hal ini penting, karena Eisenstein dengan jelas dalam bagian tulisan di dalam sebuah tradisi yang memprioritaskan sebuah teknologi, tahapan teori sejarah di mana sifat alami kesadaran manusia telah berubah dengan peralihan dari tradisi lisan ke tradisi tulisan (Ong 1982) dan kemudian dengan peralihan dari tradisi tulisan ke “tradisi lisan sekunder” dari media elektronik (Mc Luhan 1964). Prioritas yang yang diberikan kepada perkembangan teknologi sebagai pengarah perubahan sejarah adalah dengan baik ditangkap oleh Judul salah satu buku Ong, Orality dan Literacy: the Technologizing of the World. Mobilisasi yang berpengaruh yang paling mutakhir dari teori yang luas tentang perkembangan sejarah adalah oleh Meyrowitz di dalam karyanya No Sense of Place, di mana sebuah ringkasan yang bermanfaat atas semua pendekatan itu dapat ditemukan (Meyrowitz 1985: 16-23).

Sebuah pengaruh utama di dalam mazhab ini adalah Harold Innis (1964, 1972), namun ia memfokuskan pada akibat-akibat teknologi media, tidak pada mode persuasi sebanyak mode pemaksaan dan mode produksi. Sesungguhnya ini adalah sebuah teori yang ia bangun keluar dari karya-karya yang lebih umum tentang ekonomi-politik. Argumentasi Innis, sebagai dikenal baik, adalah bahwa teknologi media yang berbeda menyukai perbedaan penyebaran kontrol melintasi ruang dan waktu, dan maka inilah teori yang meletakkan media di dalam sebuah kajian yang lebih luas tentang system transportasi fisikal dan hubungannya ke dalam system ekonomi dan kekuasaan politik. Sejarah dari perspektif tersebut baru-baru ini telah secara luas berpengaruh dalam analisis pembangunan dan akibat jaringan telekomunikasi yang terlihat sebagai ditentukan secara utama di dalam pembangunannya, dan mereka sendiri secara efektif berubah di dalam struktur produksi ekonomi atau di dalam aparat negara. Sebuah contoh tipikal dari jenis pendekatan sejarah ini dan konsekuensinya bagi pemikiran yang terjadi saat ini adalah karya Mulgan, Communication and Control (1991):
Kita telah menggunakan ide bahwa siem komunikasi dapat membawa percakapan, film dan suara, tapi adalah sifat alaminya sebagai infrastruktur kontrol yang secara umum mendahului peranannya sebagai media dalam pengertian modern. Jaringan kerja pos yang awal dari imperium Persia, Romawi, Mongol dan China adalah alat administrasi di bawah kontrol langsung militer dan otoritas politik. Jaringan kerja global pertama yang berbasis listrik, jaringan kabel Kerajaan Inggris, adalah juga alat kontrol yang luas sebagaimana sebuah media perdagangan dan komunikasi interpersonal. Jaringan telegraf yang paling awal dirancang untuk mengontrol pergerakan kereta di sepanjang jalurnya, radio untuk mengontrol pergerakan kapal laut, jaringan komputer saat ini terutama saat ini digunakan untuk mengontrol aliran pesawat terbang, senjata rudal (missiles), barang-barang, ide-ide dan uang. Pada akhir abad ke 20, juga, adalah sifat jaringan komunikasi sebagai teknologi kontrol, sebagai sarana untuk koordinasi produksi, distribusi dan pertukaran komoditi, organisasi logistik tentara dan senjata rudal atau pengaturan (governance) efektif terhadap penduduk sipil (civil populations) yang mempersiapkan pembentukan arah yang paling menentukan dalam perkembangan teknologi. (1991: 2).

Contoh karya tulis lain yang berpengaruh dalam tradisi ini adalah karya Beninger, The Control Revolution (1986). Namun penekanan ini pada pengalihan akibat historis dari teknologi komunikasi terhadap kekuasaan melintasi ruang dan waktu telah menjadi, dalam perubahannya, sentral bagi ‘geografi baru’ dan pada karya sosiolog seperti Giddens, yang menempatkan penekanannya pada penjelasan perkembangan mutakhir, khususnya akibat dari apa yang disebut sebagai globalisasi terhadap akibat dari jaringan komunikasi elektronik dalam pergilirannya di dalam hubungan kekuasaan di anatara lokasi spasial yang berbeda, baik di dalam negeri maupun antara manca negara, dan tentang kekuasaan yang berbeda untuk mengontrol arus aliran informasi melalui ruang dan waktu (lihat misalnya Castells 1996; Harvey 1989).

Media, Pembentukan Negara dan Demokrasi
Fokus Innis tentang akibat teknologi komunikasi yang berubah secara historis di atas penggunaan kekuasaan politik dan ekonomi membawa kita ke sejumlah arah yang berbeda. Di satu sisi sebuah pendekatan itu dapat diintegrasikan ke dalam satu tahapan teori sejarah, apakah yang ditentukan secara teknologis atau secara ekonomis, seperti teori Daniel Bell tentang masyarakat post-industrial dan perkembangan yang keluar dari dalam arahan teori Masyarakat Infomasi sebagaiman Castells. Di sisi lain hal ini menunjuk kepada sejarah modernitas yang menempatkan penekanan pada pembentukan negara dan birokrasi dan memberikan keutamaan berikutnya kepada peranan media di dalam mode pemaksaan dan kepada problem, dari perspektif mode pemaksaan, tentang hubungannya dengan mode persuasi dan mode produksi. Kita dapatkan di sini, sebagai contoh, sejarah itu yang terkait dengan perkembangan media massa, surat kabar pertama, dan kemudian stasiun pemancar radio (broadcasting), kepada problem menjalankan sebuah negara dengan satu bentuk perwakilan dari pemerintahan. Ini adalah dalam bagian sebagaimana saya baca dari Scannell dan Cardiff tentang sejarah broadcasting layanan publik (Scannell and Cardiff 1991), dan kita dapat menemukan penekanan yang sama dalam karua William, TV, Technology and Cultural Form (1974). Pendekatan ini sekarang mengaitkan perkembangan media kontemporer dengan problem keruntuhan atau sebaliknya dari negara-bangsa dan kepad sebuah perubahan dalam hubungan antar negara, dan kepada peralihan aktuan atau potensial baik dalam hubungan antar warga negara dengan negaranya (demokrasi elektronik dan menemukan kembali pemerintahan) dan cara (mode) pembentukan identitas politik dan mobilisasi (media dan politik identitas). Selalu ada sebuah versi Whig liberal dari cerita ini, media sebagai bagian dari cerita pertumbuhan kebebasan politik, sebuah versi yang kita temukan abhkan dalam karya Raymond William The Long Revolution, dan yang kaum anarkis post-modern tertentu mengaitkan dengan cyberspace, identitas baru, dan sebuah pembebasan dari politik itu sendiri adalah varian, dan suatu yang lebih pesimistik, versi dialektika Pencerahan seperti karya Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (1989). Namun kita juga dapat menempatkan di sini kajian yang lebih tepat waktunya tentang pertumbuhan produksi informasi pemerintahan, hubungan antara negara dengan media dan antara sistem politik dengan media, termasuk hubungan antara pertumbuhan komersialisasi media dan sifat yang berubah dari hubungan antara politikus dan pemilihnya (voters), dan sifat budaya politik secara lebih umum, sebagai contoh pertumbuhan apatisme (kelesuan) para pemilih dan kemerosotan dalam tingkat partisipasi politik. Sebagaimana Schudson (1998) baru-baru ini telah buktikan, perhatian mutakhir tentang kedudukan budaya politik sebagai sebuah cerita keruntuhan yang seringkali bersandar pada sebuah pandangan historis yang tidak substansial dari apa yang seperti budaya sebelumnya., sebagaimana sama yang dilakukan teori tabloidisasi dan pembisuan. Ini adalah untaian yang penting dari karya sejarah yang tentang penciptaan struktur media moderen dalam pengertian saling hubungan antar teknologi, ekonomi dan politik (Horowitz 1989; Streeter 1996; Mc Chesney 1993).

Media dan Kapitalisme Industri
Di sisi lain pendekatan Innis menunjuk kepada sejarah itu yang fokus pada media di dalam mode produksi dan yang mungkin atau tidak mungkin terkait kepada sebuah teori tahapan sejarah atau sebuah teori materialisme-historis yang memberikan priorits kepada perkembangan dalam cara (mode) produksi sebagai variabel penjelasan kunci dalam peralihan kekuasaan sosial dalam sejarah.

Beberapa, saya pikir, bahkan mereka yang paling jauh dari tradisi materialisme sejarah dan setiap dugaan determinasi (keterpaksaan) ekonomi atau material, akan menolak bahwa sentral dari sejarah modernitas adalah kajian perkembangan apa yang Weber sebut “kosmos ekonomi yang dahsyat” yang kita sebut kapitalisme atau mode produksi kapitalis. Dan maka itu adalah sentral bagi sejarah media memiliki sejarah iitu yang menganalisa dan menerangkan perkembangan institusi-institusi media modern dan praktek-praktek melalui prisma perkembangan kapitalis. Tapi di dalam sejarah yang lebih umum sebuah rentang tema yang berbeda dapat diidentifikasikan yang terhubung dengan cara-cara berbeda dari konseptualisasi sifat-sifat perkembangan kapitalis dan hubungan domain ekonomi dengan ruang sosial, budaya dan politik. Untuk kepentingan analisis Saya berharap untuk memisahkan keluar tema-tema dengan maksud untuk mengklarifikasi jenis-jenis argumentasi yang dibuat, walaupun dalam sejarah aktualnya, tema-tema tersebut seringkali dan wajib salin berjalin-kelindan.

Pertama ada sejarah itu yang menekankan perubahan struktural yang besar-besaran. Dalam bentuk yang paling berpengaruh mereka terkait teori tahapan dari perkembangan ekonomis yang secara beragam saling menghubungkan suatu perkembangan dari agricultural (pertanian) ke industri lalu ke pelayanan (jasa) dari industrial ke post-industrial dari Fordist ke post-Fordist, ke teori tahapan teknologi media – lisan, tercetak, elektronik – dan teori tahapan struktur media dan praktek-prakteknya. Dalam beberapa versi itu adalah teknologi media yang terlihat sebagai factor penentu (determinant) dan focus pada media sebagai sebuah alat produksi (Bell 1973). Dalam versi lain struktur media yang berubah dan praktek-praktek yang terlihat sebagai sebuah respon terhadap peralihan di dalam hubungan roduksi dengan konsumsi – dari produksi massal kepada spesialisasi yang fleksibel – dan di dalam struktur konsumsi itu sendiri, dari pasar massal kepada ceruk pasar dan dari barang ke jasa (Tofler 1980; De Sola Pool 1984). Ini adalah pada level analisis yang saya akan menempatkan sejarah komunikasi internasional yang menekankan penciptaan pasar global apakah posisi secara positif (De Sola Pool 1984) atau negatif (Schiler 1992) berhadapan dengan kapitalisme, walaupun seringkali mereka, mungkin selalu, juga terkait kepada sejarah pembentukan negara dan hubungan antar negara atau pendek kata kepada sejarah umum imperialisme dan penciptaan apa yang Wallerstein telah sebut sebagai “Sistem Dunia”.

Terkait dengan hal di atas, namun tidak memasukkan ke teori tahapan yang luas dari perkembangan yang berfokus pada perkembangan di dalam mode kapitalis dari bentuk organisasi ekonomi sejarah bisnis, sebasgai contoh oleh karya Alferd Chandler (1977). Di sini penekanannya akan diletak di atas media sebagai alat produksi dan cara-cara yang telah mereka kembangkan dalam merespon problema organisasi ekonomi. Mereka mungkin memfokuskan kepada perusahaan kapitalis dan penggunaan sistem komunikasi sebagai sistem pengendalian (kontrol) (Beninger 1986; Mulgan 1991; Castells 1996). Di sini saya akan menempatkan sejarah yang menekankan perkembangan periklanan yang terkait dengan komsumsi massal dan retailing (penjajaan) sebagai suatu yang krusial bagi pembentukan sistem media modern. Atau mungkin penekanannya pada cara-cara di mana bentuk-bentuk kapitalis organisasi telah mempengaruhi produksi media itu sendiri – keseluruhan tradisi industri budaya (Adorno dan Horkheimer 1997; Smythe 1981; Wasko 1982); Curran 1977). Pendekatan ini telah ditekankan oleh Asa Briggs di dalam Fisher Memorial Lecture pada tahun 1960 ketika dia menulis:

Perlengkapan hiburan tidak pernah menjadi sebuah subjek kepentingan besar bagi para ekonom maupun sejarahwan ekonomi – paling tidak dalam jam-jam kerja mereka. Namun pada kondisi abad ke 20 lebih baik kita membicarakan industri entertainment yang sangat terorganisasi, untuk membedakan antara produksi dan distribusi, untuk memeriksa kekuatan untuk membuat persaingan, integrasi, konsentrasi dan kontrol, dan untuk menghubungkan kajian tersebut dengan statistik pendapatan dan pengeluaran (belanja) nasional, perklembangan periklanan, hubungan ekonomi internasional dan – tidak sedikit – terhadap konsep sentral pasar.

Pendekatan industri budaya dapat dan telah berjalan ke sejumlah arah. Salah satu pendekatan adalah berfokus pada proses umum pengkomoditian (commodification) (Mosco 1996). Ini dapat terkait dengan sebuah teori underconsumptionis dari perkembangan kapitalis yang digambarkan oleh Baran dan Sweezy (1968) dan kepada perencanaan strategis berkesadaran dalam bagian dari kapitalisme korporat sebagaimana dalam karya Ewen yang berpengaruh Captain of Consciousness (1979) dan Channels of Desire (1982).

Media dan Sejarah Waktu
Pendekatan lain yang terkait dijabarkan dari kajian yang lebih umum, sebagai bagian darai kajian proses transisi dari pra-kapitalis ke masyarakat kapitalis, tentang perjuangan sosial dan kultural atas disiplin para buruh (tenaga kerja) dan kontrol waktu. Dua loci classici dalah karya Thompson, The Making of the English Working Class (1963) dan Time, Work Discipline, and Industrial Capitalism (1976). Namun pendekatan umum ini kemudian berfokus pada penciptaan waktu luang sebagaimana sebuah konsep dan satu bidang sosial, dan pada perjuangan antara pembatasan dan hubungan antara kerja dan waktu luang (leisure) dan meliputi bentuk-bentuk dan praktek kultural untuk mengisi waktu yang baru diciptakan ini – sebuah perjuangan yang menghasilkan waktu dalam pengertian yang khusus di mana media merespon dan memperkuatnya (Sannell 1996) – penciptaan bentuk-bentuk moderen komersial, olah raga professional dan hiburan (Yeo 1981; Bailey 1078). Apa hal penting yang digarisbawahi oleh pendekatan ini adalah bahwa perjuangan ini adalah juga sebuah perjuangan atas kontrol dan pendefinisian pendidikan dan bentuk-bentuk kontemporer dari pembedaan dan pertentangan antara hiburan dan pendidikan yang merupakan penciptaan kesejarahan. Dari sudut pandang ini, sejarah perkembangan bentuk-bentuk media dan institusi-institusi adalah sebuah pertanyaan bukan dari ideology, walaupun ideologi boleh jadi terlibat, namun peralihan hubungan-hubungan sosial sebagai sebuah hasil pertumbuhan dari perjuangan sepanjang hubungan-hubungan produksi. Lalu ini termasuk seperti karya Smythe tentang Audiens Commodity (Smythe 1981) sebagaimana juga karya yang berpengaruh lebih luas tentang peralihan pendefinisian dan hubungan-hubungan antara publik dan swasta (private), sebuah perdebatan kesejarahan yang mendasari banyak perdebatan di ruang publik, khususnya antara Habersians dan Feminis seperti Nancy Fraser (Fraser 1989; Fraser in Calhoun 1992; Sennet 1993; Habermas 1989; Elliot 1986; Calhoun 1992).
Sejarah tentang Konsumsi
Pendekatan ini dalam perjalanannya telah berkembang pada beberapa tahun belakangan ini jauh dari pendekatan kontrol sosial yang memandang pengkomoditian sebagai sebuah perluasan dari kontrol kapitalis dan maka konsumsi sebagai sebuah pertanyaan perjuangan kelas dari sudut pandang konsumsi, yang ditarik dari Weber dan Veblen dan juaga telah diinformasikan oleh antropologis seperti Douglas, sebagai sebuah pembawa simbol-simbol kultural universal dari pembedaan status dan perjuangan sekitar pembedaan status. Karya-karya kesejarahan ini telah terutama menfokuskan pada perkembangan konsumsi di abad ke 18 di Inggris sebagai juga perdebatan tentang lepas landasnya kapitalis. Pertanyaan-pertanyaan apakah perkembangan kapitalis dan secara khusus perkembangan pembagian ketenagakerjaan, dapat lebih baik diterangkan dalam pengertian dorongan suplai atau tarikan kebutuhan yang kembali paling tidak kepada Adam Smith, yang ambivalen tentang pertanyaan ini. Untuk karya ini lihatlah McKendrik, Breder dab Plumb (1982), Brewer (1997), dan Brewer dan Porter (1993). Untuk penerapannya kepada analisis kontemporer lihatlah Nava, Barker, Maccrury dan Richads (1997); untuk sebuah kritik lihatlah Fine dan Leopold (1993).
Sejarah Budaya
Bergerak secara parallel dengan jalur analisis, dan seringkali saling berjalin-kelindan dengannya, adalah sebuah tradisi yang memandang akibat perkembangan kapitalis di bidang kebudayaan dimulai dengan pembagian pekerjaan (ketenagakerjaan) dan spesialisasi ranah sosial. Maka, bertentangan dengan pendekatan industri kultural, ini mempunyai pertanyaan tentang sifat-sifat perkembangan ruang kebudayaan dan tentang kelembagaan (institusi) dan bentuk-bentuk budaya modern tidak dari dalam sudut pandang ekonomi, tapi memulai dengan pemisahan kesejarahan ruang budaya dan ruang ekonomi yang menjadi bagian dari penciptaan modernitas, dan kemudian memeriksa antara: dinamika internal yang dihasilkan ruang budaya dan, hubungan yang sering kacau baik secara organisional maupun ideologis, dengan ruang ekonomi. Di sini, untuk menggambarkan bidang umum dari sejarah intelektual dan budaya, kami menemukan analisis sejarah pemisahan, seperti karya William, Cultures and Society (1958), atau karya Elias, The Civilising Process (1994), sejarah tentang rasa (taste) dan sistem patronase seperti karya Haskell (1980,1981), sejarah tentang perubahan struktur bidang kebudayaan dan posisi sosial dari produser kultural sebagaimana dalam karya Bordieu (1984, 1993, 1996), Di Maggio (1982), Clark (1973), Elias (1994), dan Wolf (1981); sejarah ideologi-ideologi kebudayaan seperti karya William The Country and The City (1973) sebuah tradisi yang telah banyak dibawa pada kebanyakan karya mutakhir tentang warisan dan usaha-usaha kebudayaan (Samuel 1994; Hewison 1987). Di sini saya akan menggemakan penyesalan Frith bahwa kajian sejarah media dan kebudayaan telah dipotong dari kerusakannya dari bidang sejarah seni yang diturunkan secara mutlak dari keterkaitannya dengan Hegel dan yang tercakup dengan nama-nama sejarahwan seperti Burckardt (1943, 1995), Panofsky (1951, 1966, 1991), Huizinga (1965), dan Gombrich (1994), dan penerus mereka yang lebih kontemporer Baxandall (1972,1985), Alpers (1988, 1989), Ginzburg (1985), Haskel (1980, 1981, 1983), dan Clark (1973), sebuah tradisi pencarian (inquiry) sejarah yang dengan sendirinya terkait dengan mazhab Annales dan studinya tentang ‘Mentalite’ (Duby 1978; Le Roy Ladurie 1980) (untuk review-nya yang berguna tentang karya ini dan relevansi umunya bagi kajian media; lihatlah Simon (1995) dan Hennion (1995)).
Pendekatan ini, dalam perjalanannya terkait dengan apa yang telah tumbuh beberapa tahun belakangan ini dan bidang yang penting dari historiography yang berfokus tentang bagaimana cara sejarah itu sendiri dimobilisasikan untuk keperluan ideologis yang luas. Saya berpikir di sini secara khusus dartipada concern kontemporer yang umum dengan hubungan antara sistem media dan bentuk-bentuknya dengan negara kebangsaan, nasionalisme, dan globalisme. Di sini sejarah yang penting ada pada karya-karya: Hobsbawm dan Ranger, The Invention of Tradition; Benedict Anderson Imagined Comunities, sebuah kajian tentang kesaling-hubungan antara kebangkitan nasionalisme dan apa yang dia sebut sebagai kapitalisme percetakan, dan ekploitasinya oleh kaum intelektual sebagai para penganjur ideologi nasionalisme; Karya Linda Colley, Britons (1992) tentang penciptaan ideologi sebuah Bangsa Inggris; dan juga karya penting Weber, Peasant into Frenchmen untuk kasus Perancis, atau karya (Edward W.) Said yang sangat berpengaruh Orientalism (1995).
Pendekatan ini terkait dengan analisis yang lebih umum, seringkali bertempat di dalam sosiologi sejarah ilmu pengetahuan, tentang perkembangan intelegensia dan apa yang Perkins (1989) telah sebut dengan ‘kebangkitan masyarakat profesional’ (lihat juga Bourdieu 1984; Bauman 1987; Wiener 1981; Barey 1993). Di dalam sosiologi ilmu pengetahuan pendekatan ini terkait dengan sejarah perkembangan sains dan sebagaimana yang telah kita lihat oleh karena itu pertanyaan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan percetakan. Hal ini juga terkait dengan sebuah pendekatan yang diturunkan dari kajian proses ketenagakerjaan, hubungan ketenagakerjaan, dan sosiologi organisasi dan profesi. Sebagai contoh saya akan menempatkan di sini sejarah perkembangan jurnalistik dan praktek-praktek media lainnya sebagaimana Schudson (1978) dan Chanan (1976).
Diberikan apa yang telah saya tempatkan, pendekatan saya kepada sejarah media di dalam problem yang lebih umum tentang asal-usul dan perkembangan modernitas, kita tidak dapat meninggalkan lapangan tanpa menggarisbawahi tema, yang seringkali tersirat, menempatkan semua sejarah dan mobilisasi kontemporer mereka. Inilah tema yang dimiliki oleh Weber tentang ‘rasionalitas sangkar besi’ (Iron cage of rationality) dan apa yang dia sebut kepudaran warna merah merona yang tak dapat diperoleh kembali dari Pencerahan atau apa yang oleh Hegel secara orisinal diidentifikasikan sebagai Dialektika Pencerahan. Apa yang menjadi pilar utama di dalam perdebatan sejarah kontemporer tentang media adalah bukan sekedar watak perkembangan sejarah modernitas tetapi juga penilaian normatif yang dibuat darinya. Maka kita perlu memisahkan dua pertanyaan terkait. Pertama, hipotesa sejarah modernitas sebagai sebuah pertumbuhan masyarakat yang rasional dan masyarakat terasing yang secara aktual didukung oleh bukti-bukti kesejarahan? Dan yang kedua, jika itu adalah, atau untuk perluasannya, adalah apakah itu sebuah hal yang buruk? Proses-proses tersebut keduanya mengambil tempat dan adalah sebuah hal yang buruk secara sederhana diasumsikan oleh banyak analis, dan sungguh ini adalah tiang pondasi kunci dari post-modernisme dalam kebanyakan bentuknya. Sesungguhnya tidaklah mudah ketika memandang kepada pertimbangan kesejarahan dan pendekatan untuk memisahkan dua tingkatan. Sebagai contoh, ambillah apa yang juga disebut perdebatan budaya massa. Menurut perkiraan saya ini adalah sebuah kesalahan pikir bahwa seseorang dapat mengabaikan kritik tentang budaya massa secara sederhana sebagai di atas latar elitisme. Karena keduanya adalah meninggalkan pertanyaan tak terjawab tentang ketidakseimbangan kekuatan budaya dan okonomi yang muncul dari format-format yang diproduksi oleh kaum minoritas untuk khalayak luas, para pemirsa yang tersebar, sementara pada saat yang sama gagal mengalamatkan pertanyaan teori alienasi atau reification yang di atasnya kritik budaya massa bersandar. Karena kritik, dengan menempatkan problem sebagai salah satu dari suatu perjuangan antara yang berbeda dan yang universal, antara penalaran subjek dan permainan identitas, dalam efek penerimaan sangkar besi asli dari argumentasi rationalitas sebagai watak dari problem yang dipunyai oleh modernitas.
Sangatlah sukar, saya pikir, untuk meremehkan, pengaruh model perkembangan sejarah dan evalusi normatifnya yang terpancar dari Dialektika Pencerahan. Terlepas dari model industri dari Mazhab Frankfurt, sebuah model yang sama dari pertumbuhan reifikasi (pembendaan, objektivikasi) dari dunia yang dimobilisasi dalam karya Habermas The Stuctural Transformation of the Public Sphere dan mungkin yang paling berpengaruh baru-baru ini dari seluruh karya Foucault oeuvre, yang menyediakan mikro-analisis yang mengagumkan dari proses yang tak tidak dapat lari lagi daripadanya yang secara kesejarahan benteng-benteng sangkar yang dibangun dan pengetatan yang tak dapat ditawar-tawar di sekitar kita. Problem dengan sudut pandang (perspektif) dalam perkiraan saya ini adalah bahwa hal ini dibangun di atas sebuah teori ahistoris tentang alienasi (terasingan) yang dalam perjalanannya berdasarkan atas sebuah teori ahistoris tentang esensi manusia yang dalam beberapa cara kehilangan, tergantung pada teori, di dalam proses ketenagakerjaan atau di dalam proses komunikasi berbasis kebahasaan atau melalui penindasan di dalam ketidaksadaran. Problem dari teori-teori tersebut adalah bahwa esensi yang ditempatkan haruslah pra-sosial. Dalam pandangan saya, pandangan Alienasi-nya Marx, adalah benar, lebih baik daripada pandangan Marx tentang nilai surplus (surplus value, sebagaimana juga benar tentang ontology logosentrisme. Pada kedua kasus tidak dapat diterima bahwa sifat-sifat alami manusia adalah antara sosial secara esensial dan tercipta secara sosial sehingga kita dapat memahami perkembangan modernitas sebagai sebuah proses yang melibatkan keuntungan dan kerugian; sebagai contoh, proses rasionalisasi ekonomi melalui hubungan-hubungan pertukaran dan tentang rasionalisasi birokrasi melalui sistem hukum dan administrasi, keduanya adalah proses yang mana hubungan manusia makin bertambah dimediasi oleh struktur yang abstark, yang harus dipahami dan dikontrol, dan juga kondisi wajib untuk rentang yang lebih besar dari kemungkinan-kemungkinan sosial dan perbedaan sosial. Ini adalah bukan sebuah situasi dan-atau. Ada di antara suatu level yang lebih tinggi dari disiplin sosial, jika itu adalah cara yang kita harapkan untuk mencirikannya, dan sebuah level yang lebih tinggi dari individualitas dan reflexivitas. Sesungguhnya yang satu adalah kondisi bagi yang lainnya. Problem dari tujuan kita adalah peralihan cara kita mendefinisikan problem sejarah.
Ijinkanlah kami mengambil tiga contoh dalam hubungannya dengan isu-isu mutakhir di dalam kajian media. Pertama, sebagai contoh, problem teori Habermas tentang aksi komunikatif dan pertimbangan kesejarahan tentang perkembangan dan re-feodalisasi ruang publik yang di atasnya aksi komunikasi itu terletak, walaupun upaya dia untuk melarikan diri dari problematika alienasi keterasingan (alienation) dan pembendaan (reifikasi) melalui sebuah teori rasionalitas komunikasi dan dunia kehidupan, apakah bahasa kolonialisasi dan komunikasi terdistorsi masih mereproduksi cara orisinil dalam menyusun problem.
Contoh kedua saya datang dari buku mutakhir Scannell, Radio, Television and Modern Life (1996) yang mengadopsi pendekatan Heideggerian kepada problem-problem ruang publik dan kehidupan sehari-hari. Di akhir bukunya itu dia membuktikan:
“Sebelum ada stasiun siaran radio (broadcasting), kehidupan publik bukan ‘untuk saya’. Hal itu, secara definisional, berada di balik pencapaian saya atau siapapun. Sebagaiman ditunjukkkan kemudian, tentang kebutuhan, sebagai anonim, impersonal, dan berjarak: di balik rentang perhatian saya. Gaya tematisasi kita pada abad ke –19 dalam seksi terdahulu telah dimaksudkan untuk membawanya keluar, untuk menunjukkan bahwa dunia sebagai sebuah totalitas – di dalam bagiannya dan sebagai sebuah keseluruhan – berada ‘dalam praktek-praktek dan prinsip-prinsip’ selalu berada di balik pemahaman ‘saya’. Lukacz menarik kesimpulan yang benar dari hal ini – bahwa dunia yang penuh makna ini tidak dapat dipahami sepenuhnya. Perpecahan/keretakan dari keseluruhan dunia – sebuah fenomena historis yang nyata, bukan sebuah proyeksi subjektif kepada realitas – telah menyumbang kepada apa yang terlihat seperti ‘haemorrhage yang tak dapat disumbat’ (unstanchable haemorrhage) tentang makna kehidupan moderen yang ditafsirkan oleh Lukacs sebagai fenomena pembendaan/objektivikasi (reification). Maujud dan waktu dapat dipahami secara historis dalam cara yang sama – sebagai sebuah kritik reifikasi dan penemuan kembali heroisme yang benar dari eksistensi yang penuh makna di dalam sebuah dunia yang maknanya hampir lengkap terliputi, pada saat penulisan. Dari radio mereka yang paling awal dan kemudian televisi telah tidak menonjol menyumbang kepada penemuan kembali dunia dalam kepenuhmaknaan-nya yang telah menjadi terliputi di dalam pelajaran modernisasi kemasyarakatan.
Sekarang pengakuan besar dibuat di sini, tapi mereka berdasarkan, sebagaimana Scannell untuk pinjamannya yang membuat kristal menjadi bersih, atas sebuah penafsiran dari sebuah perkembangan sejarah real yang konkrit. Sekarang dalam pandangan saya, pembacaan tentang sejarah modernitas ini adalah secara mendalam telah salah arah. Namun ini adalah subjek untuk analisis sejarah. Apakah proses ini benar-benar ada? Karena jika tidak, problem yang kepadanya ini membuktikan stasiun radio siaran (broadcasting) menawarkan sebuah pemecahan masalah sederhana yang gagal.
Contoh ketiga saya adalah perdebatan tentang kemerosotan atau sebaliknya tentang pemirsa massal dan semua usaha, disajikan baik dalam Scannell dan di dalam apa yang disebut kajian pemirsa baru, untuk menyembuhkan/menguatkan diri kembali sesuatu yang disebut kehidupan sehari-hari di dalam sebuah usaha untuk mengelilingi kelihatan seperti apa mazhab pemikiran ini sebagai elitis atau pandangan pengasingan (alienating view) tentang pemirsa sebagai suatu massa dan tentang kandungan isi media sebagai ideologi. Sekarang jelaslah bahwa massa sebagai sebuah konsep atau sikap mempunyai sejarahnya sendiri, tapi point isuenya adalah bagaimana kita memahami secara historis hubungan antara skala general yang diperlukan dari formasi sosial moderen di satu sisi dan generalisasi yang diperlukan dan bentuk-bentuk abstrak dari mediasi yang menjamin koordinasi sosial dan pembebasan / emansipasi individual di sisi lain. Lalu sebuah klaim yang dibuat untuk keuntungan progresif dan pembebasan dari perkembangan baru media di atas basis yang telah mereka gembar-gemborkan, atau sesungguhnya mungkin telah menyebabkan, kematian pemirsa massal. (lihatlah, misalnya Toffler 1980; Negroponte 1995). Jika dengan ini kami maksudkan sejumlah besar orang akan berhenti atau telah berhenti mengkonsumsi sebuah rentang terbatas relatif dari produk umum media, kemudian secara empiris, sebagaimana Neumann (1991) secara khusus telah tunjukkan, hal ini adalah tidak benar, dan untuk alasan-alasan yang Neumann dan Winston (1998) telah uraikan, tidak seperti untuk mengubah dalam masa depan yang dapat diduga. Namun poit kesejarahan pada pokok ini adalah untuk melihat hal ini sebagai kemunduran atau dalam beberapa pengertian anti-kemanusiaan dan untuk melihat teori modernitas sebagai persyaratan kebebasan sebagai tiang penyokong terori kesejarahan dari modernitas sebagai rasionalisasi, alienasi dan reifikasi. Jika teori dapat ditunjukkan kepalsuan sejarahnya kemudian antara problem dan praduga evaluatifnya pergi begitu saja dan kita dapat khawatir terhadap apapun yang lainnya.
Saya dapat menempatkan pertentangan antara sejarah yang berdasarkan penilaian yang berbeda dari proses yang sama dengan mengkontraskan Foucault dengan Elias. Apa yang Foucault lihat sebagai latihan pengasingan dari disiplin sebagai kekuasaan Elias melihat sebagai sebuah proses civilisasi (peradaban) dari peningkatan internalisasi social control sebagai self-control. Apakah thesis rasionalisasi berdiri kepada bukti-bukti kontemporer dari keruntuhan nasionalisme, pertumbuhan pergerakan theokratik, pertambahan penolakkan publik terhadap sains dan mengambil jalan mistisisme dari salah satu atau lain adalah pasti sebuah pertanyaan kesejarahan. Namun yang paling krusial dari pandangan saya adalah evalusi tentang evolusi kesejarahan dari proses rasionalisasi. Dan dalam hal ini saya mantap berada pada sisi Elias, sebagai yang saya bayangkan akan menjadi siapapun yang telah benar-benar berpengalaman apa yang sekarang hanya kenyataan sejarah yang terlalu lazim, turunan dari sistem yang lestari dari produksi ekonomi dan distribusi dan sistem tatanan hukum.
Singkatnya apa yang saya harapkan untuk dibuktikan adalah bahwa semua teori tentang media terletak pada teori-teori historis sebagai suatu proses perkembangan sejarah institusi media dan praktek-praktek serta hubungan mereka dengan perkembangan modernitas dan karakteristik struktur sosialnya dan prakteknya. Oleh karena itu kita tidak dapat menghindari sejarah. Mereka adalah narasi yang membuat aksi dan kritik menjadi mungkin dan diperlukan adanya. Bahwa bentuk sejarah, jenis cerita yang kita bangun dan mobilisasinya, akan tergantung dari pertanyaan yang kita ajukan di dalam masa kini dan bagaimana pertanyaan tersebut telah terbingkai secara historikal. Namun sejarah tersebut haruslah, bertentangan dengan post-modernism, menjadi subjek penilaian dalam sinaran bukti-bukti kesejarahan (sejarah adalah nyata dan kita mendapatkannya salah pada bahaya kita) dan di dalam konteks diskursif rasional ruang kritisisme [validitas argumentasi kesejarahan adalah didasarkan secara sosial (socially grounded) ].