Darakah, sebuah desa
kecil di sisi pegunungan dekat Teheran, di tempat inilah Allamah
Thabathaba'i menghabiskan bulan-bulan musim panas, menyingkir dari
panas Kota Qum, kediamannya. Di desa inilah Profesor Kenneth Morgan,
seorang orientalis terkemuka berkunjung untuk memintanya menulis
mengenai pandangan-pandangan Islam Syi'ah untuk masyarakat
intelektual Barat. Dengan kemampuannya yang mumpuni dan penguasaannya
pada ilmu-ilmu Islam tradisional serta pengenalannya terhadap
pemikiran Barat menjadikan Allamah Thabathaba'i memang orang yang
tepat untuk menulis hal tersebut.
Di dalam dirinya
terdapat kerendahhatian dan kemampuan analisis intelektualnya
bergabung. Dalam kelompok ulama tradisional Allamah Thabathaba'i
memiliki kelebihan sebagai seorang Syaikh dalam bidang Syariat dan
ilmu-ilmu esoteris, sekaligus seorang hakim (filosof atau, tepatnya,
teosof Islam tradisonal) terkemuka. Allamah Thabathaba'i telah
membaktikan segenap hidupnya untuk mengkaji agama. Sebuah dedikasi
tinggi terhadap perkembangan ilmu-ilmu Islam dan ilmu pengetahuan
pada umumnya.
Allamah Sayyid
Muhammad Husain Thabathaba'i dilahirkan di Tabriz pada tahun 1321 H
/1903 M, dari suatu keluarga keturunan Nabi Muhammad –yang
selama empatbelas generasi telah mengahasilkan ulama-ulama Islam
terkemuka. Ia memeperoleh pendidikan di kota kediamannya, menguasai
unsur-unsur bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama, dan ketika usia duapuluh
tahun berangkat ke Universitas Najaf untuk melanjutkan pelajarannya.
Disana ia mempelajari Syariat dan ushul al-fiqh dari dua diantara
syaikh-syaikh terkemuka masa itu yaitu Mirza Muhammad Husain Na’ini
dan Syaikh Muhammad Husain Isfahani.
Namun menjadi
Mujtahid bukan tujuannya. Thabathaba'i lebih tertarik pada ilmu-ilmu
aqliah, dan mempelajari dengan tekun seluruh dasar matematika
tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khwansari, dan filsafat Islam
tradisional, termasuk naskah baku asy-Syifa karya Ibnu Sina dan
al-Asfar karya Sadr al-Din Syirazi serta Tamhid al-Qawa’id
karya Ibnu Turkah dari Sayyid Husain Badkuba’i.
Thabathaba'i
juga mempelajari â€کilm
Hudhuri (ilmu-ilmu yang dipelajari langsung dari Allah SWT), atau
ma’rifat, yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi
penampakan hakekat-hakekat supranatural. Gurunya, Mirza Ali Qadhi,
yang mulai membimbingnya ke arah rahasia-rahasia Ilahi dan
menuntunnya dalam perjalananan menuju kesempurnaan spritual. Sebelum
berjumpa dengan Syaikh ini, Thabathaba'i mengira telah benar-benar
mengerti buku Fushulli al-Hikam karya Ibn Arabi. Namun ketika bertemu
dengan Syaikh besar ini, ia baru sadar bahwa sebenarnya ia belum tahu
apa-apa. Berkat sang Syaikh ini, tahun-tahun di Najaf tak hanya
menjadi kurun pencapaian intelektual, melainkan juga kezuhudan dan
praktek-praktek spritual yang memampukannya untuk mencapai keadaan
realisasi spritual.
Pada 1934 Allamah
Thabathaba'i kembali ke Tabriz dan menghabiskan beberapa tahun yang
sunyi di kota itu, mengajar sejumlah kecil murid. Kejadian-kejadian
pada Perang Dunia Kedua dan pendudukan Rusia atas Persialah yang
membawa Allamah Thabathaba'i dari Tabriz ke Qum (1945). Pada waktu
itu, dan seterusnya sampai sekarang, Qum merupakan pusat pengkajian
keagamaan di Persia. Ia mengajar tafsir Qur’an serta filsafat
dan teosofi tradisional, yang selama bertahun-tahun sebelumnya tidak
diajarkan di Qum.
Dengan demikian
Allamah Thabathaba'i telah memberikan pengaruh yang amat besar, baik
di dalam basis tradisional maupun modern. Dia telah mencoba untuk
menciptakan suatu elite intelektual baru di kalngan kelompok
masyarakat berpendidikan modern yang ingin menjadi akrab dengan
intelektualitas Islam di samping dengan dunia modern. Banyak murid
tradisionalnya yang termasuk kelompok ulama telah mencoba untuk
mengikuti teladannya dalam upayanya yang amat penting ini. Beberapa
muridnya seperti Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dari Universitas
Masyhad dan Murtadha Muthahhari dari universitas Teheran juga dikenal
sebagai sarjana yang mempunyai reputasi istimewa.
Dia adalah pribadi
yang agung, yang telah mencurahkan segenap hidupnya untuk didekasikan
kepada kebenaran. Kecintaannya pada ilmu telah mengejawantah dalam
pribadi agung ini. Dia telah menjadi lambang dari suatu tradisi
panjang kesarjanaan dan ilmu-ilmu tradisional Islam. Kehadirannya
meniupkan suatu aroma dari pribadi yang telah mendapatkan buah
Pengetahuan Ketuhanan. Ia mencontohkan dalam kepribadiannya,
kemuliaan, kerendahhatian dan kecintaannya pada kebenaran, yang
selama berabad-abad telah terdapat dalam pribadi-pribadi Muslim
sejati.