Abtraksi
by:AHMAD SHOLIH
Dunia Islam telah dihadapkan pada
situasi yang menggelisahkan. Beberapa institusi hukum dan sosio-ekonomi penting
yang telah berkembang di Barat selama empat ratus tahun terakhir dan yang telah
membuat serangan hebat terhadap masyarakat Islam, dalam bentuk dan strukturnya
sekarang ini, bertentangan dengan nilai dan prinsip yang disampaikan oleh
Islam. Perjalanan sejarah telah memaksakan institusi-institusi dan
organisasi-organisasi tersebut kepada
kita. Sadar atau tidak, kita telah menjadi korban dari situasi ini. Para sarjana Muslim semakin menyadari konflik ini dan
mencurahkan segenap upaya untuk mengeluarkan masyarakat Muslim dari situasi
tersebut. Untuk mencapai tujuan ini, perlu dibuat suatu kajian yang obyektif
mengenai berbagai institusi kontemporer dan hukum Islam. Selanjutnya, harus
dikembangkan institusi-institusi pengganti yang dapat memenuhi kebutuhan kita
tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar Islam.
Kontrak asuransi adalah salah satu
problemnya. Sebagai produks sains, kontrak asuransi konvensional didasarkan
pada prinsip-prinsip probabilitas dan hukum jumlah banyak yang mana risiko
dikonversi menjadi biaya tetap (fixed cost). "Ini dilakukan dengan
menggabungkan jumlah risiko yang besar dan menerapkan prinsip-prinsip
probabilitas pada banyak data yang berkaitan dengannya". Pengukuran secara
matematis yang eksak menjadi mustahil, sehingga risiko ditentukan oleh peluang
terjadinya kerugian seperti diestimasi dari pengalaman masa lalu. Cara ini
tidak akan mendatangkan hasil yang akurat, dan justru akan berakhir dalam ketidakpastian kompensasi
(subject-matter).
Alasan ini, dan alasan lainnya seperti
yang akan kemukakan dalam bab-bab selanjutnya, membuat kontrak asurasni
konvensional menjadi tidak sah dalam pandangan hukum Islam, yang menurut
Afzalur Rahman, bahwa dalam melakukan suatu transaksi jual beli pada umumnya
dan kontrak asuransi khususnya. Bilamana ditemukan keempat unsur riba, maisir,
garar dan juhala dalam suatu transaksi, tidak peduli jenis dan
bentuknya, maka unsur itu menyebabkan kontrak tersebut menjadi haram. Dalam
ketentuan tersebut, sejauh unsur riba
dan maisir itu terkait, tanpa mempedulikan tingkat tinggi rendahnya.
Jika ternyata unsur riba dan maisir terdapat dalam kontrak
asuransi konvesional, maka cukuplah untuk menyatakan bahwa kontrak asuransi itu
tidak sah dan haram hukumnya. Sedangkan terhadap kedua unsur lain, yaitu garar
dan juhala, maka di sini di temukan bahwa kontrak asuransi konvesional
mengandung kedua unsur itu pada tingkat yang tinggi. Oleh karenanya kontrak
asuransi konvensional terlalu tinggi untuk dapat diterima menurut syari'ah.
Pendapat Afzalur Rahman ini, juga didukung dan diperkuat oleh Schacht dengan
mengatakan: "Ditentukan oleh berbagai pertimbangan agama dan etika; setiap
institusi, transaksi, atau kewajiban diukur oleh standar-standar keagamaan dan
kaidah-kaidah moral, seperti pengharaman bunga, pelarangan ketidakpastian,
perhatian terhadap kesetaraan antara dua pihak, dan perhatian terhhadap
keseimbangan yang adil atau sama-sama rata (misl)".
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era yang modern ini, transformasi budaya mengakibatkan perubahan
pola-pola perilaku manusia baik itu di bidang sosial maupun ekonomi. Di bidang
sosial telah bermunculan karakter-karakter egoistis dan individualisme yang
sekarang ini tumbuh dan merebak di masyarakat perkotaan. Di bidang ekonomi
peralihan pola bertani kapada industrialisasi
yang mengakibatkan perpindahan penduduk dari desa ke perkotaan untuk
mengadu nasib.
Hal itu semua tidak hanya membawa suatu manfaat saja,
akan tetapi masih banyak persoalan yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut, di
antaranya egoistis, materialistis serta moral manusia yang semakin bejat yang
akhirnya membuat suatu kehawatiran terhadap rasa aman bagi kehidupan masyarakat
kita saat ini
Dan tidak ketinggalan pula kemajuan teknologi pasa
zaman sekarang ini, yang membawa banyak sekali perubahan pada tata kehidupan
manusia. Di samping manfaat yang telah kita rasakan sekarang ini, juga tidak
luput dari bahaya yang menyebabkan kehawatiran dan ketidakpastian terhadap
keamanan seseorang.
Untuk menghindari dan mencegah kehawatiran dan ketidakpastian
tersebut ada berbagai cara yang dilakukan seseorang baik untuk melindungi
dirinya maupun hartanya, di antaranya dengan mengansuransikan jiwa dan hartanya
kepada perusahaan peransuransian guna mencari sebuah proteksi.
Asuransi (pertangungan) adalah perjanjian antara dua
pihak atau lebih yang mana pihak pemegang mengikatkan diri kepada tertanggung,
dengan menerima premi asuransi untuk tertanggung karena kerugian, kerusakan
atau kehilangan keuntungan, yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin ada di antara tertanggung, yang timbul dari sesuatu
peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan sesuatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang ditanggung (Pasal 1 UU
no. 2 tahun 1992 tentang usaha peransuransian).[1]
Dalam KUHD Pasal246 asuransi dirumuskan sebagai suatu
perjanjian dalam mana pihak yang tertanggung berjanji terhadap pihak yang
ditanggung untuk menerima sejumlah premi mengganti kerugian yang mungkin akan
diderita oleh pihak yang ditanggung sebagai akibat dari suatu peristiwa yang
belum terang terjadinya.
Di Indonesia, landasan-landasan
hukum asuransi diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) maupun
peraturan-peraturan diluar KUHD. Ali Yafie berpendapat:
Dalam 160 pasal pada KUHD segala sesuatu yang menyangkut
asuransi telah diatur sedemikian rupa sehingga ia merupakan lembaga hukum dalam
hukum perdagangan. Dan dalam KUHS (KUHPerdata Pen.), disinggung juga mengenai
segi keperdataannya. Selain itu, masih ada peraturan perundangan lainnya yang
menyangkut asuransi, seperti undang-undang no. 33 tahun 1964 dan lain
sebagainya.[2]
Kitab Undang-undang Hukum Dagang
yang mengatur tentang asuransi hanyalah merupakan suatu perjanjian. Mengenai
usaha perasuransian, di mana bentuk usaha tersebut memberikan perlindungan dan
menyangkut dana masyarakat maka pengaturannya terdapat pada UU No. 2 Tahun
1992.[3]
Dan masih banyak landasan hukum yang mengatur tentang asuransi di Indonesia.
Melihat kenyataan di atas, maka dapat dipahami bahwa
dalam asuransi terdapat dua pihak yaitu penanggung dan tertanggung, pihak
pertama biasanya berwujud perusahaan atau lembaga asuransi, sedangkan pihak kedua
adalah orang atau badan hukum yang akan menderita karena suatu peristiwa yang
belum terjadi, sebagai kontra presepsi dari pertanggungan ini pihak tertanggung
diwajibkan membayar uang premi kepada pihak penanggung.
Suatu kontrak asuransi dapat didefinisikan “Suatu
kontrak di mana seseorang disebut ‘penjamin’ akan memberikan penanggungan
sebagai balas jasa atas imbalan yang telah disetujui yang disebut ‘premi’, yang
telah dibayar oleh orang lain, yang disebut ‘tertanggung’, berupa sejumlah
uang, atau yang senilai, atau suatu kejadian tertentu. Peristiwa tertentu itu
harus unsur yang tidak menentu; peristiwa tersebut mungkin berupa (a) masalah
asuransi jiwa, atau (b) kecelakaan”.[4]
Kontrak tersebut dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut Polis,
yaitu suatu akta yang ditandatangani oleh asuradur, yang fungsinya sebagai
alat bukti dalam perjanjian asuransi.[5]
Lebih lanjut Afzalur Rahman menjelaskan bahwa kontrak
atau perjanjian asuransi dibuat berdasarkan prinsip ketidakpastian, kejadian
yang tidak menentu yang meliputi spekulasi suatu risiko. Baik peserta asuransi
maupun pengusaha asuransi menyepakati suatu kontrak untuk menanggung risiko,
pihak pertama mengalihkan risiko kerugian dan pihak kedua memperoleh premi.
Semua kontrak asuransi dibuat dalam dokumen resmi, yang disebut polis
(peraturan asuransi jiwa tahun 1774) di mana pengusaha asuransi secara resmi
terikat untuk menanggung persoalan peserta asuransi berdasarkan premi yang
diterimanya dan apabila gagal melaksanakan kewajibannya maka ia akan dikenakan
denda (peraturan resmi tahun 1891).[6]
Adapun yang dimaksud premi di sini adalah suatu harga
yang ditetapkan pengusaha asuransi untuk mengambil alih risiko dan memikul
beban kemungkinan risiko kerugian sebagaimana disepakati dalam kontrak asuransi.
Berdasarkan pada rumus rata-rata pengusaha asuransi menentukan besarnya premi
berdasarkan pengalaman jumlah yang mencukupi untuk menanggung risiko termasuk
biaya lainnya, seperti keuntungan, sehingga ditetapkan premi untuk menutup
semua biaya dan premi tersebut dikenakan kepada peserta asuransi. Apabila premi
yang dibayarkan baru sekali dan terjadi risiko, maka beban risiko belum bisa
dialihkan.[7]
Dari uraian tersebut di atas maka kontrak asuransi
merupakan hal baru yang belum diatur secara terperinci dalam Hukum Islam (fiqh
mu'amalah). Di samping itu dalam al-Qur’an dan al-Hadis tidak ada satupun
ketentuan yang mengatur secara eksplisit tentang asuransi. Oleh karena itu
masalah asuransi ini dalam Islam termasuk bidang hukum Ijtihadiyah
artinya untuk menentukan hukumnya asuransi ini halal dan haram masih diperlukan
peranan akal pikiran para ulama ahli fiqh malalui ijtihadnya.[8]
Menurut as-Syaukani bahwa pada prinsipnya muamalah
adalah mubah, artinya sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya maka sesuatu
itu adalah boleh.[9]
Hal ini berdasarkan pada kaidah :
الأصل فى الأشياء الأباحة.[10]
Melihat permasalahan tersebut di atas bahwa kontrak
atau perjanjian asuransi merupakan perjanjian yang baru, yang tidak ada dan
diatur secara terperinci dalam al-Qur’an dan al-Hadis maka penyusun tertarik
untuk mengkaji lebih jauh mengenai kontrak asuransi terutama dalam pemikiran
Afzalur Rahman terhadap kontrak asuransi konvensional yang kemudian dikaitkan
dengan praktek kontrak asuransi yang berlaku di Indonesia pada masa sekarang.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa masalah yang dijadikan
penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah :
1.
Bagaimanakah pandangan dan
alasan dasar Afzalur Rahman tentang kontrak asuransi konvensional ?
2.
Bagaimanakah metode istimbat
Afzalur Rahman terhadap kontrak asuransi konvensional ?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
- Tujuan Penelitian
a.
Untuk menggambarkan pandangan
Afzalur Rahman tentang kontrak asuransi konvensional
b.
Untuk menjelaskan metode
istimbat Afzalur Rahman terhadap kontrak asuransi konvensional
- Kegunaan Penelitian
a.
Bagi kehidupan secara umum,
yaitu memberikan atau membangkitkan pengertian dan kesadaran bagi kebanyakan masyarakat yang masih
beranggapan bahwa kontrak asuransi konvensional yang belaku sekarang ini masih
belum tepat atau mengena dengan ketentuan-ketentuan agama yang telah diyakini,
karena hukum kontrak asuransi konvensional itu sendiri, hingga saat ini masih menjadi perselisihan pendapat dikalangan
para ulama, dan di samping juga agar
mereka memiliki landasan yang kuat dalam menjalani aktifitas perekonomian
b.
Bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu
syariah, yaitu memberikan pemahamam yang kokoh bagi pemikiran hukum Islam
sebagai upaya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah kontemporer yang
dihadapi umat Islam, khususnya masalah hukum kontrak asuransi konvensional.
D.
Telaah Pustaka
Untuk mendukung penelaah yang lebih
integral seperti yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, maka
penyusun berusaha untuk melakukan analisis lebih awal terhadap pustaka atau
karya-karya yang lebih mempunyai relevansi terhadap topik yang akan diteliti.
Karya-karya tersebut di antaranya adalah
Buku Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga
terkait (BMI & Takaful di Indonesia) karya Warkum Sumitro. Dalam buku
ini Warkum Sumitro mengemukakan perbedaan pandangan ulama fiqh terhadap praktek
perasuransian yang dipandang mengandung unsur riba, maisir, gharar dan
eksploitasi, kemudian dibandingkan dengan asuransi takaful yang berusaha
menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan syari’at Islam.[11]
Buku Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi
dan Ilustrasi, karya Heri Sudarsono, beliau mengemukakan asuransi pada
awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan
pembiayaan, unsur ketidakpastian dalam perjanjian asuransi konvensional
dipandang tidak sejalan dengan syarat syahnya suatu perjanjian menurut hukum
Islam. Untuk mencari jalan keluar dari berbagai macam unsur yang dipandang
tidak sejalan dengan syariat dalam perjanjian asuransi itu telah diusahakan
adanya perusahaan asuransi yang menekankan sifat saling menanggung, saling
menolong diantara para tertanggung yang bernilai kebajikan menurut ajaran
Islam.[12]
Buku Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi karangan Dr. Sri
Rejeki Hartono. S.H. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa perjanjian asuransi
adalah suatu perjanjian yang memberikan proteksi, maka perjanjian ini
sebenarnya menawarkan suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai
kerugian-kerugian ekonomis yang mungkin diderita karena suatu peristiwa yang
belum pasti.[13]
Sedangkan dari penelusuran skripsi yang mempunyai relevansi dengan
masalah ini, yaitu skripsi dengan judul Asuransi Syariah di Indonesia (Suatu
Studi Kasus di PT. Asuransi Takaful Umum Semarang), yang ditulis oleh
Rahmat Hadisaputra. Pada BAB II beliau menguraikan konsep Asuransi secara umum
termasuk di dalamnya tentang prinsip dasar dan syarat-syarat disahkannya suatu
perjanjian asuransi.
Skripsi karya M. Miftahur Rahman yang judulnya Pandangan Afzalur
Rahman terhadap Asuransi Harta Benda, di dalamnya disinggung masalah
kontrak dalam asuransi khususnya asuransi harta benda.
Dari penelusuran karya atau literatur yang telah disebutkan di atas,
belum ada penelitian yang meneliti tentang kontrak asuransi konvensional
terutama dalam pandangan Afzalur Rahman, sehingga penyusun tertarik untuk
menelitinya. Demikian hasil penelusuran pustaka yang penyusun lakukan sebagai
bahan acuan penyusunan skripsi yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
duplikasi atau pengulangan karya tulis.
E. Kerangka Teoretik
Hukum Islam dalam tinjauannya sebagai sebuah tasyri’
atau perundang-undangan, sesungguhnya dapat dibedakan menjadi tasyri’ illahi
dan tasyri’ wad’i.[14]
Tasyri’ Illahi adalah
hukum yang ditetapkan oleh Allah sebagai syari’ah dalam al-Qur’an dan
dijelaskan secara implementatif oleh Nabi S.A.W. dalam as-Sunnah. Hukum dalam
pengertian ini secara epistemologi bernilai pasti dan tidak dapat berubah yang
sering disebut dengan syari’ah, kemudian Tasyri’ Wad’i berupa hukum yang
dihasilkan oleh upaya ijtihad manusia dan karenanya bernilai nisbi yang sudah
barang tentu berubah mengikuti pergerakan zaman. Dan pengertian yang kedua ini
disebut sebagai fiqh.[15]
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa syariah adalah
sebagai tujuan dan fiqh adalah sebagai proses memahami dan menyimpulkan. perlu
ditambahkan pula bahwa hukum yang kedua (wad’i) meskipun selalu berubah
tetapi ia harus tunduk dibawah hukum Ilahi oleh sebab itu nas al-Qur’an banyak
membicarakan prinsip-prinsip dasar dari pada menyampaikan detail perbuatan
manusia.
Maka dalam kerangka itulah, hukum Mu’amalah yaitu
patokan-patokan yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam masyarakat[16].
Yang kesemua prinsip-prinsip tersebut untuk menjaga kemaslahatan manusia
dalam hubungannya dengan masyarakat, yang tidak luput dari tuntutan syara’.
Hukum mu’amalat
Islam mempunyai prinsip yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
- Pada dasarnya segala bentuk mu’amalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan as-Sunnah rasul.
- Mu’amalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
- Mu’amalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam hidup masyarakat.
- Mu’amalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.[17]
Berkaitan dengan asuransi, lebih lanjut Afzalur Rahman
mengemukakan :
- Mu’amalah dilaksanakan atas dasar saling rela dan tanpa ada unsur paksaan dari pihak lain. hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an :
2. Melarang praktek riba yang secara mutlak
diharamkan dalam bertransaksi.[19]
Allah berfirman :
يأيها
الّذين امنوا لا تأكلوا الرّبوا اضعافا مضعفة واتّقوا الله لعلّكم تفلحون.[21]
الّذين
يأكلون الرّبوا لا يقومون الاّ كما يقوم الّذي يتخبّطه الشّيطن من المسّ ذلك
بأنّهم قالوا انّما البيع مثل الرّبوا واحلّ الله البيع وحرم الرّبوا.[22]
- Meniadakan unsur garar atau ketidakpastian yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan dari satu pihak ke pihak lainnya yang akan menimbulkan ketidakrelaan dari salah satu pihak atau dikarenakan transaksi yang tidak bisa diserah terimakan atau tidak diketahui, seperti menjual ikan yang masih di dalam air, menjual burung diudara atau yang sejenisnya[23], sebagaimana firman Allah :
ولا
تقربوا مال اليتيم الاّ بالّتي هي احسن حتّى يبلغ اشدّه واوفوا الكيل والميزان
بالقسط لانكلّف نفسا الاّ وسعها واذا قلتم فاعدلوا ولوكان ذاقربى وبعهد الله اوفوا
ذلكم وصّكم به لعلّكم تذكّرون.[24]
ويل
للمطفّفين. الّذين اذا اكتالوا على النّاس يستوفون. واذا كالوهم اووّزنوهم يخسرون.
الا يظنّ اولئك انّهم مبعوثون.
ليوم عظيم.[25]
- Meniadakan unsur yang menghendaki untung-untungan yang didasarkan pada sifat spekulatif.[26] Hal ini untuk menjaga agar manusia tidak terjatuh dalam kejahatan yang ada dalam praktek maisir, sebagaimana celaan Allah yang membandingkan kemanfaatan yang diperoleh lebih sedikit dari dosa yang diakibatkannya. Pelarangan berdasarkan:
يأيها
الّذين امنوا انّما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشّيطن فاجتنبوه
لعلّكم تفلحون. [28]
- Meniadakan unsur eksploitasi atau penindasan. [29] Islam melarang umatnya mengambil keuntungan dan sesamanya dengan cara yang tidak dibenarkan dan dengan cara yang merugikan dan eksploitasi demi mendapatkan keuntungan.
فان لم تفعلوا فأذنوا بحرب مّن الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون[30]
Sedangkan menurut para ulama fiqh lain yang membahas
masalah asuransi beranggapan bahwa masalah asuransi merupakan masalah yang
belum dikenal sebelumnya, sehingga hukumnya yang khas tidak ditemukan dalam
fiqh Islam. Mereka mengatakan bahwa tidak ada halangan dalam sahnya asuransi
yang tidak termasuk ke dalam salah satu akad di dalam fiqh, dan tidak ada dalil
yang membatasinya. Bahkan tuntunan prinsip-prinsip fiqh adalah adanya keumuman
(universalitas).[32]
Dalam Pasal 246 KUHP dan pasal 1 UU No. 2 Th. 1992 tentang
perasuransian, usaha asuransi ditegakkan di atas prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1.
Prinsiple of Insurable
Interest
Bahwa, seseorang boleh mengansurasikan barang-barang apabila yang
bersangkutan mempunyai kepentingan atas barang yang dipertanggungkan (Pasal 250
KUHP)
2.
Prinsiple of Utmost Good
Faith
Penutupan asuransi baru sah, apabila penutupannya didasari itikad
baik (pasal 251 KUHP)
3.
Prinsiple of Indemnity
Dasar penggantian
kerugian dari penanggung kepada tertanggung setinggi-tingginya adalah sebesar
kerugian yang sesungguhnya diderita tertanggung dalam arti tidak dibenarkan
mencari keuntungan dari ganti rugi asuransi
4.
Prinsiple of Subrogatian
Apabila
tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas dasar indemnity, maka si
tertanggung tidak berhak lagi memperoleh penggantian dari pihak lain, walaupun
jelas ada pihak lain yang bertanggungjawab pula atas kerugian yang dideritanya.
Penggantian dari pihak lain harus diserahkan pada penanggung yang telah
memberikan ganti rugi dimaksud (pasal 284 KUHP)[33].
Suatu akad dipandang telah sah apabila telah memenuhi
rukun-rukun dan syarat sahnya suatu akad, adapun rukun dan syarat sahnya akad
adalah sebagai berikut :[34]
Rukun akad:
1.
Ada pihak yang
berakad (al-Aqidain)
2.
Ada obyek tertentu
(al-Ma’qud alaih)
3.
Ijab dan qabul (Shighat akad)
4.
Tujuan pokok dari akad (Maudlu
al-Akad)
Sedangkan persyaratan suatu akad dibagi menjadi dua
yaitu Pertama syarat umum yaitu suatu persyaratan yang harus ada pada
setiap akad dan Kedua syarat khusus yaitu suatu persyaratan yang ada
pada akad tertentu dan tidak pada akad yang lain. Adapun persyaratan akad
secara umum adalah :
1.
Setiap pihak harus memiliki
kecakapan bertindak hukum
2.
Obyek akad berupa barang yang
sah secara hukum
3.
Akad tersebut tidak dilarang
oleh syara’
4.
Keadaan akad tersebut
bermanfaat
5.
Akad yang dilakukan juga
memenuhi syarat khusus
6.
Bersatunya tempat akad
Sedangkan syarat
umum perjanjian yang harus dipenuhi menurut Pasal 1320 KHUPer, yaitu :
1.
Kesepakatan mereka yang
mengikat diri
2.
Kecakapan untuk melakukan
sesuatu
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal[35]
Inilah prinsip-prinsip hukum muamalah yang disebutkan
dalam al-Qur’an dan juga telah dijelaskan oleh Nabi dalam berbagai kesempatan
sebagai penafsiran aplikatif al-Qur’an, dan ketetapan perundang-undangan
tentang syarat sahnya dilakukan suatu perjanjian, dimana prinsip-prinsip
tersebut bertujuan menjaga manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain
termasuk, di dalamnya kontrak asuransi.
F. Metode Penelitian
- Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Library Research,[36]
yaitu suaatu penelitian yang sumber datanya diperoleh melalui penelitian
buku-buku yang relevan dengan persoalan yang diteliti.
- Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif[37]-analisis
yaitu berusaha memaparkan data tentang suatu hal atau masalah dan kemudian
menganalisis dengan interpretasi yang tepat. Atau dengan kata lain berusaha
memaparkan tema-tema umum seperti pengetahuan tentang asuransi, tentang kontrak
asuransi konvensional dalam pandangan Afzalur Rahman yang kemudian diadakan
suatu analisa.
- Teknik Pengumpulan Data
Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian
pustaka, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengkaji dan
mentelaah berbagai leteratur yang mempunyai relevansi dengan kajian skripsi
ini, yaitu dengan menggunakan data primer buku Doktrin Ekonomi Islam jilid
4 dan data sekunder yaitu data-data yang berkaitan dengan masalah kontrak
asuransi serta data pelengkap yaitu bahan-bahan tertulis seperti, buku,
majalah, surat kabar dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan
pembahasan skripsi penyusun.
- Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam memperoleh data adalah
dengan menggunakan data sebagai berikut:
a.
Pendekatan normatif:
penyusun akan mengkaji masalah dengan meninjaunya dari hukum Islam dan positif
Indonnesia, kaitannya dengan kontarak
asuransi, sehingga akan dapat diketahui
dasar hukumnya.
b.
Pendekatan yuridis
formil: yaitu mengkaji dan mempertimbangkan aturan-aturan atau
ketentuan-ketentuan berdasarkan hukum Islam maupun perundang-undangan asuransi
yang ada di Indonesia.
- Analisis Data
Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data
adalah metode deduktif[38]
yaitu berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum dan bertitik tolak pada
pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus yaitu
berangkat dari teori muamalah khususnya kontrak asuransi kemudian mengadakan
penelitian terhadap pandangan Afzalur Rahman tentang kontrak asuransi
konvensional.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam penelitian ini dan supaya bisa
dipahami secara runtut dan sistematis, maka kerangka penulisannya tersistematika
sebagai berikut :
Bab pertama:
merupakan pendahuluan yang berisi: pertama, latar belakang masalah yang
memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang diteliti. Kedua, pokok masalah merupakan penegasan terhadap
apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Ketiga, tujuan yang
akan dicapai dan kegunaan (manfaat) yang diharapkan tercapainya penelitian ini.
Keempat, telaah pustaka sebagai penelusuran terhadap literatur yang
telah ada sebelumnya dan kaitannya dengan objek penelitian. Kelima,
kerangka teoretik menyangkut pola fikir atau kerangka berfikir yang digunakan
dalam memecahkan masalah. Keenam, metode penelitian berupa penjelasan
langkah-langkah yang akan ditempuh dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Ketujuh,
sistematika pembahasan sebagai upaya yang mensistematiskan penyusunan.
Bab kedua: mengulas tentang gambaran umum masalah
asuransi . Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang keberadaan dan
praktek asuransi saat ini. Bab ini terbagi atas
tiga sub. Sub pertama, membahas ruanglingkup asuransi yang
meliputi: 1) Sejarah dan perkembangan asuransi. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui kapan asuransi itu ada (dari masa pra-Islam hingga datangnya Islam).
2) Bagaimana pengertian asuransi. 3)
Mengulas mengenai prinsip-prisip dasar asuransi. 4) Menjelaskan berapa
banyak jenis asuransi dalam kegiatan transaksi ekonomi dan kehidupan modern
ini. 5) Menerangkan sejauhmana bentuk hukum asuransi yang telah ada dan, 6)
mengupas mengenai sifat-sifat asuransi.
Pemaparan ini perlu untuk memahami akibat hukum yang timbul dari
dilaksanakannya praktek kontrak asuransi konvensional dalam masyarakat Indonesia
sekarang. Kemudian sub kedua, membahas kontrak asuransi konvensional
yang terdiri; 1) Definisi kontrak asuaransi. 2) Unsur-unsur esensial dari
kontarak asuransi, dan 3) Ciri-ciri kontrak asuransi. Kemudian dilanjutkan pada
sub ketiga yaitu mengenai pandangan ulama mengenai asuransi
konvensional.
Sedangkan bab ketiga membahas
pandangan Afzalur Rahman mengenai kontrak asuransi konvensional. Hal ini diperlukan
karena pada dasarnya penelitian ini terfokus pada praktek asuransi tersebut.
Bab ini terbagi menjadi menjadi tiga sub,
pertama, mengulas tentang
biografi Afzalur Rahman. Kedua, menerangkan karya-karya. Ketiga, mengupas
tentang pandangan Afzalur Rahman tentang kontrak asuransi konvensional. Hal ini
dimaksudkan untuk memahami secara utuh atau mnyeluruh terhadap pandangan
Afzalur Rahman dalam merespon praktek kontrak asuransi konvensional dalam
sistem ekonomi modern sekarang ini.
Bab keempat: analisis terhadap konsep Afzalur Rahman
tentang kontrak asuransi konvensional yang terdiri dari ketentuan hukum kontrak
asuransi konvensional, dan analisis metode istimbat Afzalur Rahman terhadap
kontrak asuransi konvensional
Bab kelima, sebagai bab terakhir dari keseluruhan
rangkaian pembahasan, memaparkan kesimpulan dan pembahasan bab-bab sebelumnya
sehingga memperjelas jawaban terhadap persolan yang dikaji serta saran-saran
dari penulis berkenaan dengan pengembangan keilmuan agar dapat mencapai hal-hal
yang lebih baik dan lebih maju.
BAB. II
GAMBARAN UMUM TENTANG ASURANSI KONVESIONAL
A. Ruang Lingkup Asuransi Konvensional
Sejarah dan Perkembangan Asuransi
Asuransi merupakan
suatu evolusi panjang dengan permulaan sederhana dan bukan suatu produk legislatif,
serta merupakan bagian dari sejarah perdagangan dan pelayaran pada umumnya.
Asuransi mulai dimanfaatkan oleh masyarakat pedagang di lembah Inggris,
Mesopotamia, sekitar 4000 tahun SM. Namun pengaturannya pertama kali ditemukan
dalam kitab Undang-Undang Hukum Hammurabi dari Babilonia sekitar 2100 SM.[39]
Dalam catatan
sejarah dunia Barat, di kalangan bangsa Romawi muncul gagasan melakukan
perjanjian asuransi laut pada abad 12, kemudian memencar di beberapa daerah
Eropa pada abad 14. Pada tahun 1680 di London berdiri asuransi kebakaran
sebagai akibat peristiwa kebakaran besar di London pada tahun 1966 yang melalap
lebih dari 13.000 rumah dan kira-kira 100 gereja.
|
Pengertian Asuransi
a.
Secara bahasa
Kata asuransi
berasal dari bahasa Belanda “Assurantie” dan dalam hukum Belanda dipakai
kata Verzekerring, kata ini kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata
“Pertanggungan”. Dari peristilahan Assurantie kemudian timbul istilah
assuradeur bagi penanggung dan geassureerde bagi tertanggung. Dari istilah
Verzekerring timbullah peristilahan Verzekerear bagi “penanggung” dan
Verzekerde bagi “tertanggung”. Dalam bahasa Arab asuransi menggunakan kata
ta’min, “penanggung” disebut dengan mu’ammin, dan “tertanggung” disebut
dengan mu’ammin lahu sering juga disebut dengan musta’min[41]
b.
Secara istilah
b.1. Dari sudut pandang sosial
Asuransi adalah
suatu alat sosial yang menggabungkan risiko-risiko individual ke dalam suatu
kelompok dan menggunakan dana yang disumbangkan oleh anggota-anggota kelompok
itu untuk membayar kerugian-kerugian[42]
b.2. Dari sudut
pandang teknik
Asuransi adalah
usaha untuk mengurangi ketidakpastian pada pihak-pihak tertentu yang dinamakan
tertanggung melalui pengalihan risiko-risiko tertentu kepada pihak lain yang
dinamakan penganggung yang berjanji untuk memberikan ganti rugi kepada
tertanggung, meskipun sebagian atas kerugian finansial yang menimpanya[43]
b.3. Dari sudut pandang hukum
Dalam kitab
Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246 memberikan pengertian asuransi sebagai
berikut : Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana
seorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan
menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu[44]
Sedangkan menurut
UU No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian, asuransi atau pertanggungan
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan[45]
Prinsip-prinsip Dasar Asuransi
Sebagaimana pengertian asuransi yang ditunjukkan dalam pasal 246
KUHP dan pasal 1 UU No. 2 Th. 1992 tentang perasuransian, maka usaha asuransi
ditegakkan di atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
5.
Prinsiple of Insurable
Interest
Bahwa,
seseorang boleh mengansurasikan barang-barang apabila yang bersangkutan
mempunyai kepentingan atas barang yang dipertanggungkan (Pasal 250 KUHP)
6.
Prinsiple of Utmost Good
Faith
Penutupan
asuransi baru sah, apabila penutupannya didasari itikad baik (pasal 251 KUHP)
7.
Prinsiple of Indemnity
Dasar penggantian
kerugian dari penanggung kepada tertanggung setinggi-tingginya adalah sebesar
kerugian yang sesungguhnya diderita tertanggung dalam arti tidak dibenarkan
mencari keuntungan dari ganti rugi asuransi
8.
Prinsiple of Subrogatian
Apabila
tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas dasar indemnity, maka si
tertanggung tidak berhak lagi memperoleh penggantian dari pihak lain, walaupun
jelas ada pihak lain yang bertanggungjawab pula atas kerugian yang dideritanya.
Penggantian dari pihak lain harus diserahkan pada penanggung yang telah
memberikan ganti rugi dimaksud (pasal 284 KUHP)[46].
9.
Prinsiple of Proximate
Cause
Adalah
suatu sebab aktif, efisiensi yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa
secara berantai atau berurutan dan intervensi kekuatan lain, diawali dan
bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen
10. Prinsiple of Contribution
Suatu prinsip di
mana penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang memiliki
kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada seseorang
tertanggung, meskipun jumlah tanggungan masing-masing penanggung belum tentu
sama besarnya[47]
Jenis-jenis Asuransi
Istilah perasuransian melingkupi kegiatan usaha yang bergerak di
bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Pasal 2 huruf (a)
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan
menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan
perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap
kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau
terhadap hidup atau meninggalnya seseorang".
Sedanggkan dalam Pasal 2 huruf (b) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992
menentukan:
"Usaha penunjang usaha asuransi adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi, dan jasa
aktuaria."
Dalam
Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 usaha asuransi dikelompokkan
menjadi tiga jenis, yaitu:
Pertama. usaha asuransi kerugian yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat,
dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang
tidak pasti.
Kedua, usaha asuransi jiwa yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau
meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
Ketiga, usaha reasuransi yang memberikan
jasa asuransi ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan Asuransi
Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
Dalam
Pasal 3 huruf (b) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 usaha penunjang usaha asuransi
dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu:
1.
Usaha pialang asuransi yang
memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan
penyelesaian ganti kerugian asuransi dengan bertindak untuk kepentingan
tertanggung.
2.
Usaha pialang reasuransi yang
memberikan jasa keperantaraan dalam menempatkan reasuransi dan penanganan
penyelesaian ganti kerugian reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan
Perusahaan Asuransi.
3.
Usaha penilai kerugian asuransi
yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang
dipertanggungkan.
4.
Usaha konsultan aktuaria yang
memberikan jasa konsultan aktuaria.
5.
Usaha agen asuransi yang
memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan
atas nama Penanggung.
Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam pasal 3 tersebut
didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi
adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Selain itu, di bidang
perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak
menanggung risiko asuransi yang kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha
penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian, sebagai sesama peneyediaan jasa di
bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan penunjang usaha asuransi
merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang
secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor
perasuransian di Indonesia.[48]
Selain pengelompokan menurut jenis usahanya, usaha asuransi dapat
pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua
kelompok, yaitu:
a.
Usaha asuransi sosial adalah
dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial yang bersifat wajib (compulsory) berdasarkan undang-undang
dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat.
b.
Usaha asuransi komersial dalam
rangka penyelenggaraan Program Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa yang
bersifat kesepakatan (voluntary)
berdasarkan kontrak asuransi dengan tujuan memperoleh keuntungan (motif
ekonomi).[49]
Dalam bentuk hukum usaha perasuransian, menurut ketentuan Pasal 7
ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 1992, usaha perasuransian hanya dapat
dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk: Perusahaan Perseroan (Persero);
Koperasi; Perseroan Terbatas (PT); Usaha Besama (Mutual).
Namun, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) usaha konsultan aktuaria
dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh Perusahaan Perseorangan, ayat (2).
Sedangkan mengenai bentuk Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan
undang-undang, ayat (3). Mengingat undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha
Bersama belum ada, maka untuk sementara ketentuan mengenai bentuk hukum ini
akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Apabila badan hukum yang menjalankan usaha perasuransian itu
berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan atau Perusahaan Perseroan (Persero) maka
pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas. Khusus badan hukum Perusahaan Perseroan (Persero) perlu
mengikuti juga ketentuan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998 tentang
Perusahaan Perseroan (Persero). Apabila badan hukum itu berbentuk Koperasi,
pendiriannya harus mengikuti Undang-undang No. 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian.[50]
Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib memperoleh
izin dari Menteri Keuangan, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial (Pasal 9 ayat (1)
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992). Khusus bagi Badan Milik Negara yang
menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai
penyelenggara program tersebut dituangkan dalam peraturan pemerintah. Hal ini
berarti bahwa pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang
bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah
diputuskan untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan demikian, bagi Badan
Usaha Milik Negara yang dimaksud tidak perlu memperoleh izin usaha dari Menteri
Keuangan.
Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus dipenuhi persyaratan mengenai: Anggaran Dasar; Susunan Organisasi; Permodalan;
Kepemilikan; Keahlian di bidang perasuransian; Kelayakan rencana kerja;
Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha
perasuransian secara sehat (pasal 9 ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun 1992)
Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam
ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuari, underwriting, manajemen risiko,
penilaian kerugian asuransi, dan sebagainya yang sesuai dengan kegiatan usaha
perasuransian yang dijelaskan.
Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing, maka untuk memperoleh
izin usaha wajib dipenuhi persyaratan dalam ayat (2) serta ketentuan mengenai
batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing (Pasal 9 ayat (3) Undang-undang
No. 2 Tahun 1992). Dalam pengertian “batas kepemilikan dan kepengurusan pihak
asing” termasuk pula pengertian tentang proses indonesianisasi. Dengan adanya
ketentuan ini diharapkan perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada
kekuatan sendiri.
Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam dua tahap, yaitu
tahap pertama pemberian persetujuan prinsip, dan tahap kedua pemberian izin
usaha. Tetapi pemberian prinsip bagi agen asuransi dan konsultan aktuaria tidak
diperlukan. Pemberian prinsip berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan,
perusahaan perasuransian yang bersangkutan tidak berjalan kegiatan usahanya,
maka izin usaha perasuransian dapat dicabut (Pasal 9-10 Peraturan Pemerintah
No. 73 Tahun 1992).
Sementara dalam Bab III pasal 3 UU No. 2 Th. 1992, yang mana dalam
pasal tersebut dikemukakan :
1.
Asuransi kerugian, yaitu
perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas
kerugian, kehilangan manfaat dan tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang
timbul dari peristiwa yang tidak pasti
2.
Asuransi jiwa, yaitu perjanjian
asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan risiko yang dikaitkan dengan
hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan
3.
Re-Asuransi, yaitu asuransi
yang memberikan jasa dan pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh
perusahaan asuransi kerugian dan atas perusahaan asuransi jiwa[51]
Dilihat dari segi kepemilikannya, dalam hal ini yang dilihat adalah
siapa pemilik dari perusahaan asuransi tersebut, baik asuransi kerugian, asuransi
jiwa ataupun Re-Asuransi.
1.
Asuransi Milik Pemerintah
Yaitu asuransi yang sahamnya dimiliki
sebagian besar atau bahkan 100 persen oleh pemerintah Indonesia
2.
Asuransi Milik Swasta Nasional
Asuransi ini kepemilikan sahamnya
sepenuhnya dimiliki oleh swasta nasional, sehingga siapa yang paling banyak
memiliki saham, maka memiliki suara terbanyak dalam rapat umum pemegang saham
(RUPS)
3.
Asuransi Milik Perusahaan Asing
Perusahaan asuransi jenis ini
biasanya beroperasi di Indonesia
hanyalah merupakan cabang dari negara lain dan jelas kepemilikannya dimiliki
oleh 100 persen oleh pihak asing
4.
Asuransi Milik Campuran
Merupakan jenis asuransi yang
sahamnya dimiliki campuran antara swasta nasional dengan pihak asing[52]
Ditinjau dari aspek tujuan dan sifat penyelenggaraannya, asuransi
dibedakan menjadi dua, yaitu asuransi sosial (Social Insurance)
dan asuransi khusus (Special Insurance). Asuransi sosial
bertujuan untuk umum dan biasanya bentuknya usaha bersama (koperasi) yang
berciri khas:
1.
Demokrasi dalam kepemilikan dan
kepengurusan
2.
Tertanggung sekaligus
penanggung
3.
Tidak ada modal
4.
Semua pemegang polis mempunyai
hak yang sama pada sisi hasil usaha
5.
Menyediakan asuransi dengan
biaya serendah mungkin dan seluas mungkin
Di Indonesia asuransi sosial untuk anggota masyarakat kebanyakan
diselenggarakan oleh pemerintah, sehingga sering disebut asuransi wajib karena
demi kepentingan umum
Asuransi khusus (Special Insurance) mempunyai tujuan
mencari laba dan biasanya berbentuk perusahaan Perseroan, kepemilikannya oleh
pemegang saham. Ciri asuransi khusus ini adalah:
1.
Kepemilikan dimiliki oleh
pemilik saham atau modal
2.
Bertujuan mengejar laba
3.
Penanggung tidak sebagai
tertanggung
4.
Menyelenggarakan harga polis
yang tetap
5.
Adanya unsur penekanan
pentingnya modal[53]
Sedangkan ditinjau dari hukum Islam asuransi dibagi menjadi dua,
yaitu :
1.
Asuransi syari’ah, adalah
asuransi di mana di dalam kegiatannya terhindar dari unsur yang diharamkan oleh
Islam, baik itu garar, maisir, riba dan eksploitasi
2.
Asuransi non syari’ah, adalah
asuransi yang dalam kegiatannya masih mengandung empat unsur di atas.
Bentuk Hukum Usaha Asuransi
Di Indonesia bentuk hukum usaha peransuransian diatur dalam pasal 7
ayat 1 UU No. 2 Tahun 1992, yaitu usaha peransuransian hanya dapat dilakukan
oleh badan hukum yang berbentuk ;
1.
Perusahaan Perseroan (PERSERO)
2.
Koperasi
3.
Perseroan Terbatas
4.
Usaha Bersama (mutual)
Dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usaha konsultan
aktual dan usaha agar asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan.
Ketentuan tentang
usaha peransuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual) diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.
Mengingat
Undang-undang mengenai bentuk hukum usaha bersama (mutual) belum ada, maka
untuk sementara ketentuan tentang usaha peransuransian yang berbentuk usaha
bersama (mutual) akan diatur dengan peraturan pemerintah[54].
Sifat-sifat Asuransi
Asuransi sesuai dengan definisi, pengaturan dan bentuk-bentuknya
mempunyai sifat :
1.
Sifat Persetujuan
Semua asuransi
berupa suatu persetujuan tertentu (Byzondere Overeenkomst), yaitu
suatu pemufakatan antara dua pihak atau lebih dengan maksud akan mencapai suatu
persetujuan dan dalam mana seorang atau lebih berjanji terhadap seorang lain
atau lebih (lihat pasal 1213 KUHS)
2.
Sifat Timbal Balik
Persetujuan
asuransi merupakan suatu persetujuan timbal-balik (Weder-Kerige-Overeenkomst)
yang berarti bahwa masing-masing pihak berjanji akan melakukan sesuatu bagi
pihak lain. Pihak tertanggung berjanji akan membayar sejumlah uang (uang
asuransi) kepada pihak tertanggung apabila suatu peristiwa tertentu akan
terjadi
3.
Sifat Konsensuil
Persetujuan
asuransi merupakan suatu persetujuan yang bersifat konsensuil, yakni sudah
dianggap terbentuk dengan adanya kata sepakat belaka antara kedua belah pihak
4.
Sifat Perusahaan
Asuransi premi
yang diadakan antara pihak penanggung dan pihak tertanggung, tanpa ikatan hukum
antara tertanggung ini dengan orang-orang lain yang juga menjadi pihak
tertanggung terhadap si penanggung tadi. Dalam hal ini pihak penanggung
biasanya bukan seorang individu melainkan suatu badan yang bersifat perusahaan,
artinya mementingkan hal untung rugi dalam tindakan-tindakannya. Badan itu akan
beruntung, apabila dalam satu tahun tidak perlu membayar uang-uang asuransi
kepada para tertanggung oleh karena tidak adanya peristiwa-peristiwa yang
mengakibatkan pembayaran uang asuransi. Maka kebanyakan badan penanggung dalam
asuransi itu dibentuk secara Perseroan Terbatas (PT).
5.
Sifat Perusahaan
Dalam pembicaraan
tentang bentuk asuransi, asuransi premi diperlawankan dengan asuransi saling
menanggung, dan yang disebut terakhir ini bersifat perkumpulan yang terbentuk
di antara para tertanggung selaku anggota
6.
Sifat Untung-untungan
Persetujuan
asuransi dilukiskan oleh pasal 1774 KUHS sebagai persetujuan untung-untungan di
mana untung ruginya bagi semua pihak bergantung pada suatu kejadian yang belum
tentu
7.
Sifat Berat Sebelah
Persetujuan
asuransi yang mengikat dua pihak, pada galibnya memberatkan pihak tertanggung,
karena yang menetapkan segala syarat (termaktub dalam polis) adalah pihak
penanggung (perusahaan asuransi) yang kedudukannya jauh lebih kuat disebabkan
modal yang dimilikinya, sehingga dengan mudah ia menetapkan segala persyaratan
yang menjamin pihaknya (kepentingan pihaknya).[55]
Sedangkan menurut
Prof. Emmy Pangaribuan menjabarkan lebih lanjut bahwa perjanjian asuransi juga
mempunyai sifat :
- Perjanjian
asuransi pada asanya adalah suatu perjanjian penggantian kerugian (Shcadever
Zekerring) atau (Indemniteits Contract) penanggung
mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak-pihak tertanggung
menderita kerugian dan yang akan diganti itu adalah seimbang dengan kerugian
yang sungguh-sungguh diderita (Prinsip Indemnitas).
- Perjanjian
asuransi adalah perjanjian bersyarat, kewajiban mengganti rugi dari penanggung
hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu atas nama pertanggungan
itu terjadi
- Kerugian yang
diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas mana
diadakan pertanggungan.[56]
B.
Kontrak Asuransi Konvensional
1. Definisi Kontrak Asuransi
Banyak definisi
mengenai asuransi. Salah satu yang populer adalah asuransi ialah subsitusi
suatu biaya kecil tertentu dengan suatu kerugian besar yang tidak tertentu.
Dari pandangan
hukum, kontrak dengan mana satu pihak dengan menerima sesuatu nilai yang
dikenal sebagai premi, memikul suatu risiko kerugian atau tanggung jawab yang
menimpa pihak lain, sesuai dengan suatu rencana (plan) untuk mendistribusikan
risiko tersebut, adalah kontrak asuransi apapun bentuk atau nama yang
dipakainya. Banyak kontrak yang sepintas lalu tampak seperti tampak asuransi,
tetapi jika diteliti menurut definisi ini ternyata tidak memenuhi syarat.[57]
2. Unsur-unsur
Esensil Dari Kontrak Asuransi
Walaupun kontrak
asuransi mempunyai beberapa ciri khas, namun ia harus memenuhi bentuk dan
syarat umum yang ditetapkan oleh hukum untuk setiap kontrak. Antara lain:[58]
1.
Perjanjian (penawaran
dan penerimaan)
Perjanjian terdiri
dari penawaran yang dilakukan oleh atau pihak dan penerimaannya oleh pihak
kedua. Dalam segala macam asuransi, jenis penawaran terpenting adalah aplikasi
asuransi dari calon yang ditanggung. Aplikasi ini dapat secara lisan. Misalnya
seseorang yang memutuskan hendak mengasuransikan rumahnya terhadap kerugian
akibat kebakaran dapat menelpon seorang agen asuransi. Kontrak lainnya ini
orang ini dengan agen tersebut adalah penerimaan polis dan rekening premi.
Dengan demikian berarti telah terjadi penawaran dan penerimaan atau perjanjian
antara pihak yang ditanggung dengan perusahaan asuransi itu karena agen
asuransi telah diberi wewenang oleh perusahaan asuransi tersebut.
2.
Pihak-pihak yang
Kompeten
Untuk sahnya suatu
kontrak asuransi seperti juga halnya dengan segala kontrak lain, adalah itu
harus dibuat oleh pihak-pihak yang kompeten (mampu). Ada tiga kelompok orang yang dianggap tidak
kompeten yaitu anak-anak yang belum dewasa, orang dewasa, orang-orang yang
secara mental tidak kompeten (mampu), dan dewasa bersuami. Usia dewasa tidak
sama di setiap negara. Di New York usia legal itu adalah 141/2 tahun.
Seseorang yang
telah dinyatakan secara resmi tidak waras adalah tidak kompeten melakukan
perbuatan hukum dan tidak mampu membuat kontrak asuransi yang sah.
3.
Obyek yang Sah atau
Legal
Suatu kontrak
asuransi biasanya dianggap bertentangan dengan kebijaksanaan negara dan dengan demikian tidak legal adalah
jika pihak yang ditanggung tidak mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan
dalam objek yang diasuransikan itu. Jika tidak ada kepentingan yang dapat diasuransikan
maka kontrak itu adalah perjudian.
Sebuah contoh lain
dari kontrak yang bertentangan dengan kebijaksanaan negara adalah kontrak yang
dibuat oleh pihak musuh.
Pasal 208 kitab
Undang-undang Hukum Perniagaan mengatakan bahwa yang dapat menjadi obyek
asuransi ialah semua kepentingan yang:
a)
Dapat dinilai dengan sejumlah
uang
b)
Dapat tertimpa macam-macam
bahaya
c)
Tidak dilarang oleh
undang-undang
4.
Imbalan (Consideration)
Suatu kontrak
hanya sah jika masing-masing pihak memberikan nilai atau memikul sesuatu
kewajiban terhadap pihak lainnya. Kontrak asuransi seringkali menyatakan bahwa
imbalan dari pihak yang ditanggung adalah "ketentuan-ketentuan dan
ketetapan-ketetapan yang tersebut di sini dan premi tertentu". Ini tidak
berarti bahwa premi harus dibayar sebelum polis berlaku. Kenyataannya banyak
polis asuransi harta sudah berlaku sebelum diterimanya pembayaran premi. Janji
membayar adalah imbalan (consideration). Sebaliknya pada asuransi jiwa, premi
pertama harus dibayar sebelum berlakunya polis.
Perusahaan
asuransi juga memberikan imbalan yang berupa janji akan melakukan pembayaran
jika terjadi peristiwa tertentu yang telah ditetapkan.
3. Ciri-Ciri Kontrak Asuransi
Ada
beberapa ciri khas tertentu dalam kontrak asuransi:
1.
Kontrak Untung-untungan
(Aleatory Contract)
Kebanyakan kontrak
bersifat commutative artinya masing-masing pihak menyerahkan
barang-barang atau jasa-jasa yang dianggap sama nilainya. Akan tetapi, kontrak
asuransi adalah bersifat aleatory artinya pihak-pihak yang membuat
kontrak menyadari bahwa jumlah uang yang akan diserahkan oleh masing-masing
pihak tidak akan sama.[59]
Dalam polis
asuransi, pihak yang ditanggung menyerahkan jumlah premi. Jika ia menderita
kerugian, ia mungkin menerima jumlah uang yang jauh lebih besar daripada premi
yang dibayarkannya kepada perusahaan asuransi. Dan jika ia tidak menderita
kerugian (yang lebih besar kemungkinannya demikian), ia tidak akan menerima
apa-apa dari perusahaan asuransi. Bagi perusahaan asuransi, ada kemungkinan ia
akan harus melaksanakan pembayaran yang jauh lebih besar daripada premi yang
diterimanya atau (lebih besar kemungkinannya) ia tidak akan membayar sama
sekali. Ciri-ciri khas dari aleatory contract adalah adanya untung-untungan (chance)
2.
Kontrak Adhesi
Kebalikan dari
kontrak tawar-menawar, kontrak asuransi biasanya merupakan suatu kontrak
adhesi. Perjanjian pada umumnya dibuat oleh para pengacara dan wakil-wakil lain
dari perusahaan asuransi, atau barangkali oleh wakil-wakil pemerintah. Biasanya
kontrak ini diberikan kepada calon yang ditanggung dalam semangat "terima
atau tolak". Calon pembeli asuransi tidak bisa mengajukan usul, agar
perusahaan asuransi mengubah sedikit pasal ini atau mengganti suatu perkataan.[60]
Ciri-ciri ini
sebetulnya menguntungkan pihak yang ditanggung jika kontrak itu menjadi perkara
pengadilan. Pengadilan menentukan bahwa karena perusahaan asuransi yang
menyusun kontrak itu, maka setiap kekaburan arti (ambiguity = arti dua,
kemenduaan) dalam kontrak itu harus ditafsirkan yang menguntungkan pihak yang
ditanggung terhadap perusahaan asuransi.
3.
Kontrak Sepihak
(Unilateral)
Kontrak dapat
bilateral atau unilateral. Pertukaran suatu janji dengan suatu janji adalah
bilateral (belah dua pihak), sedangkan pertukaran suatu tindakan dengan suatu
janji adalah unilateral (sepihak). Kontrak asuransi pada umumnya adalah kontrak
unilateral artinya pihak yang ditanggung sudah membayar premi, hanya satu pihak
terbuka terhadap janji sah yang berlaku untuk melaksanakan sesuatu selanjutnya.
Perusahaan asuransi menjanjikan pelaksanaan (performance).
4.
Kontrak Bersyarat
(Conditional)
Kontrak asuransi
adalah kontrak bersyarat. Memang benar kontrak itu telah terpenuhi seluruhnya
oleh pihak yang ditanggung dengan telah dibayarnya premi dan tinggal perusahaan
asuransi saja yang berkewajiban memenuhi janjinya. Akan tetapi, ini tidak berarti
tidak ada lagi syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak yang ditanggung jika ia
ingin memperoleh penggantian atas kerugiannya. Perbedaan antara janji (promis)
dengan syarat (condition) adalah bahwa janji itu dapat dipaksakan berlakunya
secara hukum, sedangkan syarat (condition) tidak. Pengaruh dari dilanggarnya
suatu syarat adalah pihak yang ditanggung tidak memperoleh penggantian kerugian
dari perusahaan asuransi. Contoh, pada suatu kontrak asuransi kebakaran,
perusahaan berjanji akan mengganti kerugian yang diderita pihak yang ditanggung
karena kebakaran. Pihak yang ditanggung perlu memenuhi beberapa syarat yang
berhubungan dengan pengajuan bukti kerugian karena suatu kebakaran. Akan
tetapi, ia secara hukum tidak wajib mengajukan bukti-bukti kerugian yang
diminta oleh syarat-syarat itu. Ia hanya perlu mengajukannya kalau ia ingin
memperoleh penggantian kerugian tersebut. Sebaliknya, perusahaan asuransi
kebakaran dapat dipaksa oleh hukum untuk memenuhi janjinya membayar ganti rugi,
jika pihak yang ditanggung telah memenuhi semua syarat-syarat yang dicantumkan
dalam kontrak.[61]
5.
Sepenuhnya Berdasarkan
Kepercayaan
Pada umumnya,
kontrak-kontrak apa saja adalah berdasarkan kepercayaan (bonafide, contract,
good-faith contract). Akan tetapi, kontrak asuransi adalah kontrak yang
sepenuhnya berdasarkan kepercayaan.[62]
Dibutuhkan tingkat tertinggi bonafiditas dalam negosiasi sebelum dikeluarkannya
polis. Dalam mengambil keputusan pertanggungan, perusahaan asuransi harus
mempercayai benar informasi yang diberikan oleh applicant (pelamar, pembeli
asuransi).
6.
Kontrak Pribadi
Orang-orang
mengatakan bahwa asuransi harta itu adalah kontrak pribadi seperti halnya
kontrak perkawinan.[63]
Baik pihak yang ditanggung maupun penanggung (perusahaan asuransi) tidak saja
memperhatikan kontrak itu tetapi juga watak, prilaku, dan bonafiditas, dari
masing-masing pihak. Dalam bahasa biasa dikatakan sesuatu barang diasuransikan.
Tetapi sesungguhnya yang diasuransikan adalah si pemilik barang itu. Kontrak
asuransi tidak terikat kepada barang itu dan tidak berpindah kepada pembeli
barang itu. Persetujuan penanggung diperlukan untuk memindahkan sesuatu kontrak
asuransi sebelum terjadi suatu kerugian kecuali dalam hal asuransi jiwa dan
beberapa polis asuransi kesehatan. Oleh karena asuransi jiwa bukan suatu
kontrak pribadi, maka ia dapat dipindahkan tanpa izin perusahaan asuransi.
Jika telah terjadi
kerugian, maka kontrak asuransi mana saja akan menjadi tidak lebih dari suatu
klaim uang dan karena itu ia dapat dipindah-tangankan.
7.
Prinsip Ganti Rugi
(Principle of Indemnity)
Kontrak asuransi
harta dan asuransi tanggung jawab (liability insurance) pada umumnya adalah
kontrak ganti rugi,[64]
artinya ia menyatakan akan mengganti kerugian atas kerusakan yang diderita oleh
pihak yang ditanggung. Penggantian lebih rendah (undercompensate) dibolehkan
tetapi penggantian lebih tinggi tidak. Salah satu masalah utama penerapan
prinsip ganti rugi ini adalah bagaimana mengukur kompensasi yang tepat agar
tidak menimbulkan laba atau rugi. Sehingga di sini, dibutuhkan tiga doktrin penting yang timbul
dari prinsip indemnity ini adalah: kepentingan yang dapat diasuransikan,
pembatasan jumlah penggantian atas suatu polis asuransi, dan subrogation.[65]
C.
Pandangan Ulama tentang
Asuransi Konvensional.
Dewan yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Makkah,
Saudi Arabia, menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern termasuk
asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi
Dewan menyetujui adanya "Asuransi Koperatif" yang tegak di
atas prinsip ta’awun seperti yang diterapkan dalam Asuransi Takaful
Yusuf al-Qardawi dalam "Al halal wa al-Haram
fi al-Islam" mengatakan bahwa diharamkannya asuransi konvensional a.l:
(1) karena semua anggota asuransi tidak membayar uangnya itu dengan maksud tabarru,
bahkan nilai ini sedikitpun tidak terlintas, (2) karena badan asuransi memutar
uang tersebut dengan jalan riba.
Di Indonesia PP Persatuan Islam (Persis) melalui Dewan
Hisbah mengharamkan praktek asuransi konvensional. Demikian pula Muhammadiyah
di Malang tahun 1987 juga mengharamkan asuransi yang mengandung unsur gharar
dan judi, kecuali asuransi yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti
Taspen, Astek dan Jasa Raharja, karena banyak mengandung maslahah maka
dibolehkan.
Oleh karenanya, jika ditelaah secara mendalam, maka
sebenarnya diharamkan asuransi konvensional oleh para ulama disebabkan karena
asuransi itu mencakup tiga hal:[66]
1. Garar (Ketidakpastian)
Dalam asuransi konvensional adanya gharar atau
ketidakpastian disebabkan karena ketidakjelasan akad yang melandasinya. Apakah Aqd
Tabaduli (Akad jual beli) atau Aqd Takafuli (tolong menolong).
Sehingga jika terjadi klaim misalnya mengambil 10 tahun untuk Rp. 1.000.000 per
tahun. Jika akad yang melandasinya jual beli, dan meninggal pada tahun ke 4,
maka pertanggungan yang diberikan sebanyak Rp. 10.000.000. Ini berarti Rp.
6.000.000 gharar. Tidak jelas dari mana asalnya.
Dalam Asuransi Takaful akad yang melandasinya adalah Aqd
Takafuli atau tolong menolong. Sehingga sejak awal membuka polis sudah
diniatkan bahwa 95% premi untuk tabungan dan 5% diniatkan untuk tabarru.
Jika terjadi klaim di tahun ke 4, dana yang 6 juta di atas tidak garar
tetapi jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan tabarru (derma)
2.
Maisir (Judi atau Gambling)
Dalam al-Qur’an, Allah S.W.T. Dengan sangat tegas
telah menjelaskan prihal maisir. Di antara firman Allah SWT. adalah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.[67]
Dalam Asuransi konvensional maisir timbul dalam
dua hal: Pertama, Seandainya dia memasuki satu program premi, biasanya
orang itu ada kemungkinan berhenti karena alasan tertentu. Apabila ia berhenti
dijalan dan belum mencapai masa refersing Periode, dimana dia bisa
menerima uangnya kembali (biasanya 2 s.d. 3 tahun) dan jumlah + 20%,
uang itu akan hangus. jadi disini ada unsur maisir.
Kedua, Manakala Underwriter
atau yang menghitung remortalita kematian tepat, menentukan jumlah polis tepat,
maka perusahaan akan untung. Tetapi jika salah dalam menghitungnya maka
perusahaan akan rugi. Jadi jelas disini mengandung unsur maisir atau
judi.
Dalam Asuransi Takaful berbeda, si penerima polis
sebelum ia mencapai refresing periode sekalipun, apabila karena suatu hal
ia ingin mengambil dananya, maka hal itu dibolehkan. Karena Takaful dalam hal
ini hanya sebagai pemegang amanah. Selain itu jika perusahaan mencapai
kelebihan daripada pembayaran klaim, tidak akan diterima begitu saja sebagai
keuntungan perusahaan, tetapi diberikan kembali kepada pemegang premi/nasabah.
3. Riba (Tambahan Uang dari Modal Pokok)
Dalam hal investasi Takaful menyimpan seluruh dananya
ke Bank yang berdasarkan Syariah Islam, yaitu : BMI, BPRS atau Perbankan Islam
lainnya.
Dalam hal ini terdapat silang pendapat dikalangan
ulama, apakah sama atau tidak dengan bunga. Bagi ulama yang mengharamkan,
paling tidak pada nas-nas syari':
-Firman Allah S.W.T.:
- ياايها الذين امنوا اتقواالله وذروا مابقي من الربوا ان كنتم
مؤمنين. فان لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله
ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون.[68]
-Hadis Nabi
S.A.W:
Terlepas dari silang pendapat di atas, Syarikat Takaful
mempunyai suatu standing, membawa yang terbaik adalah menjauhi syubhat,
menjauhi yang diikhtilafkan ummat dan kembali kepada ajaran agama.
BAB III
SKETSA BIOGRAFI
AFZALUR RAHMAN DAN
PEMIKIRANNYA
TENTANG KONTRAK ASURANSI
Biografi Afzalur
Rahman
Biografi (berasal dari kata Yunani biographia, bios berari
"sejarah hidup", graphos berarti "menulis" atau
dalam bahasa latin disebut "curriculum vitae" adalah suatu kehidupan
yang sebenarnya dimaksudkan buka rekaan bukan palsu atau mengada-ngada.
Definisi ini mencakup segala corak biografi pada awalnya. Dalam pelaksanaanya
tentu saja ada biografi yang hanya menonjolkan karir atau jasa seseorang pada
bidang tertentu atau pada berbagai bidang, ada yang menitik beratkan pada
penulisan psikologi orang itu saja dan ada pula yang mengaitkanna dengan
kerangka sosial tempat dan masa hidup tokohnya. Soal yang sulit dalam biografi
adalah soal obyektifitas karena penyusun iografi cenderung subyektif,
memuja-muja atau menjelek-jelekan tokohnya. Secara umum yang disukai adalah
biografi yang obyektif. Biografi di dalam bentuknya terbaik merupakan karya
yang bermutu tinggi.[70]
|
Di samping itu beliau juga seorang sarjana, belajar dengan tenaga
sendiri, otodidak dan beliau adalah staf pengajar pada Islamic College Lahore,
selama kekuasaan Abdullah Yusuf Ali beliau mempunyai kedudukan penting.[71]
Afzalur Rahman dilahirkan pada tahun 1918, kemudian bermukim di
dalam negara kerajaan Inggris dan menyusun berbagai Valum Seerah encyclopaedia
dan berbagai macam kamus tentang al-Qur’an (Quranic Dictionaries) dan wafat
pada tahun 1998.[72]
Karya-karyanya
Sebagi
seorang cendekiawan muslim dunia karya-karyanya baik berupa buku-buku atau
makalah-makalah banyak menjadi acuan cendekiawan-cendekiawan muslim lainna.
Bahkan setiap ada pembahasan mengenai asuransi Islam khusunya, ekonomi Islam
umumnya dan kajian Islam lainna karya-karya Afzalur Rahman selalu menjadi acuan
bagi penulis dan anjuran bacaan bagi pembaca dan pengamat asuransi Islam
umumnya, ekonomi Islam dan kajian Islam lainna.
Sebagai
cendekiawan muslilm yang aktif memberikan ceramah-ceramah dan seminar-seminar
tentang agama Islam dan sangat perhatian terhadap keadaan umat Islam,
karya-karya Afzalur rahman sebagian besar berupa buku-buku, sedangkan
karya-karya Afzalur Rahman banyak sekali
dan diterbitkan oleh berbagai penerbit diberbagai penjuru dunia sedangkan
karya-karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan telah
diterbitkan antara lain adalah sebagai berikut.
Doktrin
Ekonomi Islam terjemahan dari buku Economic Doctrines of Islam yang diterbitkan
oleh. Dhana Bhakti Wakaf Yogyakarta, 1996 yang terdiri dari empat jilid, jilid
pertama menjelaskan prinsip-prinsip sisem ekonomi Islam, jilid kedua
menjelaskan masalah yang dihadapi dalam menentukan kerjasama dalam berbagai faktor
produksi, jilid tiga menjelaskan teori-teori modern tentang bunga dan teori
Islam tentang Surplus bunga nol persen (zero rate of interest), jilid empat
menjelaskan tentang sitem moneter, bank dan asuransi tanpa bunga, serta standar
moneter internasional.
Muhammad
seorang pedagang diterjemahkan dari buku Muhammad : Encyclopedia of Searah
volume II buku ketiga Afzalur Rahman (ed), (London : The Muslim Scool trust,
1992) atau terjemahan dari karya yang berjudul Muhammad as a Trader.
Diterbitkan oleh Yayasan Swarna Bhumi Jakarta, 1996 dan buku inilah kiranya
satu-satunya buku tentang Nabi Muhammad S.A.W. yang secara luas dan mendalam
mengupas tentang peran dan aktifitasnya dalam bidang perdagangan yang dilakukan
oleh Nabi, karenanya dalam buku ini secara eksisit juga diuraikan mengenai
etika bisnis, soal keadilann ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dan yang
lebih penting lagi adalah peran negara dalam kesejahteraan sosial dan
distribusi kemakmuran.[73]
Al-Qur’an
sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, diterjemahkan dari buku “Quranic Science”
Copyright 1980 pada The Muslim Scool Trust, London yang diterbitkan oleh penerbit Bina
Aksara tahun 1989. buku ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memperkenalkan
kepada generasi muda muslim khususnya dan manusia muslim umumnya tentang
hazanah ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Qur’an yang telah memberikan
pengaruh yang sangat besaaar terhadap pendidikan kebudayaan umat Islam.
Pengaruh
itu antara lain ialah penemuan-penemuan ilmiah dan pertumbuhan ilmu pengetahuan
yang sangat pesat di dalam dunia Islam pada abad ke-7 sampai dengan abad ke-14
M. Demikian pula halnya abad kebangkitan di dalam benua Eropa terdapat
unsur-unsur pokok dalam kehidupan dan kebudayaan (yaitu pengetahuan penelitian,
penalaran dan kebebasan) sehingga telah memungkinkan terjadinya
penemuan-penemuan moderen dalam ilmu pengetahuan.[74]
Indeks al-Qur’an terjemah dari buku Subjec Index of
Quran, Lahore Islamic Publication, 1991, diterbitkan oleh Bina Aksara Jakarta
1995. munculnya indeks al-Qur’an merupakan salah satu upaya untuk meneliti
al-Qur’an dari sudut tertentu dan indeks al-Qur’an yang disusun ini cukup baik
untuk dijadikan sebagai acuan dalam penelitian tersebut.[75]
Dengan kata lain, buku ini memberikan
kemudahan untuk mencari topik-topik dan tema-tema klasik ataupun yang akual
yang diinginkan dalam al-Qur’an.
Nabi
Muhammad sebagai seorang pemimpin militer, terjemah dari Muhammad as Military
Leader, the Muslim school trust 1980, yang diterbitkan oleh penerbit Amzah
Jakarta 2002 edisi revisi. Buku ini secara detail menegaskan bahwa dalam
kehidupan Nabi Muhammad dapat menjadi contoh kesempurnaan dan keindahan abadi
untuk seluruh umat manusia. Keberhasilannya dalam bidang militer merupakan
bukti nyata atas kebesarannya sebagai seorang pemimpin militer. Beliau beliau
dikepung oleh musuh dari segala jurusan di Madinah tetapi dapat menghadapi mereka dengan penuh keberanian dan
kecerdikan dan akhirnya dapat mengalahkan mereka. Semuanya menunjukan
kebesarannya yang sebenarnya dalam kemenangan dan memberi manfaat pada mereka
semua.
Muhammad
sebagai seorang panglima perang terjemahan dari karya Muhammad as Military
Leader, Islamic Publication (PV+) limited 13-E, Shahalan Market. Lahore
Pakistan, first edition, 1990) yang diterbitkan oleh penerbit Tajidu press
Yogyakarta, 2002, buku ini secara eksist menegaskan bahwa secara faktual tidak
terbantahkan bahwa Nabi Muhammad memang seorang ahli strategi militer yang
belum ada tandingannya sepanjang peradaban umat manusia di muka bumi ini. Dalam
waktu yang sangat singkat, 10 tahun beliau mampu mengalahkan sebuah
pemerintahan yang kokoh dengan cakupan wilayah seluruh jazirah Arab. Padahal
peralaatan tempur dan pasukan tempur yang dimilikinya sama sekali tidak
memadai dan tidak seimbang bila
dibandingkan dengan para musuhnya. Namun berkat semangat tempur, disiplin,
militansi dan motivasi pasukannya serta strategi tempur yang brilian pada
setiap pertempuran membuat banyak musibah-musibah Islam ini terpaksa menyerah
sebelum kontak fisik terjadi.[76]
Muhammad
S.A.W. Ensiklopedia Sirah Sunah, Dakwah dan Islam, diterjemahkan daari buku
yang berjudul Muhammad S.A.W. Ensyclopedia of seerah, educational school trust,
1978, Gillespie Real, London,
diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia Kuala
Lumpur, sirah ini merupakan contoh kehidupan baginda Nabi yang
bersungguh-sungguh untuk mencapai kesejahteraan manusia sejagat.[77]
Jilid pertama buku ini diterjemahkan meliputi sumbangan kepada kebudayaan
manusia dalam bidang pendidikan.[78]
Jilid 2 menjelaskan Nabi Muhammad sebagai suami yang terdiri dari; Muhammad dan
status kaum wanita, hak wanita, perceraian (talak) dan mahar, maskawin peranan
seks dan perkawinan, falsafah dan hikmah perkawinan, memelihara kesucian,
hubungan yang suci, institusi poligami rumah tangga Nabi, hubungan perkawinan
Nabi Muhammad, Nabi Muhammad dan istri baginda I, Nabi Muhammad dan Istri
baginda II, Nabi Muhammad dan dan istri baginda III, sebab-sebab Nabi Muhammad
mempunyai ramai istri, dan Rasulullah S.A.W. suami yang sempurna.[79]
Jilid tiga meliputi buku suatu tentang para rasul dan sejarah, buku dua tentang
perkembangan ilmu, buku tiga tentang syar'iah dan ad-Din sepanjang sejarah,
buku empat tentang pengaruh Islam terhadap peradaban Eropa. Jilid empat
meliputi dorongan baaru dan wahyu, Agama dan dimensi baru, kepraktisan ajaran
agama Nabi Muhammad yang dalam al-Qur’an dan as-Snnah.[80]
Jilid lima menjelaskan tentang hubungan seks aman dahulu dan sekarang; konsep
moral menurut pandangan Brat, wanita dan ideologi modern, sunnah Allah S.W.T.
kelemahan manusia, hikmah penciptaan laki-laki dan perempuan, tanggung jawab
jadi wanita, wanita dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kedudukan wanita ang
sebenarnya menurut alQur’an dan as-Sunnah, zaman Nabi Muhammad S.A.W. dan para
sahabat, peningkatan taraf wanita, hijab zaman Nabi dan para Shahabat, peran
wanita Islam dalam masyrakaat, kebebasan sosial dan berpolitik, pekerjaan
professional bagi wanita, kuasa talak ditangani oleh laki-laki, peran wanita
dalam tinjauan (bukti dari pada kejadian alam), taraf kedudukan dan peran
wanita, pengertian waanita dalam sumbangan jama'h, wanita pergaulan bebas
antara lelaki dan wanita, lelaki diberi amarah dan dicegah dari pada
menceraikan wanita.[81]
“Tuhan
Perlu Disembah Eksplorasi Makna dan Manfaat Shalat bagi Hamba” diterbitkan oleh
penerbit serambi ilmu semesta terjemahan dari “Prayer: its Significance and
Benefit” yang merupakan penyempurnaan dari karya beliau yang berjudul The
Utility of Preyers.[82]
Dalam buku ini Afzalur Rahman menjelaskan secara terperinci tentang makna dan
manfaat shalat bagi hamba dalam mencapai kebahagiaan manusia di dunia sekarang
ini dan di akhirat kelak.
Demikian
sekilas tentang buku-buku Afzalur Rahman yang telah beredar di perpustakaan dan
di toko-toko buku di Yogyakarta khususnya dan
di Indonesia
umumnya.
Pemikiran Afzalur
Rahman tentang Kontrak Asuransi
- Pengertian Kontrak Asuransi
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian oleh
karena itu perjanjian sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian
perjanjian asuransi. Di samping itu karena acuan pokok perjanjian asuransi
tetap pada pengertian dasar dari perjanjian.
Secara umum
pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain adalah sebagai berikut :
1.
Suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
2.
Suatu hubungan hukum antara
pihak, atas dasar mana pihak yang saatu (yang berpiutang atau kreditur) berhak
untuk suatu prestasi dari yang lain (yang berhubungan atau debitur) yang juga
berkewajiban melaksanakan dan bertanggunga jawab atas suatu prestasi.[83]
- Syarat-Syarat Perjanjian Asuransi
Perjanjian
asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang mempunyai syarat
yang khusus dan unik sehingga perjanjian ini mempunyai karakteristik tertentu
yang sangat khas dibandingkan dengan perjanjian lain. secara umum perjanjian
asuransi harus memenuhi syarat-syarat umum perjanjian, di samping memenuhi asas
atau prinsip tertentu yang mewujudkan sifat atau ciri khusus dari perjanjian
itu sendiri[84].
Menurut hukum
Islam syarat-syarat umum yang harus terdapat dalam segala macam akad, ialah :
1.
Ahliyatu al- ‘Aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat)
2.
Qabiliyatu al-Mahalli
al-'Aqdi Li Hukmihi (yang dijadikan obyek akad,
dapat menerima hukumnya)
3.
Al-Wilyatus Syar’iyah fi
Maudlu’i (akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan
oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia
bukan si aqid sendiri)
4.
La Yakun al-‘Aqdu au
Maudlu’uhu Mamnu’am bi an-Nassin Syar’iyin (janganlah
akad itu akad yang dilarang syara’)
5.
Kaunu al- ‘Aqdi Mufidan (akad itu memberi faedah)
6.
Baqau al-Ijabi Salihan Ila
Mauqu’i al-Qabul (Ijab itu berjalan terus, tidak
dicabut, sebelum terjadi qabul). Maka apabila si mujib menarik kembali ijabnya
sebelum qabul batallah ijab.
7.
Ittihadu Majlisi al-‘Aqdi (bersatunya majlis akad), karenanya, ijab menjadi batal apabila
sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain, belum ada qabul. Syarat
yang ketujuh ini disyaratkan oleh mazhab asy-Syafi’i, tidak terdapat dalam
mazhab-mazhab yang lain[85].
Beberapa syarat di atas merupakan syarat pokok bagi
setiap perjanjian. Artinya setiap perjanjian harus memenuhi syarat di atas bila
ingin menjadi perjanjian yang sah. Jika ada salah satu syarat tersebut
dihilangkan maka secara otomatis perjanjian yang dibuat tidak sah menurut
hukum.
Pelaksanaan perjanjian asuransi, ditandai dengan
pemenuhan kewajiban penanggung untuk memberikan ganti kerugian kepada tertanggung
atau pengambil asuransi. Pemenuhan kewajiban tersebut tidak segera diberikan
secara otomatis, melainkan harus memenuhi asas dan syarat tertentu.
Sesuai dengan
karakteristik yang dimiliki oleh perjanjian asuransi, meskipun perjanjian sudah
sah diadakan dan sudah berjalan tidak selalu berakhir dengan pemenuhan yang
sempurna, belum pasti ia mendapatkan ganti rugi, apabila ia tidak secara nyata
memang menderita kerugian. Tidak berarti penanggung tidak bertanggungjawab.
Dalam perjanjian asuransi diperjanjian, apabila tertanggung menderita kerugian
secara riil, penanggung akan membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi proteksi
yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi apabila syarat-syarat di bawah
ini dipenuhi :
Jumlah yang diasuransikan harus banyak dan cukup homogen agar
kalkulasi logikanya dapat mendekati frekuensi kemungkinan dan
kesulitan-kesulitan kerugian.
Obyek asuransi diperkirakan tidak mengalami kerusakan secara
serempak
kemungkinan kerugian harus bersifat aksidental saja, di luar
kesadaran dari orang yang mengasuransikan dirinya.
harus ada cara untuk menentukan apakah kerugian itu benar-benar
terjadi dan besarnya kerugian tersebut.[86]
- Klasifikasi Kontrak Asuransi
Kontrak asuransi
dapat di bagi menjadi tiga kelompok:[87]
1.
Berdasarkan sifat kejadian yang
dapat digunakan untuk menentukan besarnya ganti rugi. Ada empat kelompok besar asuransi berdasarkan
sifat kejadiannya:
(a)
Asuransi Maritim
Pada kelompok
asuransi ini, sejumlah kontrak yang
disepakati dapat dibayarkan apabila terjadi kecelakan laut.
(b)
Asuransi Kebakaran.
Dalam asuransi ini, jumlah kontrak
yang telah disepakati dapat dibayarkan apabila terjadi kebakaran
(c)
Aasuransi Jiwa[88]
Dalam asuransi ini, uang
pertanggungan dibayarkan apabila orang sebagai tertanggung telah meninggal
(d)
Asuransi Kecelakaan[89]
Dalam asuransi
ini, uang pertanggungan dibayarkan apabila mengalami kecelakaan.
Namun demikian,
dapat dikatakan bahwa perbedaan-perbedaan di antara kelompok asuransi tersebut
hanya secara konvensional dan mungkin sekali berubah dengan adanya perubahan
kebutuhan manusia. Oleh karena kepentingan dan kepuasannya atau sekedar
keperluan bisnis saja asuransi dapat menawarkan perlindungan atas bahaya
tertentu seperti perampokan, kecelakaan kendaraan, ancaman terhadap ternak,
kerusakan harta benda dan sebagainnya.
2.
Berdasarkan sifat
kepentingannya yang dianggap terkait. Ada
tiga macam asuransi berdasarkan sifat kepentingannya:[90]
(a)
Asuransi Personal.
Dalam bentuk
asuransi ini, kejadian yang diperhitungkan adalah yang menyangkut orang yang
mengasuransikan dirinya sendiri, atau pihak ketiga. Termasuk dalam asuransi ini
adalah asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan perorangan.
(b)
Asuransi Harta Benda.
Asuransi jenis ini dikenakan pada
harta milik orang yang mengasuransikan hartanya, mislanya asuransi kebakaran,
asuransi maritim, permpokan dan sebagainya.
(c)
Asuransi Jaminan.
Jenis asuransi ini mengambil alih
jaminan dari orang yang mengasuransikan kepada pihak ketiga. Asuransinsi ini
terdiri dari: 1) asuransi umum yang berkaitan dengan kendaraan, dan 2) asuransi
jaminan usaha.
3. Berdasarkan
sifat Asuransinya. Ada
dua macam asuransi berdasarkan sifatnya:[91]
(a)
Asuransi Kontrak Tak Terbatas
Kerugian.
Dalam asuransi jenis ini, sejumlah uang
jaminan dapat dibayarkan apabila terjadi peristiwa tertentu. Kejadian itu tidak
ada kaitannya denagan tingkat kerugian dari oarang yang mengasuransikan diri.
Asuransi ini terdiri dari asuransi jiwa, kecelakaan dan kesehatan.
(b)
Asuransi Kerugian.
Pada jenis ini, besarnya uang yang
dibayarkan berdasarkan jumlah kerugian yang diderita orang yang mengasuransikan
diri, misalnya asuransi maritim, kerugian yang diderita peserta suransi
menentukan besarnya jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan kepadnya, jika
jumlah atau kerygian atau kerusakan yang harus dibayarkan tidak terbatas.
Asuransi Maritim (Inggris) tahun 1906 menyatakan: “Suatu kontrak asuransi
maritim adalah sebuah kontrak di mana pengusaha asuransi mengambil alih atau
melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada orang yang mengasuransikan diri,
dengan sifat dan jumlah yang disepakati, terhadap kerugian yang diderita di
laut, yaitu kerugian karena kecelakaan dalam perjalanan.
- Cara Melakukan Kontrak Asuransi
Penting sekali
untuk memiliki perjanjian yang jelas dalam menjalin kontrak. Semua pihak harus
telah sepakat, pengusaha asuransi setuju untuk menjamin orang tertentu, dan
orang yang masuk asuransi atas terhadap kaminan tertentu. Mereka juga harus
menentukan jangka waktu asuransi, dan harus setuu atas jumlah yang
diasuransikan dan besarnya premi yang harus dibayarkan. Akhirnya kontrak
disetjui kedua pihak, satu tawaran oleh satu ihak, melakukan persetujuan, dan
penerimaan penawaran tersebut oleh pihak lainnya.[92]
Tidak ada pihak
yang dapat menarik kembali kontrak yang telah dilakukan. Perjanjian tersebut
mengikat peserta asuransi untuk membayar sejumlah premi dan pengusaha asuransi
menerima premi tersebut dan mengembalikan sejumlah tertentu, jika memang
saatnya harus dibayarkan. Namun demikian, perjanjian dapat ditarik kemblai atas
kesepakatan kedua belah pihak.
BAB. IV
ANALISIS TERHADAP KONSEP AFZALUR RAHMAN
TENTANG KONTRAK ASURANSI KONVENSIONAL
A.
Analisis terhadap Ketentuan Hukum Kontrak Asuransi
Kehidupan dan
kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukan sifat
hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud di sini
adalah suatu sifat yang tidak kekal yang selalu menyertai kehidupan dan
kehidupan manusia pada umumnya. Sifat ini pada umumnya mengakibatkan adanya
suatu keadaan yang tidak dapat diramalkan lebih dahulu secara tepat; sehingga
dengan demikian keadaan tersebut tidak akan perna memberikan rasa pasti. Karena tidak terdapatnya
kepastian inilah maka perusahan asusuransi di sini sangat dibutuhkan dan
berperan untuk memberikan rasa aman yang lazim disebut dengan menanggung risiko
|
Kontrak asuransi
dibuat berdasarkan prinsip ketidakpastian, kejadian yang tidak menentu yang
meliputi spekulasi suatu risiko. Baik peserta asuransi maupun pengusaha
asuransi menyepakati suatu kesepakatan
untuk menanggung risiko, pihak pertama mengalihkan risiko kerugian dan pihak
kedua memperoleh premi.[94]
Keseluruhan
kontrak asuransi dibuat dalam dokumen resmi, yang disebut polis[95]
(peraturan asuransi jiwa tahun 1774) di mana pengusaha asuransi secara resmi
terikat untuk menanggung persoalan peserta asuransi berdasarkan premi yang
diterimanya dan apabila gagal melaksanakan kewajibannya maka ia akan dikenakan
denda (peraturan premi tahun 1891). Polis itu dikeluarkan oleh pengusaha
asuransi apabila yang di persyaratkan dapat diterima dan mengandung
rincian-rincian kontrak sebagai berikut:
1. Premi[96]
Premi adalah suatu
harga yang di tetapkan pengusaha asuransi untuk mengambil alih risiko[97]
dan memikul beban kamungkinan risiko kerugian sebagaimana disepakati dalam
kontrak asuransi. Berlandaskan pada rumus rata-rata, pengusaha asuransi
menentukan besarnya premi berdasarkan pengalaman jumlah yang mencukupi untuk
menanggung risiko termasuk biaya
lainnya, separti keuntungan, sehingga ditetapkan premi untuk menutup
semua biaya dan premi tersebut dikenakan kepada peserta asuransi. Apabila premi
yang dibayarkan baru sekali dan terjadi risiko, maka beban risiko belumbisa
dialihkan. Sementara faktor utama yang mempengaruhi besarnya ketentuan premi
adalah klaim, komisi, dan keuntungan,. Besarnya keuntungan dari akumukasi dana
perusahaan asuransi juga dapat memainkan peran yang penting dalam menetukan
besarnya premi.[98]
Kontrak asuransi
itu dapat berlaku efektif hanya apabila premi dibayar oleh peserta asuransi dan
diterima oleh pengusaha asuransi. Pada umumnya premi dibayarkan pada tanggal
yang telah ditentukan setiap bulan atau minggu; baik jumlah maupun tanggal
pembayarannya secara jelas diungkapkan pada polis. Polis itu dinyatakan berlaku
apabila masih berlaku masa kontraknya, kecuali terjadi pelanggaran dengan tidak
dibayarnya cicilan premi sesuai dengan waktu atau tanggal yang ditetapkan untuk
membayar premi. Biasanya kerugian yang terjadi pada masa kelonggaran membayar
premi tetap ditutup, jika cicilan tetap dibayarkan sebelum habis waktu
kelonggaran.
Sekali premi itu
bibayarkan dan risiko diambil alih oleh pengusaha asuransi, maka tidak ada
pengembalian setelahnya, meskipun pokok subyek dan risiko mungkin dapat lenyap
sebelum periode pengambil alihan risiko telah dilanggar. Dan lagi, risiko yang
ditanggung secara keseluruhan, jika dilaksanakan sekali, tidak ada premi yang
mencukupi bahkan kemungkinan polis itu hilang sama sekali.
Sesungguhnya,
dalam beberapa hal, terjadi seseorang tidak mampu melanjutkan kontrak polis,
tidak mampu memenuhi cicilan bahkan sebagian dari premi. Kasus tersebut
dianggap sebagai kasus terbanyak yang dilakukan peserta asuransi dan
mengakibatkan mereka kehilangan sebagian atau seluruh premi yang telah
dibayarkan.[99]
Selanjutnya, ada
beberapa pelanggaran atau kelalaian atas polis oleh peserta asuransi oleh
karena beberapa alasan di luar kesadarannya, dan dalam hal ini, mereka
merugikan dirinya sendiri karena mereka tidak mampu menutup sebagian besar
preminya,. Sekali lagi, kajian asuransi di Inggris baru-baru ini menunjukkan
bagaimana perusahaan asuransi menetapkan besarnya premi secara sewenang-wenang
dan mengenakannya secara bervariasi atas orang yang berbeda-beda. Sebagian
besar kasus ini menimpa asuransi modern,[100]
dan tidak mungkin menemukan berbagai hubungan atau jumlah secara ilmiah antara
premi dan risiko seperti yang dikehendaki asuransi. Semua yang tersebut di atas
tadi, tidak ada ilmu atau metodenya secara rasional untuk menetukan besarnya
premi yang berkaitan dengan risiko yang terjadi, khususnya asuransi jiwa, dan
perusahaan-perusahaan asuransi menentukan sendiri kebijakannya untuk menetapkan besarnya premi untuk setiap
kategori asuransi. Dengan begitu, premi yang dikenakan kapada peserta asuransi
sangat dimungkinkan mengandung unsur-unsur mencari keuntungan, exploitasi dan
bahkan unsur taruhan.
2. Ganti Rugi
Ganti rugi[101]
menunjukkan perlindungan atas kerugian, dan oleh karenanya menunjukkan
pentingnya peserta asuransi mencari atau mengharap suatu keuntungan dari itu.
Pada umumnya setiap kontrak asuransi adalah suatu kontrak ganti rugi sebab
kontrak tersebut menjamin suatu konpensasi atas kerugian kepada peserta
asuransi. Tetapi peserta asuransi tidak boleh mencari keuntungan dari kontrak
tersebut. Kontrak itu memberikan kemungkinan baginya untuk mendapatkan ganti
kerugian tetapi tidak lebih dari itu, kecuali adanya perjanjian sebelumnya
antara kedua belah pihak. Apabila seseorang tidak memenuhi syarat untuk untuk
diansuransikan, jaminan asuransinya tidak dapat diharapkan untuk diterimakan
kepadanya di atas limit yang telah disepakati. Prinsip ini telah dikemukakan
oleh L.J. Brett, sebagaiamana dikutip oleh Afzalur Rahman. Secara jelas Brett
mengatakan:
"Yang sangat mendasar, menurut
pendapat saya, dalam setiap aturan yang ditetapkan sebagai hukum asuransi dalam
hal ini, yaitu bahwa asuransi yang terkandung dalam polis asuransi maritim dan
kebakaran (juga sama dengan polis kecelakaan) adalah suatu kontrak ganti rugi
saja, sehingga kontrak tersebut berarti bahwa peserta asuransi, dalam
menghadapi kerugian sebagaimana telah dibuat dalam polis, sepenuhnya berhak
atas ganti rugi, tetapi tidak akan lebih dari jaminan yang telah ditentukan.
Inilah prinsip dasar asuransi, jika ada perjanjian sebelumnya masih dilibatkan
pula dalam bentuk yang berbeda-beda, dapat dikatakan yaitu apakah pihak peserta
asuransi tidak dapat menerima seluruh ganti rugi lebih dari yang disepakati,
maka perjanjian di muka tersebut dianggap salah".[102]
Ada beberapa
kontrak asuransi tertentu, misalnya, asuransi jiwa[103]
dan kecelakaan personal,[104]
yang bukan merupakan kontrak ganti rugi, karena dalam semua kasus, perusahaan
asuransi harus membayar kompensasi jika terjadi suatu kecelakaan tanpa
menghitung jumlah kerugian. Pelaksanaan dari kontrak tersebut dapat dilakukan
dengan polis motor komprehensip. "Peserta asuransi memperkirakan terlebih
dahulu nilai atau harga mobilnya, katakanlah Rp. 60.000.000.00,- dan membayar
premi berdasarkan harga tersebut. Apabila terjadi kerusakan total karena
terbakar, ia akan menerima Rp. 60.000.000,- begitu saja, mungkin ia menerima
lebih dari nilai tersebut, atau mungkin pasaran mobil itu merosot pada saat kontrak
asuransi itu berlaku. Apa yang akan dibayarkan oleh pengusaha asuransi adalah
senilai mobil pada saat terjadi kerusakan, dan apabila mereka dapat menunjukkan
pada saat itui mobil yang sama modelnya, buatannya, tipenya serta kondisinya
dengan harga Rp. 45.000.000,-, mereka tidak akan membayar lebih dari Rp.
45.000.000,-. Dengan cek seharga Rp. 45.000.000,-, berarti peserta asuransi itu
telah diberikan ganti rugi sepenuhnya. Prinsip yang sama juga dapat diterapkan
pada kejadian kerusakan sebagian".
3. Batas Ganti Rugi.
Sebenarnya tidak
ada batas jumlah kerusakan yang dapat diklaim oleh peserta asuransi yang
tercantum ganti ruginya pada polis kecuali polis tersebut menyebutkan nilai
yang di sepakati, dan tanpa memperhatikan keadaan, dapat dibayarkan biaya yang
telah ditentukan. Dengan polis jenis ini, masalah peserta asuransi dapat
dipertimbangkan nilai harta yang diasuransikan berdasarkan nilai asuransi dan
jumlah ganti rugi dibayarkan tanpa mempertimbangkan kerugian total yang dialami
– nilai asuransi dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip ganti rugi, tetapi
secara sah, perjanjian polis tersebut disetujui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dalam menentukan jumlah ganti rugi seperti pada kesepakatan
kontrak semula, sambil menunggu taksiran kerugian yang menimpa peserta asuransi
untuk menaikkan jumlah klain. [105]
Lebih lanjut,
"perlu juga untuk membedakan antara polis dengan nilai yang
ditentukan", dengan yang biasanya dibuat dengan tujuan 'penemuan dan
penilaian' yang ditentukan dengan menemukan bukti-bukti untuk menilai harta
pada saat dinilai berdasarkan alas an-alasan yang dapat diterima untuk suatu
penurunan atau kenaikan pada saat terjadi kerugian dengan mempertimbangkan
jumlah yang tertera pada polis.
4. Bukti-bukti Nyata untuk Menentukan Ganti Rugi.
Jaminan suatu
kontrak asuransi serta prinsip-prinsip ganti rugi menunjukkan bahwa sebagian
dari itu berdasarkan konsep riba dan bunga, sebagian lagi
berdasarkan sifat-sifat risiko yang tidak dapat ditentukan; serta sebagian lain
berdasarkan prinsip unsur taruhan yang jelas-jelas menunjukkan sifat risiko.
Berdasarkan prinsip ganti rugi,
peserta asuransi diberikan ganti rugi berdasarkan batas kerugian yang
dideritanya dan tidak lebih dari itu. Ia tidak dapat menerima sejumlah uang
yang jumlahnya melebihi kerugian yang dialami dari perusahaan asuransi dengan
berbagai pertimbangan, tetapi dalam pelaksanaan yang sesungguhnya, peserta
asuransi, karena berbagai sebab tidak padat melaksanakan tuntutan sepenuhnya,
atau lebih. Kontrak asuransi jiwa sebagaimana yang akan kita bahas nanti yang
berbeda, tidak ada kontrak besarnya ganti rugi, adanya sejumlah kontrak yang
telah disepakati bila terjadi suata risiko. Bahkan pada kontrak asuransi tidak
selalu berupa kontrak ganti rugi sepenuhnya. Peserta asuransi dapat menerima
kurang atau lebih jumlah yang semestinya ia terima sebagai ganti rugi.[106]
Dengan demikian,
yang dimaksud dengan polis dengan nilai yaitu apabila nilai suatu
asuransi telah disetujui antar pihak yang bersangkutan, jika yang dimaksud
total kerugian, maka pihak peserta asuransi akan memperoleh ganti rugi sebanyak
kerugian yang diderita secara penuh dan kadang-kadang nilai yang sesungguhnya
lebih tinggi daripada kerugian yang dideritanya. Mungkin pula, nilai kerugian
melebihi jumlah kesepakatan yang telah disetujui, peserta asuransi tidak akan
menerima ganti rugi yang melebihi jumlah yang disepakati dikarenakan ia sendiri
yang telah menentukan jumlah kontrak sebesar premi yang dibayarkan.
Pihak-pihak yang
terlibat dalam kontrak asuransi dapat mengubah obyektifitas peraturan tentang
ganti rugi dengan menentukan besarnya nilai asuransi pada saat terjadinya
kontrak. Dalam hal semacam ini, polis asuransi hanyalah sebagai bagian dari
suatu kontrak asuransi ganti rugi. Sesuatu yang diasuransikan, seperti dalam polis
'dengan nilai kontrak', pihak yang mengasuransikan dapat menerima ganti rugi
melebihi kerugian yang diderita, tetapi dapat pula menerima kurang dari
kerugian sesungguhnya yang dialami.
Dengan demikian,
jelaslah hal tersebut di atas dapat dimanifestasikan—"bahwa pernyataan
suatu asuransi adalah kontrak ganti rugi, dan ini tidak benar".[107]
Asuransi pada prisipnya adalah suatu kontrak bisnis sederhana antara dua pihak,
yaitu pengusaha asuransi dan peserta asuransi. Pihak pengusaha bersedia
menerima sejumlah uang premi dari pihak peserta asuransi sedangkan pihak
peserta asuransi telah sepakat untuk menerima sejumlah uang apabila terjadi
suatu risiko yang terjadinya tidak dapat dipastikan. Jumlah uang yang diterima
oleh peserta asuransi dapat melebihi atau kurang dari jumlah kerugian yang ia
derita. Sedangkan apabila tidak terjadi risiko, pihak perusahaan asuransi
mendapatkan uang premi oleh karena tidak terjadinya resiko. Dengan kata lain,
asuransi adalah suatu persetujuan biasa antara dua pihak yang saling membayarkan
sejumlah uang pada suatu peristiwa yang terjadinya tidak dapat dipstikan.
Seluruh permasalahan yang menyangkut pengembalian ganti rugi antara perusahaan
asuransi dan peserta asuransi tergantung pada suatu kejadian yang tidak pasti,
dan ini dikatagorikan sebagai taruhan atau perjudian.
5. Kepentingan Asuransi.
Banyak orang sulit
membedakan antara asuransi dengan perjudian, karena keduanya tampak sama.
Bagian luarnya disamarkan dengan tampak miripnya antara asuransi dam perjudian.
Seorang pembalap kuda, berjanji akan membayar sejumlah uang kepada seorang
petaruh, yang telah menjanjikan akan membayar jauh lebih banyak apabila kuda
balap tertentu memenangkan suatu pacuan. Ia bertanya, bagaimana perbedaan
perbuatan petaruh tersebut dengan pengusaha asuransi yang mendapatkan uang dari
premi atas jaminan terhadap kebakaran sebuah rumah dan siapa yang menjanjikan
akan memberikan sejumlah uang yang lebih banyak apabila rumah yang
diasuransikan itu benar-benar rusak atau terbakar? Jawaban singkat adalah bahwa
asuransi berbeda dengan perjudian karena asuransi hanya dapat dijamin apabila
adanya kepentingan atas sesuatu untuk diasuransikan, sehingga secara finansial
ia akan menderita rugi atas bahaya yang mengancam peserta asuransi. Asuransi
tanpa adanya kepentingan tersebut hanya akan merupakan taruhan dan yang
demikian itu, tidak dapat diperlakukan secara hukum yang benar.
Perbedaan pokok
tersebut tidak pernah dipahami pada masa lalu pada saat tidak ada batasan
secara resmi dalam undang-undang di inggris tentang perjudian atau taruhan.
Merupakan hal yang umum apabila orang mengansurasikan jiwa para tokoh untuk
mempertaruhkan tingkat Perdana Menteri atau orang penting lainnya dan dengan
hukum masyarakat pihak pengadilan dapat mendukung seorang petaruh dalam kehidupan
manusia, dan kelompok asuransi tidak menolak untuk memberlakukan polis terhadap
orang-orang yang tidak mempunyai kepentingan asuransi dalam hidupnya. Bukan hal
aneh bagi kalangan asuransi untuk
menerapkan asuransi jiwa serta asuransi lainnya, di mana peserta asuransi sama
sekali tidak mempunyai kepentingan, dan hal ini sering kali menimbulkan
perjudian-perjudian yang tidak diinginkan dan juga pertaruhan-pertaruhan yang
sangat mengerikan di dalam bisnis asuransi.[108]
Peraturan asuransi
jiwa tahun 1777, diberlakukan untuk menghentikan malpraktek di bidang
asuransi. Peraturan tersebut menekankan pentingnya kepetinggan asuransi dalam
suatu kontrak asuransi, tetapi gagal memenuhi sifat dan luasnya cakupan
asuransi yang di maksud. Sebagai tambahan, peraturan tersebut tidak mampu
menjangkau bidang-bidang yang penting di mana perjudian dan pertaruhan dikuasai
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Peraturan ini mencakup bidang
yang lebih luas daripada aturan lainnya yang meliputi bidang perkapalan, barang-barang
atau perdagangan juga menyangkut asuransi maritim dan ternak. Betapapun
penekanan yang nyata aturan tersebut telah mengecualikan pada asuransi barang
atau perdagangan, telah diuraikan sebagai penjabaran asuransi terhadap ternak
baik itu dari risiko laut maupun darat hanya menyangkut masalah-masalah pokok
dan oleh karena itu masih belum mampu mengekang transaksi-transaksi taruhan dan
atau berbagai ketentuan untuk menetapkan orang atau orang-orang yang memiliki
minat. Uang dalam bentuk di mana secara fisik dapat terbakar atau digandakan
adalah "hal" yang dimaksudkan oleh aturan tersebut, dan polis
yang mengansurasikan kerugian terhadap uang karena perampokan dan perampasan
dalam rumah tidak termasuk dalam aturan tersebut.
Padahal pokok
masalah dari asuransi adalah binatang ternak, seluruh kontrak asuransi di luar
jangkauan dari aturan tersebut begitu juga pada polis asuransi motor tampak
bahwa aturan tersebut tidak diterapkan bahkan kepada asuransi pihak ketiga yang
secara kebetulan mengalami musibah dari mobil yang diasuransiakan.
B.
Analisis Metode
Pemahaman Dalil (Istinbat)
Untuk
memutuskan atau menetapkan suatu hukum, ulama tentunya memiliki metode
pemahaman dalil (istinbat). Karena penetapan hukum tidak dilakukan
secara gegabah (kurang hati-hati), hanya orang-orang tertentu yang dapat
melakukan dan dianggap telah memenuhi kapasitas berijtihad (memiliki
ilmu-ilmu yang kompeten).
Secara umum, ijtihad dapat
dikatakan sebagai suatu upaya berfikir secara optimal dalam menggali hukum
Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang
muncul dalam masyarakat.[109]
Antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain
terdapat suatu interaksi. Ijtihad, baik langsung atau tidak dipengaruhi
oleh perubahan-perubahan sosial, sedangkan disadari bahwa perubahan-perubahan
sosial itu harus diberi arah oleh hukum sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan
kemaslahatan umat manusia.
Ijtihad dalam kehidupan
manusia merupakan kebutuhan yang bersifat kontinuitas di mana realitas
kehidupan ini senantiasa berubah, begitupun situasi masyarakatnya yang
senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Ijtihad yang benar tentunya
yang dapat menjelaskan kehendak agama (maqa>sid al-tasyri>’) dengan kebutuhan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu,
hukum Islam sebagai produk ijtihad hendaknya mampu mengelaborasikan nilai-nilai
dan aturan normatif yang telah mentradisi dalam sebuah tatanan suci (syari>’at) yang telah menjadi landasan hidup beragama. Hal ini sesuai dengan
penerapan sosial hukum, bahwa suatu hukum hendaknya dapat memainkan peranan
ganda yang sama-sama penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai
kontrol sosial terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung dalam kehidupan
manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia, sebagai tujuan hakekat hukum itu
sendiri.[110]
Masalah asuransi
pada hakekatnya tidak lepas dari dua hal yang mendasar, yakni peraturan syar’i
dan kondisi masyarakat (sosio kultural). Kemudian dari dua dasar
tersebut kemudian menimbulkan berbagai interpretasi. Dalam kaitan ini, para
ulama berbeda pendapat tentang asuransi, yakni:
Pertama ,
Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarng ini. Dalil-dalil
yang dipergunakan adalah; (a) karena pada hakikatnya asuransi itu serupa dengan
judi. (b) mengandung unsur yang tidak jelas atau pasti, mengandung unsur riba,
dan (c) mengandung unsur ekploitasi.[111]
Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah; Yusuf al-Qardawi, Abdullah
al-Qadhi, Mufti Yordania, Said Sabiq, dan lain-lain.
Kedua, Membolehkan semua asuransi
dalam segala jenis prakteknya. Alasan yang digunakanya adalah; (a) tidak adanya
nash al-Qur'an dan hadis yang melarang asuransi. (b) adanya kesepakatan atau
kerelaan kedua belah pihak, asuransi termasuk akad mudlarabah, dan (c)
asuransi termasuk koperasi (syirkah ta'awuniyah). Pendapat ini di dukung
antara lain; Abdul Wahhab Khallaf, Abdurraham Isa, Musthafa Ahmad Zarqa, dan
lain-lain.[112]
Sementara itu,
kebanyakan fuqaha sepakat pada satu hal, yaitu adanya riba, maisir
(perjudian), garar (risiko, probalitas atau ketidakpastian), dan juhala
(tidak di tentukan dan tidak diketahui) di dalam suatu kontrak bisnis atau
sejenisnya menjadikan kontrak tersebut haram. Hal senada juga dikatakan oleh
Afzalaur Rahman dalam bukunya "Doktrin Ekonomi Islam" , ia
berpendapat bahwa:
"Bilamana ditemukan keempat
unsur itu (riba, maisir garar dan juhala) dalam
suatu transaksi, tidak peduli jenis dan bentuknya, unsur itu menyebabkan
kontrak tersebut menjadi haram. Telah disepakati secara bulat oleh para ulama
mengenai hal ini dan tidak ada pendapat yang berbeda di dalam mengharamkan
suatu kontrak yang melibatkan empat unsur tersebut"[113]
Meskipun para ahli
hukum Islam itu sendiri belum sepakat mengenai sah atau tidaknya bentuk-bentuk
masalah modern tertentu atau kontrak jual beli, hal ini tidak mempengaruhi
materi substansi arti yang telah disepakati secara bulat di dalam mengharamkan
kontrak jual beli yang mengandung keempat unsur yang telah disebutkan di atas.
Mereka mempunyai sedikit ketidaksepakatan secara rinci mengenai jenis dan
syarat kontrak jual beli tertentu
Seperti telah
disinggung di atas, bahwa syar'iah telah menetapkan dasar-dasar hukum untuk
menetukan halalnya sesuatu (transaksi), jika sesuatu itu bertentangan
dengan hukum-hukum syar'iah, kepentingannya, atau digunakan dan dipraktekkan
oleh umum dapat menjadikan sesuatu itu menjadi halal jika di dalamnya terdapat
empat unsur itu tadi. Kita harus memutuskan asuransi modern itu halal atau
haram dengan prinsip yang sama. Agar dapat diputuskan, kita harus menemukan
jawaban pertanyaan tersebut.
Analisa terhadap
asuransi akan menunjukkan bahwa empat unsur haram itu terdapat dalam tingkat
yang cukup untuk menyatakan bahwa kontrak tersebut haram dan tidak sah di dalam
masyarakat Muslim.
a. Riba
Unsur pertama yang
dilarang Islam adalah riba (bunga). Islam menganggap bunga sebagai suatu
kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan masyarakat baik itu secara
ekonomis, sosial maupun moral. Kata riba itu sendiri, berasal dari
bahasa Arab yang secara etimologis berarti “tambahan” (az-Ziyadah).[114]
atau “kelebihan”[115]—yakni
tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba
merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang
sedang bertransaksi.
Pengertian
riba di atas masih sangat umum sifatnya, dan belum memberikan ketentuan
jenis riba apa yang diharamkan. Untuk mendekatkan pemahaman, ada ulama
yang berependapat pentingnya melihat dan mempertimbangkan kata sandang yang ada
dalam kata riba, di dalam al-Qur’an, dengan melihat fungsi kata sandang
tersebut, diharapkan akan memperoleh pemahaman yang lebih mendekati pada
kebenaran.
Dalam
pandangan sebagian mufassir, kata sandang (definite article alif lam),
berarti menunjuk kasus tertentu (ma’rifah). Maka makna kata ar-riba
yang dimaksud adalah praktek pengambilan untung dari debitur yang sudah biasa di kalangan orang-orang Arab pra-Islam
ketika al-Qur’an belum diturunkan, dengan pemahaman ini, kesimpulan awal yang
barangkali sangat penting untuk dicatat, bahwa untuk bias memahami ayat secara
lebih tepat dan mengena, seorang harus mengetahui sebab yang melatarbelakangi
turunnya ayat (asbab an-Nuzul), barulah kemudian dapat diketahui apa arti
riba sebenarnya.[116]
Oleh karena itu, pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama) adalah
bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang
berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik berpiutang dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan.[117]
Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan
uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.
Di
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba
secara eksplisit di antaranya adalah:
- Firman Allah SWT :
واحل الله البيع وحرم الربوا [119]
.
ياايها الذين امنوا اتقواالله وذروا
مابقي من الربوا ان كنتم مؤمنين. فان لم تفعلوا فأذنوا
بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون.[120]
- Hadis Nabi SAW:
انما الربا فى النسيئة [122].
Ayat-ayat
al-Qur'an di atas tadi serta penegasan-penegasan yang diberikan oleh Nabi
secara eksplisit (tanpa ada qiyasan yang membingungkan), telah melarang
riba dan menyatakan sebagai pelanggaran hukum dalam masyarakat Muslim. Dalam
pengamatan penyusun, bahwa Afzalur Rahman dalam menetapkan unsur ribawi
yang terdapat dalam kontrak asuransi bermaksud menggunakan qiyas sebagai
metode penetapan hukumnya. Bagi Afzalur Rahman, ‘illat diharamkannya
riba adalah adanya penggelembungan dana dan penghisapan bahkan penganiayaan
terhadap pihak tertanggung. Konsekuwensinya, kalau ‘illat itu ada pada
kontrak asuransi konvensional, maka jelaslah kontrak asuransi konvensional sama
dengan riba dan hukumnya haram. Sebaliknya, kalau ‘illat tidak ada pada
kontrak asuransi konvesional, maka asuransi bukan riba, karena itu tidak
haram.[123]
Untuk memahami masalah ini secara utuh, berikut ini
dijelaskan cara kerja qiyas dalam menetapkan kasus kontrak asuransi
konvensional. ‘Asl dalam kasus ini adalah riba yang terdapat
dalam al-Quran. Far’u-nya adalah asuransi konvensional. Hukmu al-Asl-nya
adalah bahwa riba itu hukumnya haram. ‘illat diharamkannya riba
adalah zulm atau penghisapan dan pemerasan terhadap tertanggung.
Telah dijelaskan bahwa illat adalah sifat
tertentu yang dapat diketahui secara objektif (zahir), dapat diketahui
tolak ukurnya (mundabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib).
‘illat dapat diambil dari hikmah ditetapkannya hukum. Hikmah
baru dapat ditetapkan sebagai ‘illat kalau terdapat mazhinnat
atau indikator yang menunjukkan bahwa hikmah itu telah ada pada kasus
tersebut. Hubungannya dengan masalah riba, apakah sifat zulm itu
sudah dapat dikatakan ‘illat atau baru hikmah? Kalau sudah
termasuk ‘illat apakah indikator yang menunjukkan hal tersebut? Dengan
memperhatikan praktek riba pada masa ayat al-Quran ini diturunkan, dapat
difahami bahwa pemerasan merupakan hikmah diharamkannya riba. Hikmah
ini dapat menjadi ‘illat setelah adanya mazhinnat, yaitu
bahwa tambahan itu dipersyaratkan ketika transaksi tanggung-menanggung itu
berlangsung. Oleh karena ‘Illat ini tidak secara eksplisit disebutkan
dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka kedudukannya termasuk ‘illat
mustanbatah, dan bukan ‘illat mansusat.
Secara garis besar proses penemuan ‘illat dapat
dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah takhrij al-manat,
yakni menginventarisasi beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illat.
Tahap kedua adalah tanqih al-manat, yakni menyeleksi beberapa sifat yang
telah diinventarisasi pada tahap pertama. Sedangkan tahap ketiga adalah tahqiq
al-manat, yakni membuktikan keefektifan ‘illat haramnya riba, apakah
dapat diterapkan dalam kasus bunga bank atau tidak.[124]
Berdasarkan cara kerja itu, pertama sekali dicari dan
dihimpun beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba.
Pada tahap ini diperoleh informasi, bahwa sifat yang dapat dijadikan riba
adalah pemerasan atau penganiayaan (istiglal wa az-zulm), tambahan
tanpa risiko (ziyadah al-Khaliyat ‘an al-‘Iwad) dan tambahan yang
berlipat ganda (ziyadah al-Muda’afat).
Tahap berikutnya diadakan seleksi, mana di antara ketiga sifat itu yang
dianggap relevan. Dalam tahap ini dapat diketahui, bahwa sifat “tambahan tanpa
resiko” tidak dapat dijadikan ‘illat, karena ternyata Nabi sendiri
pernah memberikan kelebihan pembayaran kepada kreditor. Begitu pula sifat
“tambahan yang berlipat ganda” semata-mata tidak dapat dijadikan ‘illat,
karena Allah SWT menyatakan “wa in tubtum falakum ru’usu amwalikum”.
Dari sini tinggalah sifat “pemerasan dan penganiayaan” yang dapat dijadikan ‘illat
haramnya riba. Sifat yang terakhir ini, di samping dapat dilihat dalam sabab
an-Nuzul ayat terakhir tentang riba, juga diisyaratkan oleh ungkapan
al-Quran sendiri: “la tazlimuna wa la tuzlamun”.[125]
Melalui proses
pencarian ‘illat seperti di atas dapat disimpulkan bahwa pemerasan dan
penganiayaan merupakan ‘illat diharamkannya riba. ‘illat
di sini masih perlu diteliti lagi, dalam kaitannya dengan penerapan kasus
asuransi konvensional, karena sifat itu belum dapat diketahui tolak
ukurnya (mundabit). Untuk itu ditetapkan ketentuan bahwa unsur pemerasan
itu telah dianggap ada manakala ada “perjanjian pada awal transaksi utang
piutang itu”. Persyaratan ini dianggap sebagai mazinnat, yaitu
pemerasan. Inilah yang dianut mayoritas oleh ahli usul fiqh.[126]
Kalau kita kaji
kembali ruanglingkup asuransi secara mendalam. Maka dapat diketahui, bahwa
asuransi itu setidaknya mengandung beberapa unsur sebagai berikut:[127]
- Biaya atau kelebihan dan kelebihan atas modal pinjaman (misalnya kelebihan dari pinjaman pokok)
- Ketentuan besarnya tambahan dikaitkan dengan jangka waktu.
- Tawar-menawar mengenai syarat pembayaran tentang besarnya kelebihan uang dilakukan kepada kreditor.
Adanya unsur-unsur
tersebut membentuk riba dan beberapa hal yang berkaitan dengannya yaitu
tawar menawar atau transaksi kredit uang atau bentuk lain yang mengandung unsur
ini, dianggap sebagai transaksi riba oleh para ahli kitab muslim dan
para ahli ekonomi, dan hal demikian melanggar hukum dalam masyarakat Islam.
Sejauh menyangkut
asuransi modern, yang dalam menentukan keuntungannya dari riba secara
bebas dilibatkan dalam segala tingkatan bisnis tersebut, dan perhitungan premi
hingga kepembayaran ganti rugi kapada peserta asuransi yang mengalami musibah.
Sebagian besar dana yang dihimpun dari premi diinvestasikan dalam investasi
yang mendatangkan keuntungan pasti (riba) oleh perusahaan-perusahaan
asuransi dan hanya dalam porsi yang kecil dana yang diinvestasikan untuk
proyek-proyek lain. Hal ini dikarenakan
mereka mempertimbangkan bahwa riba itu aman dan terbebas dari risiko.dan
polis yang mereka keluarkan adalah untuk memainkan jaminan proteksi terhadap
kepentingan kliennya, investasi dengan
penghasilan pasti merupakan pilihan terbaik bagi mereka.[128]
Aspek keuangan
asuransi timbul dari prinsip dasar jaminan kehidupan yang menerapkan ketetapan
besarnya premi bagi kemungkinan timbulnya suatu risiko. Hal ini mendorong
timbulnya akumulasi dana, yang dapat mendatangkan pendapatan dan pembiayaan
masih tetap meninggalkan dana dalam bentuk tunai, tapi dana tersebut tidak
dibiarkan tidak produktif. Pada saat asuransi jiwa dengan mudah dapat
dilaksanakan pada tingkatan bunga nol, biaya yang dikeluarkan kemungkinan lebih
banyak. Sehingga sebagian besar dananya diinvestasikan untuk menghasilkan
bunga.
Oleh karena itu,
apabila seseorang atau suatu aturan melakukan pungutan bunga, tidak peduli
bentuk dan tujuannya, hal ini merupakan pelanggaran hukum dan tindakan tercela
di mata syari'ah dan tidak ada permainan kata atau konsep yang dapat mensahkan
atau melegalisirnya. Pendeknya, riba itu jelas sangat dilarang oleh syariah dan
asuransi modern sebagai bisnis modern dalam prakteknya menumbuh suburkan riba.[129]
Dengan demikian,
dapat ditarik benang merah, bahwa riba telah terdapat pada bisnis
asuransi modern dan dalam segala tingkatannya. Dari kalkulasi premi hingga
memberikan konpensasi kepada penderita yang mengalami musibah. Seluruh dana
perusahaan asuransi diinvestasikan pada investasi-investasi dengan pendapatan
tetap (yaitu bunga) dan semua keuntungan yang dibayarkan peserta
asuransi yang mengalami musibah mengandung unsur riba. Tidak dapat
dielakkan bahwa sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, pendapatan perusahaan
asuransi berasal dari riba. Rata-rata, perusahaan-perusahaan asuransi
menginvestasikan dua pertiga dananya untuk cadangan bunga tetap kira-kira 11%
apa yang dimilikinya, sebagian besar menghasilkan riba.[130]
b. Perjudian
(Qimar atau Spekulasi)
Unsur kedua yang
dilarang Al-Qur'an adalah judi. Kejahatan ini juga beransur-ansur ditinggalkan
oleh masyarakat.firman pertama yang ditujukan pada kejahatan ini menyatakan
bahwa kejahatan judi itu jauh lebih parah daripada keuntungan yang di
perolehnya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.[131]
Semua bentuk
perjudian dan taruhan itu dilarang dan dianggap perbuatan zalim dan sangat di
benci.
وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِاْلأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ.[132]
Firman-firman
tersebut akhirnya menjadikan perjudian atau pertaruhan dalam segala bentuknya
jelas-jelas haram bagi kaum muslimin. Kata Maisir dalam bahasa arab yang
arti harfiyahnya adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja
keras atau mendapat keuntungan tanpa
bekerja, oleh karena itu disebut berjudi. "Prinsip berjudi adalah
terlarang, baik itu anda terlibat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit
saja atau tidak berperan sama sekali menggantungkan keuntungan semata (misalnya
mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa
yang semestinya tidak kita dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan.
Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi
berjudi.[133]
Kata azlam dalam
bahasa Arab yang digunakan dalan Al-Qur'an juga berarti praktek perjudian.
Sementara itu maisir, menggunakan segala bentuk harta yang dituntut atau
dibagi untuk memperolah suatu keuntungan misalnya, lotre, bertaruh, atau
dan sebagainya. Dan ini lebih dikarenakan maisir kurang populer untuk
melegitimasi dilarangnya praktek-praktek asuransi yang tidak sesuai dengan
syari’ah, sebagaimana pelarangan riba. Sehingga kadangkala keberadaan
pelarangan riba dalam asuransi
dipandang semata-semata sebagai antitesis dari keberadaan bunga, dan lebih
menkhawatirkan adalah pemahaman ini memposisiskan pelarangan riba bukan untuk bertujuan
memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, tetapi posisi pelarangan
riba hanya karena adanya bunga.[134]
Judi pada umumnya (maisir)
dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk taruhan, undian
atau lotre yang berdasarka pada bentuk-bentuk perjudian adalah haram
didalam Islam. Rasulullah s.a.w, melarang segala bentuk bisnis yang
mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi dan ramalan
atau terkaan (missal judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.
Seluruh kontrak
asuransi berlandaskan pada suatu peristiwa yang tidak tentu terjadinya, yang
mungkin terjadi atau tidak terjadi sama sekali. Ini sama persis dengan perjudian dan lotre. Sifat uang
premi di dalam bidang asuransi sama persis denagn uang yang di pertaruhkan
dalam perjudian. Meskipun perkembangan ilmu statistik berkembang dengan pesat
unsur probalitas (yaitu spekulasi) tidak dapat dihilangjan dari asuransi
modern. Perhitungan-perhitunagn spekulasi sebagai dasar hampir sama dengan
prinsip yang digunakan dalam asuransi modern untuk menjamin keuntungan lembaga
tersebut (atau Bank). Dan perusahaan asuransi tidak bedanya dengan rumah
perjudian, jarang sekali mengalami kekalahan.[135]
Lebih-lebih,
kepentingan asuransi telah dan tetap sebagai suatu bangsa, khususnya dalam
asuransi jiwa, baik itu bagi perusahaan asuransi tetap akan menimbulkan
permasalahan yang sama dengan yang ada pada perjudian atau untung-untungan.
Beberapa ahli ekonomi terkemuka sepakat terhadap pandangan bahwa asuransi
modern adalah suatu benmtuk perjudian. Dan judi secara tegas dilarang di dalam
ayat al-Qur'an maupun as-Sunnah Rasulullah S.A.W. dan juga ahli hukum agama
Islam juga sepakat bulat mengenai hal ini.
c. Garar (Probabilitas atau Risiko).
Kata garar dalam
bahasa Arab berarti akibat, bencana, bahaya, risiko dan sebagainya. Di dalam
kontrak bisnis berarti melakukan sesuatu secara membabibuta tanpa pengetahuan
yang mencukupi, atau mengambil risiko sendiri dari perbuatan yang mengandung
risiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki kanca risiko
tanpa memikirkan konsekwensinya. Dalam segala situasi tersebut, di situ selalu
hadir unsur risiko. Menurut Imam Ibn Taimiyah, garar itu dilibatkan
apabila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu
kegiatan bisnis atau jual beli. Setiap jenis kontrak yang bersifat open-ended
mengandung unsur garar. Konsep garar dapat dibagi menjadi dua
kelompok: [136]
1.
Kelompok pertama adalah unsur
risiko yang mengandung keraguan, probabilitas dan ketidak pastian secara
dominant.
2.
Sedangkan kelompok kedua unsur
meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak
terhadap pihak yang lain.
Kitab suci
al-Qur'an dengan tegas telah melarang
semua transksi bisnis yanmg mengandung unsur kecurangan dalam segala bentuk
terhadap pihak lain: hal itu mungkin dalam bentuk penipuan atau kejahatan, atau
memperoleh keuntungan dengan tidak semestinya atau risiko menuju ketidak
pastian di dalam suatu bisnis dan sejenisnya. Sebgaimana firman Allah S.W T:
Ayat ini memberikan keyakinan bahwa
sesuatu yang dikerjakan dengan maksud untuk merugikan pihak lain dalam bidang
bisnis adalah dilarang oleh syari'at Islam, dan juga ada larangan yang tegas
dari Nabi yang berkaitan dengan kejahatan atau kecurangan (garar) dalam
transaksi bisnis.
Sementara unsur garar
(probalitas risiko yang menyebabkan ketidakpastian akhir kontrak asuransi)
sangat dominan dalam asuransi modern. Probalitas risiko terdapat di dalam total
bisnis asuransi modern yang meliputi premi, ganti rugi, dan kepentingan
asuransi. Unsur keraguan dan ketidakpastian akan selalu membayangi
variabel-variabel tersebut karena nasib mereka mungkin tidak terjadi. Jika
terjadi suatu peristiwa, sifat dan tingkat kerugiannya harus di perhitungkan.[138]
Dengan demikian,
kedua belah pihak yang mengadakan kontrak benar-benar dalam kegelapan mengenai
kewajiban dan tanggung jawab satu sama lain, dalam menghadapi risiko yang
sifatnya tidak dapat ditentukan. Oleh karena itu, adanya unsur garar, dapat
dipastikan dalam bisnis asuransi.
d. Juhala.
Juhala adalah
unsur yang tidak jelas pada kualitasnya, kuantitas atau harga suatu barang, juhala
sepertinya sesuatu yang tidak diketahui, sehingga mengakibatkan timbulnya
suatu ketidakpastian. Misalnya;
"jika seseorang dalam salah satu pihak
dalam suatu perjanjian mengatakan kepada pihak lain, "aku menjual salah
satu dombaku seharga Rp. 300.000,- ", dalam hal ini akan timbul perdebatan
atau perbedaan pendapat sudah sejak dari permulaan karena ketetapan mengenai
domba secara khusus tidak jelas, dan belum diketahui. Pembeli tentunya akan
meminta yang terbaik dari kelompok itu, sedangkan si penjual tentunya akan
memberikan yang terjelek".[139]
Kontrak asuransi
juga mengandung unsur juhala. Sebagaimana dijelaskan pada unsur garar,
unsur ketidakpastian juga sangat dominan di dalam bisnis asuransi modern.
Karena dasar asuransi adalah kemungkinan kerugian yang tidak dapat diramalkan,
unsur ketidakpastian tidak terhindarkan. Tidak ada sejumlah kemajuan dan
pengembangan ilmu statistik atau teori probalitas mampu menjamin kepada kita
bahwa sifat dan tingkat kerugian dapat diperkirakan sebelum terjadinya suatu
peristiwa.[140]
Di samping itu,
unsur jumlah yang dapat dipastikan baik dalam menentukan premi maupun
kompensasi terdapat dalam kontrak asuransi. Sifat dan bisnis asuransi adalah unsur
ketidakpastian yang tidak dapat terpisahkan dan terhindarkan dalam kondisi
seperti apapun.
Maka, dapat
dikatakan bahwa keempat unsur yang dilarang Al-Quran dan Sunnah Rasul yaitu riba,
qimar atau maisir, garar dan juhala terdapat di dalam kontrak asuransi.
Sebagai tambahan, unsur eksploitasi dan hubungan yang tidak fair juga terdapat
dalam bisnis asuransi modern. Seperti telah dijelaskan sebalumnya, banyak
sekali bukti yang mendukung adanya eksploitasi dan permainan yang tidak fair di
dalam bisnis asuransi modern.[141]
Sementara di sisi
lain Afzalur Rahman mengatakan, bahwa asuransi yang berlandaskan pada prinsip
mutualitas dan koperasi ialah yang membiasakan efektivitas dan keterpaduan
dalam mencari pemecahan berbagai macam persoalan asuransi yang dihadapi manusia
pada jaman modern sesuai dengan hukum-hukum Islam. Pada anggota membayar
kontribusinya dan kepada yang menderita diberi bantuan dengan dana umum. Para pemegang polis, sekaligus sebagai pengusaha asuransi
sama halnya sebagai peserta asuransi dalam asuransi mutual dan koperasi.
Motifnya bukan mencari keuntungan tetapi membantu diri sendiri melalui
kerjasama dengan anggota masyarakat yang lain atau dengan perusahaan tersebut.
Seluruh anggota bersatu dan mengelola badan atau perusahaan mutual dan koperasi
untuk membantu masing-masing anggota.
Bentuk asuransi
ini merupakan alternatif yang ada bagi kaum muslim sebagai pengganti kontrak
asuransi konvensional. Sesungguhnya bentuk ini sama dengan sistem kuno yang
dulu biasa digunakan oleh nenek moyang untuk menjamin kapal dan angkutannya di
laut yang luas selama berabad-abad. Inilah satu-satunya cara untuk memecahkan
persoalan asuransi untuk menghindari perangkap perjudian, ketidakpastian dan
probabilitas.[142]
Dalam pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan keuntungan para pemegang saham, jika memang
tidak dibutuhkan, tidak dikehendaki dan tidak bermanfaat, maka dapat dihentikan
sama sekali, atau keuntungan masing-masing pemegang saham dapat dikurangi atau
dibatasi pada prosentase tertentu. Sebagai tambahan, dana cadangan tetap juga
dapat ditetapkan dan prosentase keuntungan dengan proporsi tetap tertentu dapat
disisakan secara tahunan untuk dana tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan
asuransi tahunan para anggotanya.
Lebih-lebih, jika
prosentase keuntungan itu dibagikan kepada para pemegang polis jatuh ke tangan
para anggotanya dan tidak diserobot oleh pihak ketiga sebagaimana terjadi pada
asuransi komersial modern. Jika ada sejumlah keuntungan dan para anggota
menganggap keuntungan tersebut dikehendaki dan bermanfaat, tidak ada jeleknya
untuk dibagikan kepada para pemegang polis. Dengan cara demikian maka tidak ada
pemerasan dan eksploitasi para anggota oleh pihak ketiga.[143]
Bahkan jika suatu
badan asuransi koperasi hanya memiliki sarana dan modal yang terbatas,
sementara pada anggota sistem koperasi federal, kemampuan dananya dapat
berjumlah besar sekali. Di negara yang sedang berkembang akan terdapat ratusan
bahkan ribuan lembaga asuransi koperasi untuk memenuhi kebutuhan asuransi
masyarakat industri dan pertanian, membentuk suatu jaringan kerja sama antar
asuransi koperasi itu, walaupun mungkin setiap badan asuransi koperasi berskala
kecil, baik itu ukuran, lingkup dan sarananya, total penyebaran modalnya di
seluruh negara, dipandang dari kekuatan secara menyeluruh, akan menjadi sangat
besar dan menjadi jaminan yang meyakinkan bagi kebutuhan asuransi individu dan
setiap industri.
Lebih lanjut,
asuransi koperasi tidak hanya akan menjadi organisasi asuransi di negara
tersebut, tetapi akan dibantu oleh organisasi asuransi-asuransi mutual yang
berjumlah banyak di seluruh dunia. Total kebutuhan asuransi akan terpenuhi oleh
adanya dua bentuk organisasi asuransi yang akan saling melengkapi karya
masing-masing di tempat yang berbeda dalam suatu negara.
Dari semua yang tersebut
di atas, maka sistem jaminan sosial Islam akan berjalan sepenuhnya, dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat, misalnya, pengangguran, sakit, tua,
janda, cacat, para musafir yang dalam kesulitan beaya, orang yang dililit
hutang dan sebagainya. Sebagian dari kebutuhan masyarakat tersebut dapat
dicukupi sepenuhnya dengan sistem jaminan sosial dan jika ada kebutuhan
asuransi lain di luar cakupan tersebut, maka asuransi mutual dan koperasi dapat
melaksanakannya, secara penuh dan efektif. Dengan demikian, dalam kenyataannya,
kurangnya kepercayaan dapat dihapuskan dengan asuransi koperasi dalam hal
pemenuhan kebutuhan asuransi karena asuransi ini akan beroperasi sebagai dana
sekunder asuransi di dalam sistem asuransi segitiga pada ekonomi Islam.
Kita yakin bahwa
sistem segitiga ini akan mampu memenuhi secara keseluruhan keabsahan dan
halalnya kebutuhan asuransi masyarakat di dalam sistem Islam tanpa melibatkan
unsur-unsur yang diharamkan. Ada
empat jenis badan asuransi yang metode pengontrolnya dilakukan oleh angggota:[144]
- Stock Bersama atau Usaha Hak Milik
Dalam bentuk
asuransi ini, pemilikan dan pengawasan perusahaan dilakukan oleh para pemegang
saham. Sebagaian besar usaha ini dikelola dan merupakan bentuk stabil asuransi
swasta pribadi. Motif utamanya adalah mencari keuntungan. Para
pemegang saham menanamkan modalnya untuk mencari keuntungan.
- Asuransi Mutual
Badan ini
didirikan bagian prinsip keanggotaan. Biasanya tidak terdapat pembagian modal
dan pemabagian saham. Pengelolaan dan pengawasan di tangan para anggota
asuransi yang merupakan anggota pemegang polis pada badan tersebut. Dalam
kenyataannya, para pengusaha asuransi orangnya sekaligus sama dengan peserta
asuransi. Tujuan utama dan sifatnya adalah jaminan mutual dan tidak mencari
keuntungan.
- Lembaga Asuransi koperasi (Kerja sama)
Lembaga ini
dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip kerja sama umum. Lembaga tersebut
dikontrol dan dikelola oleh anggota masyarakat yang bekerja sama. Anggotanya
menyumbangkan dirinya sebagai bagian dari lembaga tersebut atau menjamin
permodalannya dan menjadikan pelayanan asuransi tersebut bermanfaat. Lagi,
motif lembaga kerja sama ini adalah saling memberikan perlindungan antar
anggotanya dan tidak mencari keuntungan.
- Usaha Campuran
Usaha ini
dikontrol dan dikelola oleh para pemilik barang yang mungkin bukan sebagai
pemegang polis. Kadang-kadang pemegang polis dapat diwakili dalam kepengurusan.
Tujuan organisasi perusahaan ini adalah mencari keuntungan yang dibagikan para
pemilik tersebut sekaligus sebagai orang yang berperan dalam mencari
keuntungan.
BAB.
V
P
E NU T U P
A.
Kesimpulan
1.
Menurut Afzalur Rahman, suatu
kontrak asuransi dapat didefinisikan sebagai “Suatu kontrak di mana seseorang
disebut ‘penjamin’ akan memberikan penanggungan sebagai balas jasa atas imbalan
yang telah disetujui yang disebut ‘premi’, yang telah dibayar oleh orang lain,
yang disebut ‘tertanggung’, berupa sejumlah uang, atau yang senilai dari suatu
kejadian tertentu. Peristiwa tertentu itu harus unsur yang tidak menentu;
peristiwa tersebut mungkin berupa (a) masalah asuransi jiwa, atau (b)
kecelakaan”. Kontrak tersebut dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang
disebut Polis, yaitu suatu akta yang ditandatangani oleh asuradur, yang
fungsinya sebagai alat bukti dalam perjanjian asuransi.
2.
Semua asuransi pada umumnya
"termasuk kontrak asuransi konvensional" yang menurut pandangan Islam
adalah termasuk masalah Ijtihadiyah, maka dalam menentukan hukum Afzalur
Rahman menggunakan metode Qiyas (analogical reasoning) sebagai ketetapan
hukum suatu kontrak asuransi konvensioal.
|
Dari ketentuan
tersebut maka dalam kontrak asuransi konvensional terdapat empat unsur di atas
pada tingkat yang tinggi, dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa kontrak
asuransi konvensional jelas keharamannya.
B. Saran-saran.
1.
Untuk memasyarakatkan asuransi
di kalangan bangsa Indonesia
yang mayoritas beragama Islam, hendaknya pihak perusahaan asuransi mengadakan
pembaharuan manajemen dan sistem asuransi dengan memperhatikan prinsip-prinsip
dan jiwa syari'at Islam.
2.
Dana yang terkumpul berupa
premi-premi yang dibayar oleh para pemegang polis kepada perusahaan asuransi,
hendakanya dimanfaatkan untuk proyek-proyek yang prodiuktif dan pembangunan.
3.
Setelah keluarnya fatwa MUI
(bunga bank), Bank Syari’ah maupun Lembaga Keuangan Syari’ah ramai-ramai
diserbu masyarakat untuk menjadi nasabahnya, termasuk asuransi Islam yang kena
imbasnya. Di sisi lain asuransi Islam umurnya masih relatif muda dibandingkan
dengan bentuk asuransi yang lain, tentu saja hal ini mempengaruhi kinerja dan
mekanisme berjalannya perusahaan asuransi Islam. Sementara asuransi Islam
dituntut untuk menjaga kepercayaan publik dengan kinerja yang profesional dan
proporsional, untuk menunjang semua itu asuransi Islam harus lebih berani
melakukan perbaikan-perbaikan dari segi pengaturannya, operasional perusahaan
maupun infra struktur agar kepercayaan nasabah tidak hilang begitu saja.
Lampiran 1
TERJEMAHAN
NO
|
BAB
|
FN |
HLM
|
TERJEMAHAN
|
1
|
I
|
8
|
5
|
Sesungguhnya
asal segala sesuatu adalah boleh (mubah)
|
2
|
I
|
18
|
11
|
Hai
orang-orang yang beriman, jaganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu.
|
3
|
I
|
20
|
11
|
Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya,
dank arena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
|
4
|
I
|
21
|
12
|
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
|
5
|
I
|
22
|
12
|
Orang-orang
yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang-orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.
|
6
|
I
|
24
|
12
|
Dan jaganlah
kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,
hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakan timbangan dan takaran dengan adil.
Kami tidak memikulkan beban pada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia
adalah kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintakan
Allah kepadamu agar kamu sekalian ingat.
|
7
|
I
|
25
|
13
|
Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka mintak dipenuhi. Dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah
orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada
suatu hari yang besar.
|
8
|
I
|
27
|
13
|
Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tapi dosa keduanya
lebih besar dari pada manfaatnya"
|
9
|
I
|
28
|
13
|
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan
|
10
|
I
|
30
|
14
|
Maka jika kamu tidak mengajarkan (meninggalkan sisa
riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya
|
11
|
I
|
31
|
14
|
Hai orang-orang
yang beriman, jaganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu sekalian.
|
12
|
II
|
22
|
38
|
Lihat NO. 9,
BAB I, FN. 28, HLM. 13.
|
13
|
II
|
23
|
40
|
Hai orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengajarkan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya
|
14
|
II
|
24
|
40
|
Rasulullah
SAW. telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya,
dan dua orang saksinya.
|
15
|
IV
|
26
|
73
|
Lihat NO. 4,
BAB I, FN. 21, HLM. 12.
|
16
|
IV
|
27
|
73
|
Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
|
17
|
IV
|
28
|
74
|
Lihat NO. 9,
BAB I, FN. 28, HLM. 13.
|
18
|
IV
|
29
|
74
|
Lihat NO. 14,
BAB II, FN. 24, HLM. 40.
|
19
|
IV
|
30
|
74
|
Sesungguhnya
riba itu hanya riba nasi’ah saja.
|
20
|
IV
|
35
|
77
|
Lihat NO. 9, BAB I, FN. 28, HLM. 13.
|
21
|
IV
|
36
|
77
|
Dan (diharamkan juga) mengundi nasib
dengan anak panah, karena itu adalah kefasikan.
|
22
|
IV
|
41
|
81
|
Dan
sempurnakan timbangan dan takaran dengan adil. Kami tidak memikulkan beban
pada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.
|
Lampiran 2
BIOGRAFI TOKOH
1.
K.H. Ali Yafie. Lahir di Wani Donggala, Sulawesi Tengah, tanggal 1 September 1926. Dia adalah
Wakil Ketua Dewan Penasihat ICMI, Anggota Dewan pengawas Syari’ah Bank Muamalat,
Wakil Ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ), Jakarta, dan
Guru Besar Kajian Islam Terpadu (Dirasah Islamiya) Universitas Islam
Asy-Syafi’iyah, Jakarta. Selain belajar otodidak dalam ilmu-ilmu pengetahuan
umum, jurnalistik, dan bahasa-bahasa asing, pendidikannya dihabiskan di
pesantren (1933-1945). Dan dia juga berkiprah di lembaga-lembaga organisasi,
baik organisasi pemerintah maupun organisasi masyarakat. Pernah menjabat Hakim
Pengadilan Agama Tinggi Makasar (1959-1962) dan Kepala Inspektorat Peradilan
Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur (1962-1966), menjadi Anggota Staf Harian
merangkap Anggota Dewan Pleno Badan Pembinaan Potensi Karya Kodam XIV Hasanuddin,
Ujung Pandang (11961-1965) dan diangkat menjadi Anggota Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia (sejak 1985).
2.
K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 21 November 1928. Ia adalah alumnus Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (1956) pada tahun 1965 ia memperoleh gelar Magister
dalam Isslamic Studies dari Universitas Cairo. Sejak tahun 1953 ia aktif
menulis buku antara lain: Asas-asas Muamalat, Hukum Islam tentang Riba,
Utang-piutang dan Gadai dan lain sebagainya. Ia menjadi dosen UGM Yogyakarta
sejak tahun 1968 sampai wafat (1994) dalam mata kuliah Sejarah Filsafat Hukum
Islam, dan menjadi dosen di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia. Selain itu
ia terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah priode 1990-1995 dan aktif di
berbagai organisasi serta aktif mengikuti seminar nasional maupun
internasional.
3.
Prof. Abdulkadir Muhammad,
S.H. Lahir 16 Agustus 1937 di Sekayu Musi Banyuasin
Palembang.
Pendidikan S-1-nya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan
lulus pada tahun 1966. pada tahun yang sama dia diangkat sebagai dosen tetap
Hukum Perdata dan Hukum Dagang pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dia
pernah memangku jabatan sebagai Dekan Fakultas Hukum Unila selama dua priode,
1972-1974 dan 1982-1985. di asmping itu, dia adalah anggota Tim Inti Akta V
Applied Approach Unila, anggota Dewan Penyunting Penerbit Unila, anggota Tim
Panelis Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Depdikbud. Jabatan akademi
yang dipangku hingga sekarang adalah Guru Besar Hukum Dagang atau Perusahaan pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
- Abdul Wahab Khallaf, lahir di Kafruzziyat, bulan Maret 1888 M. masuk al-Azhar tahun 1900. Tahun 1920, ia ditunjuk menjadi hakim di Mahkamah Syar’iyyah. Menjadi guru besar di fakultas Syari’ah al-Azhar tahun 1934-1948. Ia wafat pada bulan Januari 1956. Di antara karya-karyanya adalah “Ilm al-Ushul al-Fiqh, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah dan al-Waqf wa al-Mawaris”.
- Khoiruddin Nasution, lahir di Simangambat, Siabu, Tapanuli Selatan tanggal 8 Oktober 1964. Sejak tahun 1990 diangkat sebagai dosen fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Gelar Sarjana Syari’ah, jurusan Peradilan Agama (PA) diperoleh akhir tahun 1989 di fakultas yang sama. Tahun berikutnya, 1990 mengikuti pembibitan dosen-dosen IAIN se-Indonesia di Jakarta. Tahun 1993-1995 mendpat beasiswa dari Pemerintah Kanada untuk mengambil S2 di McGill University, Montreal, Kanada, dalam Studi Islamic Studies, dengan mengambil spesialisasi Islamic Law (hukum Islam). Di samping gemar melakukan penelitian, khususnya menyangkut masalah-masalah hukum Islam, juga berusaha aktif menulis di mas-media. Sementara karya-karya beliau di antaranya adalah: Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. Dan Fiqh Wanita Kontemporer.
6.
R. Subekti, nama lengkapnya adalah Prof. R. Subekti, SH. Ia pernah menjabat
sebagai Ketua Mahkamah Agung RI dan guru besar hukum perdata di Universitas
Indonesia Jakarta, dan pernah menjabat dosen tetap di UGM. Beberapa karyanya
antara lain: Pokok-pokok Hukum perdata, Hukum Perjanjian, dan Hulum
Pembuktian.
[1] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga
Terkait (BMMI & Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), hlm.165.
[2] Ali Yafie, “ Asuransi dalam Perspektif Hukum
Islam”, Ulumul Qur’an, 2/VII/96, hlm. 10.
[3] Penjelasan UU No.
2 Tahun 1992, Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Hukum Asuransi:
Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Perasuransian, (Bandung: PT. Alumni,
2003), hlm. 183.
[4] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa. Soeroyo,
Nastangin, (Jakarta: Dana Bahkti Wakaf, 1995), IV: 27 – 28.
[5] Mashudi, dan Moch. Chidir Ali, Hukum Asuransi, (Bandung:
Mandar Maju, 1998), hlm.59.
[6] Afzalur Rahman, Doktrin, hlm 107-108.
[8] Warkum Sumitra, Asas-asas, hlm.166.
[9] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani; Relevansi Bagi
Prmbaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 1999), hlm.197.
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh. cet. XII (Kuwait: Dar
al-Qalam. 1978), hlm.91.
[11] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan, hlm. 175.
[12] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’at: Deskripsi
dan Ilustrasi, (Yogjakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 98.
[13] Sri Rejeki Hartono, Hukum
Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997),
hlm. 83.
[14] Abdul Wahhab
Khallaf, Khulasah Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, cet. III (Kuwait: Dar
al-Fikr, 1968), hlm. 7.
[15] Fazlur Rahman, Islam,
alih bahasa Ahsin Muhammad, cet II (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 141-142.
[16] Ahmad Azhar
Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Edisi
Revisi, (Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
1993), hlm. 7.
[17] Ibid., hlm. 10.
[18] An-Nisa’ (4) : 29.
[19] Afzalur Rahman, Doktrin, hlm. 130.
[20] An-Nisa’ (4) : 161.
[21] Ali-Imran (3) : 130.
[22] Al-Baqarah (2) : 275.
[23] Afzalur Rahman, “Doktrin”, hlm. 161-165.
[24] Al-An’am (6) : 152.
[25] Al-Mutaffifin (83) : 1-5.
[26] Afzalur Rahman, “Doktrin”, hlm. 173.
[27] Al-Baqarah (2) : 219.
[28] Al-Ma’idah (5) : 90.
[29] Afzalur Rahman, “Doktrin”, IV, hlm. 186
[30] Al-Baqarah (2) : 279.
[31] An-Nisa’ (4) : 29.
[32] Murtadha Muthahhari, Pandangan Islam tentang Asuransi dan Riba, alih
bahasa Irwan Kurniawan, (Bandung: Pustaka Hidayat, 1995), hlm. 287.
[33] C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, cet.
IV (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 429
[34] Tajur Arifin dkk, Kitab Undang-Undang Perdata Islam, (Bandung: Kiblat Press,
2002), hlm. xxvi – xxxi.
[35] R. Subekti dan Tjirto Sudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer), cet. XIX (Jakarta: Pradya Paramita, 1985), hlm. 305
[36] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.
125.
[37] Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet.
XIII (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hlm. 6
[38] Syaikhul Hadi Pernomo dkk, Pedoman
Riset dan Penyusunan Skripsi, (Surabaya: BP3 Fak.
Syariah IAIN Sunan Ampel, 1989), hlm.
26-27.
[39] Syamsul Anwar, “Sumber Hukum dan Pengaturan Asuransi di Indonesia”,
dalam Modul Asuransi Islam, (ttp, tp, 2002) hlm. 13.
[40] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2003). hlm.100.
[41] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung : Mizan, 1994) hlm.
205-206.
[42] Mehr dan Cammack, Manajemen Asuransi, alih bahasa A.
Hasymi, (Jakarta: Balai Aksara, 1981), hlm. 2
[43] Syamsul Anwar, Asuransi Islam, (Yogjakarta: Fakultas
Syari’ah, 2002)
[44] Ahmad Azhar Basyir, Takaful sebagai Alternatif Asuransi Islam,(Jurnal
'Ulumul Qur'an No.2 Vol VII, 1996) hlm. 15
[45] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.
260
[46] C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, cet.
IV (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 429
[47] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, hlm. 266.
[48] Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Islam Indonesia, cet.
II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 24
[50] Ibid., hlm. 26.
[51] C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan, hlm. 440
[52] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan, hlm. 264
[53] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa. Soeroyo,
Nastangin, (Jakarta: Dana Bahkti Wakaf, 1995), IV: 281
[54] C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan, hlm. 443
[55] Ali Yafie, Menggagas Fiqh
Sosial, hlm. 210
[56] Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet.
IV (Jakarta:
Sinar Grafaika, 2001), hlm 84
[57]A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet. III, (Jakartarta:
Bumi Aksara, 2002), hl. 101
[64] Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai
prisip ganti rugi ini Baca juga Muhammad Muslehuddin, Menggugat Asuransi
Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru Dalam Perspektif Hukum Islam, alih
bahasa Burhan Wirasubrata, cet. I, (Jakarta: Lentera Basramita, 1999),
hlm. 42-43
[65] Subrogation adalah hak penanggung
(perusahaan asuransi) untuk mengambil alih klaim pihak yang ditanggung terhadap
mereka yang bertanggung jawab atas kerugian itu. Mengizinkan pihak yang
ditanggung memperoleh penggantian dari perusahaan asuransi dan kemudian
menagihnya lagi dari orang yang bertanggung jawab atas kerugiannya itu adalah
bertentangan dengan prinsip ganti rugi (principle of indemnity). Misalkan pada
suatu pagi, tetangga anda menabrak mobil anda yang sedang parkir. Jika ia
membayar kerugian anda sepenuhnya, maka anda tidak boleh lagi menagih kerugian
tersebut dari perusahaan asuransi anda. Sebaliknya, jika anda meminta
perusahaan asuransi anda mengganti kerugian anda tersebut berdasarkan polis
asuransi anda, maka anda tidak boleh meminta cek tetangga anda itu, kecuali
untuk jumlah kerugiain yang tidak diganti oleh perusahaan asuransi anda. Akan
tetapi, penanggung (perusahaan asuransi anda) berhak memperoleh cek tetangga
anda itu untuk jumlah yang tercantum dalam polis anda, dan bahkan memintanya
jika tetangga itu tidak otomatis membayarnya. Lihat Ibid., hlm. 107
[66] Marjuki Zuhdi, Pandangan Ulama Terhadap
Asuransi Konvensional, http//www. takaful.com/whitepaper/whitepaper.html.,
hlm. 32-33
[68] Al-Baqarah (2): 278-279
[69] Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa
Muwakkalah” (Bandung:
al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga
al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug
al-Maram (Surabaya:
al-Hidayah, tt), hlm.169
[70] Hassan Syazili, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Iktiar Baru
Van Haeven, 1980), hlm. 473-474.
[71] http://www.salam.co.uk.
[72] Ibid.
[73] Afzalur Rahman, Muhammad Seorang Pedagang, alih bahasa Dewi
Nur Juliati, Isnan, dkk, cet 1 (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumi, 1996), hlm.3.
[74] Afzalur Rahaman, al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, alih
bahasa H.M. Arifin, cet 1 (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hlm. 5.
[75] Afzalur Rahman, Indeks al-Qur’an, cet 1 (Jakarta: Bina
Aksara, 1995), hlm. 5.
[76] Afzalur Rahman, Nabi Muhammad S.A.W. sebagai Seorang Pemimpin Militer,
alih bahasa Anas Sidik, cet 1, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 5.
[77] Afzalur Rahman, Muhammad S.A.W. ensiklopedi Sirah, Dakwah dan
Islam, alih bahasa Zarah Saleh, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kemitraan Malaysia, 1994), I: 20.
[78] Ibid.
[79] Afzalur Rahman, Muhammad S.A.W. Esiklopedi Sirah, II: 10
[80] Afzalur Rahman, Muhammad S.A.W. Ensiklopedi Sirah, IV: 10
[81] Afzalur Rahman, Muhammad S.A.W. Ensiklopedi Sirah, V: 6-17
[82] Afzalur Rahman, Tuhan Perlu Disembah Eksplorasi Makna Shalat dan
Manfaat Shalat bagi Hamba, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 5.
[83] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo
dan Nastagin, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), IV: 82.
[84] Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet.
III (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 108
[85] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet. II
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 27-28
[86] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi hlm. 91.
[88] Untuk menetahui lebih lengkap mengeanai asuransi jiwa ini, Baca,
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Islam Indonesia, cet. II, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 167-176.
[89] Lihat juga Ibid., hlm. 177-192
[90] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi, hlm. 94
[91] Ibid., hlm. 95.
[92] Ibid., hlm. 102-103
[93] A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet. III, (Jakartarta:
Bumi Aksara, 2002), hlm. 22. Baca juga, Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi
Islam Indonesia, cet. II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 12-13
[94] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo
dan Nastagin, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), IV: 107
[95] Menurut ketentuan
Pasal 255 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk
akta yang disebut polis. Selanjutnya Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.
73 Tahun 1992. Berdasarkan ketentuan dua pasal tersebut di atas, maka dapat
diketahui bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis bahwa telah terjadi
perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti
tertulis, isi yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung
kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi, sehingga
mempersulit tertanggung dan penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka
dalam melaksanakan asuransi. Di samping itu, polis juga memuat kesepakatan
mengenai syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar
pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi. Untuk keteranagn
lebih lengkapnya Baca, Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi, hlm. 57-72.
[96] Besarnya jumlah premi yang harus dibayarkan oleh tertanggung
ditentukan dengan persentase dari jumlah asuransi ditambah dengan biaya-biaya
lain, misalnya biaya materai, dan biaya pialang. Cara pembayarannya
biasanya dibayar lebih dahalu. Sedangkan pada asuransi jiwa biasannya dibayar
secara bulanan. Ibid., hlm. 102. Sebagai perbandingan lihat juga,
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. IV (Jakarta: Sinar Grafaika,
2001), hlm. 122-125.
[97] Yang dimaksud risiko di sini adalah kemungkinan penyimpangan yang
tidak diharapkan. Kemungkinan itu berupa terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan atau tidak terjadinya hal
yang dinginkan—kejadian seperti ini sering diartikan menurunnya atau hilangnya
suatu nilai. Baca, A. Hasymi Ali, Pengantar Ekonomi, hlm. 156.
[98] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 108
[99] Ibd., hlm. 109
[100] Asuransi modern pada dasarnya berlandaskan pada totalitas pesesrta
asuransi yang mengalami musibah. Landasan kerjasamanya adalah musibah umum yang
mungkin mereka alami. Menghindarai risiko sejauh mungkin adalah sifat insting
manusia, seluruh peserta asuransi secara bersama-sama mengahadapi musibah umum
itu dengan berkerjasama satu sama lain untuk menghindarkan risiko atau kerugian
umum tersebut. Jika musibah itu benar-benar terjadi, mereka mengurangi
kemungkinan bahaya terhadap orang lain
atau harta benda para peserta asuransi. Ibid. hlm. 214
[101] Yang dimaksud ganti rugi di sini adalah sejumlah uang dari
perusahaan asuransi yang diharapkan dibayarkan kepada peserta asuransi apabila
terjadi kecelakaan atau marabahaya. Ibid., hlm. 150
[102] Ibid., hlm. 110
[103] Asuransi jiwa adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang
mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Lihat UU No. 2 . Tahun 1992 Pasal 1
angka (1)
[104] Untuk lebih jelasnya tentang asuransi ruang lingkup kecelakaan
dapat di baca dalam, Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi, hlm. 185-187
[105] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 111.
[106] Ibid., hlm. 112
[107] Ibid., hlm. 114
[108] Ibid., hlm. 115
[110] Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta:
Rajawali Press, 1980), hlm. 115-116.
[111] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, cet. VIII, (Jakarta: Midas Surya Grafindo,
1994), hlm. 134.
[112] Ibid., hlm. 135
[113] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 253.
[114] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas
Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.
37 sebagai perbandingan lihat Imam
Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar fi Halli Gayati al-Ikhtisar,
(ttp: Darul Haya, tt), hlm. 246.
[115] Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, hlm. 102. Sementara Makhalul Ilmi. SM mengatakan bahwa arti
“kelebihan” tidak berhenti di sini saja—karena “kelebihan” yang lahir akibat
dilakukannya transaksi ekonomi antara dua pihak atau lebih disebut sebagai riba,
termasuk mengambil keuntungan atas suatu transaksi jual beli yang lazim
berlaku dalam tatanan masyarakat
bangsa-bangsa
di dunia sejak dahulu hingga sekarang. Sudah barang tentu bukanlah yang
dimaksud al-Qur’an demikian, karena tegas-tegas salah satu ayatnya menyebutkan:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba”. Makhalul Ilmi, Teori
dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, cet. I (Yogayakarta: UII
Press, 2002), hlm. 19.
[116] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 38
[117] Ali as-Sabuni, Rawai ‘al-Bayan fi at-Tafsir Ayati al-Ahkam,
(ttp: Dar al-Qur’an, 1391/1972), I: 383.
[118] Al-Imran (3): 130. Ayat ini jelas menyatakan bahwa, memakan bunga
dapat menyebabkan rakus, tamak, kikir, dan egois bagi orang yang mengambilnya;
dan kebencian, kemarahan, kecemburuan bagi orang yang membayarkannya. Oleh
karena itu, Allah telah mengecam dan melarang riba dan menganjurkannya untuk
berbuat amal baik sebagai suatu penangkal terhadap praktek riba. Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, hlm. 131.
[119] Al-Baqarah (2): 275
[120] Al-Baqarah (2): 278-279
[121] Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa
Muwakkalah” (Bandung:
al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga
al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug
al-Maram (Surabaya:
al-Hidayah, tt), hlm.169
[122] Muslim, Sahih Muslim, “Babu Bai’ at-Ta’am Mislan bi Mislin”.
(Bandung:
al-Ma’arif, tt), I: 694-697
[123]Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah,
cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1995 ), hlm. 125-126
[124] Ibd.
[125] Ibid.
[126] Ibid., hlm. 128.
[127] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 138
[128] Ibid.
[129] Ibid., hlm. 140
[130] Ibid., hlm. 255
[131] Al-Maidah (5):
90
[132] Al-Maidah (5): 3
[133] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 142.
[134] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi
dan Ilustrasi, cet. I (Yogyakarta:
Ekonsia, 2003), hlm. 13-14.
[135] Afzalurr Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 255.
[136] Ibid.
[137] Al-An'am (6): 152
[138] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 256
[139] Ibid., hlm. 173
[140] Ibid., hlm. 256
[141] Ibid., hlm. 257.
[142] Ibid., hlm. 275
[143] Ibid., hlm. 276.
[144] Ibid., hlm. 277-278