KONTRAK ASURANSI KONVENSIONAL (STUDI ATAS PEMIKIRAN AFZALUR RAHMAN)


Abtraksi 
by:AHMAD SHOLIH
 
Dunia Islam telah dihadapkan pada situasi yang menggelisahkan. Beberapa institusi hukum dan sosio-ekonomi penting yang telah berkembang di Barat selama empat ratus tahun terakhir dan yang telah membuat serangan hebat terhadap masyarakat Islam, dalam bentuk dan strukturnya sekarang ini, bertentangan dengan nilai dan prinsip yang disampaikan oleh Islam. Perjalanan sejarah telah memaksakan institusi-institusi dan organisasi-organisasi  tersebut kepada kita. Sadar atau tidak, kita telah menjadi korban dari situasi ini. Para sarjana Muslim semakin menyadari konflik ini dan mencurahkan segenap upaya untuk mengeluarkan masyarakat Muslim dari situasi tersebut. Untuk mencapai tujuan ini, perlu dibuat suatu kajian yang obyektif mengenai berbagai institusi kontemporer dan hukum Islam. Selanjutnya, harus dikembangkan institusi-institusi pengganti yang dapat memenuhi kebutuhan kita tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar Islam.

Kontrak asuransi adalah salah satu problemnya. Sebagai produks sains, kontrak asuransi konvensional didasarkan pada prinsip-prinsip probabilitas dan hukum jumlah banyak yang mana risiko dikonversi menjadi biaya tetap (fixed cost). "Ini dilakukan dengan menggabungkan jumlah risiko yang besar dan menerapkan prinsip-prinsip probabilitas pada banyak data yang berkaitan dengannya". Pengukuran secara matematis yang eksak menjadi mustahil, sehingga risiko ditentukan oleh peluang terjadinya kerugian seperti diestimasi dari pengalaman masa lalu. Cara ini tidak akan mendatangkan hasil yang akurat, dan justru  akan berakhir dalam ketidakpastian kompensasi (subject-matter).

Alasan ini, dan alasan lainnya seperti yang akan kemukakan dalam bab-bab selanjutnya, membuat kontrak asurasni konvensional menjadi tidak sah dalam pandangan hukum Islam, yang menurut Afzalur Rahman, bahwa dalam melakukan suatu transaksi jual beli pada umumnya dan kontrak asuransi khususnya. Bilamana ditemukan keempat unsur riba, maisir, garar dan juhala dalam suatu transaksi, tidak peduli jenis dan bentuknya, maka unsur itu menyebabkan kontrak tersebut menjadi haram. Dalam ketentuan tersebut,  sejauh unsur riba dan maisir itu terkait, tanpa mempedulikan tingkat tinggi rendahnya. Jika ternyata unsur riba dan maisir terdapat dalam kontrak asuransi konvesional, maka cukuplah untuk menyatakan bahwa kontrak asuransi itu tidak sah dan haram hukumnya. Sedangkan terhadap kedua unsur lain, yaitu garar dan juhala, maka di sini di temukan bahwa kontrak asuransi konvesional mengandung kedua unsur itu pada tingkat yang tinggi. Oleh karenanya kontrak asuransi konvensional terlalu tinggi untuk dapat diterima menurut syari'ah. Pendapat Afzalur Rahman ini, juga didukung dan diperkuat oleh Schacht dengan mengatakan: "Ditentukan oleh berbagai pertimbangan agama dan etika; setiap institusi, transaksi, atau kewajiban diukur oleh standar-standar keagamaan dan kaidah-kaidah moral, seperti pengharaman bunga, pelarangan ketidakpastian, perhatian terhadap kesetaraan antara dua pihak, dan perhatian terhhadap keseimbangan yang adil atau sama-sama rata (misl)".
                        
BAB. I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Di era yang modern ini, transformasi budaya mengakibatkan perubahan pola-pola perilaku manusia baik itu di bidang sosial maupun ekonomi. Di bidang sosial telah bermunculan karakter-karakter egoistis dan individualisme yang sekarang ini tumbuh dan merebak di masyarakat perkotaan. Di bidang ekonomi peralihan pola bertani kapada industrialisasi  yang mengakibatkan perpindahan penduduk dari desa ke perkotaan untuk mengadu nasib.
Hal itu semua tidak hanya membawa suatu manfaat saja, akan tetapi masih banyak persoalan yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut, di antaranya egoistis, materialistis serta moral manusia yang semakin bejat yang akhirnya membuat suatu kehawatiran terhadap rasa aman bagi kehidupan masyarakat kita saat ini
Dan tidak ketinggalan pula kemajuan teknologi pasa zaman sekarang ini, yang membawa banyak sekali perubahan pada tata kehidupan manusia. Di samping manfaat yang telah kita rasakan sekarang ini, juga tidak luput dari bahaya yang menyebabkan kehawatiran dan ketidakpastian terhadap keamanan seseorang.
Untuk menghindari dan mencegah kehawatiran dan ketidakpastian tersebut ada berbagai cara yang dilakukan seseorang baik untuk melindungi dirinya maupun hartanya, di antaranya dengan mengansuransikan jiwa dan hartanya kepada perusahaan peransuransian guna mencari sebuah proteksi.
Asuransi (pertangungan) adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih yang mana pihak pemegang mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan, yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada di antara tertanggung, yang timbul dari sesuatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang ditanggung (Pasal 1 UU no. 2 tahun 1992 tentang usaha peransuransian).[1]
Dalam KUHD Pasal246 asuransi dirumuskan sebagai suatu perjanjian dalam mana pihak yang tertanggung berjanji terhadap pihak yang ditanggung untuk menerima sejumlah premi mengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh pihak yang ditanggung sebagai akibat dari suatu peristiwa yang belum terang terjadinya.
Di Indonesia, landasan-landasan hukum asuransi diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) maupun peraturan-peraturan diluar KUHD. Ali Yafie berpendapat:
Dalam 160 pasal pada KUHD segala sesuatu yang menyangkut asuransi telah diatur sedemikian rupa sehingga ia merupakan lembaga hukum dalam hukum perdagangan. Dan dalam KUHS (KUHPerdata Pen.), disinggung juga mengenai segi keperdataannya. Selain itu, masih ada peraturan perundangan lainnya yang menyangkut asuransi, seperti undang-undang no. 33 tahun 1964 dan lain sebagainya.[2]

Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang mengatur tentang asuransi hanyalah merupakan suatu perjanjian. Mengenai usaha perasuransian, di mana bentuk usaha tersebut memberikan perlindungan dan menyangkut dana masyarakat maka pengaturannya terdapat pada UU No. 2 Tahun 1992.[3] Dan masih banyak landasan hukum yang mengatur tentang asuransi di Indonesia.
Melihat kenyataan di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam asuransi terdapat dua pihak yaitu penanggung dan tertanggung, pihak pertama biasanya berwujud perusahaan atau lembaga asuransi, sedangkan pihak kedua adalah orang atau badan hukum yang akan menderita karena suatu peristiwa yang belum terjadi, sebagai kontra presepsi dari pertanggungan ini pihak tertanggung diwajibkan membayar uang premi kepada pihak penanggung.
Suatu kontrak asuransi dapat didefinisikan “Suatu kontrak di mana seseorang disebut ‘penjamin’ akan memberikan penanggungan sebagai balas jasa atas imbalan yang telah disetujui yang disebut ‘premi’, yang telah dibayar oleh orang lain, yang disebut ‘tertanggung’, berupa sejumlah uang, atau yang senilai, atau suatu kejadian tertentu. Peristiwa tertentu itu harus unsur yang tidak menentu; peristiwa tersebut mungkin berupa (a) masalah asuransi jiwa, atau (b) kecelakaan”.[4] Kontrak tersebut dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut Polis, yaitu suatu akta yang ditandatangani oleh asuradur, yang fungsinya sebagai alat bukti dalam perjanjian asuransi.[5]
Lebih lanjut Afzalur Rahman menjelaskan bahwa kontrak atau perjanjian asuransi dibuat berdasarkan prinsip ketidakpastian, kejadian yang tidak menentu yang meliputi spekulasi suatu risiko. Baik peserta asuransi maupun pengusaha asuransi menyepakati suatu kontrak untuk menanggung risiko, pihak pertama mengalihkan risiko kerugian dan pihak kedua memperoleh premi. Semua kontrak asuransi dibuat dalam dokumen resmi, yang disebut polis (peraturan asuransi jiwa tahun 1774) di mana pengusaha asuransi secara resmi terikat untuk menanggung persoalan peserta asuransi berdasarkan premi yang diterimanya dan apabila gagal melaksanakan kewajibannya maka ia akan dikenakan denda (peraturan resmi tahun 1891).[6]
Adapun yang dimaksud premi di sini adalah suatu harga yang ditetapkan pengusaha asuransi untuk mengambil alih risiko dan memikul beban kemungkinan risiko kerugian sebagaimana disepakati dalam kontrak asuransi. Berdasarkan pada rumus rata-rata pengusaha asuransi menentukan besarnya premi berdasarkan pengalaman jumlah yang mencukupi untuk menanggung risiko termasuk biaya lainnya, seperti keuntungan, sehingga ditetapkan premi untuk menutup semua biaya dan premi tersebut dikenakan kepada peserta asuransi. Apabila premi yang dibayarkan baru sekali dan terjadi risiko, maka beban risiko belum bisa dialihkan.[7]
Dari uraian tersebut di atas maka kontrak asuransi merupakan hal baru yang belum diatur secara terperinci dalam Hukum Islam (fiqh mu'amalah). Di samping itu dalam al-Qur’an dan al-Hadis tidak ada satupun ketentuan yang mengatur secara eksplisit tentang asuransi. Oleh karena itu masalah asuransi ini dalam Islam termasuk bidang hukum Ijtihadiyah artinya untuk menentukan hukumnya asuransi ini halal dan haram masih diperlukan peranan akal pikiran para ulama ahli fiqh malalui ijtihadnya.[8]
Menurut as-Syaukani bahwa pada prinsipnya muamalah adalah mubah, artinya sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya maka sesuatu itu adalah boleh.[9] Hal ini berdasarkan pada kaidah :

الأصل فى الأشياء الأباحة.[10]
Melihat permasalahan tersebut di atas bahwa kontrak atau perjanjian asuransi merupakan perjanjian yang baru, yang tidak ada dan diatur secara terperinci dalam al-Qur’an dan al-Hadis maka penyusun tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai kontrak asuransi terutama dalam pemikiran Afzalur Rahman terhadap kontrak asuransi konvensional yang kemudian dikaitkan dengan praktek kontrak asuransi yang berlaku di Indonesia pada masa sekarang.

B.  Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa masalah yang dijadikan penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah :
1.   Bagaimanakah pandangan dan alasan dasar Afzalur Rahman tentang kontrak asuransi konvensional ?
2.   Bagaimanakah metode istimbat Afzalur Rahman terhadap kontrak asuransi konvensional ?

C.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
  1. Tujuan Penelitian
a.       Untuk menggambarkan pandangan Afzalur Rahman tentang kontrak asuransi konvensional
b.      Untuk menjelaskan metode istimbat Afzalur Rahman terhadap kontrak asuransi konvensional

  1. Kegunaan Penelitian
a.       Bagi kehidupan secara umum, yaitu memberikan atau membangkitkan pengertian dan kesadaran  bagi kebanyakan masyarakat yang masih beranggapan bahwa kontrak asuransi konvensional yang belaku sekarang ini masih belum tepat atau mengena dengan ketentuan-ketentuan agama yang telah diyakini, karena hukum kontrak asuransi konvensional itu sendiri, hingga saat ini  masih menjadi perselisihan pendapat dikalangan para ulama,  dan di samping juga agar mereka memiliki landasan yang kuat dalam menjalani aktifitas perekonomian
b.      Bagi  pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu syariah, yaitu memberikan pemahamam yang kokoh bagi pemikiran hukum Islam sebagai upaya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah kontemporer yang dihadapi umat Islam, khususnya masalah hukum kontrak asuransi konvensional.

D.    Telaah Pustaka
Untuk mendukung penelaah yang lebih integral seperti yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, maka penyusun berusaha untuk melakukan analisis lebih awal terhadap pustaka atau karya-karya yang lebih mempunyai relevansi terhadap topik yang akan diteliti. Karya-karya tersebut di antaranya adalah
Buku Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga terkait (BMI & Takaful di Indonesia) karya Warkum Sumitro. Dalam buku ini Warkum Sumitro mengemukakan perbedaan pandangan ulama fiqh terhadap praktek perasuransian yang dipandang mengandung unsur riba, maisir, gharar dan eksploitasi, kemudian dibandingkan dengan asuransi takaful yang berusaha menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan syari’at Islam.[11]
Buku Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Ilustrasi, karya Heri Sudarsono, beliau mengemukakan asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan pembiayaan, unsur ketidakpastian dalam perjanjian asuransi konvensional dipandang tidak sejalan dengan syarat syahnya suatu perjanjian menurut hukum Islam. Untuk mencari jalan keluar dari berbagai macam unsur yang dipandang tidak sejalan dengan syariat dalam perjanjian asuransi itu telah diusahakan adanya perusahaan asuransi yang menekankan sifat saling menanggung, saling menolong diantara para tertanggung yang bernilai kebajikan menurut ajaran Islam.[12]
Buku Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi karangan Dr. Sri Rejeki Hartono. S.H. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa perjanjian asuransi adalah suatu perjanjian yang memberikan proteksi, maka perjanjian ini sebenarnya menawarkan suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai kerugian-kerugian ekonomis yang mungkin diderita karena suatu peristiwa yang belum pasti.[13]
Sedangkan dari penelusuran skripsi yang mempunyai relevansi dengan masalah ini, yaitu skripsi dengan judul Asuransi Syariah di Indonesia (Suatu Studi Kasus di PT. Asuransi Takaful Umum Semarang), yang ditulis oleh Rahmat Hadisaputra. Pada BAB II beliau menguraikan konsep Asuransi secara umum termasuk di dalamnya tentang prinsip dasar dan syarat-syarat disahkannya suatu perjanjian asuransi.
Skripsi karya M. Miftahur Rahman yang judulnya Pandangan Afzalur Rahman terhadap Asuransi Harta Benda, di dalamnya disinggung masalah kontrak dalam asuransi khususnya asuransi harta benda.
Dari penelusuran karya atau literatur yang telah disebutkan di atas, belum ada penelitian yang meneliti tentang kontrak asuransi konvensional terutama dalam pandangan Afzalur Rahman, sehingga penyusun tertarik untuk menelitinya. Demikian hasil penelusuran pustaka yang penyusun lakukan sebagai bahan acuan penyusunan skripsi yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya duplikasi atau pengulangan karya tulis.

E.   Kerangka Teoretik

Hukum Islam dalam tinjauannya sebagai sebuah tasyri’ atau perundang-undangan, sesungguhnya dapat dibedakan menjadi tasyri’ illahi dan tasyri’ wad’i.[14]
Tasyri’ Illahi adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah sebagai syari’ah dalam al-Qur’an dan dijelaskan secara implementatif oleh Nabi S.A.W. dalam as-Sunnah. Hukum dalam pengertian ini secara epistemologi bernilai pasti dan tidak dapat berubah yang sering disebut dengan syari’ah, kemudian Tasyri’ Wad’i berupa hukum yang dihasilkan oleh upaya ijtihad manusia dan karenanya bernilai nisbi yang sudah barang tentu berubah mengikuti pergerakan zaman. Dan pengertian yang kedua ini disebut sebagai fiqh.[15]
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa syariah adalah sebagai tujuan dan fiqh adalah sebagai proses memahami dan menyimpulkan. perlu ditambahkan pula bahwa hukum yang kedua (wad’i) meskipun selalu berubah tetapi ia harus tunduk dibawah hukum Ilahi oleh sebab itu nas al-Qur’an banyak membicarakan prinsip-prinsip dasar dari pada menyampaikan detail perbuatan manusia.
Maka dalam kerangka itulah, hukum Mu’amalah yaitu patokan-patokan yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam masyarakat[16]. Yang kesemua prinsip-prinsip tersebut untuk menjaga kemaslahatan manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, yang tidak luput dari tuntutan syara’.
Hukum mu’amalat Islam mempunyai prinsip yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Pada dasarnya segala bentuk mu’amalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan as-Sunnah rasul.
  2. Mu’amalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
  3. Mu’amalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam hidup masyarakat.
  4. Mu’amalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.[17]
Berkaitan dengan asuransi, lebih lanjut Afzalur Rahman mengemukakan :
  1. Mu’amalah dilaksanakan atas dasar saling rela dan tanpa ada unsur paksaan dari pihak lain. hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an :
يأيها الّذين امنوا لا تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل الاّ ان تكون تجارة عن تراض منكم. [18]
2. Melarang praktek riba yang secara mutlak diharamkan dalam bertransaksi.[19] Allah berfirman :
وأخذهم الرّبوا وقدنهوا عنه واكلهم اموال النّاس بالباطل واعتدنا للكفرين منهم عذابا اليما. [20]
يأيها الّذين امنوا لا تأكلوا الرّبوا اضعافا مضعفة واتّقوا الله لعلّكم تفلحون.[21]
الّذين يأكلون الرّبوا لا يقومون الاّ كما يقوم الّذي يتخبّطه الشّيطن من المسّ ذلك بأنّهم قالوا انّما البيع مثل الرّبوا واحلّ الله البيع وحرم الرّبوا.[22]
  1. Meniadakan unsur garar atau ketidakpastian yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan dari satu pihak ke pihak lainnya yang akan menimbulkan ketidakrelaan dari salah satu pihak atau dikarenakan transaksi yang tidak bisa diserah terimakan atau tidak diketahui, seperti menjual ikan yang masih di dalam air, menjual burung diudara atau yang sejenisnya[23], sebagaimana firman Allah :
ولا تقربوا مال اليتيم الاّ بالّتي هي احسن حتّى يبلغ اشدّه واوفوا الكيل والميزان بالقسط لانكلّف نفسا الاّ وسعها واذا قلتم فاعدلوا ولوكان ذاقربى وبعهد الله اوفوا ذلكم وصّكم به لعلّكم تذكّرون.[24]
ويل للمطفّفين. الّذين اذا اكتالوا على النّاس يستوفون. واذا كالوهم اووّزنوهم يخسرون. الا يظنّ اولئك انّهم مبعوثون. ليوم عظيم.[25]
  1. Meniadakan unsur yang menghendaki untung-untungan yang didasarkan  pada sifat spekulatif.[26] Hal ini untuk menjaga agar manusia tidak terjatuh dalam kejahatan yang ada dalam praktek maisir, sebagaimana celaan Allah yang membandingkan kemanfaatan yang diperoleh lebih sedikit dari dosa yang diakibatkannya. Pelarangan berdasarkan:
يسئلونك عن الخمر والميسر قل فيهما اثم كبير ومنافع للنّاس واثمهما اكبر من نفعهما.[27]
يأيها الّذين امنوا انّما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشّيطن فاجتنبوه لعلّكم تفلحون. [28]
  1. Meniadakan unsur eksploitasi atau penindasan. [29] Islam melarang umatnya mengambil keuntungan dan sesamanya dengan cara yang tidak dibenarkan dan dengan cara yang merugikan dan eksploitasi demi mendapatkan keuntungan.

فان لم تفعلوا فأذنوا بحرب مّن الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون[30]

يأيها الّذين امنوا لا تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل الاّ ان تكون تجارة عن تراض منكم. [31]
Sedangkan menurut para ulama fiqh lain yang membahas masalah asuransi beranggapan bahwa masalah asuransi merupakan masalah yang belum dikenal sebelumnya, sehingga hukumnya yang khas tidak ditemukan dalam fiqh Islam. Mereka mengatakan bahwa tidak ada halangan dalam sahnya asuransi yang tidak termasuk ke dalam salah satu akad di dalam fiqh, dan tidak ada dalil yang membatasinya. Bahkan tuntunan prinsip-prinsip fiqh adalah adanya keumuman (universalitas).[32]
Dalam Pasal 246 KUHP dan pasal 1 UU No. 2 Th. 1992 tentang perasuransian, usaha asuransi ditegakkan di atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Prinsiple of Insurable Interest
Bahwa, seseorang boleh mengansurasikan barang-barang apabila yang bersangkutan mempunyai kepentingan atas barang yang dipertanggungkan (Pasal 250 KUHP)

2.      Prinsiple of Utmost Good Faith
Penutupan asuransi baru sah, apabila penutupannya didasari itikad baik (pasal 251 KUHP)
3.      Prinsiple of Indemnity
Dasar penggantian kerugian dari penanggung kepada tertanggung setinggi-tingginya adalah sebesar kerugian yang sesungguhnya diderita tertanggung dalam arti tidak dibenarkan mencari keuntungan dari ganti rugi asuransi
4.      Prinsiple of Subrogatian
Apabila tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas dasar indemnity, maka si tertanggung tidak berhak lagi memperoleh penggantian dari pihak lain, walaupun jelas ada pihak lain yang bertanggungjawab pula atas kerugian yang dideritanya. Penggantian dari pihak lain harus diserahkan pada penanggung yang telah memberikan ganti rugi dimaksud (pasal 284 KUHP)[33].
Suatu akad dipandang telah sah apabila telah memenuhi rukun-rukun dan syarat sahnya suatu akad, adapun rukun dan syarat sahnya akad adalah sebagai berikut :[34]
Rukun akad:
1.   Ada pihak yang berakad (al-Aqidain)
2.   Ada obyek tertentu (al-Ma’qud alaih)
3.   Ijab dan qabul (Shighat akad)
4.   Tujuan pokok dari akad (Maudlu al-Akad)
Sedangkan persyaratan suatu akad dibagi menjadi dua yaitu Pertama syarat umum yaitu suatu persyaratan yang harus ada pada setiap akad dan Kedua syarat khusus yaitu suatu persyaratan yang ada pada akad tertentu dan tidak pada akad yang lain. Adapun persyaratan akad secara umum adalah :
1.   Setiap pihak harus memiliki kecakapan bertindak hukum
2.   Obyek akad berupa barang yang sah secara hukum
3.   Akad tersebut tidak dilarang oleh syara’
4.   Keadaan akad tersebut bermanfaat
5.   Akad yang dilakukan juga memenuhi syarat khusus
6.   Bersatunya tempat akad
Sedangkan syarat umum perjanjian yang harus dipenuhi menurut Pasal 1320 KHUPer, yaitu :
1.      Kesepakatan mereka yang mengikat diri
2.      Kecakapan untuk melakukan sesuatu
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal[35]
Inilah prinsip-prinsip hukum muamalah yang disebutkan dalam al-Qur’an dan juga telah dijelaskan oleh Nabi dalam berbagai kesempatan sebagai penafsiran aplikatif al-Qur’an, dan ketetapan perundang-undangan tentang syarat sahnya dilakukan suatu perjanjian, dimana prinsip-prinsip tersebut bertujuan menjaga manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain termasuk, di dalamnya kontrak asuransi.

F.  Metode Penelitian
  1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Library Research,[36] yaitu suaatu penelitian yang sumber datanya diperoleh melalui penelitian buku-buku yang relevan dengan persoalan yang diteliti.

  1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif[37]-analisis yaitu berusaha memaparkan data tentang suatu hal atau masalah dan kemudian menganalisis dengan interpretasi yang tepat. Atau dengan kata lain berusaha memaparkan tema-tema umum seperti pengetahuan tentang asuransi, tentang kontrak asuransi konvensional dalam pandangan Afzalur Rahman yang kemudian diadakan suatu analisa.
  1. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengkaji dan mentelaah berbagai leteratur yang mempunyai relevansi dengan kajian skripsi ini, yaitu dengan menggunakan data primer buku Doktrin Ekonomi Islam jilid 4 dan data sekunder yaitu data-data yang berkaitan dengan masalah kontrak asuransi serta data pelengkap yaitu bahan-bahan tertulis seperti, buku, majalah, surat kabar dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan pembahasan skripsi penyusun.
  1. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam memperoleh data adalah dengan menggunakan data sebagai berikut:
a.                  Pendekatan normatif: penyusun akan mengkaji masalah dengan meninjaunya dari hukum Islam dan positif Indonnesia, kaitannya dengan kontarak asuransi, sehingga akan dapat diketahui dasar hukumnya.
b.               Pendekatan yuridis formil: yaitu mengkaji dan mempertimbangkan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan berdasarkan hukum Islam maupun perundang-undangan asuransi yang ada di Indonesia.

  1. Analisis Data
Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode deduktif[38] yaitu berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus yaitu berangkat dari teori muamalah khususnya kontrak asuransi kemudian mengadakan penelitian terhadap pandangan Afzalur Rahman tentang kontrak asuransi konvensional.

G.  Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam penelitian ini dan supaya bisa dipahami secara runtut dan sistematis, maka kerangka penulisannya tersistematika sebagai berikut :
Bab pertama: merupakan pendahuluan yang berisi: pertama, latar belakang masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang diteliti. Kedua,  pokok masalah merupakan penegasan terhadap apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Ketiga, tujuan yang akan dicapai dan kegunaan (manfaat) yang diharapkan tercapainya penelitian ini. Keempat, telaah pustaka sebagai penelusuran terhadap literatur yang telah ada sebelumnya dan kaitannya dengan objek penelitian. Kelima, kerangka teoretik menyangkut pola fikir atau kerangka berfikir yang digunakan dalam memecahkan masalah. Keenam, metode penelitian berupa penjelasan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Ketujuh, sistematika pembahasan sebagai upaya yang mensistematiskan penyusunan.
Bab kedua: mengulas tentang gambaran umum masalah asuransi . Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang keberadaan dan praktek asuransi saat ini. Bab ini terbagi atas  tiga sub. Sub pertama, membahas ruanglingkup asuransi yang meliputi: 1) Sejarah dan perkembangan asuransi. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kapan asuransi itu ada (dari masa pra-Islam hingga datangnya Islam). 2) Bagaimana pengertian asuransi. 3)  Mengulas mengenai prinsip-prisip dasar asuransi. 4) Menjelaskan berapa banyak jenis asuransi dalam kegiatan transaksi ekonomi dan kehidupan modern ini. 5) Menerangkan sejauhmana bentuk hukum asuransi yang telah ada dan, 6) mengupas mengenai sifat-sifat  asuransi. Pemaparan ini perlu untuk memahami akibat hukum yang timbul dari dilaksanakannya praktek kontrak asuransi konvensional dalam masyarakat Indonesia sekarang. Kemudian sub kedua, membahas kontrak asuransi konvensional yang terdiri; 1) Definisi kontrak asuaransi. 2) Unsur-unsur esensial dari kontarak asuransi, dan 3) Ciri-ciri kontrak asuransi. Kemudian dilanjutkan pada sub ketiga yaitu mengenai pandangan ulama mengenai asuransi konvensional.
Sedangkan bab ketiga membahas pandangan Afzalur Rahman mengenai kontrak asuransi konvensional. Hal ini diperlukan karena pada dasarnya penelitian ini terfokus pada praktek asuransi tersebut. Bab ini terbagi menjadi menjadi tiga sub,  pertama,  mengulas tentang biografi Afzalur Rahman. Kedua, menerangkan karya-karya. Ketiga, mengupas tentang pandangan Afzalur Rahman tentang kontrak asuransi konvensional. Hal ini dimaksudkan untuk memahami secara utuh atau mnyeluruh terhadap pandangan Afzalur Rahman dalam merespon praktek kontrak asuransi konvensional dalam sistem  ekonomi modern sekarang ini.
Bab keempat: analisis terhadap konsep Afzalur Rahman tentang kontrak asuransi konvensional yang terdiri dari ketentuan hukum kontrak asuransi konvensional, dan analisis metode istimbat Afzalur Rahman terhadap kontrak asuransi konvensional
Bab kelima, sebagai bab terakhir dari keseluruhan rangkaian pembahasan, memaparkan kesimpulan dan pembahasan bab-bab sebelumnya sehingga memperjelas jawaban terhadap persolan yang dikaji serta saran-saran dari penulis berkenaan dengan pengembangan keilmuan agar dapat mencapai hal-hal yang lebih baik dan lebih maju.


BAB. II    
GAMBARAN UMUM TENTANG ASURANSI KONVESIONAL                             

A.    Ruang Lingkup  Asuransi Konvensional

Sejarah dan Perkembangan Asuransi
Asuransi merupakan suatu evolusi panjang dengan permulaan sederhana dan bukan suatu produk legislatif, serta merupakan bagian dari sejarah perdagangan dan pelayaran pada umumnya. Asuransi mulai dimanfaatkan oleh masyarakat pedagang di lembah Inggris, Mesopotamia, sekitar 4000 tahun SM. Namun pengaturannya pertama kali ditemukan dalam kitab Undang-Undang Hukum Hammurabi dari Babilonia sekitar 2100 SM.[39]
Dalam catatan sejarah dunia Barat, di kalangan bangsa Romawi muncul gagasan melakukan perjanjian asuransi laut pada abad 12, kemudian memencar di beberapa daerah Eropa pada abad 14. Pada tahun 1680 di London berdiri asuransi kebakaran sebagai akibat peristiwa kebakaran besar di London pada tahun 1966 yang melalap lebih dari 13.000 rumah dan kira-kira 100 gereja.
    22
 
Pada abad 18 bermunculan perusahaan asuransi kebakaran di beberapa negara, seperti Prancis dan Belgia di Eropa. Kemudian di Amerika muncul pula pada abad 19 asuransi jiwa bagi awak kapal mulai dikenal, yang berarti pada mulanya asuransi jiwa meluas dan berkembang pada abad 20 hingga sekarang. Perusahaan asuransi laut dan kebakaran yang pertama kali muncul di Indonesia adalah Batavianche Zee and Brand Assurantie Maatshappij, didirikan pada tahun 1843. Pada tahun 1912 lahir perusahaan asuransi jiwa Bumi Putera sebagai usaha pribumi[40]

Pengertian Asuransi
a.      Secara bahasa
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda “Assurantie” dan dalam hukum Belanda dipakai kata Verzekerring, kata ini kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata “Pertanggungan”. Dari peristilahan Assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerde bagi tertanggung. Dari istilah Verzekerring timbullah peristilahan Verzekerear bagi “penanggung” dan Verzekerde bagi “tertanggung”. Dalam bahasa Arab asuransi menggunakan kata ta’min, “penanggung” disebut dengan mu’ammin, dan “tertanggung” disebut dengan mu’ammin lahu sering juga disebut dengan musta’min[41]



b.      Secara istilah
b.1. Dari sudut pandang sosial
Asuransi adalah suatu alat sosial yang menggabungkan risiko-risiko individual ke dalam suatu kelompok dan menggunakan dana yang disumbangkan oleh anggota-anggota kelompok itu untuk membayar kerugian-kerugian[42]
b.2. Dari sudut pandang teknik
Asuransi adalah usaha untuk mengurangi ketidakpastian pada pihak-pihak tertentu yang dinamakan tertanggung melalui pengalihan risiko-risiko tertentu kepada pihak lain yang dinamakan penganggung yang berjanji untuk memberikan ganti rugi kepada tertanggung, meskipun sebagian atas kerugian finansial yang menimpanya[43]
b.3. Dari sudut pandang hukum
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246 memberikan pengertian asuransi sebagai berikut : Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu[44]
Sedangkan menurut UU No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan[45]

Prinsip-prinsip Dasar Asuransi
Sebagaimana pengertian asuransi yang ditunjukkan dalam pasal 246 KUHP dan pasal 1 UU No. 2 Th. 1992 tentang perasuransian, maka usaha asuransi ditegakkan di atas prinsip-prinsip sebagai berikut:



5.      Prinsiple of Insurable Interest
Bahwa, seseorang boleh mengansurasikan barang-barang apabila yang bersangkutan mempunyai kepentingan atas barang yang dipertanggungkan (Pasal 250 KUHP)
6.      Prinsiple of Utmost Good Faith
Penutupan asuransi baru sah, apabila penutupannya didasari itikad baik (pasal 251 KUHP)
7.      Prinsiple of Indemnity
Dasar penggantian kerugian dari penanggung kepada tertanggung setinggi-tingginya adalah sebesar kerugian yang sesungguhnya diderita tertanggung dalam arti tidak dibenarkan mencari keuntungan dari ganti rugi asuransi
8.      Prinsiple of Subrogatian
Apabila tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas dasar indemnity, maka si tertanggung tidak berhak lagi memperoleh penggantian dari pihak lain, walaupun jelas ada pihak lain yang bertanggungjawab pula atas kerugian yang dideritanya. Penggantian dari pihak lain harus diserahkan pada penanggung yang telah memberikan ganti rugi dimaksud (pasal 284 KUHP)[46].


9.      Prinsiple of Proximate Cause
Adalah suatu sebab aktif, efisiensi yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai atau berurutan dan intervensi kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen
10.  Prinsiple of Contribution
Suatu prinsip di mana penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada seseorang tertanggung, meskipun jumlah tanggungan masing-masing penanggung belum tentu sama besarnya[47]

Jenis-jenis Asuransi
Istilah perasuransian melingkupi kegiatan usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang".

Sedanggkan dalam Pasal 2 huruf (b) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha penunjang usaha asuransi adalah usaha yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi, dan jasa aktuaria."

Dalam Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 usaha asuransi dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
Pertama. usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Kedua, usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
Ketiga, usaha reasuransi yang memberikan jasa asuransi ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
Dalam Pasal 3 huruf (b) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 usaha penunjang usaha asuransi dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu:
1.     Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti kerugian asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
2.     Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam menempatkan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti kerugian reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan Perusahaan Asuransi.
3.     Usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan.
4.     Usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultan aktuaria.
5.     Usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama Penanggung.
Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam pasal 3 tersebut didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Selain itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi yang kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian, sebagai sesama peneyediaan jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia.[48]
Selain pengelompokan menurut jenis usahanya, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu:
a.     Usaha asuransi sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial yang bersifat wajib (compulsory) berdasarkan undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat.
b.     Usaha asuransi komersial dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa yang bersifat kesepakatan (voluntary) berdasarkan kontrak asuransi dengan tujuan memperoleh keuntungan (motif ekonomi).[49]
Dalam bentuk hukum usaha perasuransian, menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 1992, usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk: Perusahaan Perseroan (Persero); Koperasi; Perseroan Terbatas (PT); Usaha Besama (Mutual).
Namun, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) usaha konsultan aktuaria dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh Perusahaan Perseorangan, ayat (2). Sedangkan mengenai bentuk Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, ayat (3). Mengingat undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama belum ada, maka untuk sementara ketentuan mengenai bentuk hukum ini akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Apabila badan hukum yang menjalankan usaha perasuransian itu berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan atau Perusahaan Perseroan (Persero) maka pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Khusus badan hukum Perusahaan Perseroan (Persero) perlu mengikuti juga ketentuan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). Apabila badan hukum itu berbentuk Koperasi, pendiriannya harus mengikuti Undang-undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.[50]
Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib memperoleh izin dari Menteri Keuangan, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan  Program Asuransi Sosial (Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992). Khusus bagi Badan Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam peraturan pemerintah. Hal ini berarti bahwa pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan demikian, bagi Badan Usaha Milik Negara yang dimaksud tidak perlu memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan.
Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dipenuhi persyaratan mengenai: Anggaran Dasar; Susunan Organisasi; Permodalan; Kepemilikan; Keahlian di bidang perasuransian; Kelayakan rencana kerja;
Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat (pasal 9 ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun 1992)
Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuari, underwriting, manajemen risiko, penilaian kerugian asuransi, dan sebagainya yang sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijelaskan.
Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing, maka untuk memperoleh izin usaha wajib dipenuhi persyaratan dalam ayat (2) serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing (Pasal 9 ayat (3) Undang-undang No. 2 Tahun 1992). Dalam pengertian “batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing” termasuk pula pengertian tentang proses indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri.
Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama pemberian persetujuan prinsip, dan tahap kedua pemberian izin usaha. Tetapi pemberian prinsip bagi agen asuransi dan konsultan aktuaria tidak diperlukan. Pemberian prinsip berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan, perusahaan perasuransian yang bersangkutan tidak berjalan kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian dapat dicabut (Pasal 9-10 Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992).
Sementara dalam Bab III pasal 3 UU No. 2 Th. 1992, yang mana dalam pasal tersebut dikemukakan :
1.      Asuransi kerugian, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti
2.      Asuransi jiwa, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan
3.      Re-Asuransi, yaitu asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atas perusahaan asuransi jiwa[51]
Dilihat dari segi kepemilikannya, dalam hal ini yang dilihat adalah siapa pemilik dari perusahaan asuransi tersebut, baik asuransi kerugian, asuransi jiwa ataupun Re-Asuransi.
1.      Asuransi Milik Pemerintah
Yaitu asuransi yang sahamnya dimiliki sebagian besar atau bahkan 100 persen oleh pemerintah Indonesia
2.      Asuransi Milik Swasta Nasional
Asuransi ini kepemilikan sahamnya sepenuhnya dimiliki oleh swasta nasional, sehingga siapa yang paling banyak memiliki saham, maka memiliki suara terbanyak dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) 
3.      Asuransi Milik Perusahaan Asing
Perusahaan asuransi jenis ini biasanya beroperasi di Indonesia hanyalah merupakan cabang dari negara lain dan jelas kepemilikannya dimiliki oleh 100 persen oleh pihak asing
4.      Asuransi Milik Campuran
Merupakan jenis asuransi yang sahamnya dimiliki campuran antara swasta nasional dengan pihak asing[52]
Ditinjau dari aspek tujuan dan sifat penyelenggaraannya, asuransi dibedakan menjadi dua, yaitu asuransi sosial (Social Insurance) dan asuransi khusus (Special Insurance). Asuransi sosial bertujuan untuk umum dan biasanya bentuknya usaha bersama (koperasi) yang berciri khas:
1.      Demokrasi dalam kepemilikan dan kepengurusan
2.      Tertanggung sekaligus penanggung
3.      Tidak ada modal
4.      Semua pemegang polis mempunyai hak yang sama pada sisi hasil usaha
5.      Menyediakan asuransi dengan biaya serendah mungkin dan seluas mungkin
Di Indonesia asuransi sosial untuk anggota masyarakat kebanyakan diselenggarakan oleh pemerintah, sehingga sering disebut asuransi wajib karena demi kepentingan umum
Asuransi khusus (Special Insurance) mempunyai tujuan mencari laba dan biasanya berbentuk perusahaan Perseroan, kepemilikannya oleh pemegang saham. Ciri asuransi khusus ini adalah:
1.      Kepemilikan dimiliki oleh pemilik saham atau modal
2.      Bertujuan mengejar laba
3.      Penanggung tidak sebagai tertanggung
4.      Menyelenggarakan harga polis yang tetap
5.      Adanya unsur penekanan pentingnya modal[53]
Sedangkan ditinjau dari hukum Islam asuransi dibagi menjadi dua, yaitu :
1.      Asuransi syari’ah, adalah asuransi di mana di dalam kegiatannya terhindar dari unsur yang diharamkan oleh Islam, baik itu garar, maisir, riba dan eksploitasi
2.      Asuransi non syari’ah, adalah asuransi yang dalam kegiatannya masih mengandung empat unsur di atas.




Bentuk Hukum Usaha Asuransi
Di Indonesia bentuk hukum usaha peransuransian diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU No. 2 Tahun 1992, yaitu usaha peransuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk ;
1.      Perusahaan Perseroan (PERSERO)
2.      Koperasi
3.      Perseroan Terbatas
4.      Usaha Bersama (mutual)
Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usaha konsultan aktual dan usaha agar asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan.
Ketentuan tentang usaha peransuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum usaha bersama (mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan tentang usaha peransuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual) akan diatur dengan peraturan pemerintah[54].

Sifat-sifat Asuransi
Asuransi sesuai dengan definisi, pengaturan dan bentuk-bentuknya mempunyai sifat :


1.      Sifat Persetujuan
Semua asuransi berupa suatu persetujuan tertentu (Byzondere Overeenkomst), yaitu suatu pemufakatan antara dua pihak atau lebih dengan maksud akan mencapai suatu persetujuan dan dalam mana seorang atau lebih berjanji terhadap seorang lain atau lebih (lihat pasal 1213 KUHS)
2.      Sifat Timbal Balik
Persetujuan asuransi merupakan suatu persetujuan timbal-balik (Weder-Kerige-Overeenkomst) yang berarti bahwa masing-masing pihak berjanji akan melakukan sesuatu bagi pihak lain. Pihak tertanggung berjanji akan membayar sejumlah uang (uang asuransi) kepada pihak tertanggung apabila suatu peristiwa tertentu akan terjadi
3.      Sifat Konsensuil
Persetujuan asuransi merupakan suatu persetujuan yang bersifat konsensuil, yakni sudah dianggap terbentuk dengan adanya kata sepakat belaka antara kedua belah pihak
4.      Sifat Perusahaan
Asuransi premi yang diadakan antara pihak penanggung dan pihak tertanggung, tanpa ikatan hukum antara tertanggung ini dengan orang-orang lain yang juga menjadi pihak tertanggung terhadap si penanggung tadi. Dalam hal ini pihak penanggung biasanya bukan seorang individu melainkan suatu badan yang bersifat perusahaan, artinya mementingkan hal untung rugi dalam tindakan-tindakannya. Badan itu akan beruntung, apabila dalam satu tahun tidak perlu membayar uang-uang asuransi kepada para tertanggung oleh karena tidak adanya peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan pembayaran uang asuransi. Maka kebanyakan badan penanggung dalam asuransi itu dibentuk secara Perseroan Terbatas (PT).
5.      Sifat Perusahaan
Dalam pembicaraan tentang bentuk asuransi, asuransi premi diperlawankan dengan asuransi saling menanggung, dan yang disebut terakhir ini bersifat perkumpulan yang terbentuk di antara para tertanggung selaku anggota
6.      Sifat Untung-untungan
Persetujuan asuransi dilukiskan oleh pasal 1774 KUHS sebagai persetujuan untung-untungan di mana untung ruginya bagi semua pihak bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu
7.      Sifat Berat Sebelah
Persetujuan asuransi yang mengikat dua pihak, pada galibnya memberatkan pihak tertanggung, karena yang menetapkan segala syarat (termaktub dalam polis) adalah pihak penanggung (perusahaan asuransi) yang kedudukannya jauh lebih kuat disebabkan modal yang dimilikinya, sehingga dengan mudah ia menetapkan segala persyaratan yang menjamin pihaknya (kepentingan pihaknya).[55]
Sedangkan menurut Prof. Emmy Pangaribuan menjabarkan lebih lanjut bahwa perjanjian asuransi juga mempunyai sifat :
- Perjanjian asuransi pada asanya adalah suatu perjanjian penggantian kerugian (Shcadever Zekerring) atau (Indemniteits Contract) penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak-pihak tertanggung menderita kerugian dan yang akan diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita (Prinsip Indemnitas).
- Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat, kewajiban mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu atas nama pertanggungan itu terjadi
- Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan.[56]

B.     Kontrak Asuransi Konvensional
1. Definisi Kontrak Asuransi
Banyak definisi mengenai asuransi. Salah satu yang populer adalah asuransi ialah subsitusi suatu biaya kecil tertentu dengan suatu kerugian besar yang tidak tertentu.
Dari pandangan hukum, kontrak dengan mana satu pihak dengan menerima sesuatu nilai yang dikenal sebagai premi, memikul suatu risiko kerugian atau tanggung jawab yang menimpa pihak lain, sesuai dengan suatu rencana (plan) untuk mendistribusikan risiko tersebut, adalah kontrak asuransi apapun bentuk atau nama yang dipakainya. Banyak kontrak yang sepintas lalu tampak seperti tampak asuransi, tetapi jika diteliti menurut definisi ini ternyata tidak memenuhi syarat.[57]

2. Unsur-unsur Esensil Dari Kontrak Asuransi
Walaupun kontrak asuransi mempunyai beberapa ciri khas, namun ia harus memenuhi bentuk dan syarat umum yang ditetapkan oleh hukum untuk setiap kontrak. Antara lain:[58]
1.      Perjanjian (penawaran dan penerimaan)
Perjanjian terdiri dari penawaran yang dilakukan oleh atau pihak dan penerimaannya oleh pihak kedua. Dalam segala macam asuransi, jenis penawaran terpenting adalah aplikasi asuransi dari calon yang ditanggung. Aplikasi ini dapat secara lisan. Misalnya seseorang yang memutuskan hendak mengasuransikan rumahnya terhadap kerugian akibat kebakaran dapat menelpon seorang agen asuransi. Kontrak lainnya ini orang ini dengan agen tersebut adalah penerimaan polis dan rekening premi. Dengan demikian berarti telah terjadi penawaran dan penerimaan atau perjanjian antara pihak yang ditanggung dengan perusahaan asuransi itu karena agen asuransi telah diberi wewenang oleh perusahaan asuransi tersebut.
2.      Pihak-pihak yang Kompeten
Untuk sahnya suatu kontrak asuransi seperti juga halnya dengan segala kontrak lain, adalah itu harus dibuat oleh pihak-pihak yang kompeten (mampu). Ada tiga kelompok orang yang dianggap tidak kompeten yaitu anak-anak yang belum dewasa, orang dewasa, orang-orang yang secara mental tidak kompeten (mampu), dan dewasa bersuami. Usia dewasa tidak sama di setiap negara. Di New York usia legal itu adalah 141/2 tahun.
Seseorang yang telah dinyatakan secara resmi tidak waras adalah tidak kompeten melakukan perbuatan hukum dan tidak mampu membuat kontrak asuransi yang sah.
3.   Obyek yang Sah atau Legal
Suatu kontrak asuransi biasanya dianggap bertentangan dengan kebijaksanaan  negara dan dengan demikian tidak legal adalah jika pihak yang ditanggung tidak mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan dalam objek yang diasuransikan itu. Jika tidak ada kepentingan yang dapat diasuransikan maka kontrak itu adalah perjudian.
Sebuah contoh lain dari kontrak yang bertentangan dengan kebijaksanaan negara adalah kontrak yang dibuat oleh pihak musuh.
Pasal 208 kitab Undang-undang Hukum Perniagaan mengatakan bahwa yang dapat menjadi obyek asuransi ialah semua kepentingan yang:
a)            Dapat dinilai dengan sejumlah uang
b)            Dapat tertimpa macam-macam bahaya
c)            Tidak dilarang oleh undang-undang
4.    Imbalan (Consideration)
Suatu kontrak hanya sah jika masing-masing pihak memberikan nilai atau memikul sesuatu kewajiban terhadap pihak lainnya. Kontrak asuransi seringkali menyatakan bahwa imbalan dari pihak yang ditanggung adalah "ketentuan-ketentuan dan ketetapan-ketetapan yang tersebut di sini dan premi tertentu". Ini tidak berarti bahwa premi harus dibayar sebelum polis berlaku. Kenyataannya banyak polis asuransi harta sudah berlaku sebelum diterimanya pembayaran premi. Janji membayar adalah imbalan (consideration). Sebaliknya pada asuransi jiwa, premi pertama harus dibayar sebelum berlakunya polis.
Perusahaan asuransi juga memberikan imbalan yang berupa janji akan melakukan pembayaran jika terjadi peristiwa tertentu yang telah ditetapkan.








3. Ciri-Ciri Kontrak Asuransi
Ada beberapa ciri khas tertentu dalam kontrak asuransi:
1.    Kontrak Untung-untungan (Aleatory Contract)
Kebanyakan kontrak bersifat commutative artinya masing-masing pihak menyerahkan barang-barang atau jasa-jasa yang dianggap sama nilainya. Akan tetapi, kontrak asuransi adalah bersifat aleatory artinya pihak-pihak yang membuat kontrak menyadari bahwa jumlah uang yang akan diserahkan oleh masing-masing pihak tidak akan sama.[59]
Dalam polis asuransi, pihak yang ditanggung menyerahkan jumlah premi. Jika ia menderita kerugian, ia mungkin menerima jumlah uang yang jauh lebih besar daripada premi yang dibayarkannya kepada perusahaan asuransi. Dan jika ia tidak menderita kerugian (yang lebih besar kemungkinannya demikian), ia tidak akan menerima apa-apa dari perusahaan asuransi. Bagi perusahaan asuransi, ada kemungkinan ia akan harus melaksanakan pembayaran yang jauh lebih besar daripada premi yang diterimanya atau (lebih besar kemungkinannya) ia tidak akan membayar sama sekali. Ciri-ciri khas dari aleatory contract adalah adanya untung-untungan (chance) 
2.    Kontrak Adhesi
Kebalikan dari kontrak tawar-menawar, kontrak asuransi biasanya merupakan suatu kontrak adhesi. Perjanjian pada umumnya dibuat oleh para pengacara dan wakil-wakil lain dari perusahaan asuransi, atau barangkali oleh wakil-wakil pemerintah. Biasanya kontrak ini diberikan kepada calon yang ditanggung dalam semangat "terima atau tolak". Calon pembeli asuransi tidak bisa mengajukan usul, agar perusahaan asuransi mengubah sedikit pasal ini atau mengganti suatu perkataan.[60]
Ciri-ciri ini sebetulnya menguntungkan pihak yang ditanggung jika kontrak itu menjadi perkara pengadilan. Pengadilan menentukan bahwa karena perusahaan asuransi yang menyusun kontrak itu, maka setiap kekaburan arti (ambiguity = arti dua, kemenduaan) dalam kontrak itu harus ditafsirkan yang menguntungkan pihak yang ditanggung terhadap perusahaan asuransi.
3.    Kontrak Sepihak (Unilateral)
Kontrak dapat bilateral atau unilateral. Pertukaran suatu janji dengan suatu janji adalah bilateral (belah dua pihak), sedangkan pertukaran suatu tindakan dengan suatu janji adalah unilateral (sepihak). Kontrak asuransi pada umumnya adalah kontrak unilateral artinya pihak yang ditanggung sudah membayar premi, hanya satu pihak terbuka terhadap janji sah yang berlaku untuk melaksanakan sesuatu selanjutnya. Perusahaan asuransi menjanjikan pelaksanaan (performance).
4.    Kontrak Bersyarat (Conditional)
Kontrak asuransi adalah kontrak bersyarat. Memang benar kontrak itu telah terpenuhi seluruhnya oleh pihak yang ditanggung dengan telah dibayarnya premi dan tinggal perusahaan asuransi saja yang berkewajiban memenuhi janjinya. Akan tetapi, ini tidak berarti tidak ada lagi syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak yang ditanggung jika ia ingin memperoleh penggantian atas kerugiannya. Perbedaan antara janji (promis) dengan syarat (condition) adalah bahwa janji itu dapat dipaksakan berlakunya secara hukum, sedangkan syarat (condition) tidak. Pengaruh dari dilanggarnya suatu syarat adalah pihak yang ditanggung tidak memperoleh penggantian kerugian dari perusahaan asuransi. Contoh, pada suatu kontrak asuransi kebakaran, perusahaan berjanji akan mengganti kerugian yang diderita pihak yang ditanggung karena kebakaran. Pihak yang ditanggung perlu memenuhi beberapa syarat yang berhubungan dengan pengajuan bukti kerugian karena suatu kebakaran. Akan tetapi, ia secara hukum tidak wajib mengajukan bukti-bukti kerugian yang diminta oleh syarat-syarat itu. Ia hanya perlu mengajukannya kalau ia ingin memperoleh penggantian kerugian tersebut. Sebaliknya, perusahaan asuransi kebakaran dapat dipaksa oleh hukum untuk memenuhi janjinya membayar ganti rugi, jika pihak yang ditanggung telah memenuhi semua syarat-syarat yang dicantumkan dalam kontrak.[61] 
5.    Sepenuhnya Berdasarkan Kepercayaan
Pada umumnya, kontrak-kontrak apa saja adalah berdasarkan kepercayaan (bonafide, contract, good-faith contract). Akan tetapi, kontrak asuransi adalah kontrak yang sepenuhnya berdasarkan kepercayaan.[62] Dibutuhkan tingkat tertinggi bonafiditas dalam negosiasi sebelum dikeluarkannya polis. Dalam mengambil keputusan pertanggungan, perusahaan asuransi harus mempercayai benar informasi yang diberikan oleh applicant (pelamar, pembeli asuransi).
6.    Kontrak Pribadi
Orang-orang mengatakan bahwa asuransi harta itu adalah kontrak pribadi seperti halnya kontrak perkawinan.[63] Baik pihak yang ditanggung maupun penanggung (perusahaan asuransi) tidak saja memperhatikan kontrak itu tetapi juga watak, prilaku, dan bonafiditas, dari masing-masing pihak. Dalam bahasa biasa dikatakan sesuatu barang diasuransikan. Tetapi sesungguhnya yang diasuransikan adalah si pemilik barang itu. Kontrak asuransi tidak terikat kepada barang itu dan tidak berpindah kepada pembeli barang itu. Persetujuan penanggung diperlukan untuk memindahkan sesuatu kontrak asuransi sebelum terjadi suatu kerugian kecuali dalam hal asuransi jiwa dan beberapa polis asuransi kesehatan. Oleh karena asuransi jiwa bukan suatu kontrak pribadi, maka ia dapat dipindahkan tanpa izin perusahaan asuransi.
Jika telah terjadi kerugian, maka kontrak asuransi mana saja akan menjadi tidak lebih dari suatu klaim uang dan karena itu ia dapat dipindah-tangankan.  


7.    Prinsip Ganti Rugi (Principle of Indemnity)
Kontrak asuransi harta dan asuransi tanggung jawab (liability insurance) pada umumnya adalah kontrak ganti rugi,[64] artinya ia menyatakan akan mengganti kerugian atas kerusakan yang diderita oleh pihak yang ditanggung. Penggantian lebih rendah (undercompensate) dibolehkan tetapi penggantian lebih tinggi tidak. Salah satu masalah utama penerapan prinsip ganti rugi ini adalah bagaimana mengukur kompensasi yang tepat agar tidak menimbulkan laba atau rugi. Sehingga di sini,  dibutuhkan tiga doktrin penting yang timbul dari prinsip indemnity ini adalah: kepentingan yang dapat diasuransikan, pembatasan jumlah penggantian atas suatu polis asuransi, dan subrogation.[65]

C.    Pandangan Ulama tentang Asuransi Konvensional.
Dewan yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Makkah, Saudi Arabia, menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern termasuk asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi Dewan menyetujui adanya "Asuransi Koperatif" yang tegak di atas prinsip ta’awun seperti yang diterapkan dalam Asuransi Takaful
Yusuf al-Qardawi dalam "Al halal wa al-Haram fi al-Islam" mengatakan bahwa diharamkannya asuransi konvensional a.l: (1) karena semua anggota asuransi tidak membayar uangnya itu dengan maksud tabarru, bahkan nilai ini sedikitpun tidak terlintas, (2) karena badan asuransi memutar uang tersebut dengan jalan riba.
Di Indonesia PP Persatuan Islam (Persis) melalui Dewan Hisbah mengharamkan praktek asuransi konvensional. Demikian pula Muhammadiyah di Malang tahun 1987 juga mengharamkan asuransi yang mengandung unsur gharar dan judi, kecuali asuransi yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti Taspen, Astek dan Jasa Raharja, karena banyak mengandung maslahah maka dibolehkan.
Oleh karenanya, jika ditelaah secara mendalam, maka sebenarnya diharamkan asuransi konvensional oleh para ulama disebabkan karena asuransi itu mencakup tiga hal:[66]
1. Garar (Ketidakpastian)
Dalam asuransi konvensional adanya gharar atau ketidakpastian disebabkan karena ketidakjelasan akad yang melandasinya. Apakah Aqd Tabaduli (Akad jual beli) atau Aqd Takafuli (tolong menolong). Sehingga jika terjadi klaim misalnya mengambil 10 tahun untuk Rp. 1.000.000 per tahun. Jika akad yang melandasinya jual beli, dan meninggal pada tahun ke 4, maka pertanggungan yang diberikan sebanyak Rp. 10.000.000. Ini berarti Rp. 6.000.000 gharar. Tidak jelas dari mana asalnya.
Dalam Asuransi Takaful akad yang melandasinya adalah Aqd Takafuli atau tolong menolong. Sehingga sejak awal membuka polis sudah diniatkan bahwa 95% premi untuk tabungan dan 5% diniatkan untuk tabarru. Jika terjadi klaim di tahun ke 4, dana yang 6 juta di atas tidak garar tetapi jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan tabarru (derma)

 2. Maisir (Judi atau Gambling)
Dalam al-Qur’an, Allah S.W.T. Dengan sangat tegas telah menjelaskan prihal maisir. Di antara firman Allah SWT. adalah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.[67]
Dalam Asuransi konvensional maisir timbul dalam dua hal: Pertama, Seandainya dia memasuki satu program premi, biasanya orang itu ada kemungkinan berhenti karena alasan tertentu. Apabila ia berhenti dijalan dan belum mencapai masa refersing Periode, dimana dia bisa menerima uangnya kembali (biasanya 2 s.d. 3 tahun) dan jumlah + 20%, uang itu akan hangus. jadi disini ada unsur maisir.
Kedua, Manakala Underwriter atau yang menghitung remortalita kematian tepat, menentukan jumlah polis tepat, maka perusahaan akan untung. Tetapi jika salah dalam menghitungnya maka perusahaan akan rugi. Jadi jelas disini mengandung unsur maisir atau judi.
Dalam Asuransi Takaful berbeda, si penerima polis sebelum ia mencapai refresing periode sekalipun, apabila karena suatu hal ia ingin mengambil dananya, maka hal itu dibolehkan. Karena Takaful dalam hal ini hanya sebagai pemegang amanah. Selain itu jika perusahaan mencapai kelebihan daripada pembayaran klaim, tidak akan diterima begitu saja sebagai keuntungan perusahaan, tetapi diberikan kembali kepada pemegang premi/nasabah.

3. Riba (Tambahan Uang dari Modal Pokok)
Dalam hal investasi Takaful menyimpan seluruh dananya ke Bank yang berdasarkan Syariah Islam, yaitu : BMI, BPRS atau Perbankan Islam lainnya.
Dalam hal ini terdapat silang pendapat dikalangan ulama, apakah sama atau tidak dengan bunga. Bagi ulama yang mengharamkan, paling tidak pada nas-nas syari':
-Firman Allah S.W.T.:
- ياايها الذين امنوا اتقواالله وذروا مابقي من الربوا ان كنتم مؤمنين. فان لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون.[68]
-Hadis Nabi S.A.W:
- لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهد يه.[69]
Terlepas dari silang pendapat di atas, Syarikat Takaful mempunyai suatu standing, membawa yang terbaik adalah menjauhi syubhat, menjauhi yang diikhtilafkan ummat dan kembali kepada ajaran agama.

BAB III
SKETSA BIOGRAFI AFZALUR RAHMAN DAN
PEMIKIRANNYA TENTANG KONTRAK ASURANSI

Biografi Afzalur Rahman
Biografi (berasal dari kata Yunani biographia, bios berari "sejarah hidup", graphos berarti "menulis" atau dalam bahasa latin disebut "curriculum vitae" adalah suatu kehidupan yang sebenarnya dimaksudkan buka rekaan bukan palsu atau mengada-ngada. Definisi ini mencakup segala corak biografi pada awalnya. Dalam pelaksanaanya tentu saja ada biografi yang hanya menonjolkan karir atau jasa seseorang pada bidang tertentu atau pada berbagai bidang, ada yang menitik beratkan pada penulisan psikologi orang itu saja dan ada pula yang mengaitkanna dengan kerangka sosial tempat dan masa hidup tokohnya. Soal yang sulit dalam biografi adalah soal obyektifitas karena penyusun iografi cenderung subyektif, memuja-muja atau menjelek-jelekan tokohnya. Secara umum yang disukai adalah biografi yang obyektif. Biografi di dalam bentuknya terbaik merupakan karya yang bermutu tinggi.[70]
52
 
Nama lengkapnya Afzalur Rahman adalah seorang cendikiawan muslim, pemikir Islam dan pakar ekonomi yang terkemuka di dalam dunia yang berasal dari Pakistan. Sedang jabatan beliau yang pernah diemban selama hidup di antaranya adalah menjabat sebagai Deputy Secretary General dari The Muslim Scool Trust London.
Di samping itu beliau juga seorang sarjana, belajar dengan tenaga sendiri, otodidak dan beliau adalah staf pengajar pada Islamic College Lahore, selama kekuasaan Abdullah Yusuf Ali beliau mempunyai kedudukan penting.[71]
Afzalur Rahman dilahirkan pada tahun 1918, kemudian bermukim di dalam negara kerajaan Inggris dan menyusun berbagai Valum Seerah encyclopaedia dan berbagai macam kamus tentang al-Qur’an (Quranic Dictionaries) dan wafat pada tahun 1998.[72]

Karya-karyanya

Sebagi seorang cendekiawan muslim dunia karya-karyanya baik berupa buku-buku atau makalah-makalah banyak menjadi acuan cendekiawan-cendekiawan muslim lainna. Bahkan setiap ada pembahasan mengenai asuransi Islam khusunya, ekonomi Islam umumnya dan kajian Islam lainna karya-karya Afzalur Rahman selalu menjadi acuan bagi penulis dan anjuran bacaan bagi pembaca dan pengamat asuransi Islam umumnya, ekonomi Islam dan kajian Islam lainna.
Sebagai cendekiawan muslilm yang aktif memberikan ceramah-ceramah dan seminar-seminar tentang agama Islam dan sangat perhatian terhadap keadaan umat Islam, karya-karya Afzalur rahman sebagian besar berupa buku-buku, sedangkan karya-karya  Afzalur Rahman banyak sekali dan diterbitkan oleh berbagai penerbit diberbagai penjuru dunia sedangkan karya-karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan telah diterbitkan antara lain adalah sebagai berikut.
Doktrin Ekonomi Islam terjemahan dari buku Economic Doctrines of Islam yang diterbitkan oleh. Dhana Bhakti Wakaf Yogyakarta, 1996 yang terdiri dari empat jilid, jilid pertama menjelaskan prinsip-prinsip sisem ekonomi Islam, jilid kedua menjelaskan masalah yang dihadapi dalam menentukan kerjasama dalam berbagai faktor produksi, jilid tiga menjelaskan teori-teori modern tentang bunga dan teori Islam tentang Surplus bunga nol persen (zero rate of interest), jilid empat menjelaskan tentang sitem moneter, bank dan asuransi tanpa bunga, serta standar moneter internasional.
Muhammad seorang pedagang diterjemahkan dari buku Muhammad : Encyclopedia of Searah volume II buku ketiga Afzalur Rahman (ed), (London : The Muslim Scool trust, 1992) atau terjemahan dari karya yang berjudul Muhammad as a Trader. Diterbitkan oleh Yayasan Swarna Bhumi Jakarta, 1996 dan buku inilah kiranya satu-satunya buku tentang Nabi Muhammad S.A.W. yang secara luas dan mendalam mengupas tentang peran dan aktifitasnya dalam bidang perdagangan yang dilakukan oleh Nabi, karenanya dalam buku ini secara eksisit juga diuraikan mengenai etika bisnis, soal keadilann ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dan yang lebih penting lagi adalah peran negara dalam kesejahteraan sosial dan distribusi kemakmuran.[73]
Al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, diterjemahkan dari buku “Quranic Science” Copyright 1980 pada The Muslim Scool Trust, London yang diterbitkan oleh penerbit Bina Aksara tahun 1989. buku ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memperkenalkan kepada generasi muda muslim khususnya dan manusia muslim umumnya tentang hazanah ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Qur’an yang telah memberikan pengaruh yang sangat besaaar terhadap pendidikan kebudayaan umat Islam.
Pengaruh itu antara lain ialah penemuan-penemuan ilmiah dan pertumbuhan ilmu pengetahuan yang sangat pesat di dalam dunia Islam pada abad ke-7 sampai dengan abad ke-14 M. Demikian pula halnya abad kebangkitan di dalam benua Eropa terdapat unsur-unsur pokok dalam kehidupan dan kebudayaan (yaitu pengetahuan penelitian, penalaran dan kebebasan) sehingga telah memungkinkan terjadinya penemuan-penemuan moderen dalam ilmu pengetahuan.[74]
Indeks  al-Qur’an terjemah dari buku Subjec Index of Quran, Lahore Islamic Publication, 1991, diterbitkan oleh Bina Aksara Jakarta 1995. munculnya indeks al-Qur’an merupakan salah satu upaya untuk meneliti al-Qur’an dari sudut tertentu dan indeks al-Qur’an yang disusun ini cukup baik untuk dijadikan sebagai acuan dalam penelitian tersebut.[75] Dengan kata lain, buku ini  memberikan kemudahan untuk mencari topik-topik dan tema-tema klasik ataupun yang akual yang diinginkan dalam al-Qur’an.
Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin militer, terjemah dari Muhammad as Military Leader, the Muslim school trust 1980, yang diterbitkan oleh penerbit Amzah Jakarta 2002 edisi revisi. Buku ini secara detail menegaskan bahwa dalam kehidupan Nabi Muhammad dapat menjadi contoh kesempurnaan dan keindahan abadi untuk seluruh umat manusia. Keberhasilannya dalam bidang militer merupakan bukti nyata atas kebesarannya sebagai seorang pemimpin militer. Beliau beliau dikepung oleh musuh dari segala jurusan di Madinah tetapi dapat  menghadapi mereka dengan penuh keberanian dan kecerdikan dan akhirnya dapat mengalahkan mereka. Semuanya menunjukan kebesarannya yang sebenarnya dalam kemenangan dan memberi manfaat pada mereka semua.
Muhammad sebagai seorang panglima perang terjemahan dari karya Muhammad as Military Leader, Islamic Publication (PV+) limited 13-E, Shahalan Market. Lahore Pakistan, first edition, 1990) yang diterbitkan oleh penerbit Tajidu press Yogyakarta, 2002, buku ini secara eksist menegaskan bahwa secara faktual tidak terbantahkan bahwa Nabi Muhammad memang seorang ahli strategi militer yang belum ada tandingannya sepanjang peradaban umat manusia di muka bumi ini. Dalam waktu yang sangat singkat, 10 tahun beliau mampu mengalahkan sebuah pemerintahan yang kokoh dengan cakupan wilayah seluruh jazirah Arab. Padahal peralaatan tempur dan pasukan tempur yang dimilikinya sama sekali tidak memadai  dan tidak seimbang bila dibandingkan dengan para musuhnya. Namun berkat semangat tempur, disiplin, militansi dan motivasi pasukannya serta strategi tempur yang brilian pada setiap pertempuran membuat banyak musibah-musibah Islam ini terpaksa menyerah sebelum kontak fisik terjadi.[76]
Muhammad S.A.W. Ensiklopedia Sirah Sunah, Dakwah dan Islam, diterjemahkan daari buku yang berjudul Muhammad S.A.W. Ensyclopedia of seerah, educational school trust, 1978, Gillespie Real, London, diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia Kuala Lumpur, sirah ini merupakan contoh kehidupan baginda Nabi yang bersungguh-sungguh untuk mencapai kesejahteraan manusia sejagat.[77] Jilid pertama buku ini diterjemahkan meliputi sumbangan kepada kebudayaan manusia dalam bidang pendidikan.[78] Jilid 2 menjelaskan Nabi Muhammad sebagai suami yang terdiri dari; Muhammad dan status kaum wanita, hak wanita, perceraian (talak) dan mahar, maskawin peranan seks dan perkawinan, falsafah dan hikmah perkawinan, memelihara kesucian, hubungan yang suci, institusi poligami rumah tangga Nabi, hubungan perkawinan Nabi Muhammad, Nabi Muhammad dan istri baginda I, Nabi Muhammad dan Istri baginda II, Nabi Muhammad dan dan istri baginda III, sebab-sebab Nabi Muhammad mempunyai ramai istri, dan Rasulullah S.A.W. suami yang sempurna.[79] Jilid tiga meliputi buku suatu tentang para rasul dan sejarah, buku dua tentang perkembangan ilmu, buku tiga tentang syar'iah dan ad-Din sepanjang sejarah, buku empat tentang pengaruh Islam terhadap peradaban Eropa. Jilid empat meliputi dorongan baaru dan wahyu, Agama dan dimensi baru, kepraktisan ajaran agama Nabi Muhammad yang dalam al-Qur’an dan as-Snnah.[80] Jilid lima menjelaskan tentang hubungan seks aman dahulu dan sekarang; konsep moral menurut pandangan Brat, wanita dan ideologi modern, sunnah Allah S.W.T. kelemahan manusia, hikmah penciptaan laki-laki dan perempuan, tanggung jawab jadi wanita, wanita dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kedudukan wanita ang sebenarnya menurut alQur’an dan as-Sunnah, zaman Nabi Muhammad S.A.W. dan para sahabat, peningkatan taraf wanita, hijab zaman Nabi dan para Shahabat, peran wanita Islam dalam masyrakaat, kebebasan sosial dan berpolitik, pekerjaan professional bagi wanita, kuasa talak ditangani oleh laki-laki, peran wanita dalam tinjauan (bukti dari pada kejadian alam), taraf kedudukan dan peran wanita, pengertian waanita dalam sumbangan jama'h, wanita pergaulan bebas antara lelaki dan wanita, lelaki diberi amarah dan dicegah dari pada menceraikan wanita.[81]
“Tuhan Perlu Disembah Eksplorasi Makna dan Manfaat Shalat bagi Hamba” diterbitkan oleh penerbit serambi ilmu semesta terjemahan dari “Prayer: its Significance and Benefit” yang merupakan penyempurnaan dari karya beliau yang berjudul The Utility of  Preyers.[82] Dalam buku ini Afzalur Rahman menjelaskan secara terperinci tentang makna dan manfaat shalat bagi hamba dalam mencapai kebahagiaan manusia di dunia sekarang ini dan di akhirat kelak.
Demikian sekilas tentang buku-buku Afzalur Rahman yang telah beredar di perpustakaan dan di toko-toko buku di Yogyakarta khususnya dan di Indonesia umumnya.

Pemikiran Afzalur Rahman tentang Kontrak Asuransi

  1. Pengertian Kontrak Asuransi
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian oleh karena itu perjanjian sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi. Di samping itu karena acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada pengertian dasar dari perjanjian.
Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain adalah sebagai berikut :
1.   Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
2.   Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang saatu (yang berpiutang atau kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain (yang berhubungan atau debitur) yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggunga jawab atas suatu prestasi.[83]


  1. Syarat-Syarat Perjanjian Asuransi
Perjanjian asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang mempunyai syarat yang khusus dan unik sehingga perjanjian ini mempunyai karakteristik tertentu yang sangat khas dibandingkan dengan perjanjian lain. secara umum perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat umum perjanjian, di samping memenuhi asas atau prinsip tertentu yang mewujudkan sifat atau ciri khusus dari perjanjian itu sendiri[84].
Menurut hukum Islam syarat-syarat umum yang harus terdapat dalam segala macam akad, ialah :
1.      Ahliyatu al- ‘Aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat)
2.      Qabiliyatu al-Mahalli al-'Aqdi Li Hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima hukumnya)
3.      Al-Wilyatus Syar’iyah fi Maudlu’i (akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid sendiri)
4.      La Yakun al-‘Aqdu au Maudlu’uhu Mamnu’am bi an-Nassin Syar’iyin (janganlah akad itu akad yang dilarang syara’)
5.      Kaunu al- ‘Aqdi Mufidan (akad itu memberi faedah)
6.      Baqau al-Ijabi Salihan Ila Mauqu’i al-Qabul (Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul). Maka apabila si mujib menarik kembali ijabnya sebelum qabul batallah ijab.
7.      Ittihadu Majlisi al-‘Aqdi (bersatunya majlis akad), karenanya, ijab menjadi batal apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain, belum ada qabul. Syarat yang ketujuh ini disyaratkan oleh mazhab asy-Syafi’i, tidak terdapat dalam mazhab-mazhab yang lain[85].
Beberapa syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian. Artinya setiap perjanjian harus memenuhi syarat di atas bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Jika ada salah satu syarat tersebut dihilangkan maka secara otomatis perjanjian yang dibuat tidak sah menurut hukum.
Pelaksanaan perjanjian asuransi, ditandai dengan pemenuhan kewajiban penanggung untuk memberikan ganti kerugian kepada tertanggung atau pengambil asuransi. Pemenuhan kewajiban tersebut tidak segera diberikan secara otomatis, melainkan harus memenuhi asas dan syarat tertentu.
Sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh perjanjian asuransi, meskipun perjanjian sudah sah diadakan dan sudah berjalan tidak selalu berakhir dengan pemenuhan yang sempurna, belum pasti ia mendapatkan ganti rugi, apabila ia tidak secara nyata memang menderita kerugian. Tidak berarti penanggung tidak bertanggungjawab. Dalam perjanjian asuransi diperjanjian, apabila tertanggung menderita kerugian secara riil, penanggung akan membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi proteksi yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi apabila syarat-syarat di bawah ini dipenuhi :
Jumlah yang diasuransikan harus banyak dan cukup homogen agar kalkulasi logikanya dapat mendekati frekuensi kemungkinan dan kesulitan-kesulitan kerugian.
Obyek asuransi diperkirakan tidak mengalami kerusakan secara serempak
kemungkinan kerugian harus bersifat aksidental saja, di luar kesadaran dari orang yang mengasuransikan dirinya.
harus ada cara untuk menentukan apakah kerugian itu benar-benar terjadi dan besarnya kerugian tersebut.[86]

  1. Klasifikasi Kontrak Asuransi
Kontrak asuransi dapat di bagi menjadi  tiga kelompok:[87]
1.       Berdasarkan sifat kejadian yang dapat digunakan untuk menentukan besarnya ganti rugi. Ada empat kelompok besar asuransi berdasarkan sifat kejadiannya:
(a)    Asuransi Maritim
Pada kelompok asuransi ini, sejumlah kontrak yang  disepakati dapat dibayarkan apabila terjadi kecelakan laut.
(b)   Asuransi Kebakaran.
Dalam asuransi ini, jumlah kontrak yang telah disepakati dapat dibayarkan apabila terjadi kebakaran
(c)    Aasuransi Jiwa[88]
Dalam asuransi ini, uang pertanggungan dibayarkan apabila orang sebagai tertanggung telah meninggal
(d)   Asuransi Kecelakaan[89]
Dalam asuransi ini, uang pertanggungan dibayarkan apabila mengalami kecelakaan.
Namun demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan-perbedaan di antara kelompok asuransi tersebut hanya secara konvensional dan mungkin sekali berubah dengan adanya perubahan kebutuhan manusia. Oleh karena kepentingan dan kepuasannya atau sekedar keperluan bisnis saja asuransi dapat menawarkan perlindungan atas bahaya tertentu seperti perampokan, kecelakaan kendaraan, ancaman terhadap ternak, kerusakan harta benda dan sebagainnya.
2.       Berdasarkan sifat kepentingannya yang dianggap terkait. Ada tiga macam asuransi berdasarkan sifat kepentingannya:[90]
(a)    Asuransi Personal.
Dalam bentuk asuransi ini, kejadian yang diperhitungkan adalah yang menyangkut orang yang mengasuransikan dirinya sendiri, atau pihak ketiga. Termasuk dalam asuransi ini adalah asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan perorangan.
(b)   Asuransi Harta Benda.
Asuransi jenis ini dikenakan pada harta milik orang yang mengasuransikan hartanya, mislanya asuransi kebakaran, asuransi maritim, permpokan dan sebagainya.
(c)    Asuransi Jaminan.
Jenis asuransi ini mengambil alih jaminan dari orang yang mengasuransikan kepada pihak ketiga. Asuransinsi ini terdiri dari: 1) asuransi umum yang berkaitan dengan kendaraan, dan 2) asuransi jaminan usaha.
3. Berdasarkan sifat Asuransinya. Ada dua macam asuransi  berdasarkan sifatnya:[91]
(a)       Asuransi Kontrak Tak Terbatas Kerugian.
 Dalam asuransi jenis ini, sejumlah uang jaminan dapat dibayarkan apabila terjadi peristiwa tertentu. Kejadian itu tidak ada kaitannya denagan tingkat kerugian dari oarang yang mengasuransikan diri. Asuransi ini terdiri dari asuransi jiwa, kecelakaan dan kesehatan.
(b)   Asuransi Kerugian.
Pada jenis ini, besarnya uang yang dibayarkan berdasarkan jumlah kerugian yang diderita orang yang mengasuransikan diri, misalnya asuransi maritim, kerugian yang diderita peserta suransi menentukan besarnya jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan kepadnya, jika jumlah atau kerygian atau kerusakan yang harus dibayarkan tidak terbatas. Asuransi Maritim (Inggris) tahun 1906 menyatakan: “Suatu kontrak asuransi maritim adalah sebuah kontrak di mana pengusaha asuransi mengambil alih atau melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada orang yang mengasuransikan diri, dengan sifat dan jumlah yang disepakati, terhadap kerugian yang diderita di laut, yaitu kerugian karena kecelakaan dalam perjalanan.

  1. Cara Melakukan Kontrak Asuransi
Penting sekali untuk memiliki perjanjian yang jelas dalam menjalin kontrak. Semua pihak harus telah sepakat, pengusaha asuransi setuju untuk menjamin orang tertentu, dan orang yang masuk asuransi atas terhadap kaminan tertentu. Mereka juga harus menentukan jangka waktu asuransi, dan harus setuu atas jumlah yang diasuransikan dan besarnya premi yang harus dibayarkan. Akhirnya kontrak disetjui kedua pihak, satu tawaran oleh satu ihak, melakukan persetujuan, dan penerimaan penawaran tersebut oleh pihak lainnya.[92]
Tidak ada pihak yang dapat menarik kembali kontrak yang telah dilakukan. Perjanjian tersebut mengikat peserta asuransi untuk membayar sejumlah premi dan pengusaha asuransi menerima premi tersebut dan mengembalikan sejumlah tertentu, jika memang saatnya harus dibayarkan. Namun demikian, perjanjian dapat ditarik kemblai atas kesepakatan kedua belah pihak.
                                                 BAB. IV

ANALISIS TERHADAP KONSEP AFZALUR RAHMAN

TENTANG KONTRAK ASURANSI KONVENSIONAL


A. Analisis terhadap Ketentuan Hukum Kontrak Asuransi
Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud di sini adalah suatu sifat yang tidak kekal yang selalu menyertai kehidupan dan kehidupan manusia pada umumnya. Sifat ini pada umumnya mengakibatkan adanya suatu keadaan yang tidak dapat diramalkan lebih dahulu secara tepat; sehingga dengan demikian keadaan tersebut tidak akan perna  memberikan rasa pasti. Karena tidak terdapatnya kepastian inilah maka perusahan asusuransi di sini sangat dibutuhkan dan berperan untuk memberikan rasa aman yang lazim disebut dengan menanggung  risiko
67
 
Semua asuransi bertujuan untuk memberikan perlindungan atas semua jenis risiko yang mungkin menimpa manusia.[93] Orang masuk asuransi untuk mengalihkan beban atas kemungkinan kerugian ke pundak pihak lain yang bersedia mengambilalih risiko karena dia sendiri telah menerima imbalan sejumlah uang. Semua badan yang bergerak di bidang usaha asuransi dan menanggung risiko ditemukan melalui pengalaman secara global, dan khususnya kalkulasi sistematis, sehingga mereka dapat memperhitungkan kemungkinan keuntungan setelah menutup sejumlah biaya tertentu.
Kontrak asuransi dibuat berdasarkan prinsip ketidakpastian, kejadian yang tidak menentu yang meliputi spekulasi suatu risiko. Baik peserta asuransi maupun pengusaha asuransi  menyepakati suatu kesepakatan untuk menanggung risiko, pihak pertama mengalihkan risiko kerugian dan pihak kedua memperoleh premi.[94]
Keseluruhan kontrak asuransi dibuat dalam dokumen resmi, yang disebut polis[95] (peraturan asuransi jiwa tahun 1774) di mana pengusaha asuransi secara resmi terikat untuk menanggung persoalan peserta asuransi berdasarkan premi yang diterimanya dan apabila gagal melaksanakan kewajibannya maka ia akan dikenakan denda (peraturan premi tahun 1891). Polis itu dikeluarkan oleh pengusaha asuransi apabila yang di persyaratkan dapat diterima dan mengandung rincian-rincian kontrak sebagai berikut:


1. Premi[96]
Premi adalah suatu harga yang di tetapkan pengusaha asuransi untuk mengambil alih risiko[97] dan memikul beban kamungkinan risiko kerugian sebagaimana disepakati dalam kontrak asuransi. Berlandaskan pada rumus rata-rata, pengusaha asuransi menentukan besarnya premi berdasarkan pengalaman jumlah yang mencukupi untuk menanggung risiko termasuk biaya  lainnya, separti keuntungan, sehingga ditetapkan premi untuk menutup semua biaya dan premi tersebut dikenakan kepada peserta asuransi. Apabila premi yang dibayarkan baru sekali dan terjadi risiko, maka beban risiko belumbisa dialihkan. Sementara faktor utama yang mempengaruhi besarnya ketentuan premi adalah klaim, komisi, dan keuntungan,. Besarnya keuntungan dari akumukasi dana perusahaan asuransi juga dapat memainkan peran yang penting dalam menetukan besarnya premi.[98]
Kontrak asuransi itu dapat berlaku efektif hanya apabila premi dibayar oleh peserta asuransi dan diterima oleh pengusaha asuransi. Pada umumnya premi dibayarkan pada tanggal yang telah ditentukan setiap bulan atau minggu; baik jumlah maupun tanggal pembayarannya secara jelas diungkapkan pada polis. Polis itu dinyatakan berlaku apabila masih berlaku masa kontraknya, kecuali terjadi pelanggaran dengan tidak dibayarnya cicilan premi sesuai dengan waktu atau tanggal yang ditetapkan untuk membayar premi. Biasanya kerugian yang terjadi pada masa kelonggaran membayar premi tetap ditutup, jika cicilan tetap dibayarkan sebelum habis waktu kelonggaran.
Sekali premi itu bibayarkan dan risiko diambil alih oleh pengusaha asuransi, maka tidak ada pengembalian setelahnya, meskipun pokok subyek dan risiko mungkin dapat lenyap sebelum periode pengambil alihan risiko telah dilanggar. Dan lagi, risiko yang ditanggung secara keseluruhan, jika dilaksanakan sekali, tidak ada premi yang mencukupi bahkan kemungkinan polis itu hilang sama sekali.
Sesungguhnya, dalam beberapa hal, terjadi seseorang tidak mampu melanjutkan kontrak polis, tidak mampu memenuhi cicilan bahkan sebagian dari premi. Kasus tersebut dianggap sebagai kasus terbanyak yang dilakukan peserta asuransi dan mengakibatkan mereka kehilangan sebagian atau seluruh premi yang telah dibayarkan.[99]
Selanjutnya, ada beberapa pelanggaran atau kelalaian atas polis oleh peserta asuransi oleh karena beberapa alasan di luar kesadarannya, dan dalam hal ini, mereka merugikan dirinya sendiri karena mereka tidak mampu menutup sebagian besar preminya,. Sekali lagi, kajian asuransi di Inggris baru-baru ini menunjukkan bagaimana perusahaan asuransi menetapkan besarnya premi secara sewenang-wenang dan mengenakannya secara bervariasi atas orang yang berbeda-beda. Sebagian besar kasus ini menimpa asuransi modern,[100] dan tidak mungkin menemukan berbagai hubungan atau jumlah secara ilmiah antara premi dan risiko seperti yang dikehendaki asuransi. Semua yang tersebut di atas tadi, tidak ada ilmu atau metodenya secara rasional untuk menetukan besarnya premi yang berkaitan dengan risiko yang terjadi, khususnya asuransi jiwa, dan perusahaan-perusahaan asuransi menentukan sendiri kebijakannya untuk  menetapkan besarnya premi untuk setiap kategori asuransi. Dengan begitu, premi yang dikenakan kapada peserta asuransi sangat dimungkinkan mengandung unsur-unsur mencari keuntungan, exploitasi dan bahkan unsur taruhan.

2. Ganti Rugi
Ganti rugi[101] menunjukkan perlindungan atas kerugian, dan oleh karenanya menunjukkan pentingnya peserta asuransi mencari atau mengharap suatu keuntungan dari itu. Pada umumnya setiap kontrak asuransi adalah suatu kontrak ganti rugi sebab kontrak tersebut menjamin suatu konpensasi atas kerugian kepada peserta asuransi. Tetapi peserta asuransi tidak boleh mencari keuntungan dari kontrak tersebut. Kontrak itu memberikan kemungkinan baginya untuk mendapatkan ganti kerugian tetapi tidak lebih dari itu, kecuali adanya perjanjian sebelumnya antara kedua belah pihak. Apabila seseorang tidak memenuhi syarat untuk untuk diansuransikan, jaminan asuransinya tidak dapat diharapkan untuk diterimakan kepadanya di atas limit yang telah disepakati. Prinsip ini telah dikemukakan oleh L.J. Brett, sebagaiamana dikutip oleh Afzalur Rahman. Secara jelas Brett mengatakan:
"Yang sangat mendasar, menurut pendapat saya, dalam setiap aturan yang ditetapkan sebagai hukum asuransi dalam hal ini, yaitu bahwa asuransi yang terkandung dalam polis asuransi maritim dan kebakaran (juga sama dengan polis kecelakaan) adalah suatu kontrak ganti rugi saja, sehingga kontrak tersebut berarti bahwa peserta asuransi, dalam menghadapi kerugian sebagaimana telah dibuat dalam polis, sepenuhnya berhak atas ganti rugi, tetapi tidak akan lebih dari jaminan yang telah ditentukan. Inilah prinsip dasar asuransi, jika ada perjanjian sebelumnya masih dilibatkan pula dalam bentuk yang berbeda-beda, dapat dikatakan yaitu apakah pihak peserta asuransi tidak dapat menerima seluruh ganti rugi lebih dari yang disepakati, maka perjanjian di muka tersebut dianggap salah".[102]

Ada beberapa kontrak asuransi tertentu, misalnya, asuransi jiwa[103] dan kecelakaan personal,[104] yang bukan merupakan kontrak ganti rugi, karena dalam semua kasus, perusahaan asuransi harus membayar kompensasi jika terjadi suatu kecelakaan tanpa menghitung jumlah kerugian. Pelaksanaan dari kontrak tersebut dapat dilakukan dengan polis motor komprehensip. "Peserta asuransi memperkirakan terlebih dahulu nilai atau harga mobilnya, katakanlah Rp. 60.000.000.00,- dan membayar premi berdasarkan harga tersebut. Apabila terjadi kerusakan total karena terbakar, ia akan menerima Rp. 60.000.000,- begitu saja, mungkin ia menerima lebih dari nilai tersebut, atau mungkin pasaran mobil itu merosot pada saat kontrak asuransi itu berlaku. Apa yang akan dibayarkan oleh pengusaha asuransi adalah senilai mobil pada saat terjadi kerusakan, dan apabila mereka dapat menunjukkan pada saat itui mobil yang sama modelnya, buatannya, tipenya serta kondisinya dengan harga Rp. 45.000.000,-, mereka tidak akan membayar lebih dari Rp. 45.000.000,-. Dengan cek seharga Rp. 45.000.000,-, berarti peserta asuransi itu telah diberikan ganti rugi sepenuhnya. Prinsip yang sama juga dapat diterapkan pada kejadian kerusakan sebagian".

3.  Batas Ganti Rugi.
Sebenarnya tidak ada batas jumlah kerusakan yang dapat diklaim oleh peserta asuransi yang tercantum ganti ruginya pada polis kecuali polis tersebut menyebutkan nilai yang di sepakati, dan tanpa memperhatikan keadaan, dapat dibayarkan biaya yang telah ditentukan. Dengan polis jenis ini, masalah peserta asuransi dapat dipertimbangkan nilai harta yang diasuransikan berdasarkan nilai asuransi dan jumlah ganti rugi dibayarkan tanpa mempertimbangkan kerugian total yang dialami – nilai asuransi dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip ganti rugi, tetapi secara sah, perjanjian polis tersebut disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam menentukan jumlah ganti rugi seperti pada kesepakatan kontrak semula, sambil menunggu taksiran kerugian yang menimpa peserta asuransi untuk menaikkan jumlah klain. [105]
Lebih lanjut, "perlu juga untuk membedakan antara polis dengan nilai yang ditentukan", dengan yang biasanya dibuat dengan tujuan 'penemuan dan penilaian' yang ditentukan dengan menemukan bukti-bukti untuk menilai harta pada saat dinilai berdasarkan alas an-alasan yang dapat diterima untuk suatu penurunan atau kenaikan pada saat terjadi kerugian dengan mempertimbangkan jumlah yang tertera pada polis.

4.  Bukti-bukti Nyata untuk Menentukan Ganti Rugi.
Jaminan suatu kontrak asuransi serta prinsip-prinsip ganti rugi menunjukkan bahwa sebagian dari itu berdasarkan konsep riba dan bunga, sebagian lagi berdasarkan sifat-sifat risiko yang tidak dapat ditentukan; serta sebagian lain berdasarkan prinsip unsur taruhan yang jelas-jelas menunjukkan sifat risiko.
Berdasarkan prinsip ganti rugi, peserta asuransi diberikan ganti rugi berdasarkan batas kerugian yang dideritanya dan tidak lebih dari itu. Ia tidak dapat menerima sejumlah uang yang jumlahnya melebihi kerugian yang dialami dari perusahaan asuransi dengan berbagai pertimbangan, tetapi dalam pelaksanaan yang sesungguhnya, peserta asuransi, karena berbagai sebab tidak padat melaksanakan tuntutan sepenuhnya, atau lebih. Kontrak asuransi jiwa sebagaimana yang akan kita bahas nanti yang berbeda, tidak ada kontrak besarnya ganti rugi, adanya sejumlah kontrak yang telah disepakati bila terjadi suata risiko. Bahkan pada kontrak asuransi tidak selalu berupa kontrak ganti rugi sepenuhnya. Peserta asuransi dapat menerima kurang atau lebih jumlah yang semestinya ia terima sebagai ganti rugi.[106]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan polis dengan nilai yaitu apabila nilai suatu asuransi telah disetujui antar pihak yang bersangkutan, jika yang dimaksud total kerugian, maka pihak peserta asuransi akan memperoleh ganti rugi sebanyak kerugian yang diderita secara penuh dan kadang-kadang nilai yang sesungguhnya lebih tinggi daripada kerugian yang dideritanya. Mungkin pula, nilai kerugian melebihi jumlah kesepakatan yang telah disetujui, peserta asuransi tidak akan menerima ganti rugi yang melebihi jumlah yang disepakati dikarenakan ia sendiri yang telah menentukan jumlah kontrak sebesar premi yang dibayarkan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak asuransi dapat mengubah obyektifitas peraturan tentang ganti rugi dengan menentukan besarnya nilai asuransi pada saat terjadinya kontrak. Dalam hal semacam ini, polis asuransi hanyalah sebagai bagian dari suatu kontrak asuransi ganti rugi. Sesuatu yang diasuransikan, seperti dalam polis 'dengan nilai kontrak', pihak yang mengasuransikan dapat menerima ganti rugi melebihi kerugian yang diderita, tetapi dapat pula menerima kurang dari kerugian sesungguhnya yang dialami.
Dengan demikian, jelaslah hal tersebut di atas dapat dimanifestasikan—"bahwa pernyataan suatu asuransi adalah kontrak ganti rugi, dan ini tidak benar".[107] Asuransi pada prisipnya adalah suatu kontrak bisnis sederhana antara dua pihak, yaitu pengusaha asuransi dan peserta asuransi. Pihak pengusaha bersedia menerima sejumlah uang premi dari pihak peserta asuransi sedangkan pihak peserta asuransi telah sepakat untuk menerima sejumlah uang apabila terjadi suatu risiko yang terjadinya tidak dapat dipastikan. Jumlah uang yang diterima oleh peserta asuransi dapat melebihi atau kurang dari jumlah kerugian yang ia derita. Sedangkan apabila tidak terjadi risiko, pihak perusahaan asuransi mendapatkan uang premi oleh karena tidak terjadinya resiko. Dengan kata lain, asuransi adalah suatu persetujuan biasa antara dua pihak yang saling membayarkan sejumlah uang pada suatu peristiwa yang terjadinya tidak dapat dipstikan. Seluruh permasalahan yang menyangkut pengembalian ganti rugi antara perusahaan asuransi dan peserta asuransi tergantung pada suatu kejadian yang tidak pasti, dan ini dikatagorikan sebagai taruhan atau perjudian.



5. Kepentingan Asuransi.
Banyak orang sulit membedakan antara asuransi dengan perjudian, karena keduanya tampak sama. Bagian luarnya disamarkan dengan tampak miripnya antara asuransi dam perjudian. Seorang pembalap kuda, berjanji akan membayar sejumlah uang kepada seorang petaruh, yang telah menjanjikan akan membayar jauh lebih banyak apabila kuda balap tertentu memenangkan suatu pacuan. Ia bertanya, bagaimana perbedaan perbuatan petaruh tersebut dengan pengusaha asuransi yang mendapatkan uang dari premi atas jaminan terhadap kebakaran sebuah rumah dan siapa yang menjanjikan akan memberikan sejumlah uang yang lebih banyak apabila rumah yang diasuransikan itu benar-benar rusak atau terbakar? Jawaban singkat adalah bahwa asuransi berbeda dengan perjudian karena asuransi hanya dapat dijamin apabila adanya kepentingan atas sesuatu untuk diasuransikan, sehingga secara finansial ia akan menderita rugi atas bahaya yang mengancam peserta asuransi. Asuransi tanpa adanya kepentingan tersebut hanya akan merupakan taruhan dan yang demikian itu, tidak dapat diperlakukan secara hukum yang benar.
Perbedaan pokok tersebut tidak pernah dipahami pada masa lalu pada saat tidak ada batasan secara resmi dalam undang-undang di inggris tentang perjudian atau taruhan. Merupakan hal yang umum apabila orang mengansurasikan jiwa para tokoh untuk mempertaruhkan tingkat Perdana Menteri atau orang penting lainnya dan dengan hukum masyarakat pihak pengadilan dapat mendukung seorang petaruh dalam kehidupan manusia, dan kelompok asuransi tidak menolak untuk memberlakukan polis terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kepentingan asuransi dalam hidupnya. Bukan hal aneh bagi kalangan asuransi  untuk menerapkan asuransi jiwa serta asuransi lainnya, di mana peserta asuransi sama sekali tidak mempunyai kepentingan, dan hal ini sering kali menimbulkan perjudian-perjudian yang tidak diinginkan dan juga pertaruhan-pertaruhan yang sangat mengerikan di dalam bisnis asuransi.[108]
Peraturan asuransi jiwa tahun 1777, diberlakukan untuk menghentikan malpraktek di bidang asuransi. Peraturan tersebut menekankan pentingnya kepetinggan asuransi dalam suatu kontrak asuransi, tetapi gagal memenuhi sifat dan luasnya cakupan asuransi yang di maksud. Sebagai tambahan, peraturan tersebut tidak mampu menjangkau bidang-bidang yang penting di mana perjudian dan pertaruhan dikuasai oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Peraturan ini mencakup bidang yang lebih luas daripada aturan lainnya yang meliputi bidang perkapalan, barang-barang atau perdagangan juga menyangkut asuransi maritim dan ternak. Betapapun penekanan yang nyata aturan tersebut telah mengecualikan pada asuransi barang atau perdagangan, telah diuraikan sebagai penjabaran asuransi terhadap ternak baik itu dari risiko laut maupun darat hanya menyangkut masalah-masalah pokok dan oleh karena itu masih belum mampu mengekang transaksi-transaksi taruhan dan atau berbagai ketentuan untuk menetapkan orang atau orang-orang yang memiliki minat. Uang dalam bentuk di mana secara fisik dapat terbakar atau digandakan adalah "hal" yang dimaksudkan oleh aturan tersebut, dan polis yang mengansurasikan kerugian terhadap uang karena perampokan dan perampasan dalam rumah tidak termasuk dalam aturan tersebut.
Padahal pokok masalah dari asuransi adalah binatang ternak, seluruh kontrak asuransi di luar jangkauan dari aturan tersebut begitu juga pada polis asuransi motor tampak bahwa aturan tersebut tidak diterapkan bahkan kepada asuransi pihak ketiga yang secara kebetulan mengalami musibah dari mobil yang diasuransiakan.

B.       Analisis Metode Pemahaman Dalil (Istinbat)
Untuk memutuskan atau menetapkan suatu hukum, ulama tentunya memiliki metode pemahaman dalil (istinbat). Karena penetapan hukum tidak dilakukan secara gegabah (kurang hati-hati), hanya orang-orang tertentu yang dapat melakukan dan dianggap telah memenuhi kapasitas berijtihad (memiliki ilmu-ilmu yang kompeten).
Secara umum, ijtihad dapat dikatakan sebagai suatu upaya berfikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.[109] Antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain terdapat suatu interaksi. Ijtihad, baik langsung atau tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial, sedangkan disadari bahwa perubahan-perubahan sosial itu harus diberi arah oleh hukum sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia.
Ijtihad dalam kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang bersifat kontinuitas di mana realitas kehidupan ini senantiasa berubah, begitupun situasi masyarakatnya yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Ijtihad yang benar tentunya yang dapat menjelaskan kehendak agama (maqa>sid al-tasyri>’) dengan kebutuhan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum Islam sebagai produk ijtihad hendaknya mampu mengelaborasikan nilai-nilai dan aturan normatif yang telah mentradisi dalam sebuah tatanan suci (syari>’at) yang telah menjadi landasan hidup beragama. Hal ini sesuai dengan penerapan sosial hukum, bahwa suatu hukum hendaknya dapat memainkan peranan ganda yang sama-sama penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai kontrol sosial terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia, sebagai tujuan hakekat hukum itu sendiri.[110]
Masalah asuransi pada hakekatnya tidak lepas dari dua hal yang mendasar, yakni peraturan syar’i dan kondisi masyarakat (sosio kultural). Kemudian dari dua dasar tersebut kemudian menimbulkan berbagai interpretasi. Dalam kaitan ini, para ulama berbeda pendapat tentang asuransi, yakni:
Pertama , Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarng ini. Dalil-dalil yang dipergunakan adalah; (a) karena pada hakikatnya asuransi itu serupa dengan judi. (b) mengandung unsur yang tidak jelas atau pasti, mengandung unsur riba, dan (c) mengandung unsur ekploitasi.[111] Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah; Yusuf al-Qardawi, Abdullah al-Qadhi, Mufti Yordania, Said Sabiq, dan lain-lain.
Kedua,  Membolehkan semua asuransi dalam segala jenis prakteknya. Alasan yang digunakanya adalah; (a) tidak adanya nash al-Qur'an dan hadis yang melarang asuransi. (b) adanya kesepakatan atau kerelaan kedua belah pihak, asuransi termasuk akad mudlarabah, dan (c) asuransi termasuk koperasi (syirkah ta'awuniyah). Pendapat ini di dukung antara lain; Abdul Wahhab Khallaf, Abdurraham Isa, Musthafa Ahmad Zarqa, dan lain-lain.[112]
Sementara itu, kebanyakan fuqaha sepakat pada satu hal, yaitu adanya riba, maisir (perjudian), garar (risiko, probalitas atau ketidakpastian), dan juhala (tidak di tentukan dan tidak diketahui) di dalam suatu kontrak bisnis atau sejenisnya menjadikan kontrak tersebut haram. Hal senada juga dikatakan oleh Afzalaur Rahman dalam bukunya "Doktrin Ekonomi Islam" , ia berpendapat bahwa:
"Bilamana ditemukan keempat unsur itu (riba, maisir garar dan juhala) dalam suatu transaksi, tidak peduli jenis dan bentuknya, unsur itu menyebabkan kontrak tersebut menjadi haram. Telah disepakati secara bulat oleh para ulama mengenai hal ini dan tidak ada pendapat yang berbeda di dalam mengharamkan suatu kontrak yang melibatkan empat unsur tersebut"[113] 

Meskipun para ahli hukum Islam itu sendiri belum sepakat mengenai sah atau tidaknya bentuk-bentuk masalah modern tertentu atau kontrak jual beli, hal ini tidak mempengaruhi materi substansi arti yang telah disepakati secara bulat di dalam mengharamkan kontrak jual beli yang mengandung keempat unsur yang telah disebutkan di atas. Mereka mempunyai sedikit ketidaksepakatan secara rinci mengenai jenis dan syarat kontrak jual beli tertentu
Seperti telah disinggung di atas, bahwa syar'iah telah menetapkan dasar-dasar hukum untuk menetukan halalnya sesuatu (transaksi), jika sesuatu itu bertentangan dengan hukum-hukum syar'iah, kepentingannya, atau digunakan dan dipraktekkan oleh umum dapat menjadikan sesuatu itu menjadi halal jika di dalamnya terdapat empat unsur itu tadi. Kita harus memutuskan asuransi modern itu halal atau haram dengan prinsip yang sama. Agar dapat diputuskan, kita harus menemukan jawaban pertanyaan tersebut.
Analisa terhadap asuransi akan menunjukkan bahwa empat unsur haram itu terdapat dalam tingkat yang cukup untuk menyatakan bahwa kontrak tersebut haram dan tidak sah di dalam masyarakat Muslim.







a. Riba
Unsur pertama yang dilarang Islam adalah riba (bunga). Islam menganggap bunga sebagai suatu kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan masyarakat baik itu secara ekonomis, sosial maupun moral. Kata riba itu sendiri, berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “tambahan” (az-Ziyadah).[114] atau “kelebihan”[115]—yakni tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang sedang bertransaksi.
         Pengertian riba di atas masih sangat umum sifatnya, dan belum memberikan ketentuan jenis riba apa yang diharamkan. Untuk mendekatkan pemahaman, ada ulama yang berependapat pentingnya melihat dan mempertimbangkan kata sandang yang ada dalam kata riba, di dalam al-Qur’an, dengan melihat fungsi kata sandang tersebut, diharapkan akan memperoleh pemahaman yang lebih mendekati pada kebenaran.
         Dalam pandangan sebagian mufassir, kata sandang (definite article alif lam), berarti menunjuk kasus tertentu (ma’rifah). Maka makna kata ar-riba yang dimaksud adalah praktek pengambilan untung dari debitur yang sudah  biasa di kalangan orang-orang Arab pra-Islam ketika al-Qur’an belum diturunkan, dengan pemahaman ini, kesimpulan awal yang barangkali sangat penting untuk dicatat, bahwa untuk bias memahami ayat secara lebih tepat dan mengena, seorang harus mengetahui sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat (asbab an-Nuzul), barulah kemudian dapat diketahui apa arti riba sebenarnya.[116] Oleh karena itu, pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama) adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.[117] Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.
         Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit di antaranya adalah:
- Firman Allah SWT :
يايهاالذين امنوا لا تأكلوا الربوا اضعافا مضعفة واتقوا الله لعلكم تقلحون           [118].
واحل الله البيع وحرم الربوا      [119] .
ياايها الذين امنوا اتقواالله وذروا مابقي من الربوا ان كنتم مؤمنين. فان لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون.[120]
-  Hadis Nabi SAW:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهد يه  [121].
انما الربا فى النسيئة  [122].
Ayat-ayat al-Qur'an di atas tadi serta penegasan-penegasan yang diberikan oleh Nabi secara eksplisit (tanpa ada qiyasan yang membingungkan), telah melarang riba dan menyatakan sebagai pelanggaran hukum dalam masyarakat Muslim. Dalam pengamatan penyusun, bahwa Afzalur Rahman dalam menetapkan unsur ribawi yang terdapat dalam kontrak asuransi bermaksud menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukumnya. Bagi Afzalur Rahman, ‘illat diharamkannya riba adalah adanya penggelembungan dana dan penghisapan bahkan penganiayaan terhadap pihak tertanggung. Konsekuwensinya, kalau ‘illat itu ada pada kontrak asuransi konvensional, maka jelaslah kontrak asuransi konvensional sama dengan riba dan hukumnya haram. Sebaliknya, kalau ‘illat tidak ada pada kontrak asuransi konvesional, maka asuransi bukan riba, karena itu tidak haram.[123]
Untuk memahami masalah ini secara utuh, berikut ini dijelaskan cara kerja qiyas dalam menetapkan kasus kontrak asuransi konvensional. ‘Asl dalam kasus ini adalah riba yang terdapat dalam al-Quran. Far’u-nya adalah asuransi konvensional. Hukmu al-Asl-nya adalah bahwa riba itu hukumnya haram. ‘illat diharamkannya riba adalah zulm atau penghisapan dan pemerasan terhadap tertanggung.
Telah dijelaskan bahwa illat adalah sifat tertentu yang dapat diketahui secara objektif (zahir), dapat diketahui tolak ukurnya (mundabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib). illat dapat diambil dari hikmah ditetapkannya hukum. Hikmah baru dapat ditetapkan sebagai ‘illat kalau terdapat mazhinnat atau indikator yang menunjukkan bahwa hikmah itu telah ada pada kasus tersebut. Hubungannya dengan masalah riba, apakah sifat zulm itu sudah dapat dikatakan ‘illat atau baru hikmah? Kalau sudah termasuk ‘illat apakah indikator yang menunjukkan hal tersebut? Dengan memperhatikan praktek riba pada masa ayat al-Quran ini diturunkan, dapat difahami bahwa pemerasan merupakan hikmah diharamkannya riba. Hikmah ini dapat menjadi ‘illat setelah adanya mazhinnat, yaitu bahwa tambahan itu dipersyaratkan ketika transaksi tanggung-menanggung itu berlangsung. Oleh karena ‘Illat ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka kedudukannya termasuk ‘illat mustanbatah, dan bukan ‘illat mansusat.
Secara garis besar proses penemuan ‘illat dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah takhrij al-manat, yakni menginventarisasi beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illat. Tahap kedua adalah tanqih al-manat, yakni menyeleksi beberapa sifat yang telah diinventarisasi pada tahap pertama. Sedangkan tahap ketiga adalah tahqiq al-manat, yakni membuktikan keefektifan ‘illat haramnya riba, apakah dapat diterapkan dalam kasus bunga bank atau tidak.[124]
Berdasarkan cara kerja itu, pertama sekali dicari dan dihimpun beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba. Pada tahap ini diperoleh informasi, bahwa sifat yang dapat dijadikan riba adalah pemerasan atau penganiayaan (istiglal wa az-zulm), tambahan tanpa risiko (ziyadah al-Khaliyat ‘an al-‘Iwad) dan tambahan yang berlipat ganda (ziyadah  al-Muda’afat). Tahap berikutnya diadakan seleksi, mana di antara ketiga sifat itu yang dianggap relevan. Dalam tahap ini dapat diketahui, bahwa sifat “tambahan tanpa resiko” tidak dapat dijadikan ‘illat, karena ternyata Nabi sendiri pernah memberikan kelebihan pembayaran kepada kreditor. Begitu pula sifat “tambahan yang berlipat ganda” semata-mata tidak dapat dijadikan ‘illat, karena Allah SWT menyatakan “wa in tubtum falakum ru’usu amwalikum”. Dari sini tinggalah sifat “pemerasan dan penganiayaan” yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba. Sifat yang terakhir ini, di samping dapat dilihat dalam sabab an-Nuzul ayat terakhir tentang riba, juga diisyaratkan oleh ungkapan al-Quran sendiri: “la tazlimuna wa la tuzlamun”.[125]
Melalui proses pencarian ‘illat seperti di atas dapat disimpulkan bahwa pemerasan dan penganiayaan merupakan ‘illat diharamkannya riba. ‘illat di sini masih perlu diteliti lagi, dalam kaitannya dengan penerapan kasus asuransi konvensional, karena sifat itu belum dapat diketahui tolak ukurnya (mundabit). Untuk itu ditetapkan ketentuan bahwa unsur pemerasan itu telah dianggap ada manakala ada “perjanjian pada awal transaksi utang piutang itu”. Persyaratan ini dianggap sebagai mazinnat, yaitu pemerasan. Inilah yang dianut mayoritas oleh ahli usul fiqh.[126]
Kalau kita kaji kembali ruanglingkup asuransi secara mendalam. Maka dapat diketahui, bahwa asuransi itu setidaknya mengandung beberapa unsur sebagai berikut:[127] 
  1. Biaya atau kelebihan dan kelebihan atas modal pinjaman (misalnya kelebihan dari pinjaman pokok)
  2. Ketentuan besarnya tambahan dikaitkan dengan jangka waktu.
  3. Tawar-menawar mengenai syarat pembayaran tentang besarnya kelebihan uang dilakukan kepada kreditor.
Adanya unsur-unsur tersebut membentuk riba dan beberapa hal yang berkaitan dengannya yaitu tawar menawar atau transaksi kredit uang atau bentuk lain yang mengandung unsur ini, dianggap sebagai transaksi riba oleh para ahli kitab muslim dan para ahli ekonomi, dan hal demikian melanggar hukum dalam masyarakat Islam.
Sejauh menyangkut asuransi modern, yang dalam menentukan keuntungannya dari riba secara bebas dilibatkan dalam segala tingkatan bisnis tersebut, dan perhitungan premi hingga kepembayaran ganti rugi kapada peserta asuransi yang mengalami musibah. Sebagian besar dana yang dihimpun dari premi diinvestasikan dalam investasi yang mendatangkan keuntungan pasti (riba) oleh perusahaan-perusahaan asuransi dan hanya dalam porsi yang kecil dana yang diinvestasikan untuk proyek-proyek  lain. Hal ini dikarenakan mereka mempertimbangkan bahwa riba itu aman dan terbebas dari risiko.dan polis yang mereka keluarkan adalah untuk memainkan jaminan proteksi terhadap kepentingan kliennya, investasi dengan  penghasilan pasti merupakan pilihan terbaik bagi mereka.[128]
Aspek keuangan asuransi timbul dari prinsip dasar jaminan kehidupan yang menerapkan ketetapan besarnya premi bagi kemungkinan timbulnya suatu risiko. Hal ini mendorong timbulnya akumulasi dana, yang dapat mendatangkan pendapatan dan pembiayaan masih tetap meninggalkan dana dalam bentuk tunai, tapi dana tersebut tidak dibiarkan tidak produktif. Pada saat asuransi jiwa dengan mudah dapat dilaksanakan pada tingkatan bunga nol, biaya yang dikeluarkan kemungkinan lebih banyak. Sehingga sebagian besar dananya diinvestasikan untuk menghasilkan bunga.
Oleh karena itu, apabila seseorang atau suatu aturan melakukan pungutan bunga, tidak peduli bentuk dan tujuannya, hal ini merupakan pelanggaran hukum dan tindakan tercela di mata syari'ah dan tidak ada permainan kata atau konsep yang dapat mensahkan atau melegalisirnya. Pendeknya, riba itu jelas sangat dilarang oleh syariah dan asuransi modern sebagai bisnis modern dalam prakteknya menumbuh suburkan riba.[129]   
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah, bahwa riba telah terdapat pada bisnis asuransi modern dan dalam segala tingkatannya. Dari kalkulasi premi hingga memberikan konpensasi kepada penderita yang mengalami musibah. Seluruh dana perusahaan asuransi diinvestasikan pada investasi-investasi dengan pendapatan tetap (yaitu bunga) dan semua keuntungan yang dibayarkan peserta asuransi yang mengalami musibah mengandung unsur riba. Tidak dapat dielakkan bahwa sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, pendapatan perusahaan asuransi berasal dari riba. Rata-rata, perusahaan-perusahaan asuransi menginvestasikan dua pertiga dananya untuk cadangan bunga tetap kira-kira 11% apa yang dimilikinya, sebagian besar menghasilkan riba.[130]
b.  Perjudian (Qimar atau Spekulasi)
Unsur kedua yang dilarang Al-Qur'an adalah judi. Kejahatan ini juga beransur-ansur ditinggalkan oleh masyarakat.firman pertama yang ditujukan pada kejahatan ini menyatakan bahwa kejahatan judi itu jauh lebih parah daripada keuntungan yang di perolehnya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ    عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.[131]

Semua bentuk perjudian dan taruhan itu dilarang dan dianggap perbuatan zalim dan sangat di benci.
وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِاْلأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ.[132]
Firman-firman tersebut akhirnya menjadikan perjudian atau pertaruhan dalam segala bentuknya jelas-jelas haram bagi kaum muslimin. Kata Maisir dalam bahasa arab yang arti harfiyahnya adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau  mendapat keuntungan tanpa bekerja, oleh karena itu disebut berjudi. "Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu anda terlibat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali menggantungkan keuntungan semata (misalnya mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat  melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya tidak kita dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi berjudi.[133]
Kata azlam dalam bahasa Arab yang digunakan dalan Al-Qur'an juga berarti praktek perjudian. Sementara itu maisir, menggunakan segala bentuk harta yang dituntut atau dibagi untuk memperolah suatu keuntungan misalnya, lotre, bertaruh, atau dan sebagainya. Dan ini lebih dikarenakan maisir kurang populer untuk melegitimasi dilarangnya praktek-praktek asuransi yang tidak sesuai dengan syari’ah, sebagaimana pelarangan riba. Sehingga kadangkala keberadaan pelarangan riba  dalam asuransi dipandang semata-semata sebagai antitesis dari keberadaan bunga, dan lebih menkhawatirkan adalah pemahaman ini memposisiskan  pelarangan riba bukan untuk bertujuan memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, tetapi posisi pelarangan riba hanya karena adanya bunga.[134]
Judi pada umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarka pada bentuk-bentuk perjudian adalah haram didalam Islam. Rasulullah s.a.w, melarang segala bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi dan ramalan atau terkaan (missal judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.
Seluruh kontrak asuransi berlandaskan pada suatu peristiwa yang tidak tentu terjadinya, yang mungkin terjadi atau tidak terjadi sama sekali. Ini sama persis  dengan perjudian dan lotre. Sifat uang premi di dalam bidang asuransi sama persis denagn uang yang di pertaruhkan dalam perjudian. Meskipun perkembangan ilmu statistik berkembang dengan pesat unsur probalitas (yaitu spekulasi) tidak dapat dihilangjan dari asuransi modern. Perhitungan-perhitunagn spekulasi sebagai dasar hampir sama dengan prinsip yang digunakan dalam asuransi modern untuk menjamin keuntungan lembaga tersebut (atau Bank). Dan perusahaan asuransi tidak bedanya dengan rumah perjudian, jarang sekali mengalami kekalahan.[135]
Lebih-lebih, kepentingan asuransi telah dan tetap sebagai suatu bangsa, khususnya dalam asuransi jiwa, baik itu bagi perusahaan asuransi tetap akan menimbulkan permasalahan yang sama dengan yang ada pada perjudian atau untung-untungan. Beberapa ahli ekonomi terkemuka sepakat terhadap pandangan bahwa asuransi modern adalah suatu benmtuk perjudian. Dan judi secara tegas dilarang di dalam ayat al-Qur'an maupun as-Sunnah Rasulullah S.A.W. dan juga ahli hukum agama Islam juga sepakat bulat mengenai hal ini.

c. Garar (Probabilitas atau Risiko).
Kata garar dalam bahasa Arab berarti akibat, bencana, bahaya, risiko dan sebagainya. Di dalam kontrak bisnis berarti melakukan sesuatu secara membabibuta tanpa pengetahuan yang mencukupi, atau mengambil risiko sendiri dari perbuatan yang mengandung risiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki kanca risiko tanpa memikirkan konsekwensinya. Dalam segala situasi tersebut, di situ selalu hadir unsur risiko. Menurut Imam Ibn Taimiyah, garar itu dilibatkan apabila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan bisnis atau jual beli. Setiap jenis kontrak yang bersifat open-ended mengandung unsur garar. Konsep garar dapat dibagi menjadi dua kelompok: [136]
1.      Kelompok pertama adalah unsur risiko yang mengandung keraguan, probabilitas dan ketidak pastian secara dominant.
2.      Sedangkan kelompok kedua unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain.
Kitab suci al-Qur'an dengan tegas telah  melarang semua transksi bisnis yanmg mengandung unsur kecurangan dalam segala bentuk terhadap pihak lain: hal itu mungkin dalam bentuk penipuan atau kejahatan, atau memperoleh keuntungan dengan tidak semestinya atau risiko menuju ketidak pastian di dalam suatu bisnis dan sejenisnya. Sebgaimana firman Allah S.W T:

واوفواالكيل والميزان بالقسط لانكلف نفسا الا وسعها.[137]
Ayat ini memberikan keyakinan bahwa sesuatu yang dikerjakan dengan maksud untuk merugikan pihak lain dalam bidang bisnis adalah dilarang oleh syari'at Islam, dan juga ada larangan yang tegas dari Nabi yang berkaitan dengan kejahatan atau kecurangan (garar) dalam transaksi bisnis.  
Sementara unsur garar (probalitas risiko yang menyebabkan ketidakpastian akhir kontrak asuransi) sangat dominan dalam asuransi modern. Probalitas risiko terdapat di dalam total bisnis asuransi modern yang meliputi premi, ganti rugi, dan kepentingan asuransi. Unsur keraguan dan ketidakpastian akan selalu membayangi variabel-variabel tersebut karena nasib mereka mungkin tidak terjadi. Jika terjadi suatu peristiwa, sifat dan tingkat kerugiannya harus di perhitungkan.[138]
Dengan demikian, kedua belah pihak yang mengadakan kontrak benar-benar dalam kegelapan mengenai kewajiban dan tanggung jawab satu sama lain, dalam menghadapi risiko yang sifatnya tidak dapat ditentukan. Oleh karena itu, adanya unsur garar, dapat dipastikan dalam bisnis asuransi.

d. Juhala.
Juhala adalah unsur yang tidak jelas pada kualitasnya, kuantitas atau harga suatu barang, juhala sepertinya sesuatu yang tidak diketahui, sehingga mengakibatkan timbulnya suatu ketidakpastian. Misalnya;
 "jika seseorang dalam salah satu pihak dalam suatu perjanjian mengatakan kepada pihak lain, "aku menjual salah satu dombaku seharga Rp. 300.000,- ", dalam hal ini akan timbul perdebatan atau perbedaan pendapat sudah sejak dari permulaan karena ketetapan mengenai domba secara khusus tidak jelas, dan belum diketahui. Pembeli tentunya akan meminta yang terbaik dari kelompok itu, sedangkan si penjual tentunya akan memberikan yang terjelek".[139]

Kontrak asuransi juga mengandung unsur juhala. Sebagaimana dijelaskan pada unsur garar, unsur ketidakpastian juga sangat dominan di dalam bisnis asuransi modern. Karena dasar asuransi adalah kemungkinan kerugian yang tidak dapat diramalkan, unsur ketidakpastian tidak terhindarkan. Tidak ada sejumlah kemajuan dan pengembangan ilmu statistik atau teori probalitas mampu menjamin kepada kita bahwa sifat dan tingkat kerugian dapat diperkirakan sebelum terjadinya suatu peristiwa.[140]
Di samping itu, unsur jumlah yang dapat dipastikan baik dalam menentukan premi maupun kompensasi terdapat dalam kontrak asuransi. Sifat dan bisnis asuransi adalah unsur ketidakpastian yang tidak dapat terpisahkan dan terhindarkan dalam kondisi seperti apapun.
Maka, dapat dikatakan bahwa keempat unsur yang dilarang Al-Quran dan Sunnah Rasul yaitu riba, qimar atau maisir, garar dan juhala terdapat di dalam kontrak asuransi. Sebagai tambahan, unsur eksploitasi dan hubungan yang tidak fair juga terdapat dalam bisnis asuransi modern. Seperti telah dijelaskan sebalumnya, banyak sekali bukti yang mendukung adanya eksploitasi dan permainan yang tidak fair di dalam bisnis asuransi modern.[141]  
Sementara di sisi lain Afzalur Rahman mengatakan, bahwa asuransi yang berlandaskan pada prinsip mutualitas dan koperasi ialah yang membiasakan efektivitas dan keterpaduan dalam mencari pemecahan berbagai macam persoalan asuransi yang dihadapi manusia pada jaman modern sesuai dengan hukum-hukum Islam. Pada anggota membayar kontribusinya dan kepada yang menderita diberi bantuan dengan dana umum. Para pemegang polis, sekaligus sebagai pengusaha asuransi sama halnya sebagai peserta asuransi dalam asuransi mutual dan koperasi. Motifnya bukan mencari keuntungan tetapi membantu diri sendiri melalui kerjasama dengan anggota masyarakat yang lain atau dengan perusahaan tersebut. Seluruh anggota bersatu dan mengelola badan atau perusahaan mutual dan koperasi untuk membantu masing-masing anggota.
Bentuk asuransi ini merupakan alternatif yang ada bagi kaum muslim sebagai pengganti kontrak asuransi konvensional. Sesungguhnya bentuk ini sama dengan sistem kuno yang dulu biasa digunakan oleh nenek moyang untuk menjamin kapal dan angkutannya di laut yang luas selama berabad-abad. Inilah satu-satunya cara untuk memecahkan persoalan asuransi untuk menghindari perangkap perjudian, ketidakpastian dan probabilitas.[142]
Dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keuntungan para pemegang saham, jika memang tidak dibutuhkan, tidak dikehendaki dan tidak bermanfaat, maka dapat dihentikan sama sekali, atau keuntungan masing-masing pemegang saham dapat dikurangi atau dibatasi pada prosentase tertentu. Sebagai tambahan, dana cadangan tetap juga dapat ditetapkan dan prosentase keuntungan dengan proporsi tetap tertentu dapat disisakan secara tahunan untuk dana tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan asuransi tahunan para anggotanya.
Lebih-lebih, jika prosentase keuntungan itu dibagikan kepada para pemegang polis jatuh ke tangan para anggotanya dan tidak diserobot oleh pihak ketiga sebagaimana terjadi pada asuransi komersial modern. Jika ada sejumlah keuntungan dan para anggota menganggap keuntungan tersebut dikehendaki dan bermanfaat, tidak ada jeleknya untuk dibagikan kepada para pemegang polis. Dengan cara demikian maka tidak ada pemerasan dan eksploitasi para anggota oleh pihak ketiga.[143]
Bahkan jika suatu badan asuransi koperasi hanya memiliki sarana dan modal yang terbatas, sementara pada anggota sistem koperasi federal, kemampuan dananya dapat berjumlah besar sekali. Di negara yang sedang berkembang akan terdapat ratusan bahkan ribuan lembaga asuransi koperasi untuk memenuhi kebutuhan asuransi masyarakat industri dan pertanian, membentuk suatu jaringan kerja sama antar asuransi koperasi itu, walaupun mungkin setiap badan asuransi koperasi berskala kecil, baik itu ukuran, lingkup dan sarananya, total penyebaran modalnya di seluruh negara, dipandang dari kekuatan secara menyeluruh, akan menjadi sangat besar dan menjadi jaminan yang meyakinkan bagi kebutuhan asuransi individu dan setiap industri.
Lebih lanjut, asuransi koperasi tidak hanya akan menjadi organisasi asuransi di negara tersebut, tetapi akan dibantu oleh organisasi asuransi-asuransi mutual yang berjumlah banyak di seluruh dunia. Total kebutuhan asuransi akan terpenuhi oleh adanya dua bentuk organisasi asuransi yang akan saling melengkapi karya masing-masing di tempat yang berbeda dalam suatu negara.
Dari semua yang tersebut di atas, maka sistem jaminan sosial Islam akan berjalan sepenuhnya, dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat, misalnya, pengangguran, sakit, tua, janda, cacat, para musafir yang dalam kesulitan beaya, orang yang dililit hutang dan sebagainya. Sebagian dari kebutuhan masyarakat tersebut dapat dicukupi sepenuhnya dengan sistem jaminan sosial dan jika ada kebutuhan asuransi lain di luar cakupan tersebut, maka asuransi mutual dan koperasi dapat melaksanakannya, secara penuh dan efektif. Dengan demikian, dalam kenyataannya, kurangnya kepercayaan dapat dihapuskan dengan asuransi koperasi dalam hal pemenuhan kebutuhan asuransi karena asuransi ini akan beroperasi sebagai dana sekunder asuransi di dalam sistem asuransi segitiga pada ekonomi Islam.
Kita yakin bahwa sistem segitiga ini akan mampu memenuhi secara keseluruhan keabsahan dan halalnya kebutuhan asuransi masyarakat di dalam sistem Islam tanpa melibatkan unsur-unsur yang diharamkan. Ada empat jenis badan asuransi yang metode pengontrolnya dilakukan oleh angggota:[144]
  1. Stock Bersama atau Usaha Hak Milik
Dalam bentuk asuransi ini, pemilikan dan pengawasan perusahaan dilakukan oleh para pemegang saham. Sebagaian besar usaha ini dikelola dan merupakan bentuk stabil asuransi swasta pribadi. Motif utamanya adalah mencari keuntungan. Para pemegang saham menanamkan modalnya untuk mencari keuntungan.

  1. Asuransi Mutual
Badan ini didirikan bagian prinsip keanggotaan. Biasanya tidak terdapat pembagian modal dan pemabagian saham. Pengelolaan dan pengawasan di tangan para anggota asuransi yang merupakan anggota pemegang polis pada badan tersebut. Dalam kenyataannya, para pengusaha asuransi orangnya sekaligus sama dengan peserta asuransi. Tujuan utama dan sifatnya adalah jaminan mutual dan tidak mencari keuntungan.
  1. Lembaga Asuransi koperasi (Kerja sama)
Lembaga ini dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip kerja sama umum. Lembaga tersebut dikontrol dan dikelola oleh anggota masyarakat yang bekerja sama. Anggotanya menyumbangkan dirinya sebagai bagian dari lembaga tersebut atau menjamin permodalannya dan menjadikan pelayanan asuransi tersebut bermanfaat. Lagi, motif lembaga kerja sama ini adalah saling memberikan perlindungan antar anggotanya dan tidak mencari keuntungan.
  1. Usaha Campuran
Usaha ini dikontrol dan dikelola oleh para pemilik barang yang mungkin bukan sebagai pemegang polis. Kadang-kadang pemegang polis dapat diwakili dalam kepengurusan. Tujuan organisasi perusahaan ini adalah mencari keuntungan yang dibagikan para pemilik tersebut sekaligus sebagai orang yang berperan dalam mencari keuntungan.

BAB. V
P E NU T U P

A.    Kesimpulan

1.       Menurut Afzalur Rahman, suatu kontrak asuransi dapat didefinisikan sebagai “Suatu kontrak di mana seseorang disebut ‘penjamin’ akan memberikan penanggungan sebagai balas jasa atas imbalan yang telah disetujui yang disebut ‘premi’, yang telah dibayar oleh orang lain, yang disebut ‘tertanggung’, berupa sejumlah uang, atau yang senilai dari suatu kejadian tertentu. Peristiwa tertentu itu harus unsur yang tidak menentu; peristiwa tersebut mungkin berupa (a) masalah asuransi jiwa, atau (b) kecelakaan”. Kontrak tersebut dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut Polis, yaitu suatu akta yang ditandatangani oleh asuradur, yang fungsinya sebagai alat bukti dalam perjanjian asuransi.
2.       Semua asuransi pada umumnya "termasuk kontrak asuransi konvensional" yang menurut pandangan Islam adalah termasuk masalah Ijtihadiyah, maka dalam menentukan hukum Afzalur Rahman menggunakan metode Qiyas (analogical reasoning) sebagai ketetapan hukum suatu kontrak asuransi konvensioal.
101
 
Terkait dengan kontrak asuransi konvensional, Afzalur Rahman berpandangan, bahwa dalam melakukan suatu transaksi jual beli pada umumnya dan kontrak asuransi khususnya. Bilamana ditemukan keempat unsur riba, maisir garar dan juhala dalam suatu transaksi, tidak peduli jenis dan bentuknya, maka unsur itu menyebabkan kontrak tersebut menjadi haram.
Dari ketentuan tersebut maka dalam kontrak asuransi konvensional terdapat empat unsur di atas pada tingkat yang tinggi, dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa kontrak asuransi konvensional jelas keharamannya.


B.  Saran-saran.

1.       Untuk memasyarakatkan asuransi di kalangan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, hendaknya pihak perusahaan asuransi mengadakan pembaharuan manajemen dan sistem asuransi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dan jiwa syari'at Islam.
2.       Dana yang terkumpul berupa premi-premi yang dibayar oleh para pemegang polis kepada perusahaan asuransi, hendakanya dimanfaatkan untuk proyek-proyek yang prodiuktif dan pembangunan.
3.       Setelah keluarnya fatwa MUI (bunga bank), Bank Syari’ah maupun Lembaga Keuangan Syari’ah ramai-ramai diserbu masyarakat untuk menjadi nasabahnya, termasuk asuransi Islam yang kena imbasnya. Di sisi lain asuransi Islam umurnya masih relatif muda dibandingkan dengan bentuk asuransi yang lain, tentu saja hal ini mempengaruhi kinerja dan mekanisme berjalannya perusahaan asuransi Islam. Sementara asuransi Islam dituntut untuk menjaga kepercayaan publik dengan kinerja yang profesional dan proporsional, untuk menunjang semua itu asuransi Islam harus lebih berani melakukan perbaikan-perbaikan dari segi pengaturannya, operasional perusahaan maupun infra struktur agar kepercayaan nasabah tidak hilang begitu saja.


Lampiran 1

TERJEMAHAN

NO
BAB

FN

HLM
                            TERJEMAHAN
  1
    I
  8
5
Sesungguhnya asal segala sesuatu adalah boleh (mubah)
2
I
18
11
Hai orang-orang yang beriman, jaganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
3
I
20
11
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dank arena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
4
I
 21
12
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
5
I
22
12
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
6
I
24
12
Dan jaganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakan timbangan dan takaran dengan adil. Kami tidak memikulkan beban pada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintakan Allah kepadamu agar kamu sekalian ingat.
7
I
25
13
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka mintak dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar.
8
I
27
13
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya"
9
I
28
13
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan
10
I
30
14
Maka jika kamu tidak mengajarkan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya
11
I
31
14
Hai orang-orang yang beriman, jaganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu sekalian.
 12
   II
 22
38
Lihat NO. 9, BAB I, FN. 28, HLM. 13.
13
II
23
40
Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengajarkan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya
14
II
24
40
Rasulullah SAW. telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya, dan dua orang saksinya.
15
IV
 26
73
Lihat NO. 4, BAB I, FN. 21, HLM. 12.
16
IV
27
73
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
17
IV
 28
74
Lihat NO. 9, BAB I, FN. 28, HLM. 13.
18
IV
29
74
Lihat NO. 14, BAB II, FN. 24, HLM. 40.
19
IV
30
74
Sesungguhnya riba itu hanya riba nasi’ah saja.
20
IV
35
77
Lihat NO. 9, BAB I, FN. 28, HLM. 13.
21
IV
36
77
Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, karena itu adalah kefasikan.
22
IV
41
81
Dan sempurnakan timbangan dan takaran dengan adil. Kami tidak memikulkan beban pada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.

Lampiran 2



BIOGRAFI TOKOH



1.      K.H. Ali Yafie. Lahir di Wani Donggala, Sulawesi Tengah, tanggal 1 September 1926. Dia adalah Wakil Ketua Dewan Penasihat ICMI, Anggota Dewan pengawas Syari’ah Bank Muamalat, Wakil Ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ), Jakarta, dan Guru Besar Kajian Islam Terpadu (Dirasah Islamiya) Universitas Islam Asy-Syafi’iyah, Jakarta. Selain belajar otodidak dalam ilmu-ilmu pengetahuan umum, jurnalistik, dan bahasa-bahasa asing, pendidikannya dihabiskan di pesantren (1933-1945). Dan dia juga berkiprah di lembaga-lembaga organisasi, baik organisasi pemerintah maupun organisasi masyarakat. Pernah menjabat Hakim Pengadilan Agama Tinggi Makasar (1959-1962) dan Kepala Inspektorat Peradilan Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur (1962-1966), menjadi Anggota Staf Harian merangkap Anggota Dewan Pleno Badan Pembinaan Potensi Karya Kodam XIV Hasanuddin, Ujung Pandang (11961-1965) dan diangkat menjadi Anggota Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (sejak 1985).

2.      K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 21 November 1928. Ia adalah alumnus Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (1956) pada tahun 1965 ia memperoleh gelar Magister dalam Isslamic Studies dari Universitas Cairo. Sejak tahun 1953 ia aktif menulis buku antara lain: Asas-asas Muamalat, Hukum Islam tentang Riba, Utang-piutang dan Gadai dan lain sebagainya. Ia menjadi dosen UGM Yogyakarta sejak tahun 1968 sampai wafat (1994) dalam mata kuliah Sejarah Filsafat Hukum Islam, dan menjadi dosen di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia. Selain itu ia terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah priode 1990-1995 dan aktif di berbagai organisasi serta aktif mengikuti seminar nasional maupun internasional.

3.      Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. Lahir 16 Agustus 1937 di Sekayu Musi Banyuasin Palembang. Pendidikan S-1-nya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan lulus pada tahun 1966. pada tahun yang sama dia diangkat sebagai dosen tetap Hukum Perdata dan Hukum Dagang pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dia pernah memangku jabatan sebagai Dekan Fakultas Hukum Unila selama dua priode, 1972-1974 dan 1982-1985. di asmping itu, dia adalah anggota Tim Inti Akta V Applied Approach Unila, anggota Dewan Penyunting Penerbit Unila, anggota Tim Panelis Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Depdikbud. Jabatan akademi yang dipangku hingga sekarang adalah Guru Besar Hukum Dagang atau Perusahaan pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.






  1. Abdul Wahab Khallaf, lahir di Kafruzziyat, bulan Maret 1888 M. masuk al-Azhar tahun 1900. Tahun 1920, ia ditunjuk menjadi hakim di Mahkamah Syar’iyyah. Menjadi guru besar di fakultas Syari’ah al-Azhar tahun 1934-1948. Ia wafat pada bulan Januari 1956. Di antara karya-karyanya adalah “Ilm al-Ushul al-Fiqh, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah dan al-Waqf wa al-Mawaris”.

  1. Khoiruddin Nasution, lahir di Simangambat, Siabu, Tapanuli Selatan tanggal 8 Oktober 1964. Sejak tahun 1990 diangkat sebagai dosen fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Gelar Sarjana Syari’ah, jurusan Peradilan Agama (PA) diperoleh akhir tahun 1989 di fakultas yang sama. Tahun berikutnya, 1990 mengikuti pembibitan dosen-dosen IAIN se-Indonesia di Jakarta. Tahun 1993-1995 mendpat beasiswa dari Pemerintah Kanada untuk mengambil S2 di McGill University, Montreal, Kanada, dalam Studi Islamic Studies, dengan mengambil spesialisasi Islamic Law (hukum Islam). Di samping gemar melakukan penelitian, khususnya menyangkut masalah-masalah hukum Islam, juga berusaha aktif menulis di mas-media. Sementara karya-karya beliau di antaranya adalah: Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. Dan Fiqh Wanita Kontemporer.

6.      R. Subekti, nama lengkapnya adalah Prof. R. Subekti, SH. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung RI dan guru besar hukum perdata di Universitas Indonesia Jakarta, dan pernah menjabat dosen tetap di UGM. Beberapa karyanya antara lain: Pokok-pokok Hukum perdata, Hukum Perjanjian, dan Hulum Pembuktian.


























[1] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMMI & Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.165.

[2]  Ali Yafie, “ Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam”, Ulumul Qur’an, 2/VII/96, hlm. 10.

[3] Penjelasan UU No. 2 Tahun 1992, Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Hukum Asuransi: Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Perasuransian, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hlm. 183.
[4] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa. Soeroyo, Nastangin, (Jakarta: Dana Bahkti Wakaf, 1995), IV: 27 – 28.

[5] Mashudi, dan Moch. Chidir Ali, Hukum Asuransi, (Bandung: Mandar Maju, 1998), hlm.59.

[6] Afzalur Rahman, Doktrin, hlm 107-108.

6 Ibid., hlm. 108.

[8] Warkum Sumitra, Asas-asas, hlm.166.

[9] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani; Relevansi Bagi Prmbaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 1999), hlm.197.

[10] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh. cet. XII (Kuwait: Dar al-Qalam. 1978), hlm.91.
[11] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan, hlm. 175.
[12] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’at: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogjakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 98.

[13] Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 83.

[14] Abdul Wahhab Khallaf, Khulasah Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, cet. III (Kuwait: Dar al-Fikr, 1968), hlm. 7.

[15] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, cet II (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 141-142.

[16] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Edisi Revisi, (Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1993), hlm. 7.

[17] Ibid., hlm. 10.
[18] An-Nisa’ (4) : 29.

[19] Afzalur Rahman, Doktrin, hlm. 130.
[20] An-Nisa’ (4) : 161.

[21] Ali-Imran (3) : 130.

[22] Al-Baqarah (2) : 275.

[23] Afzalur Rahman, “Doktrin”, hlm. 161-165.

[24] Al-An’am (6) : 152.

[25] Al-Mutaffifin (83) : 1-5.

[26] Afzalur Rahman, “Doktrin”, hlm. 173.

[27] Al-Baqarah (2) : 219.

[28] Al-Ma’idah (5) : 90.

[29] Afzalur Rahman, “Doktrin”, IV, hlm. 186

[30] Al-Baqarah (2) : 279.

[31] An-Nisa’ (4) : 29.

[32] Murtadha Muthahhari, Pandangan Islam tentang Asuransi dan Riba, alih bahasa Irwan Kurniawan, (Bandung: Pustaka Hidayat, 1995), hlm. 287.

[33] C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 429

[34] Tajur Arifin dkk, Kitab Undang-Undang Perdata Islam, (Bandung: Kiblat Press, 2002), hlm. xxvi – xxxi.
[35] R. Subekti dan Tjirto Sudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), cet. XIX (Jakarta: Pradya Paramita, 1985), hlm. 305

[36] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 125.
[37] Lexy J. Moleong,  Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet. XIII  (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000),  hlm. 6


[38] Syaikhul Hadi Pernomo dkk, Pedoman Riset dan Penyusunan Skripsi,  (Surabaya: BP3 Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, 1989),  hlm. 26-27. 
[39] Syamsul Anwar, Sumber  Hukum dan Pengaturan Asuransi di Indonesia”, dalam Modul Asuransi Islam, (ttp, tp,  2002) hlm. 13.
[40] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,  (Yogyakarta: Ekonisia, 2003). hlm.100.

[41] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung : Mizan, 1994) hlm. 205-206.
[42] Mehr dan Cammack, Manajemen Asuransi, alih bahasa A. Hasymi, (Jakarta: Balai Aksara, 1981), hlm. 2

[43] Syamsul Anwar, Asuransi Islam, (Yogjakarta: Fakultas Syari’ah, 2002)

[44] Ahmad Azhar Basyir, Takaful sebagai Alternatif Asuransi Islam,(Jurnal 'Ulumul Qur'an No.2 Vol VII, 1996) hlm. 15

[45] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 260
[46] C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 429

[47] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, hlm. 266.

[48] Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Islam Indonesia, cet. II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 24


[49] Ibid., hlm. 25.
[50] Ibid., hlm. 26.
[51] C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan, hlm. 440
[52] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan, hlm. 264
[53] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa. Soeroyo, Nastangin, (Jakarta: Dana Bahkti Wakaf, 1995), IV: 281
[54] C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan, hlm. 443
[55]  Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, hlm. 210

[56] Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. IV (Jakarta: Sinar Grafaika, 2001), hlm 84

[57]A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet. III, (Jakartarta: Bumi Aksara, 2002), hl. 101

[58]  Ibid., hlm. 102-103
[59] Ibid., hlm. 103-104
[60] Ibid.
[61] Ibid., hlm. 105

[62] Ibid., hlm. 106

[63] Ibd.
[64]  Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai prisip ganti rugi ini Baca juga Muhammad Muslehuddin, Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru Dalam Perspektif Hukum Islam, alih bahasa Burhan Wirasubrata, cet. I, (Jakarta: Lentera Basramita, 1999), hlm.  42-43
[65] Subrogation adalah hak penanggung (perusahaan asuransi) untuk mengambil alih klaim pihak yang ditanggung terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kerugian itu. Mengizinkan pihak yang ditanggung memperoleh penggantian dari perusahaan asuransi dan kemudian menagihnya lagi dari orang yang bertanggung jawab atas kerugiannya itu adalah bertentangan dengan prinsip ganti rugi (principle of indemnity). Misalkan pada suatu pagi, tetangga anda menabrak mobil anda yang sedang parkir. Jika ia membayar kerugian anda sepenuhnya, maka anda tidak boleh lagi menagih kerugian tersebut dari perusahaan asuransi anda. Sebaliknya, jika anda meminta perusahaan asuransi anda mengganti kerugian anda tersebut berdasarkan polis asuransi anda, maka anda tidak boleh meminta cek tetangga anda itu, kecuali untuk jumlah kerugiain yang tidak diganti oleh perusahaan asuransi anda. Akan tetapi, penanggung (perusahaan asuransi anda) berhak memperoleh cek tetangga anda itu untuk jumlah yang tercantum dalam polis anda, dan bahkan memintanya jika tetangga itu tidak otomatis membayarnya. Lihat Ibid., hlm. 107


[66]  Marjuki Zuhdi, Pandangan Ulama Terhadap Asuransi Konvensional, http//www. takaful.com/whitepaper/whitepaper.html., hlm. 32-33
[67]   Al-Maidah (5): 90
[68]   Al-Baqarah (2): 278-279
[69] Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa Muwakkalah” (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug  al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, tt), hlm.169


[70] Hassan Syazili, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Iktiar Baru Van Haeven, 1980), hlm. 473-474.
[71] http://www.salam.co.uk.

[72] Ibid.
[73] Afzalur Rahman, Muhammad Seorang Pedagang, alih bahasa Dewi Nur Juliati, Isnan, dkk, cet 1 (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumi, 1996), hlm.3.
[74] Afzalur Rahaman, al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, alih bahasa H.M. Arifin, cet 1 (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hlm. 5.

[75] Afzalur Rahman, Indeks al-Qur’an, cet 1 (Jakarta: Bina Aksara, 1995), hlm. 5.
[76] Afzalur Rahman, Nabi Muhammad S.A.W. sebagai Seorang Pemimpin Militer, alih bahasa Anas Sidik, cet 1, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 5.

[77] Afzalur Rahman, Muhammad S.A.W. ensiklopedi Sirah, Dakwah dan Islam, alih bahasa Zarah Saleh, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kemitraan Malaysia, 1994), I: 20.

[78] Ibid.

[79] Afzalur Rahman, Muhammad S.A.W. Esiklopedi Sirah, II: 10
[80] Afzalur Rahman, Muhammad S.A.W. Ensiklopedi Sirah, IV: 10

[81] Afzalur Rahman, Muhammad S.A.W. Ensiklopedi Sirah, V: 6-17

[82] Afzalur Rahman, Tuhan Perlu Disembah Eksplorasi Makna Shalat dan Manfaat Shalat bagi Hamba, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 5.
[83] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan Nastagin, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), IV: 82.
[84] Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. III (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 108

[85] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet. II (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 27-28

[86] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi hlm. 91.

[87]Ibid., hlm. 93.

[88] Untuk menetahui lebih lengkap mengeanai asuransi jiwa ini, Baca, Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Islam Indonesia, cet. II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 167-176.

[89] Lihat juga Ibid., hlm. 177-192
[90] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi, hlm. 94
[91] Ibid., hlm. 95.
[92] Ibid., hlm. 102-103
[93] A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet. III, (Jakartarta: Bumi Aksara, 2002), hlm. 22. Baca juga, Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Islam Indonesia, cet. II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 12-13

[94] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan Nastagin, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), IV: 107

[95] Menurut ketentuan Pasal 255 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis. Selanjutnya Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992. Berdasarkan ketentuan dua pasal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi, sehingga mempersulit tertanggung dan penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam melaksanakan asuransi. Di samping itu, polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi. Untuk keteranagn lebih lengkapnya Baca, Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi, hlm. 57-72.

[96] Besarnya jumlah premi yang harus dibayarkan oleh tertanggung ditentukan dengan persentase dari jumlah asuransi ditambah dengan biaya-biaya lain, misalnya biaya materai, dan biaya pialang. Cara pembayarannya biasanya dibayar lebih dahalu. Sedangkan pada asuransi jiwa biasannya dibayar secara bulanan. Ibid., hlm. 102. Sebagai perbandingan lihat juga, Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. IV (Jakarta: Sinar Grafaika, 2001), hlm. 122-125.

[97] Yang dimaksud risiko di sini adalah kemungkinan penyimpangan yang tidak diharapkan. Kemungkinan itu berupa terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan atau tidak terjadinya  hal yang dinginkan—kejadian seperti ini sering diartikan menurunnya atau hilangnya suatu nilai. Baca, A. Hasymi Ali, Pengantar Ekonomi, hlm. 156.

[98] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 108
[99] Ibd., hlm. 109

[100] Asuransi modern pada dasarnya berlandaskan pada totalitas pesesrta asuransi yang mengalami musibah. Landasan kerjasamanya adalah musibah umum yang mungkin mereka alami. Menghindarai risiko sejauh mungkin adalah sifat insting manusia, seluruh peserta asuransi secara bersama-sama mengahadapi musibah umum itu dengan berkerjasama satu sama lain untuk menghindarkan risiko atau kerugian umum tersebut. Jika musibah itu benar-benar terjadi, mereka mengurangi kemungkinan  bahaya terhadap orang lain atau harta benda para peserta asuransi. Ibid. hlm. 214

[101] Yang dimaksud ganti rugi di sini adalah sejumlah uang dari perusahaan asuransi yang diharapkan dibayarkan kepada peserta asuransi apabila terjadi kecelakaan atau marabahaya. Ibid., hlm. 150

[102] Ibid., hlm. 110

[103] Asuransi jiwa adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Lihat UU No. 2 . Tahun 1992 Pasal 1 angka (1)

[104] Untuk lebih jelasnya tentang asuransi ruang lingkup kecelakaan dapat di baca dalam, Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi, hlm. 185-187
[105] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm.  111.
[106] Ibid., hlm. 112
[107] Ibid., hlm. 114
[108] Ibid., hlm. 115
[109] Lihat Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushu>l Fiqh (Kairo: Da>r al-Kuwaitiyyah, 1968), hlm. 216.

[110] Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 1980), hlm. 115-116.

[111] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,  cet. VIII, (Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1994), hlm. 134.

[112] Ibid., hlm. 135
[113] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi,  hlm. 253.
[114] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 37  sebagai perbandingan lihat Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar fi Halli Gayati al-Ikhtisar, (ttp: Darul Haya, tt), hlm. 246.

[115] Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah, hlm. 102. Sementara Makhalul Ilmi. SM mengatakan bahwa arti “kelebihan” tidak berhenti di sini saja—karena “kelebihan” yang lahir akibat dilakukannya transaksi ekonomi antara dua pihak atau lebih disebut sebagai riba, termasuk mengambil keuntungan atas suatu transaksi jual beli yang lazim berlaku dalam tatanan masyarakat
bangsa-bangsa di dunia sejak dahulu hingga sekarang. Sudah barang tentu bukanlah yang dimaksud al-Qur’an demikian, karena tegas-tegas salah satu ayatnya menyebutkan: “Allah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba”. Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, cet. I (Yogayakarta: UII Press, 2002), hlm. 19.

[116] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 38

[117] Ali as-Sabuni, Rawai ‘al-Bayan fi at-Tafsir Ayati al-Ahkam, (ttp: Dar al-Qur’an, 1391/1972), I: 383.

[118] Al-Imran (3): 130. Ayat ini jelas menyatakan bahwa, memakan bunga dapat menyebabkan rakus, tamak, kikir, dan egois bagi orang yang mengambilnya; dan kebencian, kemarahan, kecemburuan bagi orang yang membayarkannya. Oleh karena itu, Allah telah mengecam dan melarang riba dan menganjurkannya untuk berbuat amal baik sebagai suatu penangkal terhadap praktek riba. Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, hlm. 131.
 
[119] Al-Baqarah (2): 275

[120] Al-Baqarah (2): 278-279

[121] Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa Muwakkalah” (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug  al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, tt), hlm.169

[122] Muslim, Sahih Muslim, “Babu Bai’ at-Ta’am Mislan bi Mislin”. (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 694-697

[123]Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1995 ),  hlm. 125-126

[124] Ibd.

[125] Ibid.

[126] Ibid., hlm. 128.

[127] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 138
[128] Ibid.

[129] Ibid., hlm. 140

[130] Ibid., hlm. 255

[131]  Al-Maidah  (5):  90

[132] Al-Maidah   (5):  3

[133] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 142.

[134] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, cet. I (Yogyakarta: Ekonsia,  2003), hlm. 13-14.

[135] Afzalurr Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 255.
[136] Ibid.
[137]  Al-An'am (6): 152

[138] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 256
[139] Ibid., hlm. 173

[140] Ibid., hlm. 256

[141] Ibid., hlm. 257.

[142] Ibid., hlm. 275
[143] Ibid., hlm. 276.
[144] Ibid., hlm. 277-278